Suatu saat Anda melakukan suatu kompromi dengan istri tercinta.  Anda diajak sang istri ke suatu perjamuan terbatas, grup sang istri, suatu grup sosial yang biasanya hanya dihadiri ibu-ibu.  Kali ini, Anda diajak karena kali ini semua pasangan diajak.  Hari itu adalah hari ulang tahun S klub sosial mereka.

Anda dengan ogah-ogahan, Anda katakan ikut dengan syarat, Sabtu Minggu mendatang akan nge-gouwes dengan kawan-kawan ke luar kota.  Istri setuju.  Terwujudlah kompromi yang saling menyenangkan.  Jadilah suatu definisi, “kompromi adalah suatu persetujuan di mana kedua belah pihak mendapatkan keinginan masing-masing”.

Yang namanya kompromi, boleh saya katakan, adalah pelumas roda kehidupan.  Bertaburan dan bertebaran dalam pelbagai sisi kehidupan manusia.

Itu terjadi dalam hubungan suami istri, orang tua anak, sejawat di kantor, atasan bawahan, pembeli dan pembeli, pedagang satu dengan lainnya, pemerintahan suatu negara dengan negara lainnya.  Kompromi adalah roda kehidupan.

Kata kompromistis, yang mengacu kepada para pelakunya, bisa ditafsirkan sebagai sebuah predikat yang positif, bisa juga negatif.  Hal itu masalahnya.  Kompromi ucapan selamat hal selalu layak dipuji.  Malah, kompromi bukan suatu hal yang nista.

Mari kita lihat, seandainya Anda adalah seorang penganut paham “berkompromi dalam segala hal”.  Anda, dalam hal ini adalah seorang yang ultrakompromistis.  Apa saja yang Anda miliki dapat dipertukarkan, dengan landasan kompromi.  Lawan negosiasi Anda, dengan segala permintaannya, Anda penuhi.

Pertanyaan untuk ini adalah, “Bila Anda secara konstan melakukan kompromi dalam segala bidang kehidupan Anda, bagaimana caranya agar Anda dapat meraih potensi terbaik Anda? ”

Bila Anda seorang mahasiswa, dan Anda selalu kompromi terha- dap ajakan pacar untuk menonton, misalnya padahal ujian kuliah terbentang hari esok dan sepekan ke depan?

Hidup memang soal soal hitam putih.  Hidup juga terdiri atas nuansa yang berjenjang.  dari putih hingga abu-abu, dan warna-warna lain hingga kemudian menuju ke arah hitam pekat.

Namun, bila kita tak memiliki suatu pijakan yang jelas antara tidak dan tidak, kita adalah layang-layang yang mengembara tanpa arah tujuan.  Kita “ngeli dan sekaligus keli”.  Kita menghanyutkan diri dan akhirnya terhanyut.  Kita akan tenggelam ke dalam dasar perairan yang tak jelas rimbanya.

Jelas pula, bila sikap itu terus terus menerus, persepsi pun akan timbul terhadap Anda sebagai orang yang lemah.  Seorang yang tak berpendirian.  Seorang yang tak berprinsip.  Tak berkarakter.  Seorang yang pagi adalah tempe, dan sore menjadi kedelai.  Rencana seorang yang plin.  Kata Iron Lady, Margareth Thatcher perihal ini, “Bila Anda telah men- set untuk menjadi orang yang masuk, Anda harus Bersiap-siap untuk berkompromi, dalam segala kompromi itu baik, sepanjang di- segala konsekuensinya, segala baik -buruknya.  Kompromi itu sehat asalkan tak memperjualbelikan kehormatan, martabat, dan integritas.

Dalam pepatah Jawa, mereka ini adalah orang yang sudah pandai mewujudkan falsafah “ngono yo ngono, ning ojo ngono” alias begitu ya begitu jangan begitu.  Dalam kasus ini, kompromi itu baik, tetapi jangan berlebihan.  Demikianlah, segala sesuatu yang berlebihan itu tak baik adanya.

Pada sisi ekstrim yang lain, tiada dikenal apa yang disebut sebagai kompromi.  Target kami negosiasi. Target kami adalah berakhirnya sistem apartheid. Dalam soal ini kami tak mengenal kompromi, “kata Oliver Tambo, Presiden Kongres Nasional Afrika manakala gejolak perlawanan apartheid semakin membuncah di Afrika Selatan.

Pada Perang Dunia II, Jerman di bawah Hitler berhasil menaklukkan banyak negara Eropa tetapi gagal menundukkan Inggris yang dipimpin oleh Winston Churchill.  Dia kokoh memegang prinsip anti komprominya, bahkan ha- rus bertikai dengan rekan politikus senegaranya.

Churchill pun terkenal dengan pidatonya yang menggelegar, ajakan bangsanya untuk “Never … never give up !!!”  Jangan pernah menyerah !!!

Moralitas kompromi terdengar kontradiktif.  “Kompromi, pada umumnya adalah pertanda kelemahan, gejala gejala ke arah kekalahan. Orang-orang yang kuat tak akan berkompromi, dan berkata berkata, hal-hal prinsip tak boleh dikompromikan,” kata Andrew Carnegie.

Semuanya berpulang kembali ke kita.  Mau memilih sikap pertama, kedua, atau ketiga.  Masing-masing ada plus dan ada minusnya.  Demikianlah, kembali hakikatnya, hidup adalah soal pilihan.  Silakan pilih.

 

Sumber: Bisnis-Indonesia-Weekend.11-Maret-2018.Hal_.2