Lebih dari separuh umur Saturi (63) dihabiskan untuk menggeluti rebana barungan. Ia dianggap sebagai guru oleh para penekun seni khas Lombok, Nusa Tenggara Barat, itu. Kini sang guru resah karena semakin sedikit anak muda yang mengikuti jejaknya sehingga tradisi ini terancam hilang.
Oleh: Khaerul Anwar
Laki-laki itu dikenal sebagai seniman tulen rebana barungan di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Warga Dusun Langko Daye (utara), Desa Langko, Kecamatan Lingsar, itu tidak hanya dikenal sebagai penabuh, tetapi juga pembuat rebana, pemaud (penyelaras nada), dan pemokok (pemilik) instrumen rebana. Itu semua adalah jejak perjalanan panjang Saturi menekuni rebana barungan.
Rebana barungan adalah ensambel rebana yang memainkan lagu lewat gending dan suling sebagai melodi. Rebana digunakan sebagai pengiring yang mengambil potongan-potongan notasi di awal, tengah, dan akhir lagu.
Rebana yang dipakai di Lombok Barat bentuknya mirip ember, berbeda dnegan rebana kasidah yang pipih. Cara memainkannya dipukul dengan tongkat, bukan dengan telapak tangan. Laras nada rebana barungan juga khas. Nada dasarnya pentatonik, terdengar nung, ning, neng, nong, ning, nang.
SATURI
- Lahir: Dusun Langko Daye (utara), Desa Langko, Lombok Barat
- Usia: 63 tahun
- Istri: Indak (60)
- Anak: Jumasih (53)
“Saya senang main rebana barungan. Makanya, satu gending bisa saya hafal sehari,” ujar Saturi saat ditemui di rumahnya, pertengahan Agustus lalu. Di sana, ada gulungan kawat dan rotan-rotan- membuat rebana- yang tergantung pada satu tiang penyangga ruang tamu. Di depan rumahnya, ada gubuk untuk menyimpan rebana siap jual milik pemesan. Ada pula satu set rebana milik Saturi
Berproses
Saturi menggeluti kesenian rebana barungan menjelang lengsernya Presiden Soekarno. Saat itu, ia baru saja putus sekolah di kelas V sekolah dasar karena orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikan lanjutan. Untuk mengisi waktu, ia membantu ekonomi keluarga dengan menjadi buruh bangunan sembari menekuni rebana.
Awalnya ia memainkan kenceng, alat musik ritmik yang dinilai paling mudah dimainkan. Selanjutnya, ia menjadi penabuh instrument inti, yakni rebana. Bersama seniman rebana lain, ia berkeliling dari satu kampung ke kampung lain di Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Lombok Timur pada acara khitanan, pernikahan, dan hajatan lain.
Tahun 1979, Saturi membentuk Kelompok Rebana Barungan Buana Putra. Bersama kelompok itu, daya jelajahnya di Lombok semakin luas. “Saya pernah satu minggu tidak pulang, lelah sekali saya,” katanya.
Namun, kelelahan itu terbayar oleh sambutan meriah penonton dan perlakuan ramah tuan rumah. Sambutan itu seperti memberikan energi tambahan pada setiap penampilan Saturi dan kawan-kawan.
Pada tahun 1990-an banyak grup rebana barungan yang tidak aktif lagi. Banyak rebana yang tak lagi terurus atau rusak. Kondisi itu mendorong Saturi untuk mencoba membuat rebana sendiri. Rebana karyanya ternyata dianggap cukup baik. Sejak saat itu, ia menjadi pembuat rebana.
Selagi tidak ada undangan tampil, Saturi mengisi hari-hari dengan membuat rebana sesuai pesanan. Dalam 20 tahun terakhir, ia memenuhi pesanan 25 set rebana untuk 25 sekolah dan 5 set untuk grup kesenian. Tiap set rebana terdiri atas enam unit rebana, sepasang gendang dan gong, dan satu unit petuk yang dijual Rp 5 juta-Rp 12 juta.
Begitulah Saturi berproses. Ia tidak lagi sekedar penabuh, penyelaras nada, dan pembuat rebana, tetapi juga dianggap guru. Ia kreatif menggali gending lama yang jarang dimainkan kelompok rebana lain, seperti gending “Kepundung” yang iramanya lamban-cepat dan syairnya jenaka, “Kepundung Bawa’ Wani” (Kepundung di bawah pohon kemang), “Kelepon Jongklang Ambon Goreng” (jajan kelepon ubi goreng), Ndak Tundung Inak Janari”(jangan usir Nyonya Janari), “Lalo Nyongkol Salon Koreng” (ikut nyongkol, walaupun ia pernah menderita penyakit kulit/koreng).
Saturi juga membuat gending “Ku Belau’ Ku Bedaya” (ngalor-ngidul), “Pacek Selane Sedin Rurung” (pasang celana di pinggir jalan), “Lamun Temau’ Pade Waye” (kalau dapat menikahi gadis usia setara), “Tanggep Rebane Ndek Te Burung” (menanggap rebana itu sudah pasti).
Karyanya yang lain berisi wejangan, seperti “Hadiah: Sai Ti Ye Peletong Pao” (siapa dia yang melempar manga, “Beli Nangke Le’ Sweta” (beli nangkas di Pasar Sweta), “Sai Ti Ye Ndek Ne Nao”” (siapa dia yang tidak tahu), dan “Isin Nerake Si’ Ne Pete” (padahal pekerjaan yang dicarinya membuatnya akan masuk neraka).
Resah
Seiring dengan waktu, masa kejayaan rebana barungan berangsur redup. Saturi mengakui hal itu. Ia bilang, rebana barungan makin terdesak oleh musik kontemporer, terutama dangdut dan pop. Masyarakat Lombok kini lebih senang menanggap grup dangdut ketimbang rebana barungan.
Undangan bermain untuk rebana barungan semakin jarang. “Paling-paling sekali sebulan,” ujarnya.
Sekali tampil, bayarannya Rp 4 juta-Rp 5 juta. Dari upah itu, setelah dibagi dengan anggota kelompok, Saturi menyisihkan jatahnya antara lain untuk biaya kuliah cucunya, Royani mahasiswa semester akhir Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.
Namun, bukan uang yang membuat Saturi risau, melainkan kelangsungan seni tabuh rebana barungan. Selain tergerus musik dangdut, kesenian ini terdesak langkanya bahan pembuat rebana. Kayu nangka sebagai watang (badan) rebana, misalnya, kini sulit ditemukan di kebun atau hutan.
Pemaud atau penyelaras nada rebana pun makin sulit ditemukan. Padahal, posisi mereka sangat penting untuk memastikan laras nada rebana Lombok yang khas bisa disetel dengan pas. Menurut almarhum Ida Wayan Pasha, penekun gemalen Sasak, Lombok, laras nada rebana Lombol, frekuensi suaranya naik kurang dari setengah dibandingkan nada B dan E pada musik diantonis (Kompas, 19 Juni 2001).
Para seniman rebana yang aktif kini semakin menua, sementara regenerasi tidak berjalan mulus. “Sudah 20 orang (usia di bawah 20 tahun) saya ajar menabuh, tapi mereka kurang sabar, cepat bosan,” kata Saturi.
Dari 25 anggota kelompoknya, 75 persen berusia 45 tahun-60 tahun. Namun, ia memaklumi kondisi itu terjadi akibat musik rebana barungan punya tingkat kesukaran yang tinggi yang disebutnya filosofi “menangkap angit”.
Artinya, memainkan rebana bukan membaca not balok, melainkan dengan ngidung, yakni menirukan notasi gending dengan mulut, biasa dilakukan pelatih kepada penabuh. Penabuh harus hafal notasi, dan itu menuntut kepekaan dan rasa musikal seseorang.
Karena rebana barungan merupakan hasil kerja kolektif, para penabuh mesti bersedia “saling mendengar” diantara mereka. Dengan begitu, keselarasan melodi dan irama tiap nada instrument rebana bisa enak didengar.
“Tapi, pelan-pelanlah saya latih. Insya, Alla satu-dua anak bisa saya bikin menjadi penabuh agar ada yang menggantikan kami yang tua-tua ini,” ungkap Saturi dengan mata berkaca-kaca.
Sumber: Kompas.3-September-2016.-Hal.16