
Pagelaran Sea Games 2017 yang dihelat di Mlaysia memunculkan beberapa isu panas yang melibatkan relasi bilateral Indonesia dan Negara Jiran tersebut. Pertama, bendera negara Indonesia dalam buku panduan SEA Games tercetak terbalik dengan susunan warna putih berada di atas warna merah. Kontan hal ini memancing marah segenap rakyat Indonesia. Panitia SEA Games telah meminta maaf secara terbuka. Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi juga telah bertemu dengan Menpora Malaysia sebagai upaya solusi konflik.
Kedua, di gelanggang sepaktakraw putri, Indonesia memutuskan untuk walk out (WO) pada laga final saat melawan Malaysia karena merasa dicurangi wasit. Indonesia memutuskan mundur meski di set kedua dalam posisi memimpin 16-10. Pihak pelatih mengonfirmasi bahwa tim Indonesia merasa wasit sering menganggap pemain Indonesia melakukan kesalahan servis. Hal yang dipandang tidak wajar hingga memicu protes berbuntut WO.
Kedua, di lapangan sepakbola, Indonesia yang memenangkan pertandingan melawan Timor Leste harus mengakhiri pertandingan dengan insiden antar-pemain kedua kesebelasan yang mengakibatkan pemain kunci Indonesia, Evan Dimas, mendapatkan akumulasi kartu kuning. Akibatnya, Evan tidak dapat bertanding dalam partai hidup mati melawan Vietnam pasa Selasa, 22 Agustus 2017. Wasit dari Malaysia pun dituding sengaja menghukum Evan untuk menjegal tim nasional Indonesia maju ke babak berikutnya.
Di media sosial, ketiga berita ini memantik reaksi keras masyarakat Indonesia. Ingatan kolektif tentang konflik historis dengan Malaysia, baik dalam hal seni budaya, klaim kepemilikian pulau di daerah perbatasan, atau konflik lain mengemuka kembali. Beberapa warganet meminta pemerintaah untuk bertindak tegas layaknya Soekarno, dengan mengajukan gugatan ke pemerintah Malaysia.
Bagaimana kita menjelaskan hal ini? Mengapa rangkaian peristiwa negative yang dilami dapat dengan mudah dikaitkan dengan status Malaysia sebagai tuan rumah? Bagaimana ilmu perlikau dapat memberikan landasan teoritis?
Atribusi
Dalam ilmu psikologi sosial, kajian tentang bagaimana struktur kognisi manusia mencari penjelasan atas sebuah peristiwa tergolong dalam kajian atribusi. Atribusi tidak hanya terjadi dalam level individual, tetapi dapat juga pada level antar-kelompok, sebagaimana interaksi dan ketegangan Indonesia dan Malaysia sebagai fokus diskusi kita saat ini.
Jika kita merunut fenomena ini dengan kacamata yang lebih luas, sebenarnya sentiment antar-negara juga terjadi di Inggris Raya pada 1873 dan Jerman pada 1990. Khususnya, saat negara –negara di kedua kawasan tersebut mengalami sebuah resesi ekonomi hebat. Para warga Inggris Raya menganggap penyebab resesi ekonomi nasional adalah para imigran dari Eropa Timur. Para warga Jerman menyebutnya dengan istilah Gastarbeiter atau pekerja imigran.
Warga asli Inggirs maupun Jerman menganggap, para pekerja imigran inilah akar permasalahan dari resesi ekonomi yang terjadi. Mereka menganggap bahwa seharusnya pekerjaan-pekerjaan di negeri mereka dikhususkan untuk warga asli.
Namun uniknya, ketika perekonomian di Britania dan Jerman membaik, mereka mengidentifikasikan penyebab sukses ini adalah kualitas ras mereka yyang superior. Frederich Nietzchr, seorang filosif Jerman, menyebut ras Jerman dengan istilah Ubermensch, yang berarti superhuman atau hyperhuman. Sedang kualitas ras bangsa lain dianggap di bawah mereka.
Kondisi bahwa kita merasa menjadi bagian dari sebuah kelompok yang lebih besar, baik kelompok sosial, organisasi, maupun bangsa, secara saintifik disebut dengan istilah identitas sosial. Secara psikologis, identitas sosial akan memainkan peranannya membentuk etnosentrisme. Ini adalah kecenderungan seorang anggota kelompok untuk menganggap perilaku kelompoknya secara positif, dan sebaliknya, menganggap kelompok lain negative.
Selanjutnya, Individu akan membuat proses atribusi. Secara psikologis, atribusi positif cenderung akan dibuat untuk kelompok sendiri. Sedang atribusi negative cenderung akan di berikan ke kelompok lain. Sebagai contoh, dalam olahraga. Jikat tim nasional kita menang, kita cenderung menyebut penyebabnya adalah pemain kita bermain baik, dan Pemain lawan buruk. Namun jika kelompok kita kalah, penyebabnya adalah wasit curang.
Proses ini semakin kentara terjadi pada individu yang memiliki ambisi besar untuk berprestasi dalam bidang apapun.
Kolaborasi Mutualisme
Miles Hewstone, professor Psikologi Sosial dari universitas Oxford pernah meneliti etnosentrisme di negara-negara Asia Tenggara. Ia membandingkan bias atribusi etnosentrisme pada orang-orang Melayu dan China di Malaysia dan Singapura. Hasil penelitiannya menarik. Orang-orang Melayu Malaysia ditemukan memiliki bias etno sentrisme yang lebih tinggi dari pada orang-orang China.
Lebih lanjut, Hewstone menjelaskan bahw aspek lain yang membentuk stereotip negative adalah konteks historis. Ketegangan bilateral di Indonesia dan Malaysa di masa lalu tidak dapat disangkai memberi daya dorong menguatnya sentiment anti Malaysia di Indonesia.
Konflik tntang klaim lagu daerah atau kepemilikan pulau di perbatasan merupakan jenis ketegangan yang mengarah ke identitas nasional. Ingatan kolektif tentang ketegangan historis harus dikontrol, jika pemerintahkedua negara berniat untuk memulihkan hubungan.
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat erefleksikan setidaknya dua poin penting, Pertama, kita perlu waspada dengan bias-bias kognitif dalam bernegara. Ki Hadjar Dewantara sebagaimana dimuat di Waskitha, berkata, pendidikan nasionalisme kita haruslah tetap tumbuh dalam tataran respek terhadap bangsa lain. Airlangga Pribadi Kusman menyebutnya “nasionalisme dalam tamansari internasionalisme.” Kebanggaan kita terhadap tanah air tidak boleh mencerabut hormat kita kenegara-negara lain.
Kedua, Pemerintah kita perlu cepat konsolidasi dengan pemerintah Malaysia, khususnya dalam membangun kegiatan-kegiatan antar-bangsa yang bertujuan memperbanyak pengalaman positif.
Kolaborasi mutualisme akan berperan sebagau kontak sosial yang dapat secara bertahap mengurangi stereotip negated dan prasangka. Kolaborasi bilateral juga bisa mencegah prasangka antar-kelompok diwariskan ke generasi berikut.
Sumber: Tabloid Kontan. 4-10 September 2017. Hal.31
