National Field Trip Program dalam kunjungan ke Candi Borobudur

Memasuki bulan Desember, nuansa liburan akhir tahun kian terasa. Di ranah ini, peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirayakan seluruh dunia pada 10 Desember terasa menemukan relevansi dalam bentuk perluasan makna. Kebutuhan berwisata perlu mendapat perhatian khusus sebagai bagian penting dari HAM.

Terkesan terlalu jauh antara HAM dengan berwisata, namun di negara maju dan dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang, kebutuhan yang satu ini semakin terasa esensial sebagai salah satu pengejawantahan untuk menggapai kebahagiaan hidup setiap warga negara.

Abraham Maslow (1908-1970) telah mengamati perilaku manusia modern, yang menurutnya perilaku manusia dimotivasi oleh sesuatu yang mendasar. Secara berurutan dari bawah hingga ke level yang lebih tinggi yaitu kebutuhan fisiologi (makan, minum, seks), rasa aman, kasih sayang, harga diri dan aktulisasi diri. Puncak tertingginya adalah aktualisasi diri. Seorang manusia sudah tidak berpikir tentang harga diri jika dirinya bisa menuangkan idealisme, berkonsentrasi penuh dalam aktivitas yang dicintainya. Sebagaimana ilustrasi seorang profesor filsafat yang mengajar dengan baju sederhana dan hanya menaiki sepeda.

Tampaknya kebenaran teori tersebut implisit kurang mengaitkan kebutuhan manusia modern dengan aneka dan kompleksitas kepentingan serta kebutuhan. Dalam kondisi terjepit sekali pun, manusia modern dengan level pemenuhan kebutuhan yang menurut Maslow sudah paling tinggi, masih ada yang kurang dan bersikeras memenuhinya. Tampaknya fenomena itu dapat dipelajari dari kepergian para narapidana ke luar penjara dan bahkan diketahui traveling hingga ke luar negeri.

Kepariwisataan semakin menjadi salah satu kebutuhan esensial manusia di samping kebutuhan pokok yang lainnya, kebutuhan berwisata menjadi sangat dibutuhkan dalam rangka live balancing dari rutinitas keseharian manusia, oleh karena itu timbulah usaha-usaha dalam memenuhi kebutuhan berwisata seperti shopping, berenang, tour package, dan caving.  Artinya, di level kebutuhan mendasar pun, masyarakat menengah ke bawah tidak cukup hanya mengejar kebutuhan fisik manakala aktivitas berwisata tidak terpenuhi. Apalagi masyarakat yang menurut hirarki kebutuhan Maslow telah terpenuhi seluruhnya, bahkan semakin berkesempatan untuk mengakses sebesarnya-besarnya untuk berwisata. Ini justru memperlihatkan betapa ladang kepariwisataan di Tanah Air terbuka luas bagi penggalian pundi-pundi negara, dan di kalangan masyarakat luas memberikan peluang untuk mengkreasikan semakin banyak bentuk kewirausahaan guna memenuhi kebutuhan berwisata manusia modern yang semakin sulit terbendung.

Hak Berwisata

Pada dasarnya berwisata adalah hak setiap orang. Dalam Undang-undang Nomer 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 18 ayat 1 butir a disebutkan, setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata. Dalam UU itu juga disebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan (Pasal 23 ayat 1 butir a).

Kegagalan implementasi UU tersebut tidak saja manakala warga diliputi ketakutan untuk bepergian, tetapi justru ketika warga yang secara sukarela bersumbangsih terhadap pembangunan melalui sektor pariwisata malahan menjadi korban. Serangan teroris merupakan ancaman aktual terhadap hak berwisata. Namun dalam konteks tertentu, dalam kondisi seseorang dibatasi kebebasannya oleh keputusan hukum, tentu hak berwisata tidak dapat diberikan begitu saja seperti orang kebanyakan.

Bahkan, esensi dari kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia bermakna tidak hanya kebebasan sebesar-besarnya umat manusia untuk mencapai dan mendapatkan hak-haknya sebagaimana dikodratkan oleh Sang Pencipta. Juga tidak sebatas kebebasan dan kemerdekaan setiap negara untuk menentukan arah pembangunannya. Lebih-lebih implisit juga bermakna kebebasan kehendak manusia untuk menentukan jejak langkah bepergian ke mana saja sesuai kehendak hati.

Sebaliknya, kemerdekaan suatu negara, dan dengan demikian kemerdekaan dan kebebasan setiap warga negara di dalamnya, justru perlu didorong untuk mengenali aneka kebudayaan dan perilaku bangsa-bangsa di dunia lewat media pariwisata. Eksplisit dalam perundangan Kepariwisataan (UU 10/2009) disebutkan salah satu tujuan pariwisata untuk mempererat persahabatan antar bangsa.

Kasat mata kebutuhan berwisata di negeri yang telah merdeka ikut serta terpenjara bersama fisik manusia. Kegetiran insan terpenjara tidak sekadar terpenjaranya badan, lebih-lebih tercerabutnya dari kebutuhan kontemporer sebagai mahluk tertinggi yang diciptakan Sang Pencipta. Karena kebutuhan tradisional dalam hirarki kebutuhan Maslow telah terpenuhi, kebutuhan berwisata tetap menjadi keniscayaan dengan menempuh berbagai cara.

Baiklah ini kita sadari sebagai perspektif pembelajaran bersama sebagai warga negara di negeri modern, ulah kejahatan tidak hanya berdampak pada terpenjaranya badan, tetapi tertutupnya kesempatan untuk mengakses dan meraih kebutuhan vital berwisata. Manusia modern seakan tidak ada puasnya sebelum kebutuhan berwisata dalam batasan tertentu dapat terpenuhi. Menjadi warga negara yang baik ternyata adalah peluang dan momentum untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan seutuhnya sebagai manusia di jaman modern.

Penulis : Dewa Gde Satrya 
Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

 

Artikel lain