Metode Pembelajaran untuk Anak Tunagrahita. Latih Konsentrasi lewat Permainan Kartu dan Puzzle. Jawa Pos. 6 Oktober 2024. Hal.17

Metode Pembelajaran untuk Anak Tunagrahita

Latih Konsentrasi lewat Permainan Kartu dan Puzzle

6 Oktober 2024. Hal.17

Anak tunagrahita atau penyandang diabilitas intelektual sering kali suli berkonsentrasi saat belajar. Untuk membantu anak lebih fokus, terapkan metode bermain sambil belajar yang menyenangkan.

ANAK-ANAK tunagrahita di SLB Bakti Asih Surabaya tampak gembira bermain kartu kuartet QuarFun bersama saat dijumpai pada Rabu (2/10) pagi. Media belajar sambil bermain itu digagas para mahsiswa dari Departemen Matematika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Beda dengan kuartet pada umumnya, akrtu QuarFun itu dirancang lebih sederhana agar mudah dimengerti. Di baliknya, terdapat pertanyaan sederhana bertema kebun binatang. “Ada perkenalan tentang hewan, cuaca, suasan hati supaya mereka bisa mengenali emosinya, hitung sederhana juga,” ungkap Arnelita, perwakilan kelompok PKM PM ITS.

Dalam penelitian mereka yang berjudul Penerapan Game-Based Learning Melalui Kartu Edukatid QuarFun untuk Meningkatkan Konsentrasi dan Kreativita Anak Tunagrahita dengan dosen pembimbing M. Syifa’ul Mufid SSi MSi DPhill, media permainan seperti kartu kuartet dinilai dapat membantu anak tunagrahita lebih konsentrasi dalam belajar.

Tak hanya itu, puzzle yang berada di balik kartu akan mengasah kreativitas anak tunagrahita. Sambil menyusun, melatih konsentrasi dan kreativitas, mereka juga berinteraksi satu sama lain. “Selain melatih motorik, ada interaksi sosial. Gambar pada kartu bisa ditutup juga, biasanya untuk belajar membaca,” imbuh Assyitha Alfiani. Kegiatan pembelajaran tersebut hanya bisa diberikan kepada anak tunagrahita dengan IQ 70. Mereka masih bisa mendapat pelajaran akademik, hanya slow learner sehingga harus diajarkan secara perlahan.

“Konsetrasinya paling 30 menit, setelahnya kita beri permainan. Tidak bisa dipaksakan. Untuk yang IQ 70 ini nanti masih bisa bekerja, misal di bagian cleaning service, dan saat lulus kami bantu carikan,” papar Kepala SLB Bakti Asih Nur Kalima. Lain halnya dengan tunagrahita sedang hingga berat yang memiliki IQ 55 ke bawah. Mereka tidak bisa menerima pelajaran akademik. Di sekolah, pengajaran difokuskan untuk membuat mereka mampu mandiri dan berkomunikasi. “Belajar mengancingkan baju, belajar menggunting, murid perempuan yang sudah balig bisa ganti pembalut sendiri saat menstruasi,” urainya.

Nur menyebut apa yang didapat anak disekolah harus berkelanjutan di rumah supaya hasil pembelajarannya bisa maksimal. ortu dengan anak tunagrahita perlu lebih perhatikan sekaligus “tega”. Bukan memanjakan.

“Contohnya, di sekolah diajari menyapu, kalau bisa di rumah dilanjutin menyapu. Tapi, kadang ortu nggak tega. Makan juga harus bisa sendiri, tidak disuapi. Beberapa hari nggak masuk sekolah saja itu kami mengulang lagi pengajarannya,” beber Nur.

Nur mengimbau ortu yang memiliki anak tunagrahita untuk tidak meremehkan kemampuan anak, tapi juga tidak menuntut anak sebagaimana anak normal. Pahami kondisi anak. ” Mereka tidak bisa dimarihi, nanti malah ketakutan. Sebaiknya disekolahkan untuk belajar bersosialisasi. Dia juga mengimbau ortu untuk mengenali tanda-tandanya sejak dini. “Yang utama, ortu janga denial. Dari umur 2 tahun sudah bisa dikenali tandanya. Jika perkembangan si kecil tidak sesuai anak kebanyakan, segera periksakan untuk asesmen,” jelas Nur. (lai/c6/nor)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *