Sebuah angket yang beredar di kalangan manajemen pada 2017 menemukan bahwa people management tengah menjadi tren. Kita tahu bahwa banyak sekali pihak yang membandingkan antara manajer dan pemimpin. Umumnya pemimpin dianggap mempunyai nilai lebih daripada sekedar manajer. Konon si pemimpin lebih mempunyai power terhadap motivasi individu yang dimpimpinnya. Namun, manajer sesungguhnya juga punya tanggung jawab untuk mengelola manusia. Setelah sekian lama unsur manusia mendapat perhatian di mana “employee development is both highly valued and highly neglected”, sekarang urgensi untuk mengelola manusia semakin dirasakan. Llau, apa yang harus dilakukan organisasi untuk memperkuat dan menambah jumlah manajer yang berperan sebagai people manager?

Manajer mana yang paling banyak populasinya dalam sebuah organisasi? Tentunya manajer menengah. Nah, melalui tangan merekalah people bisa dikembangkan. Llau , mengapa hal ini tidak terjadi dari dulu? Manajer menengah juga dikenal sebagai manajer pelaksana yang memang diandalkan perusahaan untuk mecapai tujuan bisnis. Inilah sebabnya, unsur manusia sering akhirnya dinomorduakan. Namun, ingat: “People leave managers, not companies.” Bayangkan banyaknya kehilangan talenta yang kita alami karena menyepelekan pengembangan mereka.

Memang setiap talenta bertanggung jawab atas kariernya sendiri. Namun, ia perlu tumbuh subur di lahan yang berkualitas , yaitu di organisasi. Situasi ini mungkin diciptakan oleh para “line managers”, bukan pimpinan perusahaan atau divisi sumber daya manusia. Line manager pun bisa merancang pengembangan yang lebih efektif untuk setiap talentanya sehingga individu maupun perusahaan bisa mnikmati kesuksesan dengan lebih efesien. Tentunya ini adalah perjalanan panjang. Namun, setiap organisasi yang kuat dalam people management akan sangat menikmati ketersediaan dan kesegaran talenta-talentanya. Untuk itu, dibutuhkan suasana lain dalam organisasi. Para manager menengah ini perlu menaruh perhatian, perlu pede, dan berstrategi dalam pengembangan bawahannya. Demikian pula para talenta perlu belajar dan tahu hal-hal yang dapat mendorong kariernya di dalam perusahaan.

 

Umpan balik, umpan baik, umpan balik

Kalau di masa lalu kita mempunyai berbagai alasan untuk tidak memberi atau menerima feedback, seperti takut tersunggung, atau tidak ada waktu, saat sekarang, aliran darah organisasi digerakkan oleh umpan balik. Hanya melalui umpan baliklah seseorang bisa belajar. Ahli-ahli pembelajaran membuat rumus yang paling mutakhir mengenai efektivitas pembelajaran ini. Penyerapan individu dewasa dalam belajar terjadi dengan komposisi 70 persen bila ia belajar secara “on the job”, 20 persen melalui diskusi dengan orang lain/rekan kerja, dan 10 persen dari pelatihan formal. Jadi, bisa dikatakan bahwa developmental experience itu sangatlah vital. Pembicaraan pada saat dan setelah melakukan tugas juga sangat dibutuhkan, baik dari segi keilmuan, maupun mental. Walaup-un masukan bisa menimbulkan sakit hati, kita tetap bisa menjaga suasana agak tetap terasa sebagai situasi belajar. Bukankah dalam belajar, berbuat salah itu adalah kesempatan? Riset menunjukkan bahwa ada korelasi antara umpan balik yang diberikan para atasan dengan perasaan bawahan dan sikap terhadap manajemen. Survei lainnya menyatakan bahwa 65 persen karyawan memang tidak mendapatkan umpan balik yang cukup dari atasannya. Bahkan, para milenial sekarang menuntut lebih banyaj feedback daripada generasi sebelumnya.

 

Mengubah diri sendiri terlebih dahulu

Perbedaan Susana manjemen masa lalu dan sekarang pasti butuh transformasi. Perubahan ini tidak menyangkut perubahan layout kantor atau perubahan bentuk atau jumlah rapat. Perubahan besar ini sebenarnya terjadi pada diri individu sebagai manajer dan para bawahannya, yang dituntut untuk belajar dari apa yang ia alami. Kelihatannya sepele, tetapi kalau kita tidak terbiasa melakukannya, akan sulit memulainya.

Hal yang paling utama pada perubahan para people manager ada;ah cara berkomunikasi. Kita perlu betul memahami Bahasa yang membuat orang kecut, bersemangat, atau memperburuk hubungan. Kita perlu menghayati dan mengungkapkan rasa terima kasih dan hormat ke bawahan secara verbal. Perbedaaan logat dan gaya Bahasa antargenerasi harus bisa kita tembus. Demikian pula, kita perlu terus belajar untuk mendengarkan sehingga kita bisa memantau kemajuan pemahaman dan penguasaan ketreampilannya bawahan. Kita pun perlu belajar diplomatis, bisa melakukan tarik ulur perhatian, support karena sasaran kita dan bawahan adalah sama, yaitu pembelajarannya. Kita bisa saja bersikap keras, kalau itu diperlukan, dengan Bahasa diplomatis dan tdak membunuh mental. Satu satunya hal yang bisa mengakomodasi situasi yang paling sulit adalah mengembangkan bawahan adalah unsur rasa percaya. Bila bawahan percaya niat atasan bukan mempersulit hidupnya, tetapi justru “menjadikan” dirinya, upaya akan diterima bawahan dengan lebih lapang dada.

Dalam merencanakan strategi people management kita juga perlu belajar perbagai teknik pengembangan dan menciptakan beragam pengalaman untuk membuat bawahan bertumbuh. Semakin kita terbiasa dengan istilah-istilah pengembangan ini, semakin terbiasa kita menuntut bawahan untuk berprestasi, sekaligus mengembangkan diri. Di Indonesia ini kita perlu membuat gerakan massif untuk mengembangkan para professional. Dan karena kita adalah orang yang sudah berpengalaman, kitalah orang yang tepat untuk mengakselerasi suasana belajar itu, bukan orang lain.

 

Sumber: Kompas. 19 Agustus 2017. Hal. 29