Perjalanan Eni Rosita (38) menjuarai lomba lari Lintas Sumbawa 2017 sejauh 320 kilometer sunggur menggetarkan. Ia tak hanya bertarung dengan medan panjang nan melelahkan dan cuaca panas ganas Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ia juga terbebani dengan luka bakar di kakinya yang belum pernah sembuh sepenuhnya. Namun, bermodal rasa sabar dan tahu diri, Eni berhasil membuktikan diri bangkit. Dia menjadi perempuan pertama yang menjuarai lomba lari terjauh di Asia Tenggara itu.
OLEH HARIS FIRDAUS & ISMAIL ZAKARIA
Sabtu malam, 8 Oktober 2016, saat mengikuti lomba lari Mesatila Peaks Challenge di Boyolali , Jawa Tengah, Eni mendapat musibah yang kemudia menghebohkan para penggemar lari Tanah Air. Mesastila Peaks Challenge merupakan lombar lari trail dengan lintasan lari di lima gunung di Jawa Tengah, yakni Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, dan Gilipetung.
Malam itu, sesudah turun dari Gunung Merapi dan hendak berlari menuju Gunung Merbabu, Eni tiba-tiba disiram cairan dari belakang oleh pengendara sepeda motor yang hingga kini tak terungkap apa motifnya. Cairan yang diduga air keras itu menyebabkan luka bakar disejumlah bagian tubuh Eni, termasuk kedua kakinya. “Kedua kaki saya mengalami luka bakar dari bagian paha hingga mata kaki,: kenangnya.
Akibat aksi criminal yang hingga sekarang tidak juga bisa diungkap pihak kepolisian itum Eni harus beristirahat dari aktivitas lari. Dia haris menyembuhkan diri selama sekitar empat bulan untuk fokus pada pengobatan luka luka bakarnya. Ia juga menjalani beberapa kali operasi untuk menyembuhkan luka tersebut. “Saya mulai ikut race (lomba lari) lagi pada Februari 2017,” ujarnya.
Sebelum musibah itu, Eni juga sempat mengikuti Lintas Sumbawa 2016, tetapi dia gagal mencapai finis
Ketika memutuskan mengikuti lagi Lintas Sumbawa 2017, luka di kaki Eni sebenarnya belum 100 persen sembuh. “Pemulihan luka bakar itu lama, bisa setahun atau dua tahun baru pulih 100 persen. Otot kaki saya, sih, tidak masalah, tetapi kulit luarnya masih luka,” katanya. Dia bahkan menyebut luka bakar itu seolah membuatnya berlari dengan “kaki bari”.
Seminggu sebelun berangkat ke Sumbawa, bekas luka bakar dikaki Eni mengalami peradangan hingga menimbulkan rasa nyeri. Kondisi itu sempat membuat Eni berpikir untuk membatalkan keikutsertaannya dalam Lintas Sumbawa 2017.
“Saya sempat ragu-ragu banget untuk berangkat. Apalagi, dengan kondisi seperti itu, persiapan saya menjadi sangat kurang. Waktu itu saya mikir, buat apa berangkat ke Sumbawa, tetapi tidak bisa finis,” katanya.
Namun, sesudah menjalani terapi untuk menghilangkan peradangan di bekas lukanya, Eni membulatkan tekadnya untuk berangkat ke Sumbawa. Keputusannya tidak salah karena Eni kemudian menjadi pelari tercepat di kategori individu Lintas Sumbawa 2017. Ia menyelesaikan loba di medan ganas Lintas Sumbawa dan mengalahkan 14 peserta lain, termasuk juara Lintas Sumbawa 2016, Matheos Berhitu (44).
Sesudah start bersama para pelari lainnya di Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Rabu (5/4) pukul 15.00 Wita, Eni tiba di garis finis di Doro Ncanga, Kabupaten Dompu, NTB, pada Sabtu (8/4) pukul 06.42 Wita. Catatan waktu Eni dalam lomba tersebut adalah 63 jam 42 menit, jauh lebih cepat daripada capaian Matheos yang menyelesaikan Lintas Sumbawa 2016 dalam 71 jam 17 menit.
Namun, catatan waktu Eni belum bisa melampaui catatan Alan Maulana pada Lintas Sumbawa 2015 yang menyelesaikan waktu 62 jam 28 menit. Bagaimanapun, pencapaian perempuan yang kini tinggal di Tangerang, Banten, itu sangat layak diapresiasi.
ENI ROSITA
- Lahir : 19 Oktober 1978
- Pendidikan :
- SD Negeri 2 Pemalang
- SMP Negeri 2 Pemalang
- SMA Negeri 1 Pemalang
- Teknik Sipil Universitas Indonesia
Sabar
Lomba Lintas Sumbawa merupakan bagian dari Festival Pesona Tambora yang digelar di Kementrian Pariwisata, Pemerintah Provinsi NTB, pemerintah kabupaten/kota di NTB, dan harian Kompas. Tahun ini, lomba yang digelar sejak tahun 2015 itu diikuti 27 orang, terdiri dari 15 peserta kategori individu dan 12 peserta kategori relay atau berpasangan.
Para pelari kategori individu, termasuk Eni, harus menempuh jarak sejauh 320 km atau setara jarak Yogyakarta- Surabaya atau belih dari 7 kali jarak lomba lari full marathon dengan cut off time (COT) atau batas waktu lomba 72 jam.
Sejak awal lomba, Eni sebenarnya tak punya ambisi besar untuk menjadi pelari tercepat. Targetnya hanya satu, yakni mencapai garis finis sebelum batas waktu lomba. Itulah kenapa ia berlari dengan kecepatan yang tak terlalu tinggi. “Saya juga enggak mikirin posisi pelari lain ada di mana. Kalaupun pelari lain ada di depan, ya, enggak apa-apa karena yang penting adalah saya finis,” ujarnya.
Sepanjang pelombaan, Eni juga banyak beristirahat dan mengonsumsi asupan nutrisi yang memadai agar tubuhnya memiliki daya tahan untuk menyelesaikan lomba. Itulah kenapa, di tujuh check point atau tempat pemeriksaan yang ada sepanjang lintasan lomba, Eni rata-rata berhenti selama 2 jam. “Di check point Kilometer 200, saya bahkan sempat tidur selama 2 jam,” ujar Eni.
Eni juga harus kerap berhenti karena mesti membersihkan bekas luka bakar di kakinya. Jika tak dibersihkan, bekas luka itu berpotensi mengalami peradangan dan menimbulkan rasa nyeri. “Kalau terkena panas atau hujan, bekas luka lebih mudah terkena radang sehingga saya harus sering-sering membersihkannya. Untungnya, selama lomba, bekas luka ini enggak rewel,” kata perempuan yang sehari-hari karyawan swasta itu.
Keberhasilan Eni tahun ini tak lepas dari evaluasi atas pengalamannya saat mengikuti Lintas Sumbawa 2016. Dalam lomba tahun lalu itu, ia terhenti di kilometer 238 karena cedera di kaki akibat terlalu memaksakan diri untuk berlari trail dan marathon ultra Tanah Air, Eni sebenarnya baru mulai serius berlari sejak 2013. Seperti banyak pemula lainnya, awalnya dia hanya mencoba berlari 5 kilometer. “Tujuan lari waktu itu , sih, untuk menjaga kesehatan dan menurunkan berat badan,” ujarnya.
Namun, Eni kemudian jatuh cinta pada lari trail dan marathon ultra. Dia pun meraih juara pertama sejumlah lomba, misalnya Jakarta Ultra 100 tahun 2015, Coast to Coast Night Trail Running Race kategori 50 Kilometer tahun 2016, Slema Ultra 100 tahun 2016, serta Penang Ultra 100. “Sehari-hari saya lebih banyak latihan ikut komunitas lari tertentu,” kata lulusan Jurusan Teknik SIpil Universitas Indonesia Itu.
Sumber: KOMPAS, 10 APRIL 2017