Laksamana Malahayati | Sumber: koransulindo.com

 

Namanya Laksamana Malahayati, seorang wanita kuat, tangguh, dan perkasa dari tanah  Aceh. Malahayati adalah wanita yang rela berpeluh darah membela tanah Aceh dari penjajah yang  menjarah rempah-rempah. Jauh sebelum adanya kampanye feminis dan segudang teori emansipasinya, Malahayati sudah membuktikan terlebih dahulu bahwa perempuan bisa  memiliki peran seperti laki-laki. Tidak hanya sekadar berdiam dan bersolek di dalam rumah,  Malahayati bisa membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi seorang militer dan  ikut berperang. Maka tak heran, jika ia adalah laksamana wanita pertama di dunia yang  disegani di negara Barat.

Sepanjang catatan sejarah, belum ada yang memastikan kapan lahirnya Malahayati.  Diperkirakan Malahayati lahir pada akhir ke-15 atau awal abad ke-16. Malahayati adalah putri dari  Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said  Syah putra dari Sulan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan  Salahuddin Syah sendiri adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M)  yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Jika ditilik dari garis keturunannya,  Malahayati adalah seorang darah biru keturunan keraton.

Sedari kecil, Malahayati sudah dikenalkan dengan berbagai macam ilmu. Seperti ilmu Al-Quran dan agama yang dipelajari dari Tengku Jamaluddin Lam Kra, seorang ulama sekaligus  pemilik pesantren putri di Banda Aceh. Selain itu, Malahayati juga belajar berbagai bahasa  asing, seperti Prancis, Spanyol, dan Inggris. Dari sinilah Malahayati terlihat kecerdasannya,  yang mana kelak beliau sering mengurusi urusan diplomasi kerajaan. Pada saat masih kecil, ayahnya sering mengajak Malahayati ke pelabuhan untuk melihat  kapal dagang dan kapal perang milik kerajaan Aceh. Bahkan terkadang, ayahnya juga  mengajak melihat latihan pertempuran dari kapal perang Aceh. Bermula dari sini lah  kecintaannya pada dunia bahari dan militer tumbuh.

Di tahun 1575 M, Laksamana Mahmud Syah memimpin armada perang bersama armada  Banten yang dimpimpin Pangeran Arya bin Maulana Hasanuddin di Malaka untuk menangkis  serangan Portugis. Dalam pertempuran dekat pangkalan La Formosa, Laksamana Mahmud  Syah gugur di atas kapal komandonya Seulawah Agam. Akibat kepergian Ayahandanya,  Malahayati yang terpukul batinnya bersumpah akan berjuang untuk melawan penjajah. Di umur 17 tahun, Malahayati menikah dengan Laksamana Muda Ibrahim, bawahan dari  mendiang ayahnya. Pada saat melakukan patroli, ada 6 kapal Portugis yang merampas  rempah-rempah di perairan Pulau Alang Besar. Saat kapal Portugis akan digeledah, mereka  menolak. Terjadilah pertempuran laut. Peluru meriam dari kapal Portugis menghantam kapal  Laksamana Muda Ibrahim. Beliau tidak sempat menghindar dan tewas seketika. Malahayati  kembali terpukul hatinya atas gugurnya sang suami. Malahayati akhirnya melanjutkan pertempuran laut dengan menggunakan baju suaminya.  Malahayati yang mengambil alih pertempuran tersebut berhasil menenggelamkan 3 kapal  Portugis, 2 kapal ditawan, dan 1 kapal melarikan diri. Keberhasilan tersebut tersiar luas  hingga ke Aceh dan Banten. 

Di usia 22 tahun Malahayati sudah diangkat menjadi Panglima Armada V Kerajaan Aceh  dengan pangkat Laksamana Muda. Malahayati tidak hanya memimpin pasukan yang  beranggotakan laki-laki, namun juga perempuan. Barisan perempuan ini adalah wanita yang  ditinggal mati suaminya di perang Teluk Haru. Armada ini disebut dengan armada Inong  Balee dengan Teluk lamreh Krueng Raya sebagai pangkalannya.

Benteng Inong Balee | Sumber: tagar.id

 

Pada 21 Juni 1599, Aceh didatangi de Houtman bersaudara. Ibrahim Alfian dalam Wajah  Aceh dalam Lintasan Sejarah (1999) menyebutkan bahwa dua kapal besar tersebut  adalaah de Leeuw dan de Leewin. Masing-masing dari kedua kapal itu dipimpin oleh  Frederick dan Cornelis de Houtman. Tujuan mereka ke tanah Aceh adalah untuk membeli  rempah-rempah, yaitu lada aceh yang sudah terkenal di lidah orang Eropa. Awalnya, hubungan pendatang dari Eropa tersebut dengan Kesultanan Aceh baik-baik saja.  Namun, akibat sikap Belanda yang pongah dan adanya provokasi dari bangsa Portugis, situasi  memanas. Terjadilah pertempuran di atas laut, Sultan Alauddin memerintah Malahayati untuk  menyerbu 2 kapal tadi yang masih ada di Selat Malaka. Terjadilah duel di kapal Cornelis de Houtman. Malahayati bersenjatakan rencong, sedangkan  Cornelis de Houtman menggunakan pedang. Pertarungan sengit terjadi di antara keduanya.  Saat Cornelis de Houtman akan menebaskan pedangnya, Malahayati dengan sigap menikam  dada Cornelis de Houtman dengan rencongnya. Cournelis de Houtman tewas seketika,  sedangkan saudaranya Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Tidak hanya andal dalam bertempur, Malahayati juga pandai berdiplomasi. Hal ini dibuktikan  dari keterlibatan beliau dalam mengurusi masalah internal kerajaan dan bertugas sebagai juru  runding. Setelah peristiwa penikaman Cornelis de Houtman oleh Malahayati, kapal Belanda yang dipimpin van Cardeen datang pada 21 November 1600. Kapal van Cardeen melakukan  suatu kesalahan. Sebelum mereka memasuki pelabuhan Aceh, mereka merampas lada milik  kapal pedagang Aceh. Akibatnya, ketika ada kapal Belanda lagi yang dipimpin Laksamana  Yacob van Neck, Malahayati memerintahkan anak buahnya untuk bersikap tidak ramah  kepada rombongan van Neck. Untuk meminta ganti rugi atas dirampasnya kapal dagang  Aceh, Sultan Aceh meminta untuk menawan semua kapal yang berlabuh di pelabuhan Aceh. Pada 23 Agustus 1601 kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens  Bicker tiba di Pelabuhan Aceh. Kapal tersebut sengaja datang atas perintah Pangeran Maurits  untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Aceh. Keduanya mendapat perintah untuk  menyampaikan surat dan hadiah kepada Sultan Aceh. Sebelum surat tersebut disampaikan kepada Sultan Aceh, Malahayati dengan Laksamana  Laurens Becker serta Komisaris Gerard de Roy melakukan perundingan. Dari perundingan  tersebut, membuahkan hasil berupa terwujudnya perdamaian antara Aceh dan Belanda.  Sebagai imbalan dari dibebaskannya Frederick de Houtman dari tahanan, Belanda harus  membayar kerugian kepada kapal-kapal Aceh yang dirampas oleh van Cardeen. Akibat  kepandaian diplomasi Malahayati, Belanda memberikan hukuman denda kepada van Cardeen  untuk membayar 50.000 gulden kepada Aceh. Setelah denda dibayarkan, Belanda kembali  diperbolehkan berdagang di Aceh.

Malahayati bisa jadi tidak seterkenal Cut Nyak Dien, Kartini dan sebagainya. Namun semua  jasanya tidak bisa dilupakan begitu saja. Usahanya menumpas kapal-kapal penjajah serta  membuat armada Aceh yang kuat hingga disegani negara lain perlu dihargai. Dirinya  membuktikan bahwa perempuan bisa memiliki peran layaknya lelaki, seperti bertempur, hak  untuk mendapat pendidikan, dan berdiplomasi. Pada 6 November 2017 Presiden Joko  Widodo memberikan penghargaan kepada Laksamana Malahayati sebagai Pahlawan  Nasional. Sebagai perempuan, patutnya kita bisa menjadikan Malahayati sebagai suri tauladan. Stigma  yang mucul bahwa perempuan hanya bisa bersolek, manja, dan hanya sebagai pelengkap  kaum pria bisa dirubah jika para perempuan mampu mengejar impiannya. Seperti Malahayati  yang bermimpi ingin menjadi bagian dari militer, perempuan pun juga bisa mengejar  mimpinya.

Malahayati memanglah seorang panglima tempur yang tegas dan tangguh. Kita sebagai  wanita tidak perlu memaksakan diri untuk bisa sekeras Malahayati, namun yang perlu digaris  bawahi adalah bagaimana kita sebagai wanita mampu bersikap tangguh sekaligus lembut dan  bijaksana. Itulah Laksamana Malahayati, Singa Betina dari Aceh. Salah satu pahlawan yang sangat  besar jasanya dalam menumpas penjajah. Pahlawan wanita yang mampu menunjukkan bahwa  emansipasi sudah ada di zaman dahulu. Atas jasanya, nama beliau diabadikan menjadi nama Universitas Malahayati di Bandar Lampung.


DAFTAR PUSTAKA

  • Pewara, A., 1991. Hikayat Malahayati Singa Betina dari Aceh. Surabaya: Karya Anda. Acehprov.go.id. 2021. Laksamana Keumalahayati. [online] [Diakses 5 April  2021].
  • Alfian, I., 2005. Wajah Aceh dalam lintasan sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University  Press.  Raditya, I., 2020. Cornelis de Houtman Tewas dalam Tikaman Rencong Malahayati – Tirto.ID. [online] tirto.id. [Diakses 5 April 2021]