Gambar Ilustrasi Pesawat

Tragedi pesawat Lion Air JT 601 rute Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di Perairan Karawang, Jawa Barat, pada Senin (29/10), menyisahkan kegetiran dan ketakutan di kalangan. Jaminan keamanan penerbangan, aksesabilitas dan infrastruktur menuju destinasi wisata, secara simultan dan parsial merupakan ’hulu’ pertumbuhan perjalanan wisata anak bangsa. Dan kemudian akan mendorong pertumbuhan sektor pariwisata di Indonesia.

Pemaknaan di atas kembali menyeruak ke permukaan karena insiden kecelakaan Lion Air semakin menimbulkan trauma bagi para penumpang pesawat sipil. Jatuhnya Lion Air mengingatkan akan jatuhnya pesawat Germanwings 4U 9525 yang membawa 150 orang dari Barselona, Spanyol, menuju Dusseldord, Jerman. Maskapai penerbangan murah milik grup Lufthansa itu jatuh di pegunungan Alpens, Prancis, pada Kamis (24/3). Dugaan kuat, kabar duka itu disebabkan kopilot mengalami depresi berat dan sengaja menjatuhkan pesawat.

Kabar itu menyerupai peristiwa duka yang melanda bangsa Indonesia, khususnya, atas jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501. Basarnas, sebagai koordinasi pencarian dan evakuasi korban, sangat berjasa dan berprestasi dalam operasi tersebut. Mereka berhasil mengevakuasi 103 jenazah dari 162 penumpang dan kru dalam pesawat itu.

Penerbangan sipil internasional, sebagaimana ditetapkan International Civil Aviation Organisation (ICAO) melalui Resolusi Majelis A29-1, memiliki peran penting dalam pembangunan berbagai negara dalam bidang sosial dan ekonomi. Salah satu bentuk jaminan keamanan dan keselamatan transportasi udara adalah ketegasan otoritas terkait untuk mencabut lisensi terbang maskapai yang ‘bermasalah’.

Patut diakui, dengan adanya kecelakaan pesawat baru Lion Air, juga Sukhoi, menunjukkan bahwa keselamatan dalam perjalanan masih mengandung suatu misteri. Sekalipun ada resiko yang jelas terjadinya kecelakaan dengan berbagai sebab, namun dipastikan bahwa moda transportasi udara sebagai moda tercepat dan teraman.

Beberapa kalangan bahkan menyimpan ketakutan dan rasa trauma yang mendalam ketika menaiki pesawat. Belum lagi seringnya keterlambatan jadwal penerbangan yang mengurangi kepuasan menggunakan jasa maskapai dalam negeri, menjadi salah satu aspek yang wajib diperbaiki. Namun demikian, moda transportasi udara mau tidak mau dan suka tidak suka tetap dipergunakan oleh masyarakat.

Perayaan Kehidupan

Traveler dan kegiatan traveling adalah potret perayaan dan ungkapan syukur atas kehidupan dan anugerah sebagai bangsa yang merdeka. Semakin tinggi ‘jam terbang’ dan rute perjalanan seseorang, maka kegiatan perjalanan tidak sekadar bersenang-senang (leisure) tetapi lebih kepada pemenuhan jiwa. Tak sedikit ‘traveler senior’ dikenal sebagai pribadi yang hangat, rendah hati, dan tentu saja menyenangkan. Itu diperoleh lewat pengalaman beberapa kali traveling.

Perjalanan wisata menjadi proses menempa diri menjadi pribadi yang matang, peka dengan lingkungan, menghargai kemanusiaan, dan di atas segalanya menghargai kehidupan. Di keseharian, traveler dengan pengalaman dan rencana perjalanannya, seakan mencari kesempurnaan hidup lewat interaksi dengan beragam setting wilayah/alam, manusia dan kebudayaan.

Secara filosofi, traveler melatih diri menjadi insan-insan humanis yang tampak pada sosok the liberal ironist menurut gagasan filsuf Richard Rorty. The liberal ironist atau manusia ironis liberal digambarkan sebagai manusia liberal yang hanya mengakui satu tuntutan dasar etika: jangan menyakiti makhluk lain, jangan melukai atau membuat orang lain terhina. Dan, sebagai manusia ironis, ia sadar bahwa keyakinan-keyakinannya yang paling dalam barangkali tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, fleksibilitas terhadap keselamatan dan independensi orang lain patut dikembangkan dan menjadi kepemilikan bersama. Kombinasi antara sikap ironis terhadap diri sendiri dengan sikap yang menolak untuk – atas dasar prinsip apa pun – melukai orang lain, adalah inti segenap moralitas yang humanis (Franz Magnis-Suseno dalam Pijar-pijar Filsafat, 2005: 39).

Hemat saya, pandangan di atas merupakan esensi yang implisit dalam setiap diri traveler, implisit dalam setiap kesibukan dan upaya melakukan perjalanan wisata. Orang tidak bersikukuh dengan kebenaran dirinya dan meremehkan keyakinan kebenaran orang lain. Perjumpaan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, menjadikan traveler melihat kehidupan sebagai keindahan. Dalam bingkai yang lebih luas, kesadaran setiap manusia melihat keanekaragaman kehidupan sebagai keindahan adalah dasar terciptanya perdamaian dunia.

Pembelajaran lintas budaya dan religiusitas mengandaikan perjumpaan dan interaksi lintas budaya melalui perjalanan wisata dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu negara ke negara yang lain. Dan itu terakomodasi lewat traveling.

Perjalanan wisata menjadi proses menempa diri menjadi pribadi yang matang, peka dengan lingkungan, menghargai kemanusiaan, dan di atas segalanya menghargai kehidupan. Di keseharian, traveler dengan pengalaman dan rencana perjalanannya, seakan mencari kesempurnaan hidup lewat interaksi dengan beragam setting wilayah/alam, manusia dan kebudayaan.

Secara filosofi, traveler melatih diri menjadi insan-insan humanis yang tampak pada sosok the liberal ironist menurut gagasan filsuf Richard Rorty. The liberal ironist atau manusia ironis liberal digambarkan sebagai manusia liberal yang hanya mengakui satu tuntutan dasar etika: jangan menyakiti makhluk lain, jangan melukai atau membuat orang lain terhina. Dan, sebagai manusia ironis, ia sadar bahwa keyakinan-keyakinannya yang paling dalam barangkali tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, fleksibilitas terhadap keselamatan dan independensi orang lain patut dikembangkan dan menjadi kepemilikan bersama. Kombinasi antara sikap ironis terhadap diri sendiri dengan sikap yang menolak untuk – atas dasar prinsip apa pun – melukai orang lain, adalah inti segenap moralitas yang humanis (Franz Magnis-Suseno dalam Pijar-pijar Filsafat, 2005: 39).

Hemat saya, pandangan di atas merupakan esensi yang implisit dalam setiap diri traveler, implisit dalam setiap kesibukan dan upaya melakukan perjalanan wisata. Orang tidak bersikukuh dengan kebenaran dirinya dan meremehkan keyakinan kebenaran orang lain. Perjumpaan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, menjadikan traveler melihat kehidupan sebagai keindahan. Dalam bingkai yang lebih luas, kesadaran setiap manusia melihat keanekaragaman kehidupan sebagai keindahan adalah dasar terciptanya perdamaian dunia.

Pembelajaran lintas budaya dan religiusitas mengandaikan perjumpaan dan interaksi lintas budaya melalui perjalanan wisata dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu negara ke negara yang lain. Dan itu terakomodasi lewat traveling.

United Nation World Tourism Organization melalui kampanye “Satu Miliar Turis, Satu Miliar Peluang” menginterpretasikan kerinduan umat manusia bahwa lalu lintas manusia di muka bumi untuk kepentingan pariwisata merupakan sarana atau katalisator untuk membangun pemahaman, mendorong inklusi sosial, dan meningkatkan kelayakan standar hidup. Hal itu juga dituangkan lewat tema dan fokus perayaan World Tourism Day pada tanggal 27 September 2009 yang dipusatkan di Ghana, Afrika Selatan, mengangkat tema “Tourism-Celebrating Diversity”.

Ungkapan St. Augustine yang populer di kalangan traveler, the world is a book and those who do not travel read only one page”, bagi publik dalam negeri akan tergenapi lewat peringatan hari penerbangan nasional ini. Para anak bangsa yang semakin banyak menjadi seorang traveler, lewat perjalanan wisatanya telah membuka lembar demi lembar buku kehidupan. Lewat traveling pula, ‘buku kehidupan’ ini semakin lama semakin menarik untuk dibaca, dihidupi dan disyukuri. Tentu, syukur kepada Sang Kehidupan atas penyertaan-Nya kepada kita, para peziarah, para traveler kehidupan. Semoga semua korban Lion Air berbahagia di Surga.

Oleh: I DEWA GDE SATRYA
(Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya)

 

Artikel lain