Bahasa ternyata sangat dinamis. Perubahan diwujudkan dengan munculnya banyak kata, frasa, atau gaya bahasa baru yang memperkaya bahasa Indonesia.

Generasi muda ternyata banyak berperan dalam memperkenalkan kata-kata baru. Contohnya saja frasa Kids Zaman Now. Frasa campuran bahasa Indonesia dan Inggris ini dengan gampang ditemuan di berbagai teks di media sosial dan media massa.

Ketua Program Studi Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran Lina Meilinawati mengatakan, kondisi yang serba digital membuat gaya bahasa baru yang tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan menjadi mudah menyebar ke khalayak. Media daring dan televisi sangat berperan menyebarkan frasa baru.

Lina mengatakan, frasa kids zaman now muncul karena dua faktor.

Pertama, bahasa Indonesia adalah bahasa yang masih tergolong baru dan belum digunakan oleh masyarakat secara baik dan benar.

Kedua, pengaruh bahasa asing ke dalam cara bertutur masyarakat Indonesia sangat besar.

Menurutnya, banyak orang yang merasa bangga jika berbicara menggunakan beberapa kosakata dalam bahasa inggris. “Kedua kondisi ini melahirkan fenomena seperti sekarang ini. Menarik sebenarnya untuk diteliti mengingat penggunaan frasa tersebut sebenarnya adalah ejekan terhadap kebiasaan mencampurkan bahasa asing dan bahasa Indonesia,” katanya.

Pengamat budaya dan media Justito Adiprasetio menambahkan, pada dasarnya kebanggaan menggunakan bahasa asing dan mencampurnya dengan bahasa ibu itu, dapat dilihat dari latar belakang historis bahasa Indonesia itu sendiri.

Dia menjelaskan, bahasa Indonesia terbentuk dari bahsa Melayu pasar, dan bukan bahasa Melayu yang adiluhung. Bahasa Melayu pasar terbentuk dari banyak serapan atau pencampuran berbagai bahasa secara eklektik. Selain itu, Indonesia sebagai negara pascakolonial yang terbiasa menyerap atau menggunakan bahasa asing.

“Penyerapan bahasa itu tentu tidak bisa dibatasi karena sifatnya kultural dan dinamis. Tidak bisa diminta penyerapan bahasa harus disesuaikan dengan kaidah bahasa yang berlaku,” ujarnya.

 

TREN SESAAT

Senada, Ketia Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Yusi Avianto Pareanom mengatakan bahwa gejala bahasa baru merupakan tren sesaat yang akan segera berganti dengan bahasa yang baru. Menurutnya, masyarakat hanya menggunakan frasa tersebut dalam percakapan dan tidak digunakan pada saat-saat resmi.

“Tidak ada dampak yang berarti. Penggunaannya juga akan meninggalkan. Masyarakat Indonesia saat ini sudah terbiasa berekspresi dengan [mencapurkan] beberapa bahasa sekaligus. Lagi pula, untuk konteks tersebut[frasa kids zaman now] semangatnya adalah main-main saja, ada latah di situ,” jelasnya.

Justito mangungkapkan kekhawatirannya mengenai kondisi bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa Indonesia berada dalam posisi sulit karena sebagian besar masyarakat masih belum menggunakan dengan baik.

Linier dengan hal itu, masyarakat jgua dituntut untuk menguasai bahasa Inggris agar tidak tersisih di era globalisasi.

“Kita berada di persimpangan itu. Di satu sisi menggunakan bahasa Indonesia belum becus, apalagi berbahasa Inggris. Jadinya muncul frasa campur aduk yang terdengan menggelikan seperti kids zaman now itu,” katanya.

Meskipun demikian, Yusi mengatakan bahwa fenomena ini juga dapat dilihat sebagai hal yang positif. Munculnya frasa ini membuktikan bahwa generasi muda lebih terbuka terhadap penggunaan bahasa asing.

Hal yang paling penting dari fenomena itu adalah bagaimana memunculkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Menurutnya, seharusnya masyarakat Indonesia dapat meniru yang dilakukan oleh negara lain dalam menjaga bahasa mereka.

Dia mencontohkan, pemerintah Iggris selalu berupaya mengenalkan beragam kesusastraan klasuk karya dari penyair kenamaan kepada generasi muda.

“Misalnya, Hamlet karya sastrawan William Shakespreare yang rumit diubah ke dalam versi bahasa Inggris yang lebih sederhana sehingga mudah dimengerti oleh anak muda. Jadi mereka mengenali sejarah karya sastra mereka, memahami bahasa mereka dengan lebih baik. Seharusnya Indonesia dapat meniru seperti itu,” ujarnya.

Manurutnya, di Indonesia belum dibudayakan membaca kerya sastra klasik. “Coba kapan terakhir membaca sastra-sastra klasik?,” tanyanya.

Penulis : Ilman A. Sudarwan

 

Sumber: Bisnis-Indonesia.3-Februari-2018.Hal_.13