Di tangan orang-orang kreatif, batik dapat diperkaya dengan pengembangan motif-motif lokal Nusantara. Salah satunya Nurcahaya Nasution (70), pensiunan pegawai negeri sipil di Medan, Sumatera Utara. Dia mengembangkan batik etnik khas Medan, Sumut, dan Opung.
OLEH AUFRIDA WISMI WARASTRI
Usaha batik etnik Nurcahaya Nasution dikembangkan anak-anak dan menantunya di kawasan Medan Tembung di Gang musyawarah, gang Al Halim Kiri, dan Gang Tapsel, di Jalan Letda Sudjono, Medan, Sumut. Motif yang diproduksi antara lain motif gorga (ukiran) Batak Toba dengan warna hitam,putih,dan merah; motif rebung khas Melayu berwarna hijau, kuning; atau motif pakis dari Simalungun. Selain itu, juga motif Karo dan Nias. Ia juga mulai membuat batik moti peranakan dan motif landmark Kota Medan.
Kebanyakan batik menggunakan teknik campuran antara cap dan canting. Kain putih dicap motif etnik, lalu dicap warna cerah sesuai warna etnik di Sumut. Motif lalu ditembok (diblok) dengan lilin dan dicelup dengan warna berbeda sehingga menghasilkan warna yang diinginkan.
Produksi ketiga usaha batik rintisannya tersebut kini sudah mencapai 2.000 lembar batik per bulan. Usaha itu melibatkan lebih dari 100 perajin, baik yang bekerja di rumah maupun di tempat produksi di tiga lokasi tadi. Batik dipasarkan di Sumatera dan Jawa. Karena sudah sepuh, Nurcahaya lebih banyak berbagi ilmu melalui lembaga kursus dan pelatihan (LKP) seraya membantu produksi sebisanya.
Berawal dari pelatihan
Nurcahaya adalah pensiunan Kepala Sub-Seksi Imunisasi Dinas Kesehatan Deli Serdang, Sumut, tahun 2000. Setelah pension,dia hanya sibuk momong cucu. Suaminya, Kusmin, seorang guru bahasa Inggris, sudah meninggal tahun 1999. Momong cucu dilakukan hingga ke Yogyakarta, saat itu anaknya melanjutkan studi di kota itu.
Ketertarikan pada batik terjadi tahun 2008 saat Nurcahaya mengikuti pelatihan membatik di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sumut selama dua pekan. Ia dikirim mewakili kota Medan melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Medan.
“Saya cari-cari ada pelatihan apa supaya ada kegiatan. Waktu itu ada pelatihan batik dan tenun, saya di suruh ke batik. Padahal, awalnya saya tidak banyak tahu soal seni,” tutur Nurcahaya di tempat produksi Batik Opng di Gang Tapsel, Medan, pertengahan Januari 2016. Bangunan itu sekaligus menjadi tempat kursus membatik LKP Sandur Sadalanan.
Setelah pelatihan, dia juga sering mengamati aktivitas para ibu yang tinggal di daerah tempat tinggalnya di Gang Musyawarah. Selepas pekerjaan rumah, mereka biasa duduk-duduk sambil bergunjing saja.
Setelah pelatihan, Nurcahaya berfikir untuk mengajak para ibu membatik karena pekerjaan itu membutuhkan tim. Namun, ia merasa ilmunya belum cukup. Ia pun mencari donatur yang bisa membiayai dirinya ke Jawa untuk belajar membatik. “Ongkos tiket saja. Kalau tidur, saya bisa tidur di masjid,” katanya.
Namun, ternyata tak ada yang bisa memberikan spomsor. Akhirnya Nurcahaya pergi dengan ongkos sendiri ke rumah gurunya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Selama seminggu, ia kembali belajar membatik dari guru yang pernah mengajarinya saat kursus di dekranasda Sumut sebelumnya.
Pulang dari Tasikmalaya, Disperindag kota Medan menggelar pelatihan membatik dan Nurcahaya ditawari menjadi pelatih. Pesertanya adalah ibu ibu Gang Musyawarah.
“S aya sebetulnya tidak percaya diri mengajar, tapi di dorong oleh Disperindag, jadi mau tak mau akhirnya melatih,” cerita Nurcahaya, yang dispa “Opung” oleh murid-muridnya itu. Sebanyak 20 peserta turut dalam pelatihn itu. Honornya ia gunakan untuk membeli peralatan membatik dengan memesan dari Tasikmalaya.
Bersama para ibu
Tahun 2009, Nurcahaya mulai membuat batik seadanya bersama para ibu di Gang Musyawarah. Lali, dating ke UKM Center Sumut yang memberikan kesempatan bagi 20 orang lagi untuk dilatih membatik. Pelan-pelan, para peserta kursus gelombang 1 dan 2 mulai memproduksi batik.
Kesempatan pertama pameran datang dari Pemerintah Kota Medan yang mengajak para pengrajin pameran di Stabat,Langkat. “Batik kami masih jelek-jelek tapi his (terjual),” ujarnya mengenang. Motif batik waktu itu masih dari Jawa.
Banyak orang menganjurkan agar Nurcahaya juga membuat batik dengan etnik Sumut. Ia pun mencari motif-motif khas Sumut di Perpustakaan Daerah Sumut di Medan. Gambar itu di fotokopi lalu direproduksi dalam cap batik. Peralatan membatik dia beli dari uang pensiunnya.
Batik Medan
Nurcahaya lantas mengembangkan “batik Medan”bersama menantu dari anak ke duanya di Gang Musyawarah. Tahun 2011, ia kemudian pindah ke rumah anak ketiganya di Gang Al Halim Kiri, Jalan Letda Sudjono, Tembung, Medan.
Di Gang Al Halim Kiri, ia mengembangkan batik yang sama dengan nama “batik Sumut” bersama anak ketiganya. Ia juga melatih warga melalui lembaga kursus yang didirikan sejak 2010, bernama Saudur Sadalanan. Ini nama bahasa Mandailing, yang berarti searah seperjalanan. Nama itu muncul dari nama motif batik miliknya yang terpilih menjadi juara harapan III Lomba Desain Batik Tingkat Nasional di Bandung tahun 2010.
Setelah batik Sumut berkembang, Nurcahaya pindah lagi ke rumah anaknya di Gang Perjuangan. Bersama anak pertamanya itu, dia mengembangkan batik Opung. Awal tahun 2016 ia pindah ke Gang Tapsel, tempat yang memang di desain untuk pelatihan dan produksi batik Opung.
Dia juga baru saja menyelesaikan pelatihan Program Kewirausahaan Masyarakat 2015 Bantuan Block Grant Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan. “Ada 15 orang yang ikut, tapi yang benar-benar serius hanya 5 orang saja. Saying, ya,” katanya. Murid biasanya gagal karena kurang tekun membatik.
Melatih membatik
nurcahaya juga melatih banyak batik di banyak daerah di Sumut, seperti Nias Utara, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, Simalungan, dan Tanjung Balai, Muridnya mencapai ratusan orang.
Selain teknik membatik, pelatihan juga mengajarkan kewirausahaan dan manajemen usaha. “Kami membuat kurikulum sendiri,” ucapnya.
Untuk memperkaya ilmu perbatikan, ia kembali menimba ilmu ke Jawa, seperti Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan, atas sponsor lembaga-lembaga yang peduli pada pengembangan UMKM, seperti Universitas Sumatera Utara. Sampai saat ini, bahan baku produksi masih dikirim dari Solo dan Pekalongan.
Selain produksi biasa, banyak kelompok yang memesan seragam batik, pendapatan perajin pun meningkat karena batik. Bahkan sudah ada muridnya yang bisa lulus kuliah hingga D-3 berkat batik. Mereka yang dulu suka bergunjing pun berkurang kerena sibuk membatik dengan penghasilan tiap perajin Rp 3juta-4 juta per bulan.
Prospek batik kian menjanjikan karena Pemerintah Kota Medan tengah mendorong terbentuknya kluster batik. Apalagi, kini disiapkan seragam batik untuk PNS dengan motif pucuk rebung yang membutuhkan belasan ribu lembar batik. Motif itu mulai di produksi bersama tujuh kelompok pengrajin di Medan.
Nurcahaya bahagia karena usahanya dalam mengembangkan batik etnik Sumut terus tumbuh. Produktivitasnya meningkat justru saat dia pension dari PNS. “Saya sampai lupa mengambil uang pensiun,” ujarnya sembari tertawa.
NURCAHAYA NASUTION
- Lahir : Parbondar, Tapanuli Selatan, 10 Mei 1945
- Pendidikan : S-1 Jurusan Pendidikan Umum Universitas Al Washliyah, Medan
- Anak :
- Zuhair Kustanto (46)
- Zuhrina Kustanti (44)
- Zuhrita Kustiwa (43)
- Zuhnisa Sulini (34)
- Cucu : 12 orang
- Penghargaan :
- Juara harapan ll Lomba Motif Batik Kementrian Pendidikan dan kebudayaan , Bandung, 2010
- Juara l Gugus Kendali Mutu Kota Medan, 2010
- Juara l Gugus Kendali Mutu Sumatera Utara, 2010
- Juara lll Gugus Kendali Mutu Kementrian Perindustrian, Padang, 2015
- Penghargaan Sistem Inovasi Daerah (SIDA) dari Pemerintah Kota Medan atas pembuatan canting, Medan, 2015
UC LIB-COLLECT
KOMPAS.3 FEBRUARI 2016.HAL.16