Pernikahan Dini: Tradisi, Tekanan,  Realita Psikologis

pernikahan dini

Menikah di bawah usia 18 tahun merupakan realita yang dihadapi oleh banyak perempuan, terutama dalam negara yang berkembang. Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia pada tahun 1954 menentang pernikahan dini, ironisnya banyak pernikahan dini masih terlaksanakan sampai kini. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, usia minimal untuk menikah bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun sehingga menikah dibawah usia tersebut bisa dikategorikan pernikahan dini atau dibawah umur. UNICEF mengungkapkan bahwa , sekitar 21% perempuan dan 4% laki-laki di dunia menikah sebelum usia 18 tahun. Ini diikuti dengan Indonesia, yang menempati peringkat ke-empat dengan data pernikahan dini tertinggi dengan 25.3 juta anak (UNICEF, 2023).

Apa Faktornya?

Fenomena pernikahan anak ini sering kali dipicu oleh berbagai faktor, seperti budaya yang tertanam dalam masyarakat, kemiskinan, kurangnya pendidikan, serta pandangan masyarakat yang menganggap pernikahan anak sebagai solusi untuk menghindari beban ekonomi atau sosial. Dalam banyak kebudayaan, masyarakat percaya bahwa dengan menikahi anaknya yang berusia muda akan menghindari aib keluarga.

Mereka juga menganggap bahwa membesarkan anak perempuan itu lebih mahal, maka karena itu lebih baik jika dinikahkan dengan orang lain yang bisa memadainya. Ini juga merupakan sebuah tindakan yang dipercayai akan melindungi keperawanan perempuan, penyakit seksual, dan hamil sebelum pernikahan.  Terdapat pula pandangan yang menganggap bahwa pernikahan dini merupakan sebuah jalur keluar dari kemiskinan.   Perlu upaya untuk merubah mindset yang menormalisasikan pernikahan dini.

Urgensi Menangani Isu Pernikahan Anak

Pernikahan anak bisa dilihat sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak, khususnya hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Anak yang terlibat dalam pernikahan umumnya belum siap secara fisik dan mental untuk menjalani kehidupan rumah tangga, apalagi untuk memiliki anak. Pernikahan pada usia dini juga berisiko meningkatkan angka kematian ibu dan bayi, serta menurunkan kualitas pendidikan anak tersebut, yang pada gilirannya berdampak pada perkembangan ekonomi dan sosial.

Pernikahan anak tidak hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga berdampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit untuk diputuskan. Anak yang menikah di usia dini lebih cenderung keluar dari sekolah, memiliki lebih sedikit peluang untuk meningkatkan kualitas hidup mereka, dan berisiko menghadapi kekerasan dalam rumah tangga. Dalam jangka panjang, ini dapat berkontribusi pada rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi yang stagnan, serta peningkatan angka kemiskinan di Indonesia.

Solusi dan Saran Terkait Pernikahan Anak
1. Peningkatan Edukasi dan Penyuluhan kepada Masyarakat

Salah satu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya pernikahan anak dan pentingnya pendidikan. Penyuluhan kepada orang tua, pemimpin adat, dan tokoh masyarakat dapat membantu merubah pandangan yang keliru mengenai pernikahan anak. Selain itu, sekolah-sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk memperoleh pengetahuan tentang hak-hak mereka dan risiko dari pernikahan dini.

2. Penguatan Undang-Undang dan Penegakan Hukum

Meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur batas usia pernikahan, penegakan hukum terhadap pelanggaran harus diperketat. Sebelum tahun 2019, hukum dalam undang-undang menyatakan bahwa usia minimum untuk menikah bagi perempuan adalah 16 tahun. Namun dengan revisi undang-undang sudah terganti menjadi 19 tahun. Sejak tahun 2019, angka rata-rata pernikahan dini menurun dari 10.5% per tahun menjadi 6.93%. Tetapi juga perlu ditegaskan dalam dispensasi serta pengecekan data sehingga tidak terjadinya manipulasi data. Bagi yang melanggar hal ini harus diberikan sanksi besar, sehingga tidak mudah lagi bagi orang untuk melanggar hak asasi manusia.

3. Meningkatkan Akses Terhadap Pendidikan

Salah satu solusi jangka panjang untuk mengurangi pernikahan anak adalah dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan, terutama bagi anak-anak perempuan. Perempuan yang mendapatkan edukasi tersebut, akan menyadari bahwa kebudayaan bukan merupakan hal yang harus dinormalisasikan. Perempuan juga tidak akan jatuh kepada keputusasaan faktor ekonomi, karena dengan adanya pendidikan mereka dapat berusaha untuk menunjang perekonomian yang lebih baik.

4. Kolaborasi Antar Lembaga dan Komunitas

Isu pernikahan anak memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas lokal. Kampanye bersama yang melibatkan berbagai pihak dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengurangi terjadinya pernikahan anak. Selain itu, dukungan untuk keluarga yang rentan terhadap pernikahan anak, seperti bantuan sosial atau pelatihan keterampilan, juga sangat penting.

Ditulis oleh: 
Chaleena Diminsa P.
Syahira Jihan P.
(Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Ciputra Surabaya)

Dibimbing oleh:
Dr. Ersa Lanang Sanjaya, S.Psi., M.Si.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Ciputra Surabaya