ANDA PEJUANG CYBER INDONESIA, YA ANDA!
BY FREDDY HANDOKO ISTANTO
Di medio 2018 itu, terasa sekali jagad maya Indonesia demikian gaduh dengan posting–posting di media sosial yang tidak sehat. Membayangkan dunia maya itu jelang Pemilihan Presiden tahun 2019, kegaduhan itu dipastikan akan semakin esktrim. Umbu Pariangu menulis bahwa udara politik yang mestinya gampang dihirup untuk memberikan kesehatan paru-paru politik masyarakat, kini menjadi berat dan kotor. Ia terpapar radikal bebas hoax, fitnah dan provokasi.
Riuh Rendah itu memunculkan pertanyaan bagaimana menyiapkan mahasiswa dan juga generasi Milenial agar tidak terjebak dalam pusaran dunia maya yang sudah sarat dengan Hoax, berita-berita palsu dan ujaran kebencian itu. Akhirnya berharap kepada FEH, Fakultas Entrepreneurship dan Humaniora Universitas Ciputra (FEH-UC) untuk mengundang pakar di bidang ini. Sempat terpikir menyiapkan sejumlah rekan untuk jadi cyber-mercenaries, lalu harus bagaimana? FEH-UC ternyata sangat sigap untuk segera menggelar kuliah umum di matakuliah Kewarganegaraan. Inovasi-inovasi model belajar-mengajar di FEH-UC ini menarik. Konten dan pengajar beragam dan membumi. Tepat hari Pahlawan 10 Nopember 2018 ini, FEH-UC menghadirkan Kombes Pol. Dr. Barito Mulyo Ratmono. Beliau, bersama-sama Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan PhD menulis Buku “Kebohongan di Dunia Maya”. Kuliah Umum hari itu bertema: “Tanggung Jawab Warga Negara Generasi Milenial.
Yang perlu dipikirkan dan waspadai adalah bagaimana dengan keberadaan generasi muda, generasi milenial kita. Dunia yang dikenalnya, terutama di Jagad maya mereka adalah dunia tidak lagi penuh kedamaian dan keteduhan. Tidak seperti dunia pendahulu-pendahulu mereka, para babyboomers dan generasi-generasi mereka sebelumnya . Generasi Milenial yang sejak lahir tidak bisa dipisahkan kehidupannya tanpa piranti canggih ini, harus berhadapan dengan dunia yang gelisah, penuh keriuhan, pergantian yang cepat, susahnya mencari panutan, konflik-konflik sosial yang tidak berkesudahan serta bencana yang silih berganti, gaduh sekali di sosial media.
Selain masih banyak orang tua yang peduli dengan mendidik anaknya secara baik. Sebagian besar lainnya menyerahkan mereka, bahkan sejak kecil di asuh oleh gadget–gadget. Piranti-piranti canggih dengan games atau konten-konten hiburan lain yang lebih menyenangkan dan entertaining ketimbang bermain bersama orang tuanya sendiri, alih-alih dengan teman sebaya maupun bergumul dengan alam.

Banyak hal-hal positif dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, tetapi dampak buruknya juga luar biasa. Ketika generasi babyboomers mengenal kebenaran adalah kebenaran, maka generasi sekarang menghadapi wujud kebenaran yang berbeda di jaman post–truth ini. Ketika kebenaran itu didasari subyektifitas ketimbang obyektifitas, Orang tua pun kehilangan arah untuk mendidik kids jaman now. Ketika kebenaran lebih didasari emosional ketimbang rasional itulah yang membuat pening para orang tua. Di sisi yang lain kids jaman nows lebih piawai memilih informasi di dunia maya, ketimbang para orang tua yang masih tertatih-tatih memahami siapa mbah google itu. Tempo doeloe, tempat anak bertanya adalah orang tua. Berikutnya adalah Guru menjadi jujugan. Kini keduanya sudah semakin diabaikan, karena Mbah Google sudah menyiapkan segalanya untuk anak-anak kita. Kalau para orang tua hanya punya dua dimensi, yaitu dunia dan akhirat. Kids jaman now sangat nyaman dengan dunia ketiganya, dunia maya. Dunia baru yang berlimpah informasi.

Akhir-akhir ini Dunia Maya dipenuhi dengan wabah serius antara lain melimpahnya berita-berita yang dikategorikan sebagai hoax, berita palsu dan ujaran kebencian. Jangankan anak-anak, para orang tua dan kita semua dibanjiri banyak informasi yang begitu gaduhnya sampai kita tidak tahu mana berita yang benar dan mana berita bohong. Sayangnya banyak dari generasi babyboomers yang juga suka latah, dengan entengnya menyebar segala macam berita itu kemana-mana tanpa punya perasaan apa-apa ketika men-share nya. Mereka tidak berfikir panjang tentang efek dari penyebaran berita-berita itu. Sebagian besar dari mereka tidak tahu, tidak bisa membedakan dan tidak paham apa yang ada di dunia maya ini.
Padahal banyak dari mereka yang sudah jauh dari budaya petan, Budaya yang dulu adalah menjadi sisi negatif dari penyebaran berita yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Ketika jaman old, salah satu ajang penyebaran berita, isu, gossip, adalah lewat berkumpul-kumpulnya ibu-ibu sambil petan, mencari kutu. Pemandangan umum ini terjadi di kampung-kampung, di desa-desa itu menjadi ajang disebarkannya kabar-kabar baik dan benar maupun kabar-kabar buruk berdasar ‘katanya’.
Kelincahan jemari untuk mencari kutu itu kini berganti dengan ketrampilan memijit tombol gawai digital (device) di jaman Now. Interaksi sosial petan itu kini berwujud group-group di WhatApps, Facebook, twitter dan media sosial lainnya. Dulu dampak penyebaran isu, berita terbatas di kampung atau desa setempat. Kini batas-batas teritorial telah lenyap, bahkan batas-batas sosiologis hilang. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memampukan membuat apapun, yang realitas digabung dengan fiksi. Teknologi menghadirkan yang dulu tidak mungkin menjadi mungkin. Semuanya lewat piranti-piranti canggih, utamanya lewat gadget–gadget di tangan kita. Maka awam sulit membedakan antara pencitraan dan realitas, kebenaran dan kebohongan, normalitas dan abnomalitas. Konsep tata dunia pada kebebasan dan keterbukaan mendorong perkembangbiakan, pelipatan gandaan dan produksi informasi secara masif.
Saatnya kita berjuang untuk itu semua, perangi Hoax, hancurkan upaya-upaya membuat berita palsu, stop ujaran-ujaran kebencian. Jadilah pejuang dengan tidak gampang menyebar berita yang tidak jelas sumbernya. Berperan aktiflah di lingkungan terkecil kita, di Group WA kita, beri nasehat, beri wawasan pada anggota group. Sebarkan konten-konten yang sejuk, positif, menghibur, meng-inspirasi, share hal-hal yang menarik dibidang sosial, budaya, kemanusiaan dan kerohanian. Kita semua bisa menjadi pejuang bahkan menjadi pahlawan, ketika perang bukanlah lagi memanggul senjata, tetapi memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan bijak, benar dan positif.
Bagaimana memerangi hoax, fake news dan hate speech kalau kita sendiri tidak tahu apa itu semua. Hoax adalah berita palsu, fake–news diartikan sebagai berita rekayasa (Tempo, 8 Jan 2017). Selanjutnya Budi Gunawan (2018) menulis Hoax memiliki karakter sebagai “reports that are slanted or misleading but not outright false”. Laporan yg dibelokkan dan menyesatkan tetapi tidak sepenuhnya salah (Allcot & Gentzkow 2017: 214). Fake news adalah “news articles that are intentionally and verifiably false, and could mislead readers”, artinya artikel-artikel berita yg memang disengaja dan jelas salah, dan dapat menyesatkan pembaca. fake news tidak memiliki basis faktual tetapi ditampilkan seperti layaknya berita faktual. Sedang Hate speech atau ujaran kebencian adalah “speech that intends to harm people, either by inciting violence against its targets, or by being so deeply offensive that its very expression causes psychological harm”. Ujaran yang dimaksudkan untuk menyakiti orang, dengan memancing tindakan kekerasan terhadap target dengan serangan yang ekspresinya dapat menimbulkan kerusakan psikologis (Nigel Warburton dalam Franco & Warburton, 2013: 151). Lalu apa bedanya hoax dengan fake news, berita tentang penganiayaan Aktivis Politik RS awal oktober 2018 lalu adalah hoax. Ada kejadian wajah RS itu bengkak dan lebam-lebam sebagai akibat operasi plastik, jadi ada kejadian. Tetapi kemudian diplesetkan menjadi berita, bahwa RS mengalami penganiayaan, inilah yang disebut hoax.
Dalam paparannya Kombes Barito Mulyo Ratmono di Universitas Ciputra menjelaskan berita atau artikel yang patut diduga adalah hoax dan sejenisnya adalah
- Diberi judul yang provokatif dan “lebay dan heboh”,
- Isi berita cenderung provokatif atau menghasut dan memojokkan satu kelompok tertentu,
- Kalimatnya berisi fanatisme ekstrim terhadap ideologi, tokoh, atau kelompok tertentu.
- Menimbulkan kesan kepanikan dan atau ketakutan,
- Menimbulkan permusuhan atau kebencian,
- Diselipkan permintaan untuk segera di-share dengan kemasan kalimat “…..tolong segera di share saudaraku, demi tokoh yang kita sayangi…..”
- Tidak mencantumkan sumber resmi;
- Jika dicermati foto atau gambar yang dimuat hasil editan atau tidak wajar,
- Sering menggunakan kalimat, gambar, foto editan yang tidak relevan dan miss–leading, hanya untuk memancing kita meng-click.
Sama seperti masukan dan pendapat beberapa pakar, memang diperlukan kecerdasan untuk menghadapi hoax, Fake–news dan hate–speech ini. Lalu perlu juga kesabaran tinggi apabila kita nantinya akan berperan sebagai Pejuang Cyber ini. Satu kali ada berita tentang pengemudi transportasi online yang intinya melakukan kejahatan saat menjalankan tugasnya. Catatan saya untuk rekan yang mem-posting disambut protes keras. Dengan sanggahan, apa salahnya men-share berita kriminal? Ini kan untuk meng-antisipasi agar kita berjaga-jaga untuk tidak jadi korban, bla bla bla. Mereka tidak sadar bahwa berita itu tanpa sumber yang jelas dan samar. Mereka juga tidak pernah sadar bahwa meng-share berita itu, kita sudah menjadi kaki-tangan sebuah permufakatan persaingan ekonomi (mungkin), politik dan keamanan (menebarkan rasa takut) atau maksud-maksud tersembunyi lainnya. Ternyata kemudian berita itu disebut sebagai fake–news. Sebenarnya sederhana saja sih, kita gunakan saja akal sehat ketika kita berada di ruang Cyber ini. Di group WA yang berisi kaum lansia itu, cukup membutuhkan kesabaran ketika harus mengkoreksi sikap-sikap mereka ketika berada di wilayah dunia maya ini.
Ada indikasi bahwa gegara media-sosial ini, anak-anak muda terjangkit sindrom FoMO. Pendapat saya, saat ini semua kalangan masyarakat terjangkit penyakit sosial ini. Devi Susanti menelusuri, ternyata penyakit yang dialami oleh kids jaman now itu bernama Sindrom FoMO (Fear of Missing Out). FoMO adalah sebuah gejala psikologis takut ketinggalan berita terbaru. Istilah zaman now “takut gak update”. FoMO dianggap salah satu penyakit bagi para penggila medsos. Hal ini disimpulkan dari hasil studi yang dilakukan pada Februari-Mei 2017 oleh RSPH (Royal Society of Public Health), yaitu sebuah lembaga independen untuk kesehatan masyarakat di Britania Raya, Inggris. Hasil survei tersebut menyebutkan 40% pengguna medsos mengidap penyakit FoMO. Kepala Eksekutif RSPH Shirley Cramer CBE mengatakan, “Media sosial lebih membuat kecanduan ketimbang rokok dan alkohol.
Bagaimana bersikap cerdas di ruang Cyber, beberapa diantaranya adalah jangan mudah terhasut membaca postingan di media ini. Bersikaplah menahan diri sebelum men-share berita di ruang Cyber ini. Komjen Barito menyarankan untuk selalu lakukan check, re-check, cross check, final check. Termasuk cross–check berita-berita di media main–stream (koran, radio atau televisi Resmi). Tawaran ini tidak mudah memang, siapa yang mau melakukan banyak upaya seperti itu, apalagi generasi Milenial yang sukanya instant itu. Bagi saya, apabila ada berita yang tidak jelas atau punya ciri-ciri yang seperti di identifikasi Komjen Barito itu, ya biarlah berhenti di ponsel saya saja. Saya toh tidak rugi dengan tidak men-share, bahkan Saya juga tidak menerima keuntungan apa-apa ketika berita yang tidak jelas itu saya delete.
Tentu saja pemerintah sudah menyiapkan banyak regulasi tentang dunia cyber ini, dalam hal ini adalah Undang-Undang ITE. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang Undang nomor 11 tahun 2008 (UU ITE) adalah Undang-Undang yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. Undang-Undang ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia (Wikipedia).
Paparan Kombes Barito Mulyo di Universitas Ciputra itu membuyarkan angan-angan untuk membentuk Cyber-Mercenaries. Pertanyaannya adalah mengapa tidak kita-kita ini saja menjadi Pejuang Cyber (Civil Cyber Troops). Tanpa pemimpin Surabaya di 10 Nopember 1945 berhasil mengusir tentara Penjajah. Era-era ini kita perlu berjuang untuk memerangi itu semua, Hoax, Fake News dan Hate Speech. Tidak perlu pemimpin, mulailah dengan kita sendiri. Mari kita berjuang!!!
