Ke Semarang tanpa menyicipi masakan Bu Fat, rasanya ada yang ketinggalan. Kedai legen daris ini jadi salah satu ikon kuliner baru.

Berbeda dengan daerah lain, di Semarang, mangut identik dengan ikan asap. Aroma asap yang tertinggal dalam olahan masakan ini sangat khas dan begitu menggoda untuk menyantapnya.

Meski kini banyak kedai yang menyajikan mangut, salah satu yang legendaris adalah warung makan Kepala Manyung Bu Fat. Kedai yang terletak di Jl. Ariloka, tak jauh dari bandara Semarang ini, sudah menyajikan mangut ikan asap sejak 1980’an. Tak heran, kini pe langgannya datang dari berbagai kalangan, mulai pejabat hingga artis ibukota.

Seperti namanya, kepala manyung menjadi menu andalan. Manyung merupakan nama lain ikan jambal roti yang sering diolah menjadi ikan asin.

Porsi yang besar menjadi standar kedai Bu Fat. Coba kita pesan satu. Nah, nenar saja, ketika mangut kepala manyung datang dalam sebuah piring, ukurannya cukup besar. Sepertinya, porsi ini cukup bila di makan dua atau tiga orang.

“Porsi kami dua kali lipat yang ada di pasaran, makanya lebih mahal,” kata Teguh Sut risno, pemilik kedai. Mangut kepala ikan ini dibanderol mulai Rp. 75.000 – Rp. 250.000 tergantung ukurannya.

Mangut kepala manyung disajikan dalam kondisi sudah terbelah supaya lebih mudah disantap oleh pemesannya. Berwama kuning kemerahan, terlihat masakan ini berlimpah bumbu dan pedas. Tampak menggugah selera!

Sedikit menyeruput kuah mangutnya, rasa gurih, legit dan pedas berpadu sempurna. Kuahnya bersantan, tapi tak pekat, kentalnya pas. Segera saja, tangan ingin mencongkel daging ikan yang banyak terselip di antara tulang rawan kepala ikan.

Ya, menyantap mangut kepala ikan langsung dengan tangan menjadi kenikmatan tersendiri. Sesekali jangan lupa menyesap bumbu yang terting gal di rongga-rongga kepala ikan. Sedap!

Pemasok manyung

Dulu, Fatimah, sang pendiri kedai yang juga ibu dari Teguh, memilih ikan manyung lantaran dagingnya tak mudah hancur saat dimasak. Teksturnya padat tapi tetap lembut. Bumbu pun bisa meresap pas.

Teguh bilang, mereka biasa memasak ikan-ikan secepatnya ini dari sejak subuh menjelang. “Sampai sekarang kami masih mempertahankan resep yang diwariskan almarhum ibu,” kata dia.

Berdiri sejak 1969, kedai ini berawal dari warung rumahan. “Dulu ibu menjual bermacam masakan seperti ramesan dan hanya melayani warga kampung sini,” kenang Teguh. Di warungnya yang sederhana, Fatimah menata baskom berisi masakannya, berjejer-jejer di sebuah meja memanjang. Warungnya biasa tutup, jika Bu Fat mendapat pekerjaan lain.

Nah, baru sekitar tahun 1985, Bu Fat memasak mangut ikan asap. Mulanya, dia hanya mengolah potongan daging ikan. Namun, sejak ada sentra pengasapan ikan dekat rumahnya, Fatimah melirik kepala manyung untuk dia olah juga menjadi mangut.

Kepala ikan manyung ternyata menjadi ciri khas kedai Bu Fat. Menu ini pula yang bikin kedainya kondang. Permintaan yang terus bertambah pun memaksa Fatimah mencari pemasok kepala manyung dari sentra pengasapan di Demak. “Mereka kapasitasnya besar dengan kualitas yang lebih baik,” terang Teguh.

Alasan lainnya, pemasok ikan asap ini juga mampu menyiapkan potongan yang besar. Satu kepala ikan bisa mencapai berat satu kilogram, sementara di pasaran biasanya hanya setengah kilogram. “Ini karena pelanggan sekarang mintanya yang besar,” kata Teguh.

Hingga kini, kepala ikan ma nyung jadi menu favorit wa rung Bu Fat. Dalam sehari, mereka bisa menjual lebih 50 porsi kepala ikan. “Sebelum pandemi bisa dua kali lipat sampai satu kuintal,” ucap Teguh.

Selain ikan manyung, warung Bu Fat juga menyajikan mangut ikan sembilang, ikan pe (ikan pari) dan belut. Tersedia pula aneka tumis, seperti tumis papaya, kikil, sambal pete.

Tak hanya di Semarang, keluarga Bu Fat juga mengem bangkan kedainya ke kota besar lainnya, seperti Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta, mereka sudah membuka dua cabang, yakni di Cempaka Putih dan Cipete. “Semuanya dikelola oleh keluarga sendiri, anak dan cucu Bu Fat,” jelas Teguh.

Sementara di Semarang, warung Bu Fat juga bisa ditemui di Paragon Mal dan kawasan Banyumanik. Kedai buka setiap hari mulai pukul 10.00-20.00 WIB.

Kondang Berkat Lomba Kuliner

Deretan foto pengunjung dari orang-orang terkenal menjadi pemandangan yang langsung tertangkap mata begitu masuk ke Warung Makan Kepala Manyung Bu Fat. Siapa sangka, warung makan ramesan yang dulunya sangat sederhana ini, kini menjelma menjadi salah satu ikon kuliner kota Semarang.

Teguh Sutrisno, anak ke-6 Fatimah yang kini diberi tanggungjawab mengelola kedai bercerita, popularitas mangut kepala ikan manyung ini tak lepas dari peran media. Ceritanya, sekitar tahun 2009, ada seorang jurnalis yang sedang liputan, memberinya in formasi adanya lomba kuliner tingkat Semarang.

Teguh pun tertarik mengikuti lomba tersebut. Dengan membawa olahan mangut kepala manyung, ternyata warung Bu Fat berhasil menggondol juara satu dalam lomba tersebut. “Sejak saat itu, lebih banyak masyarakat yang jadi kenal warung kami dan banyak pula media yang meliput” papar Teguh.

Berkat semua itu, sejumlah pejabat pemerintah kota juga sering menyambangi Warung Kepala Manyung Bu Fat. Tak jarang, para pejabat ini mengajak pula tamu-tamu mereka.

“Pak Hendi (walikota Semarang) juga sering dating ke sini, bersama rombongan menteri,” kata Teguh.

Karena sudah tenar, Teguh pun berani mengikuti lomba tingkat nasional. Puncaknya pada 2018 lalu, warung Bu Fat mengikuti lomba kuliner yang di selenggarakan produsen kecap ternama. “Kami dapat juara satu, hadiahnya Rp 100 juta,” cetus Teguh.

 

Sumber: Tabloid Kontan. 24-30 Mei 2021. Hal.24