
Oleh Dewa Gde Satrya
Gibran Rakabuming Raka, dipanggil Gibran, menjadi bintang di Twitter. Bukan saja karena celotehan atau obrolan ringannya yang bersahutan dengan sang adik, Kaesang Pangarep, tapi lebih-lebih karena usaha kreatifnya mengelola bisnis kuliner dan katering. Publik bisa menilai bisnis Gibran beranjak dari daya insaninya, bukan memanfaatkan status kepresidenan sang bapak.
Lewat akun Twitter @Chilli_Pari yang merupakan inisial bisnis kateringnya Gibran kerap mengunggah produk kuliah andalan buah kreasinya. Makanan ringan martabak yang konon disajikan sampai belasan rasa, lewat akun @markobar1996, publik terkesima dengan keuletan anak sulung Presiden Jokowi dalam mengelola bisnisnya. Bukan kali pertama ini saja figur publik memanfaatkan media sosial seperti twitter untuk mempromosikan produknya. Butet Kartaredjasa, komedian, juga rajin mengunggah menu-menu andalan restorannya, Warung Bu Ageng di Tirtidipuran, Yogyakarta.
Tentu saja martabak menjadi berlipat ganda nilainya manakala disajikan dari tangan anak Presiden. Produk kuliner yang merakyat ini, yang di Surabaya bernama Terang Bulan, menjadi buah bibir kuliner belakangan ini. Daya tarik sebagai anak presiden tak dipungkiri menjadi nilai lebih, tetapi kesederhanaan, dan tentu saja, kepribadian yang tidak oportunistik, mengunggah simpati publik.
Fenomena Markobar dan bisnis Kuliner yang dikelola Gibran, menjadi momentum untuk menggairahkan kembali produk kreatif kuliner anak bangsa. Martabak, kuliner lokal yang terpengaruh produk kuliner dari India beberapa abad yang lampau dan bertransformasi dengan citrarasa dan kearifan lokal, menjadi produk kuliner Indonesia yang merakyat, universal, dan dicintai banyak kalangan. Produk kuliner, makanan dan minuman lokal lainnya selayaknya juga semakin banyak yang ditingkatkan nilainya menjadi produk yang dihargai, dan bahkan, dihargai dengan nilai tinggi yang tak kalah bersaing dengan produk kuliner negara-negara lain. Dalam konteks ini, kuliner berelaborasi dan bertransformasi menjadi produk wisata.
Dalam Dialog Gastronomi Nasional pada 23-24 November 2015 di Jakarta yang diselenggarakan oleh akademi Gastronomi Indonesia, dikenalkan destinasi wisata kuliner unggulan oleh kementerian Pariwisata: Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang dan Bali. Penetapan berdasarkan enam kelayakan: produk dan daya tarik utama, pengemasan produk dan event, kelayakan pelayanan, kelayakan lingkungan, kelayakan bisnis, dan peranan pemerintah dalam pengembangan wisata kuliner.
Wisata kuliner memiliki potensi ekonomi yang besar. Tahun 2013 kontribusi nilai tambah bruto sektor kuliner sebesar Rp 208,6 triliun dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,5% dari tahun 2012-2013. Sektor kuliner juga menyerap tenaga kerja sebesar 3,7 juta orang dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,5% dari tahun 2012-2013. Sektor kuliner juga menyerap tenaga kerja sebesar 3,7 juta orang dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 26%. Unit usaha yang tercipta dari sektor ini tercatat sebesar 3 juta dengan rata-rata pertumbuhan 0,9%. Hal ini menunjukkan bahwa kuliner Indonesia dapat menjadi salah satu faktor penggerak ekonomi masyarakat.
Di ranah ini, penguatan sektor pariwisata Indonesia semakin disadarkan untuk diperkuat dari aspek kuliner. Terkait hal tersebut, meningkatkan daya saing kuliner dari berbagai daerah di Indonesia, sama halnya meningkatkan daya saing pariwisata Indonesia.
DAYA SAING KULINER LOKAL
Terkait hal tersebut, food safety menjadi hal dominan dan isu sentral terkait pengembangan kuliner Indonesia. Hal tersebut linier dengan isu World Health Day 2015 yang di tetapkan WHO, food safety. Kesehatan, ketahanan pangan dan keamanan pangan adalah “hulu” dari kesehatan umat manusia. WHO mencatat, perubahan dalam pola produksi dan distribusi bahan pangan, termasuk perubahan gaya hidup dalam konsumsi makanan, serta perubahan lingkungan, meningkatkan resiko kontaminasi pada makanan.
Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif juga telah menetapkan 30 ikon kuliner Indonesia yang diperkenalkan kepada masyarakat internasional, seperti Ayam Panggang Bumbu Rujak Yogyakarta, Gado-gado Jakarta, Nasi Goreng Kampung, Serabi Bandung, Sarikayo Minangkabau, Es Dawet Ayu Banjarnegara, Urap Sayuran Yogyakarta, Sayur Nangka Kapau, Lumpia Semarang, Nagasari Yogjakarta, Kue Lumpur Jakarta, Soto Ayam Lamongan, dan Rawon Surabaya.
Dari 30 ikon kuliner yang telah terpilih, tumpeng ditetapkan sebagai ikon kuliner nasional. Sebab, tumpeng yang berupa nasi gurih berbentuk kerucut, dapat di tambah dengan berbagai makanan pendamping sehingga tidak menutup kemungkinan ikon kuliner lainnya disajikam bersama tumpeng.
Survei yang dilakukan terhadap 100 orang di seluruh wilayah Indonesia oleh Omar Niode Foundation diperoleh kesimpulan bahwa jenis makanan yang paling disukai masyarakat Indonesia adalah gado-gado, gudeg, dan empek-empek. Sementara minuman yang paling disukai adalah cendol, wedang jahe, dan bajigur. Sedangkan kudapan yang paling disukai adalah martabak. Selain itu, rendang di nobatkan sebagai salah satu makanan terlezat di dunia (World’s 50 Most Delicious Foods) versi CNN.
Indonesia terdiri dari lebih 300 suku bangsa dan memiliki beragam kekayaan, termasuk kuliner. Ragam kuliner ini menjadi daya saing turisme, karenanya jaminan higienitas dan pengelolaan kuliner harus dilakukan secara optimal.
Secara nasional, kuliner semakin tumbuh sebagai industri rakyat yang ramah dan terbuka bagi siapa saja untuk menjadi pelaku usaha dan menggapai kesejahteraan di dalamnya. Industri kreatif juga terkait dengan pengembangan destinasi wisata, tidak hanya sebagai wisata kuliner, tetapi memperkaya dan meningkatkan daya tarik (attractiveness) destinasi suatu daerah.
Titik kritis yang patut menjadi perhatian adalah produksi dan penyajian kuliner lokal yang banyak dijajakan usaha mikro. Aspek food safety harus menjadi prioritas. Semoga Markobar memberi semangat dan inspirasi pada semua anak bangsa untuk meningkatkan kreasi dan nilai kuliner khas lokal untuk menjadi Tuan dan Nyonya di negeri sendiri.
Sumber : Kontan. 9 Januari 2016.