
Makam Peneleh direstorasi pemkot tahun depan. Sejumlah makan akan relokasi dan diratakan dengan tanah. Agar informasi tidak hilang, Komunitas Love Suroboyo berinisiatif melakukan pencatatan makan pada Minggu (25/9).
SALMAN MUHIDDIN
“MAKAMNYA sudah ketemu. Ini dipojokan,” kata Dhahana Adi pungkas yang memberikan kabar melalui telepon. Penulis buku Surabaya Punya Cerita itu gembira. Maklum sudah dua jam kami mencari makan itu. Berpencar di Makam Peneleh yang luasnya 4,5 hektare.
Di sana bersemayan fotografer kawakan dari Amenia, Ohannes Kurkdjian. Fotografer kelas wahid eli di era Hindia-Belanda. Dia mengabadikan perempuan-perempuan Jawa, kesenian, potret bangsawan Jawa, transportasi di Indonesia, hingga erupsi Gunung Semeru. Kurkdjian adalah salah seorang fotografer top zaman Hindia Belanda. Sejumlah referensi mengungkapkan, Ohannes lahir pada 1851 di Yerevan, Armenia. Dia meninggal pada 1903 di Surabaya. Ohannes juga pernah punya studio gede. Situs Wikipedia memuat foto studio Ohannes di kawasan pojok Simpang.
Yang menemukan makam itu adalah pustakawan Chrisyandi Tri Kartika. Pria yang tergabung dalm Sjarikat Poesaka Soerabaja itu memang gemar blusukan. Mencari detail-detail di lokasi peninggalan sejarah. Bisa jadi, matanya lebih jeli.
Dalam acara menyusuri Makam Peneleh itu, puluhan anggota Komunitas Love Suroboyo juga menyebar. Mereka memotret dan mencatat informasi di setiap makam. Rencananya tahun depan Makam Peneleh mulai direstorasi Pemkot Surabaya. Beberapa makam bakal dibongkar.
Kumpulkan Data Bersejarah Situs-Situs Lain
TEMUKAN
Karena itu, mereka berinisiatif menyelamatkan informasi yang tersisa.
Karena itu, sejak pukul 08.00, Minggu (25/9), anggota komunitas memadati gerbang masuk Makam Peneleh. Mereka pakai seragam abu-abu. Usia mereka beragam. Ada yang masih sekolah, ada juga yang bapak-bapak. Campur. Komunitas yang tergabung di Instagram itu didampingi Dhahana alias Ipung bernama Chrisyandi.
Mulanya mereka mengunjungi makan Martinus van den Elzwn, pastor yang dimakamkan pada 19 Juli 1866. Makam denan monument patung Yesus berwarna putih itu terlihat langsung dari gerbang masuk. Di sana Chris menerangkan makam-makam yang ada di Peneleh. Makan yang rusak memang banyak.
Mereka lalu berbelok ke kanan. Ke selatan. Sebelum menuju selatan, mereka mandek di knekelhuis alias rumah tulang. Tempat dikumpulkannya tulang-tulang jenazah yang telah dibersihkan. Sebab, setiap lubang makam digunakan bergantian oleh anggota keluarga.
Wujud rumah tulang itu menyerupai kuil Yunani. Ada empat pilar yang menopang atap berbentuk segi tiga. Lokasi tersebut sering dipakai foto-foto. Itu juga yang dilakukan anggota komunitas tersebut. Cekrik…, cekrik…,
Di selatan terdapat area padang rumput yang cukup lapang. Beberapa makam sudah rata dengan tanah. Masyarakat serikat merobohkan makan itu untuk lapangan sepak bola. Anggota komunitas mulai mengeluarkan kertas dan kamera. Sebanyak 30 orang dibagi menjadi 6 kelompok. Ketua Komunitas Love Surabaya Shandy Setiawan mengintruksi setiap anggota agar mengumpulkan data yang tertulis di setiap nisan. Lengkap dengan foto kondisi terakhir. Rombongan disebar.
Sealin menyebar untuk mencatat, mereka mencari tiga makan orang-orang penting. Misalnya, seorang linguis yang meneliti Bahasa Indonesia Herban Neubronner van der Tuuk, salah seorang pendiri Kebun Binatang Surabaya (KBS) H.E.K. Kommer, dan fotografer Ohannes Kurkdjian.
Di antara ketiganya, hanya Ohannes yang ketemu. Ide mencari tiga orang itu berasal dari Ipung. Berdasar informasi yang dia ketahui, tiga orang tersebut dimakamkan di Peneleh. Ohannes bisa ketemu karena ada foto makamnya.
Dari foto itu diketahui bahwa makam Ohannes memiliki pagar besi. Ujung pasar tersebut berbentuk tombak. Sedangkan dibawahnya terdapat hiasan besi melengkung yang membentuk hati. Nisan makam Ohannes berupa balok batu sederhana berwarna abu-abu.
Kami berkeliling. Tampaknya, ada makam serupa di ujung timur. Ketika saya dekati, hanya pagarnya yang serupa. Dari kejauhan, nisan makam terlihat berbeda dengan yang di foto. Pencarian tidak berhenti. Pukul 09.30 cuaca sudah sangat terik. Saya lalu mencari makam itu di bagian tengah. Di blok E. berdekatan dengan Monumen Pietermaat. Pagar-pagar yang memiliki ujung tombak semakin banyak. Muncul rasa optmisme bahwa di sana ada makam fotografer yang pernah menetap di Singapura itu. Namun, taka da satu pun yang menunjukkan nama Ohannes.
Di sisi barat terlihat banyak makam berpagar. Saya lalu beralih melewati makam-makam yang bermaterial batu bata. Agak waswas. Karena bila salah injak, makam bisa ambrol ke kolam. Sebab, semalaman hujan turun. Sudah banyak makam yang berlubang.
Mencari di sis barat sama saja. Meski banyak makam dengan pagar besi berujung tombak, taka da makam milik Ohannes. Dari situ saya mulai pestimistis. Sampai akhirnya Ipung menghubungi telepon genggam saya.
Sudah banyak yang berkumpul di makam itu. Letaknya di ujung barat laut. Dekat dengan gerbang masuk lawas dan makam Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus. Nyaris tak terlihat. Karena lokasinya berimpitan dengan tembok pagar makam. Pagarnya pun tertutupi tanaman merambat. Sedangkan kondisi nisannya sudah pecah. Saat disatukan, terlihat samar-samar tulisan Ohannes. “Lumayan ketemu satu,” ujar Ipung, lalu meringis.
Komunitas Love Suroboyo lalu memotret dan mencatat nisan itu. Tak ada satu pun yang bisa menerjemahkan tulisan tersebut. Namun, setelah Ipung mengirim gambar makam ke temannya, ternyata batu nisan itu bertulisan Bahasa Rusia. “Orang Armenia kebanyakan memakai Bahasa Rusia,” kata lulusan S-2 Ilmu Komunikasi Universitas dr Soetomo (Unitomo) itu.
Masih ada rasa penasaran. Dua makam belum ditemukan. Untung mencari dua makam itu, kami tidak memiliki clue atau petunjuk. Hanya berbekal nama. Membaca nama di makam peneleh harus benar-benar jeli. Tulisan-tulisan itu sudah memudar. Terkena sinar matahari. Maklum, kompleks makam tersebut sudah berdiri 169 tahun.
Rencananya pencarian tetap dilakukan. Acara keliling makam itu akhirnya disudahi pukul 10.00. rombongan Love Surooyo melanjutkan perjalanan ke permukiman di sekitar Peneleh. Banyak lokasi bersejarah disana. Misalnya, rumah lahir Bung Karno, rumah H.O.S Tjokroaminoto, dan rumah Roeslan Abdul Gani.
Di sela-sela mengawal anggota komunitasnya, Shandi Setiawan menyampaikan bahwa data makam yang dikumpulkan bakal dijadikan satu. Dari enam kelompok yang menyebar, nyaris ada 200 nama. “Setiap kelompok dapat 30 lebih,” ujar pria yang berprofesi guru SD tersebut.
Data tersebut nanti dicocokkan dengan denah makam. Chris punya denah itu. Dia membawanya dalam tas tabung yang biasa dibawa mahasiswa arsitek atau seni rupa. Pembuatan indeks tersebut bakal dibagikan untuk umum. Bukan berupa buku, tetapi file. Selain Peneleh, mereka berencana mengumpulkan data-data sejarah di situs-situs bersejarah lain di Surabaya.
Pembuatan itu berawal dari keinginan komunitas untuk mempelajari dan mendokumentasikan sejarah. Agar ada hasilnya, kegiatan itulah yang mereka lakukan untuk kali pertama. Mendokumentasikan Peneleh.
Makam-mkm itu akan direlokasi sebagian. Bakal tersisa makam-makam penting saja. Dan, sejumlah makam yang berada di tengah. Tempat sekeliling makam bakal di buka untuk pembangunan taman, tempat rekreasi, pasar, monume penanda, urban farming, hingga taman baca.
Namun, pemkot tidak boleh gegabah dalam melakukan pembongkaran. Perlu permisi ke para ahli waris. Dengan informasi yang sangat terbatas di setiap makan, pemkot sejatinya perlu meniru para anggota komunitas itu. Pencatatan tersebut penting.
Sumber: Jawa-Pos.27-September-2016