Endi Aras
Kehidupan Endi Agus Riyono (53) penuh dengan warna-warni gasing seluruh Nusantara. Endi Aras, sapaan akrabnya, rela berkeliling Indonesia memunguti permainan tradisional gasing. Ratusan gasing koleksinya dibawa keliling sampai melanglang buana. Dia menyebut dirinya sebagai pemulung, mengumpulkan mainan yang sudah sulit ditemukan.
OLEH SUSIE BERINDRA
Anak-anak gembira bermain di luar rumah dengan iringan lagu berbahasa Jawa, ”Padang Bulan”. Mereka memainkan beberapa permainan atau dolanan yang berasal dari Jawa, seperti lempar sarung, pedang-pedangan kayu, dan cublak-cublak suweng.
Pertunjukan dilanjutkan dengan egrang batok yang digerakkan anak-anak dengan menggunakan tangan dan kaki lewat sebuah tali. Gerakan dinamis antara kaki dan tangan yang menimbulkan suara seperti langkah kaki bersepatu berpadu dengan iringan lagu grup rock asal Swedia, Europe, yang kondang di tahun 1986-an, ”Final Count Down”. Mereka menyebutnya Magic Batok Dance.
Di akhir pertunjukan Operet Dolanan yang dipersembahkan Sanggar Humpipah, mereka mengajak para tamu yang hadir, salah satunya penyanyi Nini Carlina, untuk bermain kuda lumping. Kemudian mereka membuka poster-poster yang berupa ajakan untuk memainkan dolanan tradisional, yang lebih banyak dilakukan di luar ruang.
Begitulah kira-kira suasana pembukaan Pameran dan Gelar Permainan Tradisional: Menyelami Kegairahan Masa Kecil di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), yang berlangsung pada 22-28 Februari 2017.
Sebuah pameran yang memperlihatkan sekaligus mengenalkan kembali permainan tradisional zaman dulu. Ajang untuk menjaga sejarah bangsa supaya tidak punah.
Dua hari sebelumnya, Endi sudah sibuk mempersiapkan segala hal di BBJ. Semua koleksi gasing dan permainan tradisional lain dari beberapa daerah dikeluarkan dari galeri rumahnya. Mulai dari congklak (dakon) dari Jawa dan Kalimantan, sepak bola kelereng, mobil othok-othok, katapel, sampai egrang. Pameran ini juga menampilkan layang-layang koleksi Yayasan Masyarakat Layang-layang Indonesia.
Bukan hanya memantau persiapan, Endi tak segan-segan ikut mengangkat gasing raksasa dari Bali yang diberi nama Tjero Tri Datu. Gasing seberat 4 kuintal berwarna hitam dengan warna merah dan putih melingkari bagian atasnya membutuhkan sekitar 12 orang untuk mengangkatnya. Endi membeli gasing seharga Rp 60 juta ini, yang kemudian dipamerkan di acara Tafisa World di Ancol, Jakarta, 2016.
Jatuh cinta
Selepas lulus kuliah dari Universitas Satya Wacana, Salatiga, Endi merantau ke Jakarta. Tahun 1998, dia bekerja sebagai reporter paruh waktu yang kemudian mendirikan majalah Warisan Indonesia. Profesinya sebagai wartawan memungkinkan Endi bertemu dengan banyak orang. Kemudian dia mendirikan event organizer (EO) yang mengkhususkan pada acara seni budaya.
Kecintaan Endi pada gasing berawal dari pekerjaan yang digarap EO yang dimilikinya. Tahun 2005, dia mendapat kesempatan untuk menjadi pelaksana Festival Gasing Indonesia di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Saat itu, Endi yang besar di Salatiga, Jawa Tengah, memang tak bisa memutar gasing. Setelah acara, dia berpikir bagaimana menyimpan gasing-gasing yang berasal dari seluruh penjuru Tanah Air. Tekad untuk menyimpan, merawat, dan melestarikan permainan gasing pun menyergap dirinya. ”Gasing ini kalau tidak ada yang mengurusi bisa bubar nih, dalam hati saya. Nah, saya seperti ketolak (termakan) omongan sendiri,” katanya.
Alhasil, jika ada kesempatan jalan-jalan ke sejumlah daerah, Endi selalu mencari gasing khas daerah tersebut. Bukan hanya gasingnya, Endi juga berusaha mencari asal-usul, mendokumentasikan bahan, cara membuat, pemain, sampai perajinnya. Kini, di rumahnya, dia sudah memiliki koleksi hampir 500 jenis gasing.
Untuk mengenalkan permainan tradisional yang ada di seluruh Indonesia dengan berbagai macam bentuk itu, Endi untuk pertama kalinya menggelar pameran di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada tahun 2007. ”Selama satu setengah bulan, saya pameran di sana. Banyak yang bilang saya ini gila, tanpa sponsor berani bikin pameran,” kata Endi yang saat itu baru memiliki seratus gasing.
Setelah pameran, banyak pihak yang menyarankan agar Endi mengoleksi permainan lainnya. Dia pun memperluas perburuannya, dengan koleksi congklak, bekel, gundu (kelereng), terbangan/tambur dari tanah liat, katapel, yoyo, gatrik/bentik, kodok-kodokan dari tanah liat, bakiak, dan kapal-kapalan.
Semuanya itu disimpan di Galeri Dolanan miliknya, di Taman Serua, Depok.
Mencari gasing berkeliling Nusantara memang tak mudah. Banyak warga yang sudah tak lagi mengenal gasing.
Misalnya, saat Endi pergi ke Lombok, Nusa Tenggara Barat. ”Saya bukan hanya bertanya kepada satu orang, tetapi sampai sepuluh orang, baru kemudian menemukan gasing. Lalu bertemu dengan seorang guru SD dan diajak festival adu gasing, yang lokasinya di tengah-tengah gunung,” kata Endi.
Setiap kali menemukan permainan yang langka, Endi tak segan-segan merogoh kantongnya. Seperti ketika menemukan dakon atau congklak yang unik dari kayu ulin di Pontianak, Kalimantan Barat, seharga Rp 2,5 juta langsung dibelinya. Bahkan, pernah suatu kali, dia sampai meminjam uang kepada temannya untuk membeli gasing.
Perjuangan mencari gasing keliling Indonesia tak sia-sia. Koleksi gasing miliknya sangat beragam, mulai dari bentuk sampai warna-warninya. Dia pun memiliki koleksi evolusi gasing dari Lombok, mulai dari bentuk gasing paling kuno sampai yang kekinian.
Seiring dengan bertambahnya koleksi permainan tradisional, Endi pun gencar menyosialisasikan ke banyak sekolah, mal, dan kantong-kantong kebudayaan lainnya. Bersama anggota komunitasnya, Endi juga sering memamerkan koleksi permainannya di kawasan tanpa kendaraan bermotor atau car free day Jakarta setiap akhir pekan.
”Biasanya anak-anak yang tertarik duluan, baru orangtuanya ikut mendekat. Setiap permainan tradisional terdapat nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, sportivitas, kebersamaan, kesederhanaan, dan taat pada aturan. Anak jangan diajarkan main gawai terus,” kata pria yang selalu mengenakan udeng Bali ini.
Untuk udeng, Endi juga mempunyai koleksi dalam berbagai warna.
Satu pengalaman menarik saat Endi menggelar pameran di London. Dalam beberapa hari, semakin banyak orang asing yang datang dan tertarik untuk melihat gasing. ”Salah satunya guru dari Spanyol yang tertarik pada gasing. Dia merupakan guru sekolah alam, yang ingin mengenalkan gasing kepada anak didiknya. Saya senang sekali mendengarnya, lalu saya kasih satu tas isi 30 gasing. Dia sangat terharu, malah enggak mau pulang-pulang,” cerita Endi sambil tertawa.
Tahun 2014, dia mendirikan Sanggar Humpipah bagi anak-anak di sekitar kompleks perumahan. Mereka dilatih menjadi pemain gasing, peraga permainan, pemandu, dan pemain teater. Hingga kini, sanggar itu sudah memiliki 40 anggota anak-anak.
Salah satu karyanya, Operet Dolanan, yang dipentaskan pada pembukaan pameran, memperkenalkan permainan tradisional lewat kesenian, dalam bentuk teater, tari dan musik. Selain itu, Endi juga mendirikan Kampung Dolanan Nusantara di Magelang, Jawa Tengah.
Kini, Endi masih akan melanjutkan perjuangannya melestarikan permainan tradisional. Tahun ini, dia menyusun rencana pameran ke seratus kota se-Jawa dan Bali. Harapannya, anak-anak Indonesia mengenal permainan khas Tanah Air.
Bagi Endi, permainan gasing memiliki filosofi mendalam. ”Filosofi gasing adalah keseimbangan. Kenapa gasing berputar lama? Karena seimbang, Kalau manusia hidupnya seimbang antara jasmani dan rohani, pasti akan berumur panjang,” kata Endi. (*)
ENDI AGUS RIYONO
- Lahir: Blora, 26 Agustus 1963
- Pendidikan:
- SD Negeri Jeglog, Salatiga
- SMP Pangudi Luhur, Salatiga
- SMA Kristen1, Salatiga
- Psikologi Pendidikan, Universitas Satya Wacana, Salatiga
- Pengalaman:
- Festival of ASEAN Cultural Expressions, Brunei (2014)
- Jambore Pramuka Dunia, Jepang (2015)
- Pameraan Gasing di Indonesia Weekend, London (2016)
- Olimpiade Olahraga Tradisional Dunia, Tafisa World, Jakarta (2016)
- Buku:
- “Indonesian Gasing Harmony In Diversity”.
Sumber : Kompas. 25 Februari 2017. Hal. 16

