Oleh: Suryadi Kusniawan*
www.ciputra.ac.id -Surabaya, Digitalisasi telah menghubungkan lebih dari 5 miliar orang di dunia melalui internet, memfasilitasi komunikasi lintas bahasa dan budaya. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai pintu gerbang untuk mengenal budaya dan sarana diplomasi internasional. Fenomena ini mendorong minat global terhadap Bahasa Indonesia, meskipun hanya 1,1% pengguna internet dunia yang menggunakannya. Salah satu indikator tingginya minat ini adalah meningkatnya jumlah pemelajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), yang pada 2023 tercatat mencapai 23.754 orang dari 90 negara. Peran teknologi informasi dan media sosial dalam menyebarkan konten budaya Indonesia serta kemudahan akses informasi melalui layanan terjemahan otomatis turut mempengaruhi fenomena ini.
BIPA memiliki potensi besar sebagai alat diplomasi budaya dan pengembangan bisnis edukasi. Namun, untuk mencapai potensi maksimalnya, BIPA juga menghadapi berbagai tantangan yang memerlukan strategi inovatif dalam pembelajarannya.
Peluang BIPA: Antara Daya Tarik Budaya dan Kebutuhan Praktis
Pertumbuhan minat terhadap BIPA tidak hanya disebabkan oleh daya tarik budaya Indonesia, tetapi juga oleh kebutuhan praktis. Sebagai contoh, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia pada 2023 mencapai 168.048 orang, yang membuka pasar baru bagi pembelajaran Bahasa Indonesia. Banyak pekerja asing memerlukan kemampuan berbahasa Indonesia untuk dapat berintegrasi secara sosial dan profesional di Indonesia. Selain itu, jumlah mahasiswa asing di Indonesia juga terus meningkat, dari 3.896 pada 2021 menjadi 6.000 pada 2023. Program-program pemerintah seperti beasiswa Darmasiswa dan Kemitraan Negara Berkembang (KNB) telah berperan dalam mendukung pertumbuhan ini, tidak hanya dalam pengajaran bahasa, tetapi juga memperkenalkan budaya Indonesia secara lebih mendalam.
Di sisi lain, kemajuan teknologi juga turut mendorong perkembangan BIPA. Platform pendidikan digital seperti Duolingo dan Coursera telah mempermudah pemelajar dari seluruh dunia untuk mengakses kursus Bahasa Indonesia secara online. Namun, meskipun platform ini membuat pembelajaran lebih mudah diakses, mereka juga menantang lembaga pembelajaran BIPA untuk lebih berinovasi dan menawarkan pengalaman belajar yang lebih menarik serta sesuai dengan kebutuhan pemelajar.
Tantangan yang Dihadapi BIPA
Meskipun peluang yang ada cukup besar, pembelajaran BIPA juga menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan jumlah pengajar BIPA yang bersertifikat dan memenuhi standar nasional. Hingga saat ini, pengajar BIPA hanya mendapatkan sertifikat pelatihan dari Balai Bahasa di tingkat provinsi atau dari asosiasi pengajar BIPA, namun belum ada standar sertifikasi nasional yang terstruktur. Keterbatasan ini mempengaruhi kualitas pengajaran, baik di dalam negeri maupun luar negeri, di mana biaya pembelajaran menjadi cukup tinggi karena masih banyak pengajar asing yang bergantung pada pengajar dari Indonesia.
Selain itu, banyak lembaga BIPA yang masih mengajarkan materi yang bersifat umum, sementara kebutuhan pemelajar sangat bervariasi. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Australia yang belajar BIPA untuk riset antropologi membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan seorang pekerja asal Jepang yang ingin memahami istilah teknis dalam industri otomotif. Pembelajaran yang terlalu generalis cenderung tidak memenuhi kebutuhan spesifik para pemelajar ini, sehingga penting untuk mengembangkan kurikulum yang lebih fleksibel dan kontekstual.
Peran Teknologi dalam Pembelajaran BIPA
Kemajuan teknologi, khususnya alat penerjemahan seperti Google Translate dan perangkat AI lainnya, telah memberikan kemudahan dalam mempelajari Bahasa Indonesia. Namun, teknologi ini sering kali gagal menangkap makna budaya yang terkandung dalam bahasa, seperti istilah “gotong royong” yang memiliki makna sosial yang dalam bagi masyarakat Indonesia. Ketergantungan pada alat terjemahan otomatis tanpa pemahaman tentang budaya lokal bisa mengurangi pemahaman pemelajar terhadap nilai-nilai yang melekat dalam bahasa. Meskipun teknologi bisa menjadi alat bantu yang efektif, interaksi langsung dengan pengajar tetap sangat dibutuhkan agar pemelajar bisa memahami bahasa sekaligus nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Solusi dan Strategi Inovatif untuk Menghadapi Tantangan BIPA
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, kolaborasi multisektor sangat diperlukan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), perlu menjalin kemitraan dengan platform digital pendidikan seperti Ruangguru atau Zenius untuk menciptakan kursus BIPA daring yang lebih terjangkau dan mudah diakses. Universitas-universitas di Indonesia juga bisa bekerja sama dengan Kemendikbud untuk membuka program sertifikasi pengajar BIPA yang diakui secara nasional. Dalam hal ini, pemangku kepentingan lain seperti perusahaan dan lembaga riset juga bisa dilibatkan dalam pengembangan kurikulum yang relevan dan kontekstual dengan kebutuhan pasar.
Misalnya, modul-modul khusus seperti “Bahasa Indonesia untuk Pariwisata” atau “Budaya Kewirausahaan Indonesia” bisa dibuat untuk memenuhi kebutuhan spesifik berbagai sektor. Di sisi promosi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bisa memanfaatkan influencer asing yang belajar BIPA untuk kampanye di media sosial atau membuat dokumenter tentang pengalaman para pemelajar BIPA dari berbagai negara sebagai bentuk soft diplomacy. Selain itu, teknologi AI dapat dimanfaatkan lebih maksimal, misalnya dengan menggunakan simulasi percakapan sehari-hari atau analisis pelafalan, selama tetap mengedepankan interaksi langsung yang mengajarkan nilai budaya Indonesia.
Kesimpulan
Pada akhirnya, BIPA bukan hanya sekadar program pembelajaran bahasa, tetapi juga merupakan investasi jangka panjang untuk membangun citra positif Indonesia di mata dunia. Setiap pemelajar BIPA memiliki potensi untuk menjadi duta budaya yang akan mengenalkan keindahan alam, keramahan masyarakat, dan kekayaan seni Indonesia ke negara mereka. Di tengah persaingan global dengan bahasa-bahasa besar seperti Mandarin atau Spanyol, BIPA bisa menjadi pembeda—bahasa yang tidak hanya diajarkan, tetapi juga dirasakan dalam konteks budaya yang lebih dalam.
Untuk itu, Indonesia harus berani berinovasi dalam berbagai aspek: memperkuat infrastruktur pendidikan, merangkul teknologi, dan menampilkan wajah budaya yang autentik. Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan tepat, suatu hari nanti, “Selamat pagi” tidak hanya akan terdengar di Jakarta, tetapi juga di New York, Kairo, atau Tokyo—sebagai salam yang menghubungkan dunia dengan Indonesia, dan salam dari Indonesia untuk dunia.
*Suryadi Kusniawan
Dosen di School of Entrepreneurship and Humanities
Universitas Ciputra Surabaya