
Fakultas Entrepreneur dan Humaniora Universitas Ciputra (FEH UC) mengadakan sebuah kuliah umum dengan tema “Sastra dan Jurnalisme Tjamboek Berdoeri”. Acara ini diadakan pada Sabtu (5/3) dan dibawakan oleh Stanley Adi Prasetyo, pendiri Aliansi Jurnalistik Independen (AJI).
Nah, kuliah tamu ini mengangkat sumbangsih dari Tjamboek Berdoeri atau Kwee Thiam Tjing, seorang jurnalis Indonesia yang namanya tidak banyak disinggung dalam sejarah. Padahal, Thiam Tjing sangat berjasa bagi perkembangan jurnalisme Indonesia.
Bapak Stanley menjelaskan tentang salah satu karya Thiam Tjing yang paling terkenal yaitu buku berjudul Indonesia Dalem Api dan Bara. Buku tersebut terbit pada September 1947. Dengan gaya bahasa yang nakal, nyentrik, dan penuh human interest, Thiam Thing mengisahkan sejarah kota Malang dari sisi banyaknya orang Tionghoa yang menjadi korban setiap adanya pergantian kekuasaan.
Pada sesi tanya jawab, seorang mahasiswa bertanya tentang apa latar belakang orang Tionghoa Malang diserang di zaman itu. Beberapa alasannya adalah orang Tionghoa dianggap sebagai pendukung NICA. Lalu, sebagian orang Tionghoa ada yang berpihak pada negara Tiongkok, ada juga yang mementingkan Indonesia. Thiam Tjing masuk pada kelompok kedua, tetapi pandangan masyarakat adalah orang Tionghoa berjuang untuk Tiongkok.
Tidak hanya mengalami kekerasan fisik, orang Tionghoa di Malang juga dijarah oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai Laskar Rakyat karena saat itu ekonomi mereka cukup mapan. Thiam Tjing membawakan fakta dengan tajam, menyentak, dan lugas dalam tulisannya.
Saking tajamnya tulisan Thiam Tjing, ia bahkan enam kali dikenakan delik pers dan dua kali masuk penjara karena tulisannya. “Kwee Thiam Tjing sangat menggunakan rasionalitas, tapi dalam hal membela harga diri, membela yang namanya kebangsaan, ia akan meniadakan rasionalitas. Ia menjadi orang yang irasional. Dia tahu bahwa menghina Belanda itu bisa masuk penjara, dia tetap lakukan. Karena dia merasa, ‘Saya harus membela Indonesia. Saya harus membela orang-orang yang dikatakan sebagai pribumi;inlander,’” kata Bapak Stanley.
Semasa hidupnya, Thiam Tjing bersahabat baik dengan Soekarno, Dr. Soetomo, Mochtar Lubis, dan dan tentunya Liem Koen Hian. Thiam Tjing dan Koen Hian sama-sama jurnalis yang nasionalis, mereka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan karya-karya mereka.
Thiam Tjing memberikan banyak contoh liputan feature dan in depth yang menawan selama hidupnya. Kelugasannya dalam memaparkan fakta adalah sebuah pers yang ideal. Sayangnya, masih banyak karya Thiam Tjing yang belum ditemukan. Kita sebagai masyarakat perlu mencari tahu lebih dalam mengenai sosok berjasa ini agar namanya bisa lebih dikenal publik.
Buat mahasiswa, cara yang bisa dilakukan adalah melakukan riset dokumen-dokumen mengenai Thiam Tjing, menuliskannya di media massa, jurnal, dan lain-lain. Kwee Thiam Tjing telah berjasa untuk jurnalistik Indonesia, sekarang giliran kita~
