Memanjakan Telinga Pendengar Musik. Kompas. 26 Oktober 2015. Hal.16

Kerja Eustachius Sony Indra Rismoko (49) bukan membuat “speaker” biasa. Ia ingin bunyi pelantang suara music yang bagus dan memadai itu lahir dari tangan orang-orang Indonesia. Bukan kesombongan jika dirinya berharap menjadi pionir pembuat “speaker” yang baik di Indonesia karena dia terus bereksperimen.

Sekarang saya telah menemukan yang memuaskan. Buktinya, sudah banyak yang menggunakan produk karya saya. Hampir seluruh Nusantara memiliki speaker karya saya walau masih terbatas jumlahnya, “KATA Sony yang tinggal di Bali. Keunikan dari pelantang suara karya Sony adalah komponennya kecil, hanya 4 inci. Demikian juga driver atau tweeter-nya. Namun suara tingginya melengking, mampu mengimbangi subwoofer-nya (bas) yang berukuran 15 inci atau 18 inci.

“Saya berani meyakinkan karya saya ini merupakan sound system lapangan (outdoor) dengan sistem line array (speaker gantung) yang terkecil setidaknya di Indonesia,” katanya. Dalam berkarya, Sony merasa karyanya banyak dicibir orang. “Tapi, biarlah karya saya yang menjawab cibiran itu,” katanya. Menciptakan pelantang suara ini, Sony lakukan lewat eksperimen. Dan, speaker yang dihasilkan bukan hanya bersih, jernih, dank eras, melainkan juga jauh dari noise. Tak ada suara berisik atau desis sedikit pun ketika pelantang suara ini digunakan. Bahkan, dalam kondisi diam tanpa ada musik yang dibunyikan, tetapi speaker dalam keadaan aktif (hidup), juga tidak mengeluarkan noise, desis saja tidak.

TANDINGAN

Sony bertekad pelantang yang dibuatnya ini untuk menandingi barang elektronik, khususnya sound system dari Tiongkok yang begitu massif masuk ke Indonesia. Barangkali ini hanya mimpi seorang Sony, bisa membendung dunia dagang yang begitu komersial. Namun, setidaknya saya telah mencoba untuk menunjukkan karya anak negeri yang lebih mampu bersaing” katanya. Karena itu, dia ketawa ketika karyanya dibandingkan dengan produk Tiongkok. Ya, ada produk Tiongkok yang mendapat rekomendasi dari merek-merek terkenal di Eropa atau Amerika. Tetapi, saya masih berani bersaing soal kualitas suara, “katanya.

Singkatnya, Sony ingin menyatakan bahwa anak negeri harus bangkit berinovasi membuatkarya yang bukan pabrikan, melainkan hasil dari perjuangan yang intens, dengan pengkajian khususnya dala suara produk sound system. Merek hebat bisa dibeli, tetapi kualitas suara adalah hasil dari sebuah idealism, “kata Sony. Inspirasi yang mendorong Sony membuat pelantang berawal dari usahanya membuka persewaan sound system dan studio music di Bali, tempat tinggalnya, pada 2006. Semua peralatan yang dimiliki buatan Amerika dan Eropa. Tapi, kok, semuanya besar dan berat sehingga butuh banyak tenaga untuk mengangkatnya, katanya.

Sony lantas berpikir tidak adakah pelantang yang lebih ringkas, kecil, ringan, tetapi mampu menimbulkan suara yang bisa menggelora di lapangan terbuka. “Pikiran saya lantas teringat pada televise, suaranya keras. dikeluarga kami sering marah-marah ketika ada yang mengeraskan volume televise, padahal itu speaker tipis dan kecil, “katanya. Dari spirit itu, lantas Sony berobsesi membuat pelantang kecil. Mulai dari kegiatan awalnya membeli semua pelantang televise bekas di bengkel servis elektronik. Dari pengumpulan itu, dia mulai bereksperimen. “Menimbang-nimbang suara speaker yang datang dari berbagai merek televise, mencatat kelebihan dan kelemahan setiap speaker. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah ramuan speaker yang kecil, tetapi bisa bersuara lantang, mampu menjadi speakr outdoor yang kecil tapi andal suaranya, ucapnya. Produk awal yang dihasilkan Sony adalah sound system dengan komponen 8 pelantang 4 inci dan satu tweeter dalam satu boks. Speaker pertamanya dibuat pada 2013 setelah enam tahun Sony melakukan eksperimen suara. Setahun kemudian, dia membuat sensasi dengan menciptakan pelantang kedap air.

Saat mendemonstrasikan, pelantang karyanya itu dimasukkan ke dalam akuarium yang ada di ruang pamernya di wilayah Bintaran, Yogyakarta. Pelantang masih tetap berbunyi walau seluruh bidannya terendam air. Ini bukan sensasi, tetapi untuk mengatasi ketika sound system dipasang di tempat terbuka atau lapangan sementara kondisi sedang hujan. Persoalan ini sering mengganggu sebuah pertunjukkan, bahkan pentas bisa gagal dilaksanakan gara-gara hujan. Dengan speaker karya saya ini, kita tak resah lagi karena tahan diguyur hujan semalam suntuk sekalipun, “ujarnya.

Pada produk karyanya tahun 2013 dan 2014 sebagian komponen masih didatangkan dari Jerman, tetapi untuk produk 2015, total semua komponen dari dalam negeri. Suaranya sama dengan yang sebelumnya, saya hanya menyederhanakan penggunaan bahan yang lebih murah. Kalau speaker sebelumnya kayunya juga berkualitas dan aksesorinya semua bahan dari pelat besi. Yang sekarang hanya dengan kayu, katanya. Bahkan, pelantang yang dibuat pada 2015 ini lebih kecil lagi dan lebih ringan. Ada dua jenis produk yang dihasilkan.

Benar-benar kecil-kecil cabe rawit. Dalam deminstrasi saya di Gombong beberapa waktu lalu, kami hanya menggunakan si kecil ini. Itu pun hanya dua speaker dalam satu boks ditambah dua speaker 15 inci sebagai low nya, sudah bisa pentas organ tunggal. Padahal, suasana di luar ruang yang cukup terbuka” kata Sony. Meski yakin karyanya ini bisa dikembangkan menjadi usaha pabrikan, Sony sama sekali tidak bermimpi. Keyakinannya, banyak home industry di Eropa dan Amerika yang bisa mengeluarkan produk terkenal di dunia.

Kalau pabrikan nanti masuk toko musk harganya jadi mahal, padahal niat saya membuat speaker murah tapi berkualitas untuk mendampingi masyarakat bawah. Tempat ibadah masjid dan gereja juga bisa menggunakan speaker ini. Biarlah saya hidup dari restoran saya, tetapi speaker ini jadi proyek idealism saya, katanya. Pemusik atau grup band besar pernah menggunakan pelantang karya Sony, seperti Gideon Tanker, mertua artis Rafi Ahmad, bahkan peralatan studionya di Bogor menggunakan pelantang buatannya. Indra Lesmana saat bermain di sebuah kafe di Bali, grup band The Rain, Kotak, gitaris Bali Balawan, dan masih banyak lagi. Bahkan, pelantang buatannya sampai kini masih dipajang di Expo Milano 2015.

Sumber:  Kompas, Senin, 26 OKtober 2015