BELAJAR-MENGAJAR DARI JAMAN BABYBOOMERS SAMPAI MENEMANI GENERASI MILENIAL
by FREDDY HANDOKO ISTANTO
Rasanya tidak cukup sehari untuk meng-apresiasi Kota kuno Ephesus, begitu ketika mengunjungi kota Kuno Ephesus Mei 2018 lalu. Versi Wikipedia, Ephesus adalah kota Yunani kuno. Berada di pesisir barat Asia Kecil, dekat Selçuk modern, Propinsi Izmir, Turki. Di masa Romawi, kota ini menjadi kota kedua terbesar setelah kota Roma. Dikenal dengan adanya “Kuil Dewi Artemis” (Temple of Artemis; 550 SM). Sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno. Kaisar Konstantin membangun kota ini. Termasuk kreatifitas mendirikan tempat-tempat mandi umum dimana-mana.

Sambil jepret sana-sini, berdua saya dan istri mengapresiasi kehebatan kota bersejarah ini. Baru sadar kemudian, mengapa ya waktu kuliah dulu kami-kami ini sangat tidak tertarik dengan pelajaran Sejarah, utamanya Sejarah Arsitektur. Disitu ada materi tentang kota Ephesus, arsitektur dan kota-kota kuno dunia serta bangunan bersejarah lainnya. Kami berdua studi arsitektur tahun 1975, 43 tahun kemudian tahun 2018 itu, baru menyadari betapa Ephesus ini kota yang hebat. Kota dengan arsitektur yang indah, struktur dan konstruksi serta teknologi canggih di jamannya dan tatakota yang modern.
Di banyak kasus ditemukan bahwa sebagian besar peserta didik, tidak menyukai pelajaran ini. Pelajaran sejarah itu dianggap membosankan, bahkan banyak yang bertanya: “ngapain sih belajar sejarah?” Penyebabnya antara lain pelajaran Sejarah bukan tentang obyek atau materinya yang tidak menarik. Tetapi (terutama) karena cara penyampaiannya yang tidak tepat. Kemudian memang sering juga kontennya yang tidak relevan.
Sebagai contoh, apa pentingnya siswa menghafal waktu atau tahun kejadian Perang Diponegoro? Bukannya yang penting itu mengapa, bagaimana dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari Perang Diponegoro. Saya sendiri sangat hafal tahun terjadinya Perang Diponegoro, yaitu tahun 1825 sampai dengan 1830 bukan karena hafalan atau tertarik dengan sejarah Perang Diponegoronya (maaf!). Tetapi karena ada plesetan, bahwa Perang Diponegoro itu adalah perang yang sangat singkat. Perang Diponegoro terjadi hanya kurun waktu 5 menit yaitu 18:25 sd 18:30, sesudah magrib. Gitu plesetannya…..
Jaman Kereta Api masih makan arang itu, dosen memang segalanya. Mahasiswa harus melahap pelajaran selama 2 Jam, dengan bosan atau tidak bosan kuliah itu tidak penting bukan urusan dosen. Bahkan selama (2 jam) itu dosen kadang hanya menulis di papan tulis. Posisi mengajarnyapun hampir tidak menghadap siswa sama sekali. Mahasiswa cuma mencatat, mencatat dan mencatat lalu selesai.
Cerita yang lain, salah satu dosen saya kala 1975-1980an itu, mengajar dengan disiplin yang ketat dan keras. Tidak Cuma itu, hampir tanpa tertawa bahkan senyum saja tidak. Satu kali entah mimpi apa, atau baru gajian gitu, Dosen ini melemparkan joke di kelas. Lucunya, malah ini yang lucu, sekelas tidak ada yang tertawa. Saya geli sendiri, ga berani tertawa yoo! Joke nya lucu sih, tapi lebih lucu karena sekelas tidak ber-reaksi. Dalam hati, saya bilang: “Rasain, lu……!!!”(Maaf!)
Tiba-tiba saja Saya harus menghadapi Generasi Milenial. Satu kali saya pun segera melempar sebuah joke di depan kelas agar suasana kelas menjadi cair. Ketika sekelas tidak bereaksi, Saya pun sadar. Kutukan dosen itu sedang bekerja buat saya. Keringat dingin mengalir, ada yang salah nih. Beruntung Pimpinan Program Studi saya, satu saat mengundang pakar untuk menjelaskan tentang bagaimana menghadapi generasi Milenial. Proses belajar-mengajar memang selalu harus juga menjawab tantangan jaman. Setiap jaman punya karakternya sendiri. Tentu ini tantangan juga untuk para pengajar. Bagaimana menghadapi peserta didik yang sudah berbeda jamannya, ketika para dosen ini kuliah dulu.
Kalau mahasiswa jaman dulu, mau-mau saja mereka duduk manis 2 jam penuh di kelas. Mahasiswa sekarang duduk di kelas 30 menit sudah gelisah. Godaan yang utama dan mengganas adalah gadget-nya, piranti-piranti digital yang lebih menawarkan apa saja yang menarik ketimbang mendengarkan kuliah dosen. Mahasiswa jaman old, selama 2 jam itu kalaulah tidak mencatat materi yang diberikan dosen, juga harus berusaha menginti-sarikan materi utama hari itu. Mahasiswa jaman now tentu tidak lagi mau repot-repot mencatat, “Jadul banget, Guys!”. Cekrak-cekrik mem-foto materi kuliah. Sebagian materi di download dari langit sono (cloud). Urusan intisari materi kuliah entar aja nanya si Mbah, Eyang Google.
Dosen jaman old dengan segala kehebatannya, biasanya bersandar pada kelebihannya saat itu, yaitu “Menang Semalam”. Dosen ini orang yang paling tahu minimal unggul semalam, memahami materi kuliahnya. Semalam lebih dulu paham dari mahasiswanya. Karena Sang Dosen mempersiapkan materinya semalam sebelumnya, dan mahasiswanya baru tahu besoknya saat sang dosen mengajar. Itu slogan dosen yang pakai konsep kejar tayang. Namun masih banyak dosen yang mempersiapkan jauh sebelumnya agar perkuliahannya berjalan baik. Beda dengan mahasiswa jaman now. Mereka adalah generasi yang mampu memojokkan kata benda Google, menjadi kata kerja, googling ini. Maka dosen yang mempersiapkan kuliahnya asal-asalan akan terpojok dengan hadirnya tingkah polah si Mbah, yang dikagumi generasi Milenial ini.
Akhirnya tentang Bakso Tikus, ini yang menarik. Saat itu beredar isu tentang Bakso yang ternyata dagingnya berasal dari Hewan mengerat ini. Terjadi polemik seru di masyarakat. Nah, di berilah tugas mahasiswa untuk membuat analisa jika mereka berbisnis Bakso Tikus. Dengan segala argumentasinya, mahasiswa dibebaskan untuk memberi solusi. Eeehm tentang tikus?. Jangankan orang lain, Saya sendiri agak ngeri-ngeri sedap gitu mendengar dan membayangkan bagimana Bakso Tikus itu. Kelaspun dibagi menjadi beberapa kelompok. Diberi pengantar sedikit tentang bisnis, kuliner, etika budaya dan teori-nya. Pasti teori akan se-abreg dan akan membutuhkan waktu berlama-lama untuk menjelaskan landasan-landasan teori untuk itu. Sebuah opsi yang tidak akan berguna untuk generasi milenial. Jangan lupa, generasi milenial ini jauh lebih pandai dari generasi-generasi terdahulunya. Terutama karena kelincahannya dalam meng-akses informasi apapun, di era keterbukaan informasi ini. Bahkan mereka ini adalah generasi yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui tentang apapun melebihi generasi sebelumnya. So biarkan saja mereka berselancar mencari dan memilih teori apa saja yang mendasari analisa-analisa mereka tentang bakso Tikus ini.

Inilah yang menarik dari pendidikan jaman now, tidak ada jawaban tunggal atas permasalahan-permasalahan. Kelompok-kelompok mahasiswa ini mengajukan berbagai usulan dan kesimpulan. Sepuluh kelompok akan menghasilkan 10 Jawaban/opsi yang beragam. Solusi mereka dari kasus Bakso Tikus itu ada yang menyatakan tidak layak dikonsumsi dengan dasar-dasar teori tertentu. Ada jawaban, yang membudidayakan Tikus dengan cara setara Daging ayam potong. Ada yang menyebutnya tidak ada masalah, karena jangankan Tikus, kucing, anjing, kelelawar dan ular sekalipun disantap sebagai kuliner eksotis, yaitu di daerah Manado. Ada yang tidak setuju, karena mengelabui Konsumen, dengan segala argumentasinya. Lalu bagaimana dengan peran dosen? Tugas pengajar sekarang semakin complicated. Karena berbagai kemungkinan bisa terjadi di masyarakat di saat ini. Tidak ada lagi jawaban tunggal yang seragam untuk suatu kasus.

Di jaman old, dosen yang sedikit meluluskan mahasiswa dianggap dosen hebat. Tentu kini dosen semacam itu tidak laku lagi. Jaman sudah berubah, pengajar yang demikian dianggap gagal membawa misinya dalam mengajar. Suasana kelas yang menyenangkan (entertaining) menjadi salah tools saat pengajar men-tranformasikan keilmuannya kepada generasi milenial, pemilik jaman now.
Tentu Universitas Ciputra tetap menghadirkan The Sage on the stage, dosen-dosen bijak yang mengajarkan materi-materi yang filosofis. Berbarengan dengan dosen-dosen yang menggunakan pengajaran dengan metoda the Guide on the side. Bersama-sama mahasiswa, yang milenial itu, bergandengan tangan menyelesaikan program demi program, projek demi projek untuk meraih sukses masa depan.
