Rahmat Jabaril – Labirin Kampung Milik Dunia
Dari labirin gang sempit di kawasan Dago Pojok, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, warga menyuarakan harapan. Lewat serangkaian kreativitas, Rahmat Jabaril ikut menghidupkan harapan itu.
OLEH CORNELIUS HELMY
Pagi itu, Jabaril kedatangan tamu yang tiba bersama hujan gerimis. Tujuh peserta dari Diakonie Hamburg, lembaga kesejahteraan sosial masyarakat di Jerman, ingin tahu lebih banyak tentang Kampung Dago Pojok yang dirintis Jabaril bersama warga.
Satu per satu tempat didatangi. Dinding rumah warga di Gang Mama Adi selebar 2 meter yang penuh instalasi karya; Rumah produksi batik fraktal yang dimotori 20 ibu-ibu rumah tangga; hingga gerak pesilat anak-anak yang tetap bertenaga meski berlaga di lahan kosong di impit rumah tembok.
Pertanyaan dalam bahasa Jerman pun dilontarkan salah seorang. Di depannya, lukisan berukuran 1 meter x 1,8 meter dengan dominasi warna hijau membuatnya penasaran.
“Judul lukisannya adalah ‘Janda’. Bersama warga kami ingin menarik perhatian semua pihak terhadap masa depan para janda. Di kampung ini banyak janda yang membanting tulang mempertahankan hidup,” kata Jabaril menerangkan dibantu penerjemah.
Menghidupkan
Tinggal mengontrak rumah sejak 12 tahun lalu, Jabaril mengatakan energi warga Dago Pojok membuatnya bangga. Mereka punya semangat besar menyelamatkan segala sendi kehidupan kampung di Kawasan Bandung Utara (KBU) itu. Bukan sekadar menjaga lingkungan, namun ikut menjaga api kreativitas tetap menyala.
“Sebagai kawasan penyangga kelestarian lingkungan cekungan Bandung, kondisi KBU masih jauh dari ideal. Bukan hanya kerusakan lingkungan yang harus diselamatkan, namun budaya dan kearifan lokal yang rentan hilang digerus pembangunan kota,” ujar Jabaril.
Jabaril tidak langsung diterima warga. Pendampingan beragam kegiatan yang dirintis, seperti kursus bahasa Inggris dan bahas Jerman, teater, serta sastra, sempat dicurigai erat dengan penyebaran ideologi tertentu. Latar belakangnya sebagai aktivis, membuat Jabaril didatangi aparat keamanan. Kegiatannya juga sempat dianggap sekadar mencari uang.
“Pernah salah seorang anak yang sedang belajar diseret pulang. Ayahnya khawatir harus mengeluarkan biaya bila terus belajar bersama saya,” ujarnya.
Jabaril tidak ingin menyerah. Ia yakin ada potensi besar dari kampung yang dikenal sebagai tempat tinggal pekerja bangunan di Bandung saat zaman Belanda itu.
“Sejak lama mereka sangat kreatif. Tanpa campur tangan warga Dago Pojok zaman dulu, mungkin tidak akan pernah ada Pembangkit Listrik Dago dan Gedung Sate,” katanya.
Penolakan dibalas dengan pendekatan hati ke hati. Ia rajin menguraikan maksud kehadirannya. Saat bersamaan, warga diberi ruang mengembangkan keinginan dan potensinya.
Salah satunya, ketika warga ingin menggelar lomba karaoke. Lomba itu marak dilakukan pada awal 2000-an. Jabaril ikut membantunya. Ia membawa nama besar Harry Roesli, seniman berpengaruh di Bandung.
“Kang Harry mau membantu lewat hadiah piala. Mungkin pialanya biasa, tetapi kalau dari Harry Roesli jadi luar biasa,” kata Jabaril.
Perlahan Jabaril diterima. Sedikit riak penolakan justri dihalau warga yang terlanjur mencintainya. Beragam kursus gratis semakin diminati. Hingga akhirnya, salah seorang warga meminta Jabaril membuat pusat kegiatan belajar dan mengajar bagi warga berpendidikan rendah.
Jabaril ngotot memperjuangkan keinginan itu. Butuh waktu dua tahun. Bahkan ia menggadaikan harta benda yang dimilikinya untuk mempersiapkan perizinan dan biaya operasionalnya sebelum akhirnya “Rumah Kreatif Taboo” membuka kelas pertamanya pada 2009. Ruang kelas pertamanya berada di jalan sempit di Gang Mama Adi.
“Taboo bisa diartikan sebagai larangan. Disini menjadi tempat bagi mereka yang ‘dilarang’ mendapat pendidikan untuk belajar apa saja. Sudah ada lima angkatan atau sekitar 200 orang lulus dari sini,” katanya.
Meski belajar di gang sempit, Jabaril meyakinkan alumni Taboo bukan lulusan sembarangan. Beberapa guru sekolah formal diajak membantu mengajar. Anak jalanan yang pandai mengolah sampah, seniman, hingga profesor dari berbagai disiplin ilmu pun singgah dan berbagi keahlian.
Rizal Herdiawan (20), salah seorang siswa yang mendapat manfaat dari program Paket C di Taboo pada 2013. Tidak ada biaya, ia putus sekolah saat menginjak kelas II SMA. “Saat ada tawaran, saya langsung ikut sekolah karena gratis,” katanya.
Sekarang hidupnya lebih baik. Sejak lulus setahun yang lalu, ia bekerja di salah satu toko baju di Bandung. Jabatannya sebagai senior counter memberikan penghasilan hingga lebih dari dua kali lipat ketimbang sebelumnya.
“Kalau tidak ada semangat dari Kang Rahmat Jabaril, saya tidak tahu jadi apa,” ujarnya.
Milik dunia
Menjelang sore, gerimis masih menemani Nanang Suhara (34) memainkan pisau raut pada sebongkah kayu di sudut Gang Mama Adi. Jempolnya seperti kemudi pisau raut menyusuri sketsa wajah satria dalam wayang golek.
“Sejak tiga tahun terakhir, saya bersama ayah, Uu Suhara Kosasih Sunarya, menghidupkan kembali pembuatan wayang golek. Kang Jabaril mendorong kami menghadirkan kembal nyawa wayang golek lewat Festival Kampung Kreatif Dago Pojok,” katanya.
Festival Kampung Kreatif Dago Pojok menjadi salah satu lagi keberpihakan Jabaril terhadap kreativitas warga. Digagas pertama kali pada 2011, festival ini digelar rutin setiap Oktober. Pesertanya dari warga yang menampilkan keahliannya.
Ada Sriatin, pendiri Sanggar Adisti, dengan pertunjukan jaipongannya, Ahmad Mulayana dengan pencak silat aliran si macan tutul. Pendi yang memimpin kesenian celempungan, hingga Akim yang lihai memamerkan musik bambu eksotisnya. Semuanya digelar dan menelusup di antara labirin gang sempit mili warga.
Sebelum festival 2015 itu digelar lagi, Jabaril, warga, dan seniman dari berbagai kota di Indonesia sibuk menyiapkan diri. Menyambut peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, mereka tengah menyiapkan beragam pertunjukan seni dan instalasi dengan tema “Culture of Our Art”. Kampung berlabirin sempit di pucuk Kota Bandung itu akan menjadi tuan rumah beragam kreativitas selama sebulan penuh, mulai 23 April hingga 23 Mei 2015.
“Warga akan menjadi aktor utamanya,” kata Jabaril.
Dari labirin kampung yang saling berimpitan, mereka kini bersuara semakin lantang.
RAHMAT JABARIL
▪ Lahir : Bandung, 17 Agustus 1968
▪ Istri : Ika Ismurdiahwati (45)
▪ Anak :
- Iktia Garsiah (24)
- Tifani Garsiah (20)
- Gibran Ajib Jabaril (18)
Sumber: Kompas.Rabu.21 Januari 2015.Hal.16