Memperkaya Narasi Keindonesiaan: Catatan Pameran Arsip “Menjadi Indonesia” di Universitas Ciputra Surabaya

Oleh: Yogi Ishabib*

www.ciputra.ac.id -Surabaya, Raphael Samuel, sejarawan Inggris, menawarkan sebuah metode historiografi yang disebut sebagai history from below. Bagaimana konteksnya untuk Indonesia? Metode yang disebut juga sebagai catatan sejarah dari bawah merupakan metode penyusunan sejarah dari masyarakat biasa yang selama ini berada di luar narasi kanon sejarah. Samuel menelusuri catatan dan ingatan dari orang-orang biasa di Inggris tentang perang yang sudahlewat, apa saja yang pernah terjadi di desa mereka.

Melalui pendekatan tersebut, kita bisa memandang peristiwa masa lalu dan menuliskannya dari sudut lain. Tidak lagi bersifat top-down, melainkan juga bottom-up. Melalui pendekatan ini terjadi demokratisasi dalam penulisan sejarah. Siapa saja bisa menulis sejarahnya sendiri melalui arsip dan ingatan yang mereka miliki. Secara etimologi, kata arsip berasal dari kosakata Yunani “archium” yang berarti tempat menyimpan sesuatu. Arsip yang awalnya hanya merujuk kepada tempat penyimpanan ataupetikemudian berkembang menjadi bentuk fisik lainnya seperti dokumen, foto, rekaman suara, dan video yang memuat informasi tentang subyek, obyek, maupun peristiwa tertentu.

Pada perkembangan selanjutnya, pengertian kata arsip semakin lentur—medium penyimpanan yang selaras dengan perkembangan pengetahuan, teknologi, dan budaya material maupun non-material di setiap kelompok masyarakat. Hal ini membuka tafsir baru bahwa nyaris segala sesuatu bisa menjadi arsip selama memiliki fungsi menyimpan dan meneruskan ingatan. Metode ini sepertinya yang juga coba ditawarkan oleh mata kuliah Menjadi Indonesia (Becoming Indonesia) di Universitas Ciputra ketika membincang wacana keindonesiaan. Alih-alih membahas wacana tersebut dari narasi besar kebangsaaan yang filosofis dan ideologis, Universitas Ciputra justru mangajak untuk memilin narasi-narasi kecil yang turut menyusun kekayaan wacana keindonesiaan kita.

Narasi-narasi kecil yang terserak itu dapat leluasa kita jumpai di pameran arsip lintas media mahasiswa Menjadi Indonesia yang dipamerkan di Corepraner Universitas Ciputra pada Kamis, 8 Juni 2023. Arsip koleksiuang kuno Ivena Iskandar Tanoeimanda, misalnya, banyak memberikan informasi soal kondisi ekonomi Indonesia dari masa ke masa, termasuk soal hiperinflasi yang disambung dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang rupiah yang terjadi pada 1950 dan 1959.

Arsip-arsip Marshanda menampilkan koleksi gimbot (game watch) yang menjadi penanda perubahan teknologi permainan anak-anak lintas zaman, serta masa-masa awal kultur dan industri game di dunia terbentuk. Sementara kompilasi arsip Celine Monica, Gerald Hartanto, Howard Gohvint, dan Jasmine Hanggoro hasil penulusuran mereka keTambak Bayan memberi petunjuk soal perebutan ruang dan ekspresi perlawanan melalui art performance.

Violetta Gunawan yang menyisir arsip-arsip Oei Hiem Hwie, pendiri perpustakaan Medayu Agung, mendapatkan pengalaman pengelolaan metadata arsip dalam bentuk arkaiknya. Violetta mengajak kita mengimajinasikan Indonesia dari sudut kepahlawanan yang lain; yang tak melulu soal senjata, tapi juga soal kecintaan kepada dunia literasi.

Selanjutnya narasi keindonesian bertebaran dalam arsip-arsip genealogi, migrasi, bisnis keluarga, asimilasi dan akulturasi, serta konflik dan trauma. Kompilasi arsip Jeanice Sharon Govita adalah salah satunya. Sebagai generasi kelima keluarga Tionghoa, Jeanice menampilkan arsip-arsip leluhurnya secara artikulatif; awal perjalanan leluhurnya dari Fujian, Tiongkok, menuju ke Indonesia, berbagai jenis usaha yang dijajal oleh keluarga besarnya, upaya leluhurnya mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia dan “nama Indonesia”, hingga pilihan lokasi tempat tinggal keluarganya agar aman dari konflik yang menyasar orang-orang Tionghoa pada 1998.

Narasi keindonesiaan yang ditampilkan melalui arsip-arsip tersebut menjelma menjadi kawan yang menawarkan keakraban melalui kisah-kisah personal yang nyaris tak pernah kita temukan di ruang-ruang resmiakademis. Kita menjadi tahu bahwa kita tak pernah benar-benar mengenal Indonesia.

Berbagai koleksi arsip yang biasanya dipandang sepele karena sebangun dengan aktivitas klangenan arsiparisnya justru membuka kesempatan kepada kita untuk mengenal hubungan paradoksal antara “yang-dekatdengan “yang-jauh”. Melalui arsip-arsip tersebut, kita melihat keindonesiaan dari sisi yang lain, sebagai proses “menjadi” yang diusahakan terus-menerus. Bahwa Indonesia tidak hanya dibentuk oleh keputusan-keputusan politik di Jakarta. Tetapi juga dipintal oleh aktivitasdan ekspresi keseharian orang-orang pada umumnya.

Saya mengandaikan, jika Indonesia adalah sebuah rumah besar, kisah-kisah yang ditampilkan di pameran arsip ini seperti seorang kawan yang mengajak kita menengok kemegahan rumah dari halaman belakang. Di halaman belakang itu, kita bisa membicarakan hal-hal yang mungkin belum mendapatkan kesempatan atau bahkan tidak boleh dibicarakan di ruang-ruang utama di rumah besar tersebut.

Menyitir tulisan Muhammad Al-Fayyadl dalam Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-puisi Afrizal Malna: Fasisme, Modernisme, Lirisisme, bahwa di sana, di halaman belakang, membicarakan apa saja yang ada di belakang punggung kita: sesuatu yang ingin dilupakan, tapi terus menguntit dan menghantui langkah-langkah kita ke depan.

Sejalan dengan perkembangan penggunaan arsip untuk mengurai narasi sejarah, Harriet Bradley dalam The Seductions of the Archive: Voices Lost and Found berargumen bahwa arsip juga memiliki fungsi sebagaijembatan” yang membantu kita memahami sifat dialektis masa lalumasa sekarang, serta bagaimana posisi kita ketika terhubung dengan dua masa itu.

Keterhubungan dengan masa yang telah lampau, menurut saya, adalah kunci utama untuk mengenali kondisi dan situasi kita hari ini. Keterhubungan yang dialami oleh siapa saja ini memungkinkan bahwa masing-masing individu Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperkaya narasi keindonesiaanatau dalam konteks ini; mendemokratisasi sejarah Indonesia. (*)

*Yogi Ishabib
Dosen Luar Biasa di School of Entrepreneurship and Humanities
Universitas Ciputra Surabaya