JAKARTA, KOMPAS Pariwisata bahari di Indonesia masih tertinggal jika dilihat dari besarnya potensi yang dimiliki sekarang. Buruknya infrastruktur dan masih minimnya pemasaran menjadi kendala utama pengembangan wisata bahari.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Mentri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar, Jumat (29/8), di Jakarta, seusai membuka Indonesia Tourism and Creative Economy Fair.
Pameran yang diselengarakan hingga 31 Agustus 2014 di Jakarta Convention Center itu diikuti lebih dari 1000 usaha wisata dan pegiat industri kreatif di Indonesia.
“Kita belum optimal mengelola laut kita. Dari sekitar 13.000 pulau, baru sedikit yang benar-benar dikelola baik secara terintegrasi untuk mendatangka wisatawan mancanegara dan dalam negeri,” ujarnya.
Wisata bahari yang terintegrasi adalah pengolahan secara menyeluruh tehadap suatu pulau, mulai dari penataan wilayah, perlindungan ekologis dan biologis, hingga ketersediaan moda tranportasi yang memadai menuju pulau, pelabuhan, kapal pesiar, hotel, dan restoran. Selain itu, paket wisata yang menarik dan terjangkau.
Jenis olahraga yang dilakukan di aut, seperti selam (diving) selancar (surfing), dan snorkeling, menjadi daya tarik bagi wisata bahari. Menurut Sapta, jenis olahraga itu digemari oleh wisatawan mancanegara, selain berjemur di pantai. Ia mencatat, sekitar 70 persen wisatawan memilih wisata bahari dibandingkan wisata kota dan budaya.
“Sayangnya, kita masih kurang dalam pemasaran. Dari total Rp 2 triliun anggaran untuk pariwisata, sebanyak Rp 600 miliar-Rp 700 milliar untuk pemasaran,” kata Sapta.
Ketua Badan Promosi Pariwisata Indonesia Wiryanti Sukamddani mengatakan, tol laut seperti digagas oleh presiden terpilih Joko Widodo diharapkan betul-betul direalisasikan.
“Ide tol laut itu pastinya disertai pengembangan pelabuhan, fasilitas marina, tempat parkir kapal, perbaikan dermaga, dan penataan kawasan kepulauan. Harapan kami, tol laut itu mendukung wisata bahari,” ujarnya.
Belum prioritas
Kawasan Indonesia timur dinilai perlu lebih diperhatikan. “Kita punya Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), Raja Ampat (Papua Barat), dan Wakatobi (Sulawesi Tenggara). Itu baru beberapa saja. Dulu tidak ada yang tahu (pulau-pulau), tetapi kini dengan promosi gencar kawasan itu mulai dikenal dan menyedot wisatawan,” kata Wiryanti.
Menurut dia, pariwisata akan menjadi penyumbang devisa terbesar di masa depan jika pemerintah serius mengembangkannya. Saat sumbangan dari minyak dan gas, batubara, dan minyak kelapa sawit mentah (CPO) melorot, Indonesia masih memiliki alam, terutama pulau yang jumlahnya ribuan.
Di sisi lain, paiwisata secara umum belum menjadi sektor prioritas pemerintah meski sektor ini menjadi penyumbang devisa terbesar keempat setelah migas, batubara, dan CPO. Anggaran sektor juga minim. Tahun 2013, pariwisata menymbang 10 miliar dollar AS atau lebih Rp116 triliun.
“Selama belum jadi prioritas, pengebangannya kurang optimal. Padahal, ada lebih dari 30 juta orang dibidang ini, mulai kuliner, kerajinan, hingga hotel. Istimewanya, penggerak pariwisata adalah swasta,” kata Jon Masli, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Luar Negeri.
PHRI dengan 9.000 anggota siap mendukung dengan sumber daya dan kapasitas jika sektor pariwisata menjadi proritas pemerintah. (REK)
Sumber: KOMPAS, SABTU 30 AGUSTUS 2014

