Oleh Ellen Rachman & Emilia Jakob (Experd Character Building Assesment & Training)
ARTIFICIAL Intellegence , superkonektivitas, alat-alat digital yang canggih, informasi ‘realtime’, lingkungan virtual, dan beragam inovasi yang merupakan terobosan teknologi yang selama ini kita sangka hanya dalam film-film science fiction ternyata sekarang sudah menjadni bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Selamat datang di era digital!
Kita menyaksikan mayoritas perusahaan ritel menunjukkan perubahan. Banting harga, buka tutup toko, bahkan beberapa dari mereka sudah mnegecilkan ukuran perusahaan karena ancaman disrupsi ini. Hanya perusahaan yang melihat disrupsi ini sebagai kesempatan yang bisa berhasil bertahan.
Pada 1963, Leon C Megginson, pernah menyatakan, “it is not the strongest of the species that survives, nor the most intellegent, but the one most responsive to change”. Saat sekarang, pada abad milenial ini, kapasitas organisasi sebetulnya terletak pada kumpulan dari pemikiran para individu didalamnya, yang tidak bisa hanya beradaptasi dengan perubahan, tetapi juga harus mendorong perubahan dan bahkan menggalakkan inovasi. Kita tidak boleh hanya puas dengan berada dalam situasi yang relevan, tetapi juga harus selalu siap berubah bahkan bertransformasi, berubah bentuk.
Transformasi bisnis atau organisasi sebetulnya tidak lain dan tidak bukan adalah transformasi manusia-manusia di dalamnya. Jadi, fokus siapakah tugas mentransformasi manusia dalam organisasi kalau bukan departemen sumber daya manusianya?
Bila bebicara mengenai departemen sumber daya manusia di sebuah organisasi, dengan cepat kita kan membayangkan evaluasi kinerja, struktur organisasi beserta tingkat jabatan, pangkat, job description, dan segala macam tata car4a kenaikan pangkat dan remunerasi, yang di desain lebih dari 20 tahun lalu ketika zaman sangat berbeda dengan keadaan sekarang ini. Namun, saat sekarang, baru segelintir perusahaan yang sudah berani meniadakan pengukuran 360 derajat, dan malahan ada lembaga-lembaga pemerintah yang baru saja memulai menjalankan evaluasi kinerja yang lebih transparan.
Sadar tidak sadar,kita msiah menggunakan cara lama untuk menangani tenaga kerja yang sudah berada dan terpengaruh era digital ini. Di sinilah sumber permasalahannya, mengapa dalam organisasi kita tidak kunjung menghasilkan pemikiran-pemikiran inovativ. Bila manusia nya dikelola dan dikembnagkan dengan pola pemikiran lama, bagaiman organisasinya mau tampil berpikiran baru? Bagaimana kita menanggapi lingkungan yang sudah demikian berbeda dengan tetap diam dan meneruskan praktik lama?
Namun, mudahkah untuk keluar dari status quo dan memulai sesuatu yang baru, sementara praktik lama sudah dilakukan puluhan tahun?
Tinjau ulang konsep karier
Di sebuah perusahaan kecil, ketika seorang programmer yang lincah dan bersemangat baru begabung, ia bertanya, bagaimana jenjang karir saya disini? Pimpinan menjawab, “ Tidak ada jenjang karier di sini, kita semua disini adalah tim. Bila kamu berprestasi, kami akan memberimu peran yang lebih besar”. Si programmer kemudian ragu dan kembali ke perusahaan lamanya, yang menawarkannya kenaikan pangkat. Pimpinan preusahaan kecil itu pun kecewa karena ia tidak bisa menawarkan karier pada anak muda ini. Namun, apakah sebenarnya karier yang dimaksud oleh kebanyakan anak muda sekarang? Apakah mereka mau berjuang keras, berinovasi demi kenaikan pangkat dan jabatan? Apakah ini yang diperlukan anak muda sekarang? Karier bisa jadi sudah bukan lagi berbentuk tangga seperti apa yang kita hayati dulu.
“The Why”
Bila perilaku konsumtif saja sekarang terlihat sudah berubah, dari konsumsi pakaian ke travelling, konsep berkarier pun sepertinya sudah tiak lagi seperti 20 tahun yang lalu. Ini sebabnya perputaran tenaga kerja pun, terutama para milenial yang akan berdominasi tenaga kerja pada 2020, sudah pasti telah bergeser. Karier tidak bisa lagi dilihat sebagai suatu proses the what, the how, atau bahkan when atau where seperti dalam job description.
Para praktisi SDM pasti sudah merasakan betapa job description itu hanya kertas yang tidak bermakna pada zaman sekarang. Kita benar-benar perlu menanamkan the why dalam organisasi. Mengapa kita harus menciptakan produk baru, mengapa kita harus mengejar waktu, mengapa kita harus mengejar angka penjualan tertentu. The why ini hanya bisa dibudayakan bila semua orang ikut berpikir.
Karier sekarang dianggap asyik apabila setiap orang bisa berpikir bersama. Kebersamaan atau engagement bisa terjadi dalam penyatuan pendapat dan tantangan. Praktis SDM perlu mengajak para karyawan untuk berpikir tentang dirinya apa kekuatannya, apa yang bisa mereka kontribusikan, apa yang ingin mereka ciptakan sebagai karyanya. Inilah bentuk job description yang baru, berbobot nilai-nilai yang kita anut bersama, legacy yang bisa ditinggalkan individu, yang sejalan dengan kesesuaian minat individu dan pekerjannya.
Dalam transformasi SDM ini, dialog “why” inilah yang perlu dibudayakan dalam setiap kegiatan, misalnya dalam rapat, briefing dan obrolan kerja sehari-hari. Tugas DSDM adalah meniadakan proseedur karier yang usang dang menggantikannya dengan pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru. Lebih dari 60 persen dari 500 perusahaan top dalam daftar Fortune sudah tidak eksis lagi. Ini bukti bahwa transformasi tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Transformasi budaya
Diakui atau tidak, disrupsi yang terjadi saat sekarang, yang sering dianggap sebagai disrupsi teknologi sebenarnya lebih tepat bisa dipandang sebagai transformasi budaya. Bila organisasi tidak cepat-cepat mengubah arah perusahaan untuk berfokus pada customer experience ,memahami dan mendalami pelanggan dengan perubahan kebutuhan dan minatnya, menggalakkan kolaborasi berpikir seluruh karyawan, dan memperlakukan setiap karyawan sebagai duta kognitif yang utuh, kita memang bisa ketinggalan kereta.
Saatnya sekarang para praktisi SDM menggalakkan dan menjalankan pelatihan analisis mendalam, dan berfokus pada content dan informasi bisnis.