Rahmat Jabaril – Labirin Kampung Milik Dunia

Labirin Kampung Milik Dunia. Kompas. 21 Januari 2015.Hal.16

Dari labirin gang sempit di kawasan Dago Pojok, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, warga menyuarakan harapan. Lewat serangkaian kreativitas, Rahmat Jabaril ikut menghidupkan harapan itu.

OLEH CORNELIUS HELMY

Pagi itu, Jabaril kedatangan tamu yang tiba bersama hujan gerimis. Tujuh peserta dari Diakonie Hamburg, lembaga kesejahteraan sosial masyarakat di Jerman, ingin tahu lebih banyak tentang Kampung Dago Pojok yang dirintis Jabaril bersama warga.

Satu per satu tempat didatangi. Dinding rumah warga di Gang Mama Adi selebar 2 meter yang penuh instalasi karya; Rumah produksi batik fraktal yang dimotori 20 ibu-ibu rumah tangga; hingga gerak pesilat anak-anak yang tetap bertenaga meski berlaga di lahan kosong di impit rumah tembok.

Pertanyaan dalam bahasa Jerman pun dilontarkan salah seorang. Di depannya, lukisan berukuran 1 meter x 1,8 meter dengan dominasi warna hijau membuatnya penasaran.

“Judul lukisannya adalah ‘Janda’. Bersama warga kami ingin menarik perhatian semua pihak terhadap masa depan para janda. Di kampung ini banyak janda yang membanting tulang mempertahankan hidup,” kata Jabaril menerangkan dibantu penerjemah.

Menghidupkan

Tinggal mengontrak rumah sejak 12 tahun lalu, Jabaril mengatakan energi warga Dago Pojok membuatnya bangga. Mereka punya semangat besar menyelamatkan segala sendi kehidupan kampung di Kawasan Bandung Utara (KBU) itu. Bukan sekadar menjaga lingkungan, namun ikut menjaga api kreativitas tetap menyala.

“Sebagai kawasan penyangga kelestarian lingkungan cekungan Bandung, kondisi KBU masih jauh dari ideal. Bukan hanya kerusakan lingkungan yang harus diselamatkan, namun budaya dan kearifan lokal yang rentan hilang digerus pembangunan kota,” ujar Jabaril.

Jabaril tidak langsung diterima warga. Pendampingan beragam kegiatan yang dirintis, seperti kursus bahasa Inggris dan bahas Jerman, teater, serta sastra, sempat dicurigai erat dengan penyebaran ideologi tertentu. Latar belakangnya sebagai aktivis, membuat Jabaril didatangi aparat keamanan. Kegiatannya juga sempat dianggap sekadar mencari uang.

“Pernah salah seorang anak yang sedang belajar diseret pulang. Ayahnya khawatir harus mengeluarkan biaya bila terus belajar bersama saya,” ujarnya.

Jabaril tidak ingin menyerah. Ia yakin ada potensi besar dari kampung yang dikenal sebagai tempat tinggal pekerja bangunan di Bandung saat zaman Belanda itu.

“Sejak lama mereka sangat kreatif. Tanpa campur tangan warga Dago Pojok zaman dulu, mungkin tidak akan pernah ada Pembangkit Listrik Dago dan Gedung Sate,” katanya.

Penolakan dibalas dengan pendekatan hati ke hati. Ia rajin menguraikan maksud kehadirannya. Saat bersamaan, warga diberi ruang mengembangkan keinginan dan potensinya.

Salah satunya, ketika warga ingin menggelar lomba karaoke. Lomba itu marak dilakukan pada awal 2000-an. Jabaril ikut membantunya. Ia membawa nama besar Harry Roesli, seniman berpengaruh di Bandung.

“Kang Harry mau membantu lewat hadiah piala. Mungkin pialanya biasa, tetapi kalau dari Harry Roesli jadi luar biasa,” kata Jabaril.

Perlahan Jabaril diterima. Sedikit riak penolakan justri dihalau warga yang terlanjur mencintainya. Beragam kursus gratis semakin diminati. Hingga akhirnya, salah seorang warga meminta Jabaril membuat pusat kegiatan belajar dan mengajar bagi warga berpendidikan rendah.

Jabaril ngotot memperjuangkan keinginan itu. Butuh waktu dua tahun. Bahkan ia menggadaikan harta benda yang dimilikinya untuk mempersiapkan perizinan dan biaya operasionalnya sebelum akhirnya “Rumah Kreatif Taboo” membuka kelas pertamanya pada 2009. Ruang kelas pertamanya berada di jalan sempit di Gang Mama Adi.

“Taboo bisa diartikan sebagai larangan. Disini menjadi tempat bagi mereka yang ‘dilarang’ mendapat pendidikan untuk belajar apa saja. Sudah ada lima angkatan atau sekitar 200 orang lulus dari sini,” katanya.

Meski belajar di gang sempit, Jabaril meyakinkan alumni Taboo bukan lulusan sembarangan. Beberapa guru sekolah formal diajak membantu mengajar. Anak jalanan yang pandai mengolah sampah, seniman, hingga profesor dari berbagai disiplin ilmu pun singgah dan berbagi keahlian.

Rizal Herdiawan (20), salah seorang siswa yang mendapat manfaat dari program Paket C di Taboo pada 2013. Tidak ada biaya, ia putus sekolah saat menginjak kelas II SMA. “Saat ada tawaran, saya langsung ikut sekolah karena gratis,” katanya.

Sekarang hidupnya lebih baik. Sejak lulus setahun yang lalu, ia bekerja di salah satu toko baju di Bandung. Jabatannya sebagai senior counter memberikan penghasilan hingga lebih dari dua kali lipat ketimbang sebelumnya.

“Kalau tidak ada semangat dari Kang Rahmat Jabaril, saya tidak tahu jadi apa,” ujarnya.

Milik dunia

Menjelang sore, gerimis masih menemani Nanang Suhara (34) memainkan pisau raut pada sebongkah kayu di sudut Gang Mama Adi. Jempolnya seperti kemudi pisau raut menyusuri sketsa wajah satria dalam wayang golek.

“Sejak tiga tahun terakhir, saya bersama ayah, Uu Suhara Kosasih Sunarya, menghidupkan kembali pembuatan wayang golek. Kang Jabaril mendorong kami menghadirkan kembal nyawa wayang golek lewat Festival Kampung Kreatif Dago Pojok,” katanya.

Festival Kampung Kreatif Dago Pojok menjadi salah satu lagi keberpihakan Jabaril terhadap kreativitas warga. Digagas pertama kali pada 2011, festival ini digelar rutin setiap Oktober. Pesertanya dari warga yang menampilkan keahliannya.

Ada Sriatin, pendiri Sanggar Adisti, dengan pertunjukan jaipongannya, Ahmad Mulayana dengan pencak silat aliran si macan tutul. Pendi yang memimpin kesenian celempungan, hingga Akim yang lihai memamerkan musik bambu eksotisnya. Semuanya digelar dan menelusup di antara labirin gang sempit mili warga.

Sebelum festival 2015 itu digelar lagi, Jabaril, warga, dan seniman dari berbagai kota di Indonesia sibuk menyiapkan diri. Menyambut peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, mereka tengah menyiapkan beragam pertunjukan seni dan instalasi dengan tema “Culture of Our Art”. Kampung berlabirin sempit di pucuk Kota Bandung itu akan menjadi tuan rumah beragam kreativitas selama sebulan penuh, mulai 23 April hingga 23 Mei 2015.

“Warga akan menjadi aktor utamanya,” kata Jabaril.

Dari labirin kampung yang saling berimpitan, mereka kini bersuara semakin lantang.

RAHMAT JABARIL

Lahir    : Bandung, 17 Agustus 1968

Istri      : Ika Ismurdiahwati (45)

Anak    :

  • Iktia Garsiah (24)
  • Tifani Garsiah (20)
  • Gibran Ajib Jabaril (18)

Sumber: Kompas.Rabu.21 Januari 2015.Hal.16

Veronika Anu – Semangat Menjadi “Tuan” di Negeri Sendiri

Semangat Menjadi Tuan di Negeri Sendiri. Kompas. 26 Januari 2015.Hal.16

Cita-cita menjadi “tuan” di negeri leluhur betul dihayati Veronika Anu (53). Memulai usaha dibidang suvenir dan pusat kerajinan Bajawa, Ngada, Nusa Tenggara Timur, kini perempuan asli Langa, Ngada, ini mengembangkan usaha di bidang perhotelan, butik, kebutuhan bahan pokok, sepatu, dan tas. Kesuksesan berawal ketika Veronika menuruti selera turis asing yang suka dengan benda-benda unik dari pulau Flores dan Nusa Tenggara Timur umunya.

OLEH KORNELIS KEWA AMA

Dia harus bersaing dengan pengusaha-pengusaha lain yang sudah sukses di sejumlah bidang usaha. Pengusaha itu, katanya, harus sangat pandai membaca peluang dan mampu menjalin hubungan kerja sama dengan penguasa (birokrat) setempat. Berkat keuletan, kesabaran, dan kerja keras, Veronika akhirnya mampu tampil sebagai salah satu putra asli Ngada yang tidak dianggap enteng.

Ketika ditemui di toko Bintang Art Shop di Bajawa, Kamis (15/1), Veronika begitu sibuk mengawasi karyawan dan sekaligus melayani konsumen. Toko suvenir dan pusat kerajinan tradisional yang dibangun tahun 1986 itu berdekatan dengan tiga toko lain yang menjual bahan pokok, butik, pakaian tradisional, serta sepatu dan tas.

“untuk hotel Bintang Wisata I dan Bintang Wisata II, di dalam kota Bajawa saya serahkan kepada anak pertama dan kedua yang kelola. Hotel Bintang Wisata III di Riung, pusat obyek wisata Ngada, sekitar 50 km dari Bajawa, pun dikelola anak ketiga. Tetapi,saya tetap mengawasi kegiatan mereka,” kata Veronika.

Ketika suami tercinta, Hermanus Bhiku, meninggal pada tahun 2012 karena serangan jantung, Veronika menjadi orangtua tunggal. Dia tetap fokus pada usaha yang telah dirintis bersama suami, selain merawat anak-anaknya yang ketika itu masiih duduk di bangku Sd dan SMP. Terkadang ia putus asa ketika menghadapai persoalan, tetapi ia tetap ingin menjadi “tuan” di atas tanah leluhur sendiri.

Semangat itu pula ingin ditularkan kepada anak-anaknya. Karena itu, sejak dini mereka diajari bekerja keras dan mandiri dengan fasilitas yang tersedia. Di tengah perjuangan itu, anak menjadi satu-satunya hiburan di kala suka dan duka.

Ia mengaku, penghasilan terbesar tetap diperoleh dari toko suvenir Bajawa karena barang-barang yang tersedia sangat diminati turis asing, dan merupakan satu-satunya toko kerajinan tradisional di Bajawa. Sebelumnya, tahun 1985, ia bersama suami ingin fokus pada bahan kebutuhan pokok. Tahun berikutnya, ketika pengusaha yang terjun dibidang bahan pokok membeludak, keduanya mencoba merambah ke usaha kerajinan tradisional.

Modal awal berupa pinjaman dari BRI Ngada senilai Rp 5 juta untuk menyewa tempat jualan dan mengadakan produk-produk kerajinan lokal. Ia mulai menjual tenun ikat khas Ngada, Ende, Manggarai, Sikka, dan Flores Timur. Atas usulan turis-turis asing yang berkunjung, akhirnya semua kain tradisional di NTT, seperti Rote Ndao, Sumba, Sabu, dan Timor, pun dipajang di toko itu.

“Saya datangi setiap kabupaten di NTT untuk berbelanja sarung tenun ikat tersebut, termasuk barang-barang antic, peninggalan nenek moyang di daerah itu. Tetapi, sebagian kain tenunan NTT ini diantar pedagang ke toko ini. Kain tenun ikat ini dijual dengan harga Rp 75.000 per lembar sampai dengan Rp 1,2 juta per lembar. Satu setel pakaian adat Bajawa untuk pria dan wanita dijual dengan harga Rp 1,5 juta,” katanya.

Kain tenunan Sumba cukup banyak diminati. Menurut turis asing, jika sudah mendapatkan tenunan Sumba, Timor, dan Sabu di Flores, mengapa harus pergi ke daerah itu. Lagi pula, turis-turis itu lebih suka dengan alam Flores, yang dinilai masiih sangat =asli dan eksotis.

Selain tenun ikat, turis asing juga menginginkan agar barang antic itu memiliki makna adat, sejarah atau legendanya. Seperti Wuli di Ngada, yang hanya dikenakan saat seseorang dinilai mati secara tak wajar. Wuli berupa kalung dari leong laut sebesar gengganam tangan bayi, yang dirangkai teratur melalui seutas tali panjang sekitar 50 cm, kemudian dikalungkan dileher dari anggota keluarag yang berduka. Mengenakkan Wuli sebagai simbol agar bencana kematian yang tak awjar seperti itu tidak lagi menimpa anggota keluarga itu dikemudian hari.

Toko kerajinan tradisional yang di bangun tahun 1986 itu pun kini menyimpan barang-barang antic. Sebagian benda antic itu sudah lama di simpan, ia pun percaya benda-benda itu memiliki kekuatan khusus, tetapi hanya orang tertentu yang bisa merasakan atau mengalami apabila mampir di toko itu.

Hotel

Tahun 1990, ketika t5uris makin membeludak datang ke Ngada, tetapi jumlah penginapan terbatas, itu inspirasi membuka hotel. Veronica pun berbicara dengan sang suami untuk membangun hotel Bintang Wisata I di dalam kota Bajawa, sekitar 60 meter dari Art Shop miliknya.

Sejak itu, setiap turis asing yang datang langsung ditawarkan tempat penginapan itu yang punya 26 kamar.

Pembukaan hotel di Riung tahun 2010 pun karena Veronika menangkap keluhan turis asing tentang terbatasnya penginapan di obyek wisata 17 gugusan pulai yang indah dan eksotis si Riung. Veronica pun membangun hotel Wisata II di Riung dengan menyediakan 22 kamar. Tiga tahun kemudian, ia memabngun sebuah hotel lagi, hotel Bintang Wisata III di Bokhua, Bajawa.

Bulan Mei-November merupakan musim kunjungan turis asing ke Ngada. Sebagian besar turis ini datang dengan rombongan sehingga membutuhkakn penginapan dan fasilitas pendukung lain dalam jumlah yang memadai.

Pada saat itu, kain sarung yang dipesan sejumlah kabupaten di NTT yang berjumlah 100-300 lembar bisa habis terjual dalam 2-5 hari. Jumlah kain sebanyak itu baru habis terjual dalam 3 bulan.

“ saya menyebuu barang antic dan pakaian tenun ikat ini milik turis asing, sedangkan warga lokal lebih tertarik pada sandal, sepatu, tas, pakaian, dan bahan pokok. Namun, jasa turis asinglah yang paling banyak dalam mengembangkan usaha ini. Saya promosi melalui internet, tetapi kalau singgah di Bajawa, mereka selalu mampir belanja di toko ini,” kata Veronika.

Sumber : Kompas, Senin 26 Januari 2015

Ubah Kebiasaan Ibu Ngrumpi jadi Gemar Baca Buku

Ubah Kebiasaan Ibu Ngrumpi jadi Gemar Baca Buku. Surya. 19 Januari 2015.Hal.14

 

Berbagi itu indah, itulah prinsip yang dianut oleh Ida Noersanti, seorang ibu rumah tangga asal Kabupaten Jember, Jawa Timur, yang terpilih bersama 12 inspiratif woman yang dianugrahi Tabloid Nova, tabloid perempuan dari Kelompok Kompas Gramedia.

PEREMPUAN yang tinggal di Cluster Bintaro Perumahan Puri Bunga Nirwana Kelurahan Karangrejo Kecamatan Sumbersari tersebut terpilih untuk kategori Sosial dan Budaya.

Saat Surya mengunjungi Ida di rumahnya, prinsip Berbagi itu indah, tergambar dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan sekitarnya.

Ida menjadi penggerak perubahan di lingkungannya, mulai hal-hal terkecil, misalnya merubah kebiasaan ibu-ibu ngerumpi dengan membaca di perpustakaan kecil di rumah Ida. Selain itu mengajarkan cara mengatur keuangan.

Ida memang memiliki seabrek kegiatan. Bukan kegiatan berupa pekerjaan profesional, namun sosial yang ‘jam kerjanya’ melebihi jam kerja formal.

Selain menyediakan perpustakaan mini, di pagi hari, teras rumah Ida juga menjadi kantor Koperasi Sekar Nirwana. Koperasi yang secara resmi disebut koperasi bulan Juli 2014, setelah sejak tahun 2011 hanya menjadi Pra-Koperasi.

Alumni Fakultas Sastra Universitas Jember itu memulai hari di sore hari dengan memberikan les kepada anak dari perkampungan sekitar yang jumlahnya sekita 20 orang. Ida tidak menetapkan tarif.

 

Bank Sampah

Di bidang lingkungan, Ida bersama warga rutin setiap Rabu dan Sabtu mengelola sampah. Lantaran di belakang perumahan bertumpuk sampah yang menebarkan bau tak sedap.

Ida mengelola sampah terwujud ketika datang sekelompok mahasiswa yang KKN di perumahan itu. Ia meminta bantuan kepada para mahasiswa itu untuk membantunya mengelola sampah.

Walhasil bergabunglah para warga dan mahasiswa. Gerakan pengelolaan sampah dimulai. Sampah basah diolah menjadi pupuk, sedangkan sampah kering dijadikan aneka kerajinan.

“Awalnya sampah kering disimpan untuk kemudian dijual saja. Salah satu hasil penjualannya bisa dibelikan alat jahit ini,” kata Ida sambil menunjuk sebuah mesin jahit di pojokan teras rumahnya.

Ida menajadi ‘manajer’ bagi para warga untuk mengelola sampah. Karena pengelolaan sampah tidak bisa hanya dilakukan seorang diri atau hanya segelintir orang. Semua warga, kata Ida, harus digerakkan.

Lalu bagaimana Ida membagi waktu untuk keluarganya di tengah kesibukan sosialnya itu. Ternyata Ida memberi keistimewaan bagi suami dan anaknya yang harus ia utamakan.

Hal itu bisa dilihat tetap adanya ruang ‘khusus’ untuk keluarga tanpa keluarga harus terganggu dengan hiruk pikuk di teras rumahnya. Ida juga menyediakan waktu khusus bagi keluarga. Ia juga tidak mau memiliki pembantu. (sri wahyunik)

 

UC Lib-Collect

Surya.19 Januari 2015.Hal.14

Kardinal Julius Darmaatmadja S.J – Sang Penjaga Kerukunan dari Muntilan

Sang Penjaga Kerukunan dari Muntilan. Kompas. 17 Januari 2015. Hal.16

Bocah lourdes Callista (8) tampil di panggung kecil meniup suling dan menyanyikan tembang “Selendang Sutra”. Ia berduet bersama ayahnya, Didik SSS, yang memainkan saksofon. Di pengunjung lagu, murid Sekolah Dasar Santo Vincentius itu mengucapkan, “Selamat ulang tahun, Eyang Kardinal.” Sapaan itu begitu hangat, akrab, dan tulus.

OLEH HERLAMBANG JALUARDI / IMAM PRIHADIYOKO

Ucapan itu ditujukan kepada Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, pemuka umat Katolik yang memperingati hari jadinya ke-80 pada Sabtu (10/1) di Bentara Budaya Jakarta. Ia berpesan agar umat selalu memuliakan Tuhan dengan cara memuliakan sesama manusia.

Setelah keduanya pentas, Kardinal Julius menyongsong mereka, menyalami dan mencium pipi Callista. Didik tidak menduga penyambutan salah seorang tokoh pemuka lintas agama itu. “Itu mengharukan sekali,” kata Didik.

Rupanya, keluarga Didik tidak asing bagi Kardinal Julius. Dalam sambutannya di pengujung acara, Kardinal menjelaskan kepada tetamu yang hadir bahwa Didik pernah meminta didoakan agar dapat keturunan setelah tujuh tahun berumah tangga.

Acara peringatan ulang tahun itu juga dibarengi dengan peluncuran tiga seri buku biografi Kardinal Julius bertajuk Sang Abdi, yang dikeluarkan Penerbit Obor. Ada tiga buku didalamnya, yaitu Terlahir untuk Mengabdi, Di Mata Para Sahabat, dan Alam Pikiran dan Kharisma.

Di usia senja saat ini, Kardinal Julius mengaku sehat. Ia bisa makan apa saja, tanpa ada pantangan apa pun dari dokternya. “Asal makannya dengan bijaksana,” katanya yang juga sesekali masih menikmati musik langgam jawa dan musik klasik kegemarannya.

Ditemui di Keuskupan Agung Jakarta, Selasa (13/1), Kardinal menceritakan proses penulisan buku ituyang dimulai sejak lima tahun lalu. “Saya juga belum selesai baca semuanya. Apalagi buku yang terakhir karena selesai paling belakangan,” ujarnya, yang terlahir prematur pada 20 Desember 1934, bernama lahir Riyadi ini.

Ia bersdia kisah hidup dan kegelisahannya dituliskan menjadi buku, untuk mengabdikan jejak pengabdiannya kepada umat Katolik, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Kardinal Julius bercermin pada pendahulunya. Kardinal Justinus Darmojoewono yang tidak sempat memiliki biografi.

“Sekarang mumpung saya masih hidup, saya bisa membantu menyumbangkan sumber tulisan,” ujarnya yang mengenakan jubah pastor pertama kali di Novisiat Santo Stanislaus Kostka, Novisiat Serikat Jesuit di Girisonta, Kabupaten Semarang, pada 1957 ini.

Awalnya ia terpikir untuk menuliskan sendiri kisah hidupnya itu. Namun, ia merasa gamang karena dituntut obyektif pada kekurangan dan kelebihannya. “Saya juga merasa tidak punya bakat menulis. Makin dipikir biasanya makin macet (proses penulisannya). Kalau saya tulis sendiri bisa sampai 10 tahun ndak selesai,” katanya diiukuti tawa.

Seperti yang tertulis di buku Terlahir untuk Mengabdi, Julius remaja dikenal serba bisa. Ia aktif dalam berbagai kegiatan di Seminari Code, Yogyakarta, dan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Ia adalah bek yang tangguh dalam tim sepak bola. Ia selalu terpilih dalam tim inti bola voli, dan jago bermain bulu tangkis. Di bidang seni, Julius piawai memainkan trompet, dan giat tampil dalam kesenian tonil setiap Natal. Ia juga pemangkas rambut yang andal.

Julius adalah putra bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Joachim Djasman Darmaatmadja dan Maria Siti Soepartimah. Meski paling bontot, ia berjiwa pemimpin dengan wibawa yang terpancar. Selama menempuh pendidikan di Seminari pada 1951-1957, ia berulang kali dipercaya sebagai bidel, atau pemimpin, baik di kelas maupun asrama.

Pesan untuk bangsa

Selama berbincang dengan Kompas hampir dua jam, Kardinal Julius banyak membagi harapan dan kegelisahannya. Ia menjelaskan bahwa perannya sebagai seorang Kardinal sebagai penasihat Paus.

“Saya hanya sebagai penerus Kardinal sebelumnya, yaitu Kardinal Justinus Darmojoewono yang wafat pada 1994,” ujar Julius yang ditunjuk langsung oleh Paus Yohanes Paulus II pada 26 November 1994. Seperti Kardinal lainnya, ia berhak mendapat “istana” di Vatikan, yaitu di Basilika Santa Cuore di Maria. Jabatan itu ia sandang saat bertugas sebagai Uskup Agung Semarang, posisi yang sebelumnya juga ditempati Kardinal Justinus Darmojoewono.

Dari pendahulunya itu, Julius melanjutkan langkah yang diambil Kardinal Justinus, yaitu mengembangkan Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, dan Komisi Pendidikan. Dari dua komisi itu terlihat bahwa Gereja memiliki peran untuk membangun masyarakat melalui aspek ekonomi dan pendidikan. Satu hal lain yan ia anggap penting adalah aspek kesehatan.

Umat Katolik, pesan Julius, harus bisa “bergaul” di masyarakat sekitarnya, tanpa memandang perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikannya. Umat beragama manapun harus saling membantu siapapun yang kesulitan tanpa memandang perbedaan agama.

“Agama menginginkan partisipasi semua pihak untuk mendukung pembangunan manusia. Institusi pendidikan memegang peranan besar. Namun, yang terjadi sekarang pada bimbingan konseling di sekolah lebih banyak mengarahkan siswa perihal karier, bukan membahas soal perilaku baik,” kata Julius yang mengenyam pendidikan filsafat di Kolese de Nobili, di Poona, India, pada 1961 ini.

Hidup beragama itu, hidup dalam persaudaraan yang menjadi dasar dalam kerukunan antar umat bergama. Ia bersahabat baik dengan tokoh agama, seperti KH Hasyim Muzadi, Buya Ahmad Syafii Maarif, Pendeta Andreas Yewangsoe, dan Biksu Sri Pannaaro Mahathera. Julius, yang pensiun sebagai Uskup Agung Jakarta pada Juni 2010 ini, mengharapkan kerukunan itu bisa menjadi contoh bagi golongan yang lebih muda.

Pada masa sekarang ini, Julius merisaukan bahwa agama ditampilkan lewat pemujaan yang berlebih pada simnol keagamaan, tata upacara, dan ibadah. “Hal itu penting. Namun, inti agama bukan di situ (simbolisasi), melainkan disini,” katanya sembari menunjuk dadanya.

 

KARDINAL JULIUS DARMAATMADJA SJ

Lahir      : Muntilan, Jawa Tengah, 20 Desember 1934

Ayah     : Joachim Djasman Darmaatmadja

Ibu         : Maria Siti Soepartimah

Kakak   : Stephanus Sudigdo, Felicianus Priharto, Catharina Soelaksmi, Juliana Matutina Nurani Ambarichtiar, Caecilia Subijati Ambaristiti

Pendidikan :

  • SMP Kanisius Muntilan (1951)
  • Seminari Menengah di Code, Yogyakarta (1952)
  • Seminari Menengah St Petrus Kanisius, Metroyudan, Magelang (1957)
  • Studi Filsafat di Kolese de Nobili, Poona, India (1964)
  • Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi, Kentungan, Yogyakarta (1970)

Sebagai Jejak Karya

  • Pastor Paroki Marganingsih, Kalasan, Sleman, Yogyakarta (1971)
  • Rektor Seminari Menengah St Petrus Kanisius (1981)
  • Provinsial Serikat Yesus Provinsi Indonesia, Anggota Dewan Penasihat Keuskupan Agung Semarang (1983)
  • 19 Februari 1983 ditunjuk sebagai Uskup Agung Semarang oleh Paus Yohanes Paulus II
  • 25 Juni 1984 ditunjuk sebagai Uskup Ordinat Militer Indonesia
  • Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan, Majelis Agung Waligereja Indonesia (1985-1988)
  • Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) (1988-1997)
  • 27 Oktober 1994 diangkat sebagai Kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II
  • 26 November 1994 dilantik sebagai Kardinal di Basilika Santo Petrus, Vatikan
  • 29 Juni 1996 menjadi Uskup Agung Jakarta
  • Anggota Kongregasi Evangelisasi Bangsa-bangsa (1994)
  • 2003 Ketua Delegasi Indonesia dalam audiensi para tokoh pemuka agama dengan Paus Yohanes Paulus II (2003)
  • 2003 Anggota Dewan Kepausan untuk Budaya
  • 18-19 April 2005 menghadiri konklaf yang memilih Paus Benediktus XVI
  • 28 Juni 2010 pensiun sebagai Uskup Agung Jakarta

 

Sumber: Kompas.Sabtu.17 Januari 2015.Hal 16

Livi Zheng – Petarung di Hollywood

Petarung Hollywood. Kompas 9 Januari 2014.Hal.16

Baru pertama kali berjumpa dan berhadapan dengan Livi Zheng, yang lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 3 April 1989, seperti berhadapan dengan kawan lama. Kelincahannya bertutur disertai pasnya gestur membuat wawancara menjadi seperti obrolan sehari-hari. Cair.

OLEH WISNU NUSGROHO

                 Karena itu, dua jam ngobrol di sebuah kafe di jantung Jakarta yang padat, Rabu (7/1) siang, berlalu tanpa jeda. Lantaran asyiknya, makanan dan minuman yang kami pesan baru benar-benar tersentuh di akhir pertemuan. Pertemuan harus diakhiri karena pertemuan lain Livi sudah terjadwal.

“Setelah ini, saya bertemu Harris Lesmana dari jaringan XXI terkait distribusi film di Indonesia. Sebelumnya, saya bertemu Lukman Sardi dan Wulan Gurtino. Saya bertemu sebanyak mungkin orang terkait dunia perfilman di Indonesia,” ujar Livi.

Livi bercerita, dirinya pulang ke Indonesia dari Amerika Serikat (AS) sekaligus hendak mewujudkan mimpi-mimpi berikutnya. Tempat-tempat indah di Tanah Air yang dia cintai selalu menggodanya sebagai sutradara film di Hollywood. “Bromo selalu ada dalam bayangan saya,” ujar gadis yang ceplas-ceplosnya khas Jawa Timur itu.

Mimpi tersebut hendak diwujudkannya setelah debut filmnya sebagai sutradara berjudul Brush With Danger yang akhir 2014 lalu tayang serentak di AS mendapat sambutan luas. Premiere film ini dihadiri banyak tamu penting Hollywood, termasuk Gubernur Academy of Motion Pictures and Arts (Oscar) Don Hall.

Tidak hanya itu, film Brush With Danger yang dibintangi Livi bersama adiknya Ken Zheng, Nikita Breznikov, Norman Newkirk, Michael Blend, dan Stephanie Hilbert ini masuk daftar layak pilih untuk Academy Award ke-87 (Oscar 2015) bersama puluhan film lain, seperti Interstellar, The Hobbit: The Battle of Five Armies, dan Transformers: Age of Extinction.

“Ada di daftar Oscar untuk film pertama yang saya sutradarai membuka banyak pintu bahkan ketika belum saya ketuk. Setiap tahun ada sekitar 50.000 judul film dan kami ada di daftar terpilih itu,” ujar Livi bengong.

Setelah daftar itu tersiar di www.oscar.org, film yang dibuat di Seattle dan Los Angeles ini diminati di banyak pasar. “Thailand sudah deal untuk 40 provinsi dan tayang pertengahan 2015. Jepang dalam proses negosiasi,” ujar Livi yang bersiap ke Beijing untuk pembuatan film berikutnya.

Selain hendak memahami industri perfilman di Indonesia, di Tanah Air yang dia cintai, Livi mengambil beberapa adegan untuk film ketiganya. Pembuatan film kedua telah selesai dan masuk post production dengan genre action thriller.

Ditanya tentang film Indonesia yang dikenangya, Livi langsung menyebut Ada Apa Dengan Cinta?. “Saya tonton film itu di sekolah bersama teman-teman saat SMP di Pelita Harapan,” ujar Livi tersenyum. Livi juga menyebut film Laskar Pelangi.

Asia, perempuan, dan muda

Meskipun kini berkiprah di pusat industri perfilman dunia di Hollywood sebagai sutradara di usia muda, ternyata bukan perkara mudah bagi Livi pada awalnya. Mengawali karier di Hollywood sebagai stunt person bersertifikat dan produser, saat hendak menjadi sutradara, Livi dihadapkan pada tiga hal yang membuat pelaku industri di Hollywood mengerutkan dahi : Asia, perempuan, dan muda.

Kerutan dahi itu dihadapi Livi dengan keyakinan dan kegigihan seperti dia praktikkan dalam seni bela diri yang diajarkan ayahnya dan dicintainya sejak kecil. Karena kecintaannya pada bela diri ini, Livi berangkat ke Beijing pada usia 15 tahun bersama Ken yang berusia 9 tahun dan berlatih di Shi Cha Hai Sports School. “ Bintang laga Jet Li dulu juga berlatih di Shi Cha Hai Sports School,” kata Livi.

Tinggal di apartemen bersama adiknya, ia sekolah SMA di Western Academy of Beijing. Hidup terpisah dari orangtua megajarkan kemandirian dan disiplin ketat. Livi juga berusaha mengoptimalkan semua potensi, termasuk bela diri yang dia cintai bersama adiknya yang mengikuti jejaknya.

“Setiap bangun pagi, saya latihan dan lari untuk meningkatkan stamina, lalu sekolah. Pulang sekolah, latihan lagi, baru pulang belajar mengerjakan PR. Di Beijing saya senang karena melakukan hal yang sangat saya gemari, yaitu bela diri. Dukanya, ya,kadang-kadang tidak bisa ikut teman-teman jalan-jalan,” ujarnya.

Selesai SMA di Beijing, Livi ke AS untuk kuliah ekonomi di University of Washington-Seattle. Selesai tiga tahun dengan predikat excellent, Livi masuk International Honors Society in Economics. Sambil kuliah, Livi juga aktif bertanding sebagai atlet wushu, karate, dan taekwondo. Sebagai atlet, ia mendapat lebih dari 26 medali dan trofi untuk pertandingan antar-klub, antarkota, antarnegara bagian, dan tingkat nasional di AS.

“Namun, dari awal passion saya di film. Saat sekolah ekonomi, saya juga mengambil kursus film dan banyak membantu di set/lokasi film. Saya kemudian sadar, karier di film itu enggak bisa part-time. Saya harus memilih, melanjutkan di bidang ekonomi atau ke film. Saya memutuskan film,” ujarnya penuh keyakinan.

Livi lantas mengambil master tentang produksi film di University of Southern California (USC). “Saya pilih USC karena dosen-dosen USC sangat berpengalaman di Hollywood. Fasilitas sekolahnya sangat bagus, menyerupai sistem studio film besar di Hollywood pada umumnya,” katanya.

Livi menyebut, alumni USC yang berkiprah di dunia film antara lain George Lucas, sutradara Star Wars: Robert Zemeckis, sutradara Forest Gump:  dan Brian Grazer, produser yang memenangi Piala Oscar melalui film A Beautiful Mind.

Punya masa depan cerah di Hollywood dan kini tinggal di AS, Livi tidak berniat beralih kewarganegaraan. “Berkarya, berkarier, dan cari uang boleh di AS, tetapi kewarganegaraan saya akan tetap: Indonesia,” ujar Livi yang bangga dengan identitasnya sebagai orang Jawa Timur.

Kecintaannya pada Indonesia dan kebanggaannya pada Jawa Timur tercermin dari kesulitannya lepas dari masakan Indonesia. Rawon adalah salah satunya. Karena itu, ketika ibunya mengunjunginya di AS, beragam bumbu makanan kegemarannya, termasuk rawon, dibawa serta. “Ada stok untuk sebulan yang saya simpan di kulkas,” ucap Livi yang gemar makan.

Karena gemarnya makan dan beberapa bulan terakhir keliling ke banyak negara untuk promosi film, termasuk Indonesia, berat badannya naik drastis. “Ada 13 kilogram naiknya. Ini baru saya turunkan 2 kilogram,” ujarnya santai sambil tertawa.

Namun, ketika mengetahui wawancara akan disertai pemotretan, Livi panik juga mencari cermin di toilet kafe. “Saya tidak sisiran dan tanpa make-up, ha-ha-ha,” katanya.

Seusai di foto, hasil foto ingn segera dia lihat. Livi hendak memastikan penampakan pipinya. Perempuan di mana-mana sama saja.

LIVI ZHENG

▪ Lahir   : Blitar, 3 April 1989

▪ Pendidikan :

  • SMP Pelita Harapan, Banten
  • Western Academy of Beijing
  • Beijing’s Shi Cha Sports School
  • University of Washington-Seattle (Ekonomi)
  • University of Southern California (Produksi Film)

▪ Film    :

  • The Empire’s Throne (Produser, Artis : 2013)
  • Laksamana Cheng Ho (Produser, Stunt, Artis : 2008)
  • Brush With Danger (Sutradara, Produser, Artis : 2014)
  • President of the Asian American Cinema Association

Sumber: Kompas.Jumat.9 Januari 2015.Hal.16

Nurjanah Husein – Pencari Darah untuk Talasemia

Pencari Darah untuk Talasemia. Kompas.28 Januari 2015.Hal.16

Nurjanah Husien (44) tidak malu menemui kerumunan orang di warung kopi guna sosialisasi soal talasemia, penyakit kelainan darah turunan yang ditandai adanya sel darah merah yang abnormal. Ia tak segan berperan layaknya tukang kredit menawarkan barang, mengajak orang-orang menjadi pendonor darah bagi penderita talasemia.

OLEH ADRIAN FAJRIANSYAH

Ia mengoptimalkan latar belakang pendidikan ilmu ekonomi dan pengalaman sebagai manajer pemasaran untuk merayu orang-orang beramal bagi penderita talasemia.

Totalitas Nurjanah menjadi pencari darah untuk penderita talasemia bermula dari sakit iskemik yang diderita almarhumah ibunya, Zainab Saleh, pada 2011. Zainab harus transfusi darah sebanyak 10 kantong ketika dirawat selama 2 bulan di rumah sakit.

Ketika itu, Nurjanah begitu mudah mendapatkan darah untuk ibunya dalam satu hari. Bahkan, ia mendapatkan darah berlebih, bisa 30 kantong sehingga sisanya disumbangkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh.

“Saya beruntung punya banyak kawan baik yang bersedia cepat membantu,” ujar perempuan yang sering disapa Nunu.

Namun, ada temannya yang mengatakan, masih banyak orang yang kesulitan mendapatkan darah sekalipun sudah ke PMI.

Hal itu menggugah hati Nunu. Melalui Yayasan Bumiku Hijau, yayasan lingkungan miliknya yang didirikan pada 24 April 2009, ia mengadakan donor darah massal pada hari jadi yayasan tersebut. Ternyata, banyak orang antusias mendonorkan darah, dan banyak orang butuh darah itu.

Dari situ, Nunu berpikir untuk mengadakan aksi donor darah yang lebih berkelanjutkan. Akhirnya, ia bersama teman-temannya berinisiatif membuat komunitas bernama Darah Untuk Aceh (DUA) pada 24 April 2012.

Komunitas ini bertujuan mencari pendonor darah, mamfasilitasi orang yang ingin mendonorkan darah, dan mendistribusikan darah itu untuk orang yang memerlukan. Hal itu dilakukan bekerjasama dengan PMI Banda Aceh. DUA melakukan itu secara sukarela atau tanpa imbalan sepeser pun.

“Komunitas ini pun saya dedikasikan untuk almarhumah ibu saya yang telah memberikan banyak inspirasi, yakni walaupun hidup sederhana dan terbatas, sebisa mungkin tetap bisa memberikan manfaat bagi orang lain,” ucap perempuan pemiliki rekor 100 kali menyelam ini.

 

Berkenalan dengan talasemia

Awalnya, DUA hanya di proyeksikan mencari darah dan membantu memenuhi kebutuhan darah di Unit Donor Darah PMI Banda Aceh. Pada perkembangannya, Direktur Unit Donor Darah PMI Kota Banda Aceh, saat itu Ridwan Ibrahim, mengarahkan DUA fokus mencari pendonor darah tetap untuk pasien talasemia.

Nunu mengaku antusias meneriman arahan itu. Padahal, ia belum tahu tentang talasemia ketika itu. Namun, karena berniat membantu, Nunu berupaya mengetahui dan memahami talasemia. Ia mencari referensi mengenai talasemia dari internet. Ia pun langsung datang ke Instalasi Sentra Talasemia Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh, satu-satunya rumah sakit yang melayani pengobatan penyakit itu di Aceh. Ia tak segan berdiskusi dengan dokter ataupun kelurga penderita talasemia untuk mengetahui dan memahami talasemia.

Dari situ, Nunu tahu, talasemia adalah penyakit kelainan darah genetik yang tidak bisa disembuhkan. Tubuh penderitanya tidak bisa mempertahankan hemoglobin (Hb) dalam darahnya secara normal. Orang normal memproduksi Hb yang bisa bertahan selama 120 hari, sedangkan orang talasemia memperoduksi Hb yang hanya bertahan sekitar 30 hari.

Umumnya, orang talasemia memiliki Hb di bawah batas normal, yakni kurang dari 12,5. Padahal, Hb adalah pembawa asupan oksigen dan sari pati makanan ke seluruh tubh melalui jaringan pembuluh darah. Akibatnya, orang talasemia cenderung mengalami gangguan tumbuh dan kembang, yakni tubuh kerdil dan kemampuan berpikir di bawah rata-rata.

Orang talasemia harus rutin mendapatkan transfusi darah 1-3 bulan sekali. Orang talasemia yang rutin transfusi darah memiliki peluang hidup rata-rata sekitar 20 tahun, sedangkan yang tidak rutin peluang hidupnya rata-rata 8-10 tahun.

Hati Nunu kian tersentuh seiring kian paham dengan fakta-fakta talasemia itu. Apalagi, talasemia belum ada obatnya hingga sekarang. “Mulai dari situ saya tetapkan hati ingin memfokuskan DUA membantu para penderita talasemia,” tuturnya mengenang.

 

Pendonor baru

Menurut Nunu, talasemia menjadi fenomena gunung es di Aceh. Angka kejadian talasemia baru mencapai 50 orang per tahun di Aceh. Bahkan, berdasarkan data Kementrian Kesehatan 2010, Aceh tercatat sebagai provinsi dengan presentase talasemia tertinggi di Indonesia, yakni 13,8 persen.

“Jumlah penderita talasemia sekitar 250 orang yang terdata melakukan pengobatan rutin di RSUDZA Banda Aceh,” ujar alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banda Aceh 1992 ini.

Pertambahan jumlah kejadian talasemai itu tidak sebanding dengan ketersediaan darahnya. Merujuk data PMI Banda Aceh, kebutuhan akan darah harian mencapai 100 kantong per hari di Banda Aceh, termasuk untuk memenuhi kebutuhan penderita talasemia. Namun, ketersediaan darah yang didapat dari pendonor tetap hanya 60 kantong per hari. “Sisanya keluarga pasien harus berusaha mencari pendonor pengganti,” ucapnya.

Atas dasar itu Nunu, melalui DUA, berupaya mencari pendonor darah tetap yang baru bagi penderita talasemia. Untuk menunjang itu, ia pun membuat program  ten for one thalassemia (sepuluh untuk satu talasemia) pada 24 Juni 2012.

Melalui program itu, DUA mencari 10 pendonor tetap baru untuk mendampingi 1 penderita talasemia. Pendonor baru itu dicari dari orang yang belum pernah menjadi pendonor ataupun di luar data PMI Banda Aceh.

“Sepuluh pendonor baru itu dibagi tiga kelompok dan dihubungi setiap tiga bulan sekali untuk melakukan donor rutin bagi penderita talasemia,” katanya.

Nunu menyampaikan bahwa cara ini ampuh untuk menyediakan darah bagi penderita talasemia secara berkelanjutan 1-3 bulan sekali. Selain itu, cara ini memungkinkan penderita talasemia mendapatkan darah yang sama setiap bulan sehingga tubuhnya mudah beradaptasi.

Mantan manajer pemasaran salah satu perusahaan farmasi swasta nasional ini gencar menyosialisasikan talasemia. Salah satunya lewat Twitter @DarahUntukAceh. Ia pun melakukan sesuatu yang unik ketika bersosialisasi, seperti memberi istilah blooders untuk pendonor darah dan thullers untuk penderita talasemia.

Sedikit demi sedikit upaya Nunu membuahkan hasil. Jumlah pendonor tetap di DUA terus bertambah dari tahun ke tahun, yakni 50 orang pada 2012 menjadi 1000 orang pada 2014. Pendonor tetap tersebut sebagian besar atau lebih dari 50 persen berasal dari kalangan mahasiswa.

Kegiatan yang dilakukan DUA pun mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak, seperti Pendiri Komunitas Menata Keluarga (Emka Land), Melly Kiong. Bahkan, untuk mendukung kegiatan DUA, Melly memberikan sumbangan melalui komunitasnya sebesar Rp 30 juta.

“Upaya DUA mengingatkan masyarakat untuk menghindari pernikahan sesama pembawa gen talasemia adalah salah satu bagian dari menata keluarga Indonesia menjadi lebih baik,” ucap Melly.

Karena kerja-kerjanya, Nunu pernah menjadi finalis Kartini Next Generation Award 2014 oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika. Adapun DUA turut menginspirasi berdirinya Darah Untuk Yogyakarta pada 2012, Darah Untuk Lampung pada 2012, dan Darah Untuk Sumsel (Sumatera Selatan) pada 2013.

NURJANAH HUSIEN

▪ Panggilan         : Nunu

▪ Tempat/tanggal lahir : Lhok Kruet, Aceh Jaya, 24 April 1970

▪ Golongan darah : B+

▪ Pendidikan      :

  • SD Negeri Lhok Kruet 1976-1982
  • SMP Negeri Lhok Kruet 1982-1985
  • SMA Negeri Lamno 1985-1988
  • Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banda Aceh 1988-1992

▪ Keorganisasian :

  • Pendiri Yayasan Bumiku Hijau 2009 hingga sekarang
  • Pendiri Darah Untuk Aceh 2012 hingga sekarang
  • Sukarelawan Earth Hour Indonesia 2012 hingga sekarang

UC Lib-Collect

Kompas.Rabu.28 Januari 2015.Hal.16

Mami Saputra – Pemain Trompet dari Bogor

Pemain Trompet dari Bogor. Kompas. 2 Januari 2015.Hal.12

 

Meski diiming-imingi penghasilan sekitar Rp 5 juta untuk sekali tampil sendiri jika mau hijrah ke Singapura, dia bergeming. Dengan tegas, dia menolak tawaran itu. Dia tetap bertahan di Bogor, walau penghasilannya sekali tampil sekitar Rp 3 juta dibagi 6 orang atau Rp 500.000 per orang.

OLEH FX PUNIMAN

Itulah sikap Mami Saputra (62), pemain trompet senior yang sohor dari Bogor. Ia juga menjadi pemimpin Seni Gendang Pencak Medal Saluyu Bogor. Pemain trompet kelahiran Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tahun 1952 ini, sudah malang melintang selama 37 tahun di Kota Bogor mengiringi pesilat tanding dan budaya (bukan tanding).

Mami Saputra merupakan anak kedua dari enam bersaudara pasangan Ujum dan Ijah. Ia mulai belajar sebagai pemain trompet tahun 1973 pada Soba, seorang pemain trompet asal Jampang Tengah yang beken saat itu.

Mami, yang sebelumnya sudah pandai meniup suling itu, menyebutkan, Soba memintanya menekuni trompet saja.

“Pemain suling banyak, sedangkan pemain trompet sedikit dan peminatnya juga kurang,” kata Mami menirukan ucapan Soba kala itu.

Lebih lanjut, Mami menuturkan, dia belajar trompet pada Soba hanya semalam.

“Ketika datang menemui Pak Soba (alm) sekitar pukul 20.00, saya langsung dilatih sampai menjelang subuh. Saya digembleng habis-habisan untuk meniup trompet dengan benar. Adapun lagunya dipilihkan yang gampang, yakni ‘Buah Kawung’,” kata Mami dalam sebuah perbincangan pada medio Desember.

Sebulan kemudian, Mami datang kembali ke rumah Soba. Dia langsung disuruh meniup trompet melantunkan lagu “Buah Kawung”. Soba tersenyum mendengar Mami membawakan lagu tersebut dengan sempurna.

 

Mami Saputra

“Orang lain berbulan-bulan belajar belum ada hasilnya. Kamu semalam ditambah sebulan belajar sendiri di rumah sudah bisa,” kata Mami menirukan ucapan Soba.

Keesokan harinya, Mami menuturkan, dia diajak Soba yang mendapat panggilan main di rumah warga setempat. Soba menilai penampilan perdananya di atas panggung cukup memuaskan. Dari situ kemudian Mami terus diajak guru trompetnya untuk tampil jika ada panggilan pentas.

“Saya masih ingat honor pertama Rp 5.000 untuk sekali tampil pada 1973. Awalnya saat pertama kali diberi uang say tolak, tetapi Pak Soba meminta agar diambil karena itu hak saya, sebagai honor,” kata Mami.

 

Ke Bogor

Suatu hari pada 1977, Mami terkejut ketika dijemput utusan dari seorang guru besar pencak silat di Bogor untuk bergabung dengan Guru Besar Pencak Silat Gugah Warga (PSGW) di Kampung Kebun Manggis, Kota Bogor.

“Pak Mumuh, Guru Besar PSGW yang mendengar tentang saya, lalu meminta untuk bergabung, dan malah saya dianggap sebagai anak, dan kemudian tinggal serumah dengan Pak Mumuh,” kata Mami.

Di grup PSGW, Mami terus meningkatkan kemampuannya meniup trompet. Dan, di Kota Bogor inilah akhirnya Mami, yang juga dibimbing Guru Besar PSGW, mulai dikenal sebagai pemain trompet yang andal.

Mami yang cacat kaki kanannya sejak usia 12 tahun sehingga kalau berjalan harus ditopang dengan tongkat, mengatakan, di Kota Bogor kariernya sebagai pemain trompet cukup cemerlang. Panggilan perseorangan atau atau bersama grup PSGW dan grup lainnya cukup banyak. Sebulan bisa mencapai 10 kali panggilan tampil.

“Karena pemain trompet jumlahnya terbatas, saya harus bisa mengatur jadwal panggilan,” kata Mami.

Setelah tiga tahun tinggal bersama guru besarnya, Mami kemudian Pindah ke Desa Cikaret, Bogor Selatan. Ia tinggal serumah dengan istrinya, Oom.

Di rumah inilah, sejak tahun 1985, Mami sering didatangi orang dari sejumlah negara yang berniat belajar. Mereka antara lain berasal dari Brunei, Malaysia, Singapura, Belanda, dan Inggris.

“Mereka belajar menabuh gendang dan main trompet. Di antara mereka ada juga yang belajar menabuh gendang dan trompet secara rutin,” kata Mami yang juga piawai membuat gendang sejak 1982. Hingga kini, ia sudah membuat 1.000 gendang.

Gendang itu dibuat bersama kedua anaknya. Hasil pembuatan gendang ini menjadi penghasilan tambahan untuk menghidupi keluarga sehari-hari, manakala panggilan berpentas sepi.

Satu set gendang terdiri dari 3 gendang kecil dan 1 gendang besar, trompet dan satu gong/kempul dijual mulai dari Rp 7,5 juta sampai Rp 10 juta. Jika ingin membeli gendang saja juga bisa, harganya Rp 400.000 – Rp 1,5 juta, sesuai besar kecilnya gendang.

Murid Mami, Charina, yang belajar menabuh gendang dan temannya yang belajar trompet, pernah mengajak Mami hijarah ke Singapura dengan menyebutkan penghasilan sekitar Rp 5 juta per orang untuk sekali tampil.

“Saya tolak. Penghasilan besar, tetapi pengeluaran untuk biaya hidup juga besar di negeri orang. Lagi pula saya tidak mengutamakan penghasilan yang besar, tetapi mengutamakan relasi saya di sini,” kata Mami.

Puncak karier sebagai pemain trompet bagi Mami adalah manakala ia terpilih menjadi nayaga yang mengiringi  pesilat dari beberapa negara yang mengikuti Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Jakarta pada 1992.

Pada akhir perbincangannya, Mami mengungkapkan keprihatinannya atas kelangkaan pemain trompet saat ini. Menurut dia, saat ini dia merupakan satu-satunya pemain trompet senior di Kota Bogor. Enam pemain trompet senior lainnya telah meninggal karena usia lanjut. Sementara itu, pemain trompet yunior hanya ada dua orang di Kota Bogor.

Karena itu, Mami kadang harus menolak panggilan tampil karena sudah dipesan oleh grup yang memerlukan keterampilannya. Padahal, jumlah grup pencak silat di Kota Bogor ada 50-an, sedang yang mempunyai nayaga sendiri baru 15 grup. Dari jumlah itu, ternyata tidak semuanya memiliki peniup trompet.

Untuk mengatasi kelangkaan pemain trompet, Mami mengharapkan pengurus Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) setempat melakukan pelatihan bagi yang berminat menjadi pemain trompet. Selain itu, Mami sangat terbuka untuk melatih mereka yang serius yang ingin menjadi pemain trompet.

Itu sebabnya dia mendukung niat Ketua Bidang Budaya IPSI Jawa Barat HM Helmi Sutikno yang akan membuat pelatihan bagi pemain trompet. (FX PUNIMAN, Wartawan Tinggal di Bogor)


MAMI SAPUTRA

▪ Umur   : 62 tahun

▪ Istri       : Oom (57)

▪ Pendidikan : SD

▪ Anak    :

  • Iman (33)
  • Yayah (32)
  • Deni (31)
  • Tuti (30)
  • Ina (29)
  • Ridwan (13)

▪ Prestasi : awal November 2014, juara I peniup trompet “nayaga” silat pada Festival Seni Budaya Tradisional Pencak Silat antar provinsi se-Indonesia di Kota Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

UC Lib-Collect

Kompas.Jumat.2 Januari 2015.Hal.12

Zuhirman – Pagi Jadi Guru, Siang Melaut, Sore Menjual Bakso

Pagi Jadi Guru, siang Melaut, Sore Menjual Bakso. Kompas.16 januari 2015.Hal.16

 

Kepedulian adalah nilai kemanusiaan yang harus terus diasah dan diwujudkan secara nyata demi kebaikan bagi sesama. Zuhirman (27) warga Dusun Kecinan, Desa Melaka, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, membuktikan kepeduliannya dengan merintis dan membangun Sekolah Dasar Islam Ar Rahmah. Ia juga menjadi guru, sekaligus merangkap kepala sekolah.

OLEH KHAERUL ANWAR

Di tengah kesibukannya mengajar, Zuhirman harus menghidupi istri, Baiq Rahmah Bayani (28), dan anaknya, M Fahar (1,9 bulan), dengan memancing ikan di periran dusun itu yang masuk kawasan obyek wisata Sengigi, Lombok Barat.

Seusai melaut, pekerjaan lain sudah menunggu : berjualan bakso “cilok” keliling disekitar kampungnya. “Ini, kan, sebuah pilihan. Kita hidup bukan memikirkan diri sendiri, melainkan juga peduli terhadap orang lain,” ujar Zuhirman soal profesinya yang disebut three in one.

Sekolah Dasar Islam (SDI) yang “tersembunyi” di pemukiman penduduk berhadapan dengan areal kebun dan sebuah bukit itu berupa bangunan permanen yang disekat/dibagi dua untuk ruang kelas. Ada juga sebuah tenda didirikan berdampingan dengan bangunan yang juga untuk ruang belajar para siswa. Hanya saja, “Belajar-mengajar di bawah tenda dilakukan bergilir,” katanya.

Bangunan permanen itu ditempati akhir 2014 yang biaya pembangunannya berasal dari Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Adapun tenda merupakan sumbangan dana dari warga dusun yang bermata pencaharian sebagai nelayan, pengumpul kayu bakar, dan tanaman hasil hutan lainnya, juga disisihkan dari dana bantuan operasional sekolah.

Sarajudin-Masidah, orang tua Zuhirman, menyumbangkan tanah seluas 3 are, tempat berdirinya sekolah saat ini. Diperkuat lima guru relawan, SDI ini memiliki 30 siswa : 7 orang kelas I, 7 orang kelas II, dan 16 orang kelas III. Dari total siswa itu ada dua penyandang disabilitas.

Bentuk bentang alam yang berbukit-bukit membuat dusun ini terisolasi dari akses informasi dan komunikasi. Selain itu, dusun ini juga minim fasilitas pendidikan. Tahun 2000, untuk tingkat SD saja, anak-anak dusun itu harus sekolah ke SDN Mentigi yang berjarak 1,5 km dari Dusun Kecinan. Siswa kelas I dan II, ketika pergi-pulang sekolah, banyak yang ditemani ibunya karena tidak tega melepas anaknya berjalan kaki seorang diri dari sekolah menempuh medan berbukit-bukit.

Kebiasaan perkawinan dini di dusun ini juga menjadi kisah memprihatinkan. Tidak heran jika jarang anak-anak perempuan dusun itu tamat SD. Mereka putus sekolah di kelas IV dan V SD karena menikah.

“Bagi warga dusun, jika anak perempuan sudah kelas lima SD, orangtuanya menganggap ankanya sudah dewasa, dan boleh menikah,” ujar Zuhirman.

Kini dusun ini terkena imbas perkembangan obyek wisata Sengigi. Sebagian terkena pembebasan lahan oleh pemodal, dan jalan beraspal hot-mix. Apalagi, posisi dusun ini dilalui jalur transportasi darat bagi wisatawan yang akan menuju Gili Terawangan dan pendakian Gunung Rinjani (melalui pintu masuk Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara).

“Jika ada lulusan SD yang mau melanjutkan ke SMP, harus ke Desa Pemenang yang berjarak lima kilometer dari Dusun kami,” tutur Zuhirman.

 

Sekolah di gudang

Dengan keprihatinan inilah, Zuhirman lalu membangun sekolah. Awalnya ia berdiskusi dengan beberapa rekannya lulusan sekolah lanjutan tingkat atas yang anntinya siap jadi guru sukarela. Masyarakat pun mendukung dengan cara menyertakan anaknya mengikuti proses belajar mengajar pada sekolah yang akan didirikan, juga ada yang meminjamkan fasilitas kegiatan belajar.

Kegiatan belajar mengajar pun mengacu mata pelajaran sesuai kurikulum pendidikan yang ditetapkan pemerintah. SDI itu mulai menerima siswa pada Juli, bertepatan dengan Tahun Ajaran 2012, dengan menampung 24 orang yang meliputi siswa kelas I (7 orang) dan kelas II (17 orang). Tempat belajarnya menggunakan sebuah gudang milik pengusaha kelapa, yang berukuran 4 meter kali 4 meter. Gudang ini berdinding gedeg, beratap seng dan berlantai tanah. Tidak ada meja dan kursi, siswa duduk beralaskan terpal plastik.

Ruangan belajar kelas I dan II dibagi dua, tanpa dilengkapi sekat pembatas sehingga terjadi “perang suara” saat proses belajar mengajar berlangsung. Pasalnya, ada dua guru berdiri di depan kelas, menjelaskna mata pelajaran berbeda pada saat bersamaan. Papan tulis pun dibagi dua, sebagian untuk kelas I dan setengahnya untuk kelas II. Satu bidang papan tulis dibatasi garis lurus dari goresan kapur tulis.

Selain di gudang, aktivitas belajar juga dilakukan di ruang terbuka, seperti di pantai Dusun Kecinan. Cara ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bagi siswa tentang upaya menjaga kelestarian alam. Apalagi di dusun ini termasuk rawan bencana tanah longsor dari perbukitan yang tergerus air saat musim hujan.

“Pohon-pohon di hutan berfungsi sebagai sumber mata air. Makanya, jangan main tebang (pohon) sembarangan,” ujar Zuhirman kepada anak didiknya.

Dari gudang itu, aktivitas belajar mengajar pindah ke gedung permanen pada 2014, SDI ini menempati gedung baru.

Agar proses belajar mengajar berjalan lancar, Zuhirman disiplin membagi waktu untuk mengajar dan menafkahi anak dan istrinya. Dialah orang pertama di pagi hari yang datang di sekolah itu, kemudian memimpin murid-muridnya membaca doa sebelum masuk kelas. Ia juga pengajar mata pelajaran agama Islam.

Ketika kegiatan sekolah usia, Zuhirman menjalankan peran sebagai nelayan pada pukul 14.00 – 16.00. Ia memancing ikan di perairan Dususn Kecinan. Hasil panciangannya berupa ikan langoan, ikan tongkol, dan kakap. “Kalau dapat lima ekor ikan tongkol, saya jual Rp 25.000,”ujarnya.

Setelah melaut, Zuhirman menjual bakso “cilok” keliling kampung. Ia mengambil bakso dari produsen di Kota Mataram, dengan harga total Rp 120.000. Dia menyambangi pelanggan dari rumah ke rumah, dan bakso itu biasanya habis menjelang maghrib. Dari berjualan bakso, Zuhirman bisa mengantongi keuntungan Rp 15.000 – Rp 20.000.

ZUHIRMAN

Lahir    : 9 Agustus 1988 di Dusun Kecinan, Desa Melaka, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, NTB

Pendidikan :

  • SDN 3 Melaka, lulus 2001
  • Madrasah Tsanawiyah An Najah, Gunungsari, Lombok Barat, lulus 2004
  • Madrasah Aliyah ‘An Najah’, Gunungsari, Lombok Barat, lulus 2007
  • Mahasiswa Fakultas Tarbiyah semester VII STAI Nurul Hakim, Desa Kediri, Lombok Barat

UC Lib-Collect

Kompas.Jumat.16 Januari 2015.Hal.16

Supartama – Meregenerasi Seni Tari dan Tabuh

Meregenerasi Seni Tari dan Tabuh. Kompas.14 Januari 2014.Hal.16

 

Demi pelestarian seni dan budaya, seniman Anak Agung Ngurah Bagus Supartama (36) rela mengajar tanpa dibayar. Ia pun meregenerasi sejumlah anak-anak untuk cinta dan berprestasi menari, mendalang, serta menabuh gamelan.

OLEH AYU SULISTYOWATI

Dalam keseharian, Supartama tak pernah lepas dari berkesenian. Seni sudah menjadi seperti napas dalam hidupnya. Mulai seni tari, topeng, hingga tabuh-tabuh-an, semuanya dilakukan dalam satu tarikan napas. Semua dilakukannya secara total, baik saat mengajar di dalam kelas maupun di pendopo miliknya yang dinamai Pasraman Praba Budaya di Denpasar, Bali.

Pasraman yang didirikannya hampir 15 tahun lalu itu, tak pernah sepi dari beragam kegiatan kesenian. Meski ia hanya bisa mengajar kepada belasan anak-anak dan remaja untuk menari, dalang dan tetabuhan sepekan tiga kali, setiap hari selalu saja ada yang datang.

“Saya senang anak-anak ramai di pasraman. Apalagi, ramainya mereka itu untuk belajar berkesenian. Rasanya amat senang dan bahagia melihat mereka menari,” kata Supartama.

Baginya, semua anak-anak yang datang untuk belajar seni merupakan penghargaan. Apalagi, menurut Supartama, zaman sekarang tidak mudah mengajak anak untuk serius menekuni seni dengan benar dan baik. Apalagi, teknologi hiburan makin canggih dan menarik.

Selain itu, belajar berkesenian di Bali bukan berarti sekadar menghapal dan lihai menari, mendalang, dan menabuh. Berkesenian di Bali, merupakan totalitas kehidupan.

“Bagaimanapun di Bali, penari harus bisa membedakan mana tarian untuk tontonan, dan mana untuk upacara keagamaan. Beberapa penari kurang memahami ini,” katanya.

Menari tak hanya asal menari. Dalang tak hanya asal mendalang, begitu pula menabuh. Karena itu, Supartama mengajarkan kepada anak didiknya tentang filosofi dan pemahaman yang benar tentang kegiatan kesenian yang mereka lakukan.

Pasraman ia dirikan untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak berbakat. Ia tak memungut biaya untuk kelas kesenian yang dibukanya untuk anak-anak berbakat ini. Jika ada yang membayar, uang itu seluruhnya akan digunakan untuk pasraman.

Meski gratis, bukan berarti ia mengajar sembarangan dan seenaknya saja. “Ini bagian dari niat saya ngayah (mengabdi) kepada pelestarian seni. Anak-anak serius belajar saja, itu sudah cukup melegakan,” katanya.

Upaya ini terbukti dengan sejumlah penghargaan yang diperoleh anak-anak pasramandari beragam perlombaan tari maupun karawitan. Tarian anak-anak pasraman yang mendapat penghargaan di antaranya tari legong, baris, dan topeng. Bahkan, tahun lalu, pasraman-nya dipilih untuk mewakili Provinsi Bali dalam jambore pasraman di Solo, Jawa Tengah.

Kepiawaian Supartama membuat Pemerintah Kota Denpasar memberikan kepercayaan pada dirinya untuk merevitalisasi tari baris. Amanah itu pun dijalankan dengan baik. Apalagi, ia memang menguasai dengan baik tari pelegongan, baris, topeng, pedalangan, dan pengambuhan.

Keahliannya ternyata tidak berhenti pada tari dan memainkan alat musik tradisional, tetapi Supartama pun menguasai pembuatan topeng.

ANAK AGUNG NGURAH BAGUS SUPARTAMA

▪ Lahir    : Denpasar, 15 Mei 1978

▪ Pekerjaan : Pengajar Pendidikan Agama dan Seni di Universitas Hindu Indonesia Denpasar. Mata kuliah, Sastra Jawa Kuna, Seni Sakral, Sastra Lagu, Tari Pertopengan, Tari Pengambuhan

▪ Istri       : AA Sagung Oka Indra Parwati

▪ Anak    :

  • AA Sagung Istri Prabhaswari
  • AA Ngurah Lanang Bhaskara

▪ Sekolah :

  • SDN 20 Dauh Puri (1987)
  • SMP PGRI 10 (1993)
  • SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Bali (1997)
  • Gelar seni tari diperoleh dari jurusan Penciptaan Seni Tari di STSI (ISI) Denpasar tahun 2001 dengan predikat “cum laude”.
  • Melanjutkan program magister (S-2) di Universitas Hindu Indonesia Denpasar pada Jurusan Ilmu Agama dan Kebudayaan (2013)

▪ Pengalaman :

  • Lawatan ke Kopenhagen, Denmark, dengan tim kesenian sekolah menengah karawitan Bali (1997)
  • Duta koreografer muda delegasi Indonesia ke Peru (1997)
  • Festival seni daerha di TMII, membawa tim kesenian STSI (ISI Denpasar-sekarang) sebagai juara umum (1999)
  • Tim kesenian STSI ke Swiss dan Singapura (2000)
  • Tim Sanggar Bajra Sandhi ke Vietnam (2000)

Sejak kecil

Supartama mengawali kecintaan seninya dari kehidupan keseharian yang hidup di lingkungan keluarganya. Sejak kecil, ia bercita-cita ingin jago berkesenian. Untuk mewujudkan cita-cita itu memang tidak mudah. Apalagi, ia besar dalam keluarga yang kurang mampu.

Ia cukup beruntung, memiliki teman yang baik. Orangtua temannya itu memanggil guru tari privat untuk anaknya, dan ia diminta menemani temannya kursus menari. Tentu saja ajakan ini tidak ditolaknya. Ia pun belajar dengan penuh kesungguhan.

Berkat kegigihannya dalam belajar tari itu pula, ia mendapat beasiswa untuk sekolah hingga bangku perguruan tinggi. Ia pun mendaftarkan diri ke Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Selain itu, untuk mengasah jiwa seninya, ia tidak lelah berguru ke sejumlah ahli seni dan ia belajar secara otodidak.

Semasa kuliah, sederet prestas juga di boyongnya. Antara lain, ia terpilih sebagai duta koreografer muda pada 1997. Selain itu, ia pun pernah mewakili Indonesia ke Peru.

Sudah menjadi tradisi bagi seorang penari Bali, mereka harus melewati sejumlah upacara adat terlebih dahulu sebelum diizinkan pentas dalam upacara keagamaan. Rentetan upacara ini bertujuan agar sang penari selamat dan lancar ketika menarikan sebuah tarian, khususnya di dalam upacara keagamaan.

“Saya tidak mau di usia muda sampai tua menjadi sia-sia. Ngayah kepada seni itu luar biasa. Maka, upaya untuk mengajari anak-anak menjadi hal utama. Ini sebagai bagian pelestarian dan regenerasi budaya,” ujarnya sambil tersenyum.

 

UC Lib-Collect

Kompas.Rabu.14 Januari 2015.Hal.16

F Henry Bambang Soelistyo – Merasakan Harapan Keluarga Korban

Merasakan Harapan Keluarga Korban. Kompas.6 Januari 2014.Hal.16

Ketika menara Pengawas Lalu Lintas Udara Bandara Internasional Soekarno-Hatta menghubungi kantor Badan SAR Nasional terkait hilangnya sinyal pesawat AirAsia QZ 8501 pada 28 Desember lalu, Marsekal Madya F Henry Bambang Soelistyo (55) segera mengerahkan unsur kekuatan Basarnas di daerah. Pergerakan diawali dari pos Basarnas di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung.

OLEH N ARYA DWIANGGA MARTIAR

“Hari ini, kami luncurkan dulu semua unsur dan potensi kekuatan yang kami miliki. Besok, baru kami adakan koordinasi,” demikian pernyataan Soelistyo di depan media beberapa jam setelah pesawat tersebut dinyatakan hilang.

Wajahnya tegang. Pada waktu itu, Soelistyo menyatakan, dia dan Badan SAR Nasional (Basrnas) akan berusaha secepat mungkin menemukan keberadaan pesawat naas itu.

Ketika ditemui beberapa hari kemudian, Soelistyo mengatakan, setelah menerima informasi kejadian merupakan waktu tanggap bagi Basarnas untuk bergerak secepat mungkin. Pada saat itu, koordinasi belum langsung tertata. Bahkan, wilayah lokasi pencarian masih diperhitungkan.

“Karena ini musibah pesawat, yang saya luncurkan adalah kekuatan yang berhubungan dengan kecelakaan pesawat, alat-alatnya, personelnya, dan alat utamanya, yakni kapal dan pesawat terbang,” ujarnya.

Kala itu, dia segera berkoordinasi dengan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk menggerakkan unsur kekuatan yang berada di bawah kendali TNI. Pada saat itu, tercatat setidaknya 12 kapal Basrnas dari sejumlah pangkalan, kapan TNI AL, dan Polisi Air langsung bergerak. Dari udara, pesawat dan dua helikopter Basarnas bergerak menuju titik hilangnya pesawat AirAsia.

Menurut Soelistyo, bersamaan dengan kekuatan SAR yang mulai bergerak, pusat komando di Jakarta pun menyusun pemetaan wilayah pencarian beserta instruksi bagi petugas SAR di lapangan. Mereka langsung bekerja untuk mencari perunjuk terkait hilangnya pesawat tersebut. Hasil pencarian kemudian menjadi bahan evaluasi pencarian hari berikutnya.

“Begitu data awal disampaikan oleh ATC (Pengawas Lalu Lintas Udara) Bandara Soekarno-Hatta, kemudian informasi radar diberikan, misalnya kapan pesawat itu hilang kontak dan berapa ketinggiannya saat itu, saya sudah yakin ini (hilang) di laut,” kata Soelistyo.

Oleh karena itu, sembari menunggu kekuatan SAR sampai di lokasi yang diduga menjadi tempat hilangnya pesawat, Basarnas juga menyampaikan maklumat pelayaran kepada semua kapal yang lewat tentang hilangnya pesawat tersebut. Dengan itu, kapal yang menemukan petunjuk terkait hilangnya pesawat itu wajib melapor melalui stasiun radio pantai.

Dia mengatakan, informasi sekecil apa pun yang beredar di masyarakat ataupun temuan tim SAR di lapangan pada awal pencarian menjadi sangat penting. Temuan itu bisa menjadi petunjuk keberadaan pesawat. Namun, bukan tidak mungkin informasi itu tidak berhubungan dengan peristiwa hilangnya pesawat atau sebaliknya malah menyesatkan.

“Contohnya, hari kedua pencarian, ada laporan yang beredar di masyarakat, seperti menemukan sinyal darurat di titik ini, kemudian sinyal yang sama di titik lain pada waktu berbeda, hingga berita ada penumpang yang selamat. Kalau tidak cepat menganalisis benar tidaknya informasi tersebut, kami bisa salah melangkah,” tutur Soelistyo.

Keluarga korban

Bagi Soelistyo, dalam konteks musibah, yang sebenarnya sangat berkepentingan atau berharap pada keberhasilan operasi SAR adalah keluarga korban. Karena itu, dia harus menempatkan segala upayanya hanya untuk memenuhi harapan keluarga korban.

“Saya menempatkan diri sebagai keluarga korban sehingga apa yang mereka harapkan saya tahu persis. Meskipun saya tahu risiko hilangnya pesawat itu apa, saya tetap harus berusaha memenuhi harapan mereka,”ungkapnya.

Oleh karena itulah, pada operasi pencarian hari ketiga, dia menyempatkan diri pergi ke Surabaya untuk menemui keluarga korban. Waktu itu, ada tiga orang dari keluarga korban yang menelepon Soelistyo  dan memintanya bertemu meski hanya 10-15 menit. Dia pun mengatakan tidak mengetahui maksud permintaan itu.

“Begitu saya datang, sebagian dari mereka menyambut dengan senyuman. Itu membuat saya puas karena saya pikir mereka akan menyambut dengan tangis, bahkan kemarahan,” ucapnya.

Soelistyo menyadari, kedatangannya bisa menjadi sedikit pelipur lara. Hal itu pulalah yang menyemangatinya untuk berusaha memenuhi harapan mereka.

Kebiasaan penerbang

Kebiasaan untuk berhati-hati dan bertndak sesuai rencana itu sudah Soelistyo asah ketika dia menjadi penerbang jet tempur Hawk. Dia mulai terbang sejak berpangkat letnan dua hingga marsekal pertama.

Ketika itu, setiap hari dia harus mengikuti pengarahan pagi sebelum terbang, saat melakukan penerbangan, hingga evaluasi mengenai kekurangan dalam setiap penerbangan yang dilakukan.

“Selalu ada standar operasi, ada daftar cek, dan tidak boleh keluar dari situ. Itu berlangsung sekian lama sehingga terbentuk kebiasaan seperti itu. Saya lebih suka bekerja dengan terencana dan mengetahui persis apa yang akan saya lakukan,” lanjut Soelistyo.

Dengan pengalamannya itulah, dia menjadi terbiasa untuk memperhitungkan dan bertindak berdasarkan data yang rasional. Termasuk ketika nantinya dia harus mengevaluasi operasi pencarian dan evakuasi yang sudah dilakukan. Semuanya harus didasarkan pada efektivitas proses pencarian dan hasil operasinya.

“Tetapi, itu nanti. Yang penting sekarang kami berusaha semaksimal mungkin,” kata Soelistyo.

MARSEKAL MADYA F HENRY BAMBANG SOELISTYO

Lahir                    : Yogyakarta, 11 Februari 1959

Pendidikan         : Lulus Akademi Angkatan Udara tahun 1982

Jabatan                :

  • Kepala Badan SAR Nasional (April 2014-sekarang)
  • Dirjen Perencanaan Pertahanan Kementrian Pertahanan (2013-2014)
  • Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (2012-2013)
  • Deputi VII Kemenko Polhukam (2011-2012)

Sumber: Kompas.Selasa.6 Januari 2015.Hal.16