Sensasi Fotografi Analog di Era Digital. Kompas.15 Agustus 2014.Hal.D

Sensasi Fotografi Analog di Era Digital

Oleh: JERRY S JUSTIANTO

Digitalisasi membawa perubahan besar dalam banyak hal, termasuk dalam dunia fotografi. Mengabadikan momen kini menjadi lebih mudah dan menyenangkan antara lain karena dengan sekejap kita bisa melihat hasilnya. Berkat teknologi yang terus dikembangkan, orang yang sama sekali awam dengan fotografi pun bisa menghasilkan foto yang bagus (tajam dan terang). Akan tetapi, benarkah kesenangan itu akan berlanjut?

Penulis dikenal oleh rekan-rekan sebagai orang yang high-tech atau early adapter, dan untuk menulis artikel ini, penulis selama satu hari penuh menggunakan teknologi terkini dari AF DSLR. Mencoba semua “kemudahan” menu; custom setting; AF mode dari yang single, multi, auto, auto 3D; profile program dari landscape, portrait, sport, dan fitur lain yang tentu cukup akrab bagi mereka yang senang mengulik kamera digital.

Setelah melewati hari yang melelahkan tersebut, penulis merasa jenuh dan bertanya-tanya mengapa experience fotografi yang dulu begitu indah dirasakan hilang, dilahap lapisan menu yang seolah tak berujung. Foto menjadi sebuah proses asal jepret, biarkan kamera yang menentukan setting, kemudian pilih yang terbaik. Nikmatnya pengalaman fotografi hilang dalam pandangan penulis yang ternyata sangat old fashion, bukannya early adapter.

Proses berplkir analog

Sejatinya, fotografi adalah sebuah proses mengambil mengantisipasi, dan mengaturnya dalam frame untuk menjadi sebuah komposisi yang apik. Inilah kualitas seni yang tidak diterjemahkan menjadi angka matematis dalam program kamera digital.

Proses pikir analog sangat sederhana. Mau latar belakang mempunyai bokeh ataupun tajam, tinggal gunakan aperture mau merekam obyek/subyek yang bergerak cepat atau keindahan blurred arus sungai, cukup gunakan speed dial. Sementara kombinasi fokus dan aperture bisa membuat metode hyper focusing lebih cepat dari AF yang ada. Hyper focal tersebut digunakan di kamera yang sangat sederhana seperti L Semuanya indah dan memakai hati, itulah dunia fotografi alam.

Pertanyaannya, apakah seorang fotografer analog menjauhi dunia digital untuk merasakan proses indah membuat foto yang baik, atau ada jalan keluar lain?  Penulis sebenarnya hidup di dua dunia, pola dan laku masih terikat di dunia anda tetapi peralatan yang dipakai menggunakan teknologi terkini.

Penulis merasa beruntung karena beberapa produsen kamera; membuat kamera digital yang analogue friendly, istilah yang tepat dan dapat digunakan sebagai landasan konsep berikut.

Dalam desain biasanya kamera seperti ini masih menggunakan dial yang digunakan di masa ketika Canon FD, Nikon F3, Lcica M6 merajai pasar. Saat itu, penulis menggunakan N F3, FM2, serta Leica M6, dan sempat lama sekali tidak pindah dari dunia DSLR sampai Leicir M8 diluncurkan pada 2006.

Sekarang penulis hanya menggunakan dua kamera dengan kemampuan ganti lensa, Leica M Monochrom yang hanya bisa menghasilkan foto hitam-putih dan Nikon Df untuk foto berwarna. Kamera yang terakhir mempunyai sensor yang baik untuk memotret di tempat gelap sekalipun. Kalau dilihat dari sisi interface, kedua kamera ini mempunyai ciri khas sama, tiga dial favorit fotografer analog ada semua di situ: s, aperture, dan fokus.

Tiga dial tersebut merupakan inti dalam proses fotografi sang fotografer tinggal menentukan variasi dari dial tersebut. Sementara untuk ISO, kamera digital memungkinkan fotografer mengatur dengan lebih fleksibel. Hal ini berbeda dengan zaman dulu ketika kita hanya bisa menggunakan satu setelan misalnya ISO 400 di-push menjadi 1.600 untuk bisa memoto keadaan cukup gelap tanpa flash yang berakhir dengan grain banyak walaupun menambah keunikan foto itu.

Nah, kemampuan dua kamera tadi, Leica M Monocl dan Nikon Df, bisa melebihi sensitivitas film dengan ISO hi :10.000 (Leica MM) dan 204.800 (Nikon Df). Sebuah kenikmatan yang tidak bisa didapatkan di dunia analog untuk mengambil dalam sekejap serta melakukan pemotretan di cahaya kurang bersahabat tanpa lampu kilat atau penggunaan apeture kecil.

Masih menyangkut ISO, fltur auto-ISO yang ada di kamera digital sebenarnya dapat menyempurnakan proses pemotretan dengan pola pikir analog. Keinginan untuk menyetel mc aperture dan speed dapat diimbangi dengan auto-ISO, yang membantu terutama dalam street photography yang intensitas cahaya bisa berubah dalam sekejap.

Sekadar berbagi, saat memotret, kedua kamera penulis set dengan M mode dan ISO auto dalam default setting. Kamera keadaan cahaya yang tetap, penulis mengubahnya menjadi ISO dengan tetap manual setting untuk menj aga konsistensi akhir foto.

Bersahabat dengan teknologi

Di era digital, ada kebiasaan atau mungldn bisa disebut go yang sebaiknya dihindari oleh mereka yang ingin mencoba pikir analog. Hal itu adalah chimping atau melihat hasil langsung setelah memotret di layar LCD kamera.

Hal tersebut sangat memperlambat proses kreatifitas dan indahnya pengalaman saat memotret. Bayangkan se ekspresi yang mungkin berubah dalam detik berikutnya terlihat karena kita mau melihat hasilnya. Hal ini dapat dihindari dengan mematikan fungsi autopreview di kamera. Uniknya, pada M Df, setting dari pabriknya adalah tanpa autopreview, walau fungsi ini bisa dijalankan atau di-set untuk auto. Bisa dikatakan desainer kamera ini ingin mengembalikan nikmatnya fotografer tanpa chimping.

Penulis sendiri mengambil keuntungan dari preview hanya untuk mengecek pencahayaan ketika masuk ke dalam kondisi cahaya tetap di mana auto-ISO akan diubah menjadi ISO. Setelah hasil yang diinginkan pas dengan yang diinginkan, display tidak pernah dilihat lagi sampai sesi foto selesai.

Berpikir analog merupakan proses sederhana. Dengan kamera analogue friendly seperti Leica M, Nikon Df, Olympic OMD, FujiFilm X-Pro, dan lain-lain, kita tidak perlu lagi punya dengan menu yang berlapis. Namun, kita juga jangan membuat kemampuan teknologi yang memang seharusnya membuat mudah dan praktis. Gunakan kelebihan ini dengan sebaiknya. Ingatlah berpikir secara analog di dunia fotografi digital saat ini memungkinkan, tidak hanya dari alat, tetapi juga pola kerja sisi aplikasi yang akan dibahas pada kesempatan lain.

Jerry S Justi, Broadcaster dan Fotografer

Twitter @jsjxyz – Instagram: @jsj

@kompasklas #pe

Sumber : Kompas 15 Agustus 2014 | Hal