Mengenal Fenomena Hustle Culture: Sukses atau Lelah?

Bayangkan di pagi hari Anda bangun, mengecek email sambil sarapan, lanjut mengerjakan proyek hingga dini hari, bekerja dari malam hingga malam, merasa sangat lelah namun jika beristirahat malah merasa bersalah karena tidak produktif. Apakah ini kehidupan yang Anda inginkan? Sayangnya, inilah realitas banyak Gen Z di Indonesia saat ini, terjebak dalam lingkaran hustle culture yang seolah-olah menjadi standar kesuksesan.
Ketidakseimbangan antara Pendapatan dan Biaya Hidup
Di era modern ini, Gen Z di kota-kota besar Indonesia menghadapi dilema besar terhadap tingginya biaya hidup yang tidak sebanding dengan pendapatan. Dan juga tekanan untuk mempertahankan gaya hidup. Rata-rata upah minimum di wilayah JABODETABEK tercatat mencapai sekitar Rp5.000.000,-, sementara di Surabaya berada di kisaran Rp4.700.000,-. Namun jika dilihat berdasarkan data dari GoodStats tahun 2024, rata-rata pendapatan penghasilan Gen Z di Indonesia justru berada di bawah Rp2.500.000,- . Di lain sisi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di Indonesia, yakni Jakarta mencapai rata-rata pengeluaran Rp14,88 juta per bulan. Angka ini menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima oleh sebagian besar Gen Z tidak cukup untuk menutup biaya hidup yang semakin meningkat di perkotaan.
Kondisi ketidakseimbangan ini telah mempengaruhi cara pandang Gen Z terhadap pendapatan mereka yaitu munculnya rasa tidak puas yang terus menerus. Kondisi ini melahirkan fenomena yang disebut dengan hustle culture. Fenomena ini membuat banyak anak muda merasa harus terus bekerja tanpa henti demi memenuhi kebutuhan dasar serta gaya hidup yang dianggap ideal. Sehingga berdampak kepada kesehatan fisik maupun mentalnya sehingga menjadi isu sosial yang mengundang keprihatinan.
Faktor Media Sosial
Dalam konteks hustle culture, trend yang bermunculan di media sosial turut berkontribusi dalam membentuk skema Gen Z terhadap lifestyle atau pencapaian hidup yang berlebihan, salah satunya melalui influencer. Penelitian mengungkapkan bahwa gaya hidup influencer yang dipamerkan kepada media sosial seperti Tiktok, Instagram, LinkedIn, dan Youtube. Hal ini mempengaruhi cara Gen Z memandang dunia serta memilih keputusan. Selain itu, standar kesuksesan menjadi bergeser menjadi gaya hidup mewah seperti para influencer. Kondisi ini memperlebar jarak antara kenyataan dengan ideal sehingga hustle culture dianggap menjadi solusi.
Hustle Culture : Membangun atau Merusak?
Kondisi ini bisa menjadi pedang bermata dua. Dimana individu merasa terus-menerus harus bekerja keras malah untuk sekedar bertahan, bukan untuk berkembang. Jadi, apakah hustle culture benar-benar jalan terbaik menuju kesuksesan, atau justru jebakan yang merusak kesehatan mental dan fisik seseorang? Sebuah penelitian oleh Assariy, el al. (2024), menyatakan bahwa gangguan kesehatan mental sering ditemukan di era hustle culture ini. Gangguan kesehatan mental ini meliputi depresi, kecemasan, dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Selain
Dengan demikian, normalisasi hustle culture di kalangan Gen Z dapat dipahami sebagai hasil dari skema sosial yang terbentuk dari kombinasi faktor ekonomi, tekanan sosial, dan ekspektasi budaya yang terus diperkuat oleh media dan lingkungan digital. Namun, penting untuk menyadari bagaimana skema sosial ini terbentuk agar kita tidak terjebak dalam arus hustle culture yang berlebihan. Dengan mengenali skema sosial yang ada, kita bisa menjadi lebih kritis dalam memahami bagaimana ekspektasi sosial dan media membentuk cara pandang kita terhadap kesuksesan. Tidak semua narasi yang dipromosikan di media sosial, seperti bekerja tanpa henti demi pencapaian, harus kita ikuti. Dengan kesadaran ini, diharapkan Gen Z dapat lebih bijak dalam menerapkan pola hidup minimalis dan manajemen keuangan yang baik.
Pada akhirnya, kesuksesan tidak selalu diukur dari seberapa sibuk kita. Melainkan dari bagaimana kita bisa menjalani hidup dengan seimbang, bahagia, dan tetap memiliki pengelolaan finansial yang baik. Dengan memahami skema sosial yang membentuk hustle culture, serta membangun strategi keuangan yang cerdas, Gen Z bisa keluar dari jebakan kerja tanpa henti dan mulai merancang masa depan yang lebih berkelanjutan.
Ditulis oleh:
Laurentia Tara Annika Roselani
Cheris Nathalie
(Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Ciputra Surabaya)
Dibimbing oleh:
Dr. Ersa Lanang Sanjaya, S.Psi., M.Si.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ciputra Surabaya
