
JIKA Anda berada di Yogyakarta dan sekitarnya, dalam sebuah agenda jalan-jalan, keperluan keluarga atau bisnis, cobalah mampir ke Waroeng n Desso di Pajangan, Bantul. Warung yang menyajikan ingkung atau daging ayam utuh sebagai menu andalan. Ingkung dalam masyarakat Jawa juga dikenal sebagai perangkat ritual dalam kenduri.
Warung ini mengklaim sebagai warung “Ingkung Jawa yang Pertama”. Ingkung atau daging ayam utuh dari kepala sampai kaki disajikan dalam kondisi hangat di meja pembeli.
Pengunjung bisa memotong-motong bagian demi bagian sesuai selera. Boleh memilih paha atas, paha bawah, sayap, dada, atau brutu alias pangkal ekor. Atau jika suka menyuwir-nyuwir dagingnya, tidaklah susah, karena dagingnya cukup empuk. Cukup mudah pula kita mengunyah. Sambil duduk lesehan atau duduk kursi makan, kita bisa menikmati ingkung dengan warung ndeso beratap pelepah daun kelapa.
Gigitan pertama menjanjikan rasa yang gurih. Selanjutnya gurih demi gurih olahan daging ayam kampung itu seakan susul-menyusul, terus menggoyang lidah tak berhenti. Rasa gurih itu muncul dari santan yang digunakan untuk memasak daging ayam.
“Kami menggunakan santan untuk memasak daging, jadi gurihnya meresap ke dalam daging ayam,” kata Yudi Susanto (34), pengelola Waroeng n Desso.
Warung n Desso menggunakan ayam kampung. Ia tidak menggunakan MSG (monosudium glutamate) alias penyedap rasa buatan. “Kami murni hanya menggunakan rempah alami,” kata Yudi. Rempah itu antara lain bawang merah, bawang putih, ketumbar, salam, lengkuas.
Ingkung biasanya ditawarkan bersama dengan pilihan nasi putih atau nasi gurih yang disebut sega wuduk alias nasi uduk. Satu porsi ingkung bisa disantab oleh 3 atau 4 orang.
Sebagai pengimbang rasa gurih, tersedia gudeg manggar yang berasa manis. Gudeg kebanyakan memang terbuuat dari nangka, tetapi ini jenis gudeg yang terbuat dari putik bunga kelapa. Rasanya agak manis, dan menjadi pasangan pas untuk ingkung yang gurih.Gudeg manggar dilengkapi dengan krecek atau kulit yang sedikit pedas.
“Gudeg manggar sudah menjadi ikon Bantul. Kami adopsi sebagai menu, dan ternyata memang match (cocok) dengan ingkung,” kata Yudi.
Digunakan kata “nDesso” dalam nama warung itu karena lokasinya benar-benar di desa. Di Dusun Karangber, Kelurahan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Suasana desa terasa dengan keberadaan pohon kelapa, munggur, dan rerimbun pohon khas pedesaan. Lokasi bisa dicapai dari Yogyakarta ke arah Bantul melewati Jalan Bantul. Sesampai di perempatan Masjid Agung Bantul, belok kanan, mengarah ke Lembaga Permasyarakatan Pajangan, dan terus lurus sekitar 2 kilometer ke selatan.
Simbol Solidaritas
Ingkung dalam konteks ritual, menurut antropolog PM Laksono, menjadi simbol solidaritas, kebersamaan masyarakat. Warga dikontraksikan menjadi bagian dari satu kesatuan utuh yang tersimbolkan dalam ingkung.
“Ingkung merupakan sajian yang bisa dibagi untuk makan bersama sehingga ada ikatan bahwa warga yang ikut berdoa menjadi bagian dari satu kesatuan,” kata PM Laksono.
“Ingkung yang dibagi itu menjadi gambaran keutuhan komunitas yang makan bersama-sama dari satu sumber makanan yaitu ayam satu ekor utuh itu,” kata Guru Besar Antropologi dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, itu.
Menu ingkung sudah menjadi tren di Bantul dan sekitarnya. Di sekitar Pajangan misalnya, ada sejumlah warung penyaji ingkung, seperti Ingkung Kuali, Gubuk Bambu Ingkung, Ingkung Ayam Sor Sawo, Warung Ingkung Joglo, Ayam Ingkung Mbah Demang, dan Igkung Mbah Cempluk.
Waroeng n Desso mengaku sebagai yang pertama. Pengakuan itu tertulis dalam papan nama. “Kami berani pasang sebagai yang pertama,” kata Yudi yang membuka warung pada 9 September 2011.
Sumber: Kompas.9-Maret-2018.Hal_.36
