Odang Somyang serasa ingin menangis. Puluhan lembar naskah sejarah Kampung Adat Banceuy yang baru ditulisnya dengan tangan hilang dipinjam seorang mahasiswa. “Saya sudah cari ke tempat kosnya di Bandung, tapi sudah pindah entah ke mana,” ujarnya.

OLEH DEDI MUHTADI

Selama ini Kampung Banceuy, Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat,  menjadi tempat penelitian budaya, terutama oleh kalangan akademisi. Kampung yang terletak di lereng timur Gunung Tangkubanparahu ini ditetapkan sebagai kampung adat oleh Pemerintah Kabupaten Subang, karena mampu melestarikan tradisi adat secara turun-temurun.

Untuk memenuhi keperluan itu, Odang sebagai generasi ketiga turunan asli Kampung Banceuy berinisiatif menyusun sebuah buku tentang kampung adat itu. Bahannya diperoleh dari wawancara bertahun-tahun dengan para orang tua yang masih ada. Empat tahun lalu, seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian untuk skripsi meminjam buku itu. Namun, hingga kini, mahasiswa itu belum mengembalikan buku yang demikian berharga itu.

Ketika orangtuanya masih hidup, sudah ada sebuah buku puisi Sunda buhun karya leluhur warga Banceuy. Kumpulan puisi itu kertasnya sudah lusuh. Beberapa bagiannya dimakan rayap. Buku kecil itu pun hilang karena dipinjam seorang peneliti. “Saya belum mengumpulkan bahan lagi karena beberapa sesepuh Banceuy sudah menghadap Sang Pencipta,” ujar Odang  Somyang, Jum’at (3/11), di Kampung Banceuy.

Akan tetapi, upacara “Ngaruwat Bumi” yang menjadi ritual adat tahunan Kampung Banceuy harus terus berjalan. Odang dan sejumlah tokoh lainnya berupaya melanjutkan tradisi itu dengan sejumlah kreativitas agar tradisi itu digandrungi anak-anak muda. Misalnya, musik pengiring ritual tidak hanya bersifat sakral dan monoton. Akan tetapi, dimodifikasi sedimikian rupa sehingga menyesuaikan dengan kekinian.

Salah satu alat musik pengiring ritual Ngaruwat Bumi adalah celempung atau celempungan yang terbuat dari bambu. Kulit bambu atau sembilu (hinis) yang dipukul-pukul bambu atau kayu menghasilkan berbagai suara gelombang resonansi.

Celempung lahir dari tradisi pertanian karena sering dimainkan untuk pengisi sepi para penggembala ternak. Pada mulanya, celempung dimainkan tunggal di saung-saung sawah oleh petani sambil menunggu padi, menghalau hama burung, Atau dimainkan pengggembala sambil mengawasi ternak peliharaannya.

“Konon, padi yang mau tumbuh keriting begitu mendengar suara celempung bisa mengembang kembali menjadi bulir-bulir padi yang utuh. Getaran bunyi celempung malah bisa mengusir hama yang hinggap di pohon padi,” ujar Odang mengutip cerita orangtuanya.

Bahan pertunjukan

Dalam pertunjukannya, celempung biasanya dipadukan dengan musik tradisional Sunda lainnya, yakni toleat (sejenis seruling). Alat musik bambu awalnya juga berfungsi sebagai alat hiburan penggembala untuk mengusir jenuh ketika menggembalakan ternak.

Secara turun-temurun, keluarga Odang memelihara celempung dan seni-seni Sunda lainnya untuk keperluan ritual adat. Seiring berjalannya waktu, Odang lalu memodifikasi seni ini agar bisa menjadi bahan pertunjukan di ritual adat. Celempung-celempung tunggal itu lalu dideretkan untuk menciptakan bunyi yang bisa mengiringi sebuah lagu, dan jadilah celempung rentet lengkap dengan celempung gong sehingga bisa mengikuti genre musik lain, seperti dangdut atau jaipong. Bahkan, celempung bisa digunakan seperti kendang sehingga bisa mengiringi pencak silat.

“Setiap manggung ada tujuh atau delapan personel dengan juru kawih (penembang Sunda). Namun, kalau dipakai pengisi rehat dalam suatu seminar, celempung dikolaborasikan dengan toleat,” kata Odang.

Sejak tahun 2000-an, keluarga Odang terus mengembangkan celempung sesuai peningkatan Banceuy menjadi kampung adat. Di luar acara ritual atau berkeliling atardesa, Odang pernah membawa grup celempung Banceuy manggung di Jombang, Jawa Timur, untuk mengikuti Festival Budaya Tradisional.

Odang dan personelnya memainkan alat musik ini dengan memukul alur sembilu secara bergantian. Pukulannya tergantung ritme-ritme dan suara yang diinginkan pemain musik. Pengolahan suaranya menggunakan tangan kiri untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bumbung celempung.

Kampung adat

Odang lahir dan dibesarkan di Kampung Banceuy, Kabupaten Subang. Kampung ini berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat kota Subang dan 35 kilometer dari Kota Bandung. Tradisi melestarikan (ngamumule, Sunda) adat dan budaya Sunda masih dipegang teguh sehingga Banceuy banyak dikunjungi wisatawan dan para peneliti kebudayaan.

Menurut Odang, tradisi adat di Banceuy tetap bertahan berkat kepedulian para warganya. Berdasarkan cerita secara turun-temurun, kampung ini berawal ketika tujuh keluarga membangun perkampungan kecil di kawasan perbukitan lereng timur Gunung Tangkubanparahu, namanya Kampung Negla.

Pada suatu waktu kampung itu diterpa bencana angin beliung seiring dengan pembukaan hutan untuk perkebunan sekitar tahun 1800-an.

Ketujuh rumah keluarga di kampung itu rata dengan tanah. Oleh paranormal yang dipanggil ketujuh tokoh itu, mereka diminta menggeser lokasi perkampungan sekaligus mengganti nama kampung agar terhintar dari bencana. Jadilah Kampung Banceuy yang diambil dari bahasa Sunda, artinya berkumpul atau musyawarah (ngabanceuy).

Pada perjalanan masa, para sesepuh kampung mengajarkan keturunannya untuk menjaga lingkungan dan melestarikan tradisi setempat. Misalnya, dilarang keras (pamali) menebang pohon di hulu sungai. Siapa yang melanggar aturan itu hidupnya tidak bakal selamat. Ritual adat yang paling utama adalah Ngaruwat Bumi. Upacara ini dimaksudkan untuk menolak musibah sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas berkah hasil bumi mereka.

“Upacara dilakukan selama dua hari dan puncaknya dilakukan pada hari Rabu terakhir sebelum 1 Muharram. Ritual adat ini sudah digelar sejak tahu 1800-an dan selalu dilaksanakan setiap tahun,” ungkap Odang. Selain ritual sakral, upacara adat ini juga dimanfaatkan untuk hiburan masyarakat dengan menggelar seni-seni Sunda lainnya, seperti wayang golek, jaipongan, pencak silat, dan sisingaan.

“Sebagai wasiat leluhur, wayang golek wajib digelar. Sebelum meninggal, bapak menitipkan amanat agar terus ngamumule (melestarikan) seni tradisional agar jati teu kasilih ku junti,” kata Odang, menambahkan. Artinya, kearifan lokal jangan sampai tergeser budaya asing.

 

Odang Somyang

Lahir                      : Subang, 7 Januari 1974

Pekerjaan           : Petani

Pendidikan         : SMP (1998)

Istri                        : Lia Mulyana (42)

 

Sumber : Kompas. 11 November 2017. Hal. 16