Paus Fransiskus dan Kemajemukan Indonesia. Kontan 2 September 2024. Hal.15
Paus Fransiskus dan Kemajemukan Indonesia
2 September 2024. Hal. 15
Momentum yang lama dinantikan dan sempat pupus karena pandemi, namun kini menjadi kenyataan, yakni kedatangan ke Indonesia pemimpin Katolik Roma Paus Fransiskus, pada 3-6 September 2024. Paus yang sebelumnya adalah Kardinal Argentina tersebut dikenal kesederhanaan dan kedekatannya dengan orang-orang yang menderita.
Salah satunya Paus menghidupi “tradisi” membasuh kaki sebagai wujud kerendahan hari, namun yang dibasuh adalah kaki para tahanan penjara. Hal yang penting pula, sebagaimana ditunjukkan Paus-Paus sebelumnya adalah kecintaannya pada anugerah kehidupan dalam rupa keberagamaan antar umat manusia.
Perdamaian dunia tidak mungkin hadir bila tidak ada persatuan di tengah keberagaman. Rasa kagum dan hormat akan keindahan setiap keberbedaan menjadi keutamaan dan keluhuran kemanusiaan di peradaban modern saat ini. Maka, momentum kedatangan Paus Fransiskus tidak sekedar kunjungan kenegaraan dan menjumpai umatnya, tetapi juga mempererat tali persaudaraan sejati di tengah keberagaman. Hal itu terlihat pada agenda kegiatan Paus Fransiskus selama di Jakarta, berdialog dengan lintas agama.
Bila dikorelasikan dengan kehidupan bersama di Indonesia yang hidup berdampingan dalam kemajemukan, tidak kali ini saja pemimpin Katolik Roma yang datang ke Indonesia merayakannya. Adalah Paus Yohanes Paulus II, juga merupakan tokoh penting sekaligus mentor bagi upaya membangun kesejatian hidup bersama. Mendiang Sri Paus yang kini dianggap menjadi Santo dalam Gereja Katolik Roma itu, dalam hidupnya memerangi komunisme, kapitalisme yang tak terkendali dan penindasan politik.
Menentang agresi militer
Dia dengan tegas melawan aborsi dan membela pendekatan Gereja Katolik Roma yang lebih tradisional terhadap seksualitas manusia. Tak lupa dalam ingatan kita, betapa Paus menentang habis agresi militer Amerika Serikat ke Irak, membela kemerdekaan Palestina, dan banyak lagi. Pada tahun 1989, beliau mengunjungu Indonesia. Kota-kota yang dikunjunginya adalah Jakarta, Medan, Yogyakarta dan Dili. Setelah berkunjung ke Indonesia, komentarnya ialah, “tidak ada negara yang begitu toleran seperti Indonesia di muka bumi.”
Sri Paus Yohanes Paulus II mejadi tokoh dunia karena tiga hal. Pertama, ia menjadi pemimpin dari sebuah organisasi masyarakat manusia sejagat lintas nasional. PBB hanyalah organisasi negara-negara belaka.
Kedua, ia memiliki keyakinan yang sangat tinggi bahwa pesannya bersifat universal, berlaku untuk setiap orang, perempuan dan laki, Katolik maupun yang bukan Katolik. Ketiga, ia mampu memanfaatkan kemajuan teknologi dengan pesawat dan media komunikasi untuk menyampaikan pesan secara pribadi hampir ke semua penjuru negeri di dunia (Trias Kuncahyono, Musafir dari Polandia, 2005: xiv).
Suatu peristiwa kemanusiaan yang agung, dalam prosesi pemakaman Paus Yohanes Paulus II mengundang decak kagum umat manusia. Pemakaman Paus Yohanes Paulus II menjadi pelayatan terbesar dalam sejarah masa Kristen sejak Perang Salib, menarik kunjungan lebih dari 4 juta pengunjung ke Vatikan ditambah dengan lebih dari 3,7 juta penduduk yang menetap di Roma. Hanya 2 juta orang yang diizinkan untuk melihat jenazah Yohanes Paulus II.
Gen Tuhan
Hal yang lumrah jika kita menempatkan sosok tokoh spiritualitas dunia sekaliber Paus Fransiskus dan para pendahulunya maupun tokoh nasional seperti GusDur (Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Republik Indonesia) sebagai mentor persaudaraan sejati dalam peradaban modern ini.
Dokter Dean Hamer dalam bukunya yang berjudul Gen Tuhan (2006) menyatakan, kecenderungan manusia bersikap religius bukanlah suatu kebetulan. Melainkan secara meyakinkan disebabkan oleh gen-gen yang ada dalam dirinya.
Banyak temuan baru di bidang genetika perilaku dan neurobiologi menunjukkan bahwa setiap manusia mewarisi dalam dirinya kecenderungan yang membuat otak manusia haus sekaligus siap menerima “kekuatan yang lebih tinggi”. Dengan menganalisa pengaruh genetik yang membentuk diri manusia dan membandingkan semua sampel DNA subjek penelitiannya dengan skala pengukur kadar spiritualitas, dokter Hamer berhasil mengidentifikasi sebuah gen yang tampaknya membangun spiritualitas manusia. Dia menyebutnya sebagai “Gen Tuhan”.
Oleh karena gen sudah ada sejak manusia diciptakan, maka peradaban dunia masa lampau juga menunjukkan potensi spiritualitas yang tertanam dalam gen. Dengan kata lain, sejak spesies kita ada, Gen Tuhan telah mengada. Homo sapiens yang hidup lebih dari 30.000 tahun yang lalu di wilayah yang sekarang ini menjadi Eropa misalnya, telah memiliki keyakinan spiritual dengan melukisi dinding-dinging atau gua tempat tinggal mereka dengan pelbagai gambar khayalan dan ganjil berupa tubuh-tubuh manusia serta kepala-kepala binatang. Menurut ahli antropologi, itu menggambarkan para tukang sihir atau para imam.
Gen Tuhan, menurut dokter Hamer, yang mendorong seseorang mendalami spiritualitasnya. Spiritualitas itu sendiri merupakan salah satu warisan manusiawi yang paling mendasar, dan senyatanya spiritualitas adalah sebuah insting atau naluri sederhana seperti mengedipkan mata.
Rupanya, kesalehan sosial Sri Paus Fransiskus dan para pendahulunya yang tampak di mata dunia tidak sekedar karena latar belakangnya sebagai seorang rohaniwan, tetapi melalui tempaan dan aneka ujian persoalan kemanusiaan global. Di situ, Gen Tuhan tampak nyata ada.
Dalam konteks itu, lawatan Paus Fransiskus ke Indonesia merupakan rangkaian perjalanan untuk meneguhkan nilai luhur yang diperjuangkan bersama-sama, yakni menyatukan umat manusia di tengah fakta keberagaman.
Sebaliknya, keterpecahan, konflik, peperangan hanya akan menimbulkan kesengsaraan hidup bersama. Kedatangan Paus Fransiskus meyakinkan adanya Gen Tuhan dalam diri setiap warga negara yang memungkinkan menjadi pribadi yang cinta atas kehidupan, dan lebih-lebih, kehidupan di tengah kemajemukan.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!