Keunggulan Bisnis Keluarga.Bisnis Indonesia.20 Juni 2021.Hal.5

Keunggulan Bisnis Keluarga

  • Kolaborasi dan kompromi

Mengetahui karakteristik, kekuatan, dan kelemahan setiap anggota keluarga membuat diskusi pekerjaan menjadi lebih mudah, membuat alokasi tugas lebih akurat, dan pertukaran informasi menjadi lebih nyaman.

  • Tujuan yang sama

Manajemen bisnis keluarga cenderung memiliki visi dan rencana bisnis yang lebih mapan. Anggota keluarga yang juga merupakan pemegang saham utama perusahaan akan bekerja untuk tujuan yang sama karena mereka adalah yang paling diuntungkan jika bisnis berkembang.

  • Komitmen kuat & penghargaan lebih tinggi

Anggota keluarga telah memegang posisi selama bertahun-tahun.sehingga mereka telah memiliki pengalaman yang cukup dalam bisnis, serta telah membangun hubungan dan jaringan yang kuat dengan para pemangku kepentingan, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri ini.

Sementara terkait dengan pembayaran gaji dalam perusahaan keluarga, menggaji pada era 1980an, memiliki komitmen bahwa yang boleh bekerja dalam perusahaan hanya pemegang saham langsung.

Istri atau suami pemegang saham langsung tidak boleh bekerja di perusahaan demi menjaga profesionalisme. Komitmen itu juga terlihat hingga saat ini. Jajaran kelu arga di posisi direktur PT Blue Bird Tbk yang melantai di bursa saham tersebut, hanya 3. orang dan sisanya bukan keluarga. “Keluarga minoritas, dan di struktural lain tidak ada satupun keluarga. Justru keterlibatan keluarga secara manjerial minim,” katanya. Kondisi itu dilakukan karena perusahaan mengutamakan kompetensi. Noni, sebelum menjabat sebagai CEO pun harus melewati uji kompetensi yang dilakukan oleh pihak ketiga.

Saat ini, dirinya memiliki rapat keluarga yang dilakukan setiap 2 minggu sekali. Dalam rapat tersebut, pembicaraan-pembicaraan terkait perbedaan pendapat, isu yang mendalam, atau fundamental sering terjadi.

“Selalu ada perbedaan pendapat. Karena kita belajar dari generasi pertama sampai kedua, meski ada perbedaan pendapat enggak sampai muncul konflik.”

Kerugian Bisnis Keluarga

  • Perencanaan regenerasi

Seiring dengan perubahan dalam bisnis keluarga, para pemimpin sebelumnya mungkin menolak perubahan dan keputusan yang diambil oleh penerus serta mulai mempertanyakan kemampuan penerus dan juga membandingkan dengan proses kerja mereka.

  • Manajemen konflik

Pandangan yang berbeda menyebabkan konflik terutama jika tiap pihak tidak mau berkompromi satu sama lain. Kesenjangan dalam komunikasi dan kegagalan untuk mengelola harapan satu sama lain juga dapat menimbulkan konflik. Konflik ini bisa merusak hubungan keluarga dan bisnis, yang pada akhirnya membahayakan bisnis keluarga.

 

Sumber: Bisnis Indonesia.20 Juni 2021.Hal.5

Ekonomi Inklusif dan Gaung Media Sosial. Bisnis Indonesia. 22 Juni 2021. Hal.2

Ekonomi inklusif kian menjadi konsep yang mengarus utama, baik di kalangan pemikir, penggiat maupun pemangku kebijakan ekonomi. Intinya, semua sudah sepakat bahwa pertumbuhan tinggi saja tidak cukup. Pertumbuhan ekonomi dinilai berkualitas bukan hanya strukturnya bagus tetapi juga jika melibatkan dan memberi manfaat pada pihak yang tertinggal, terutama masyarakat ekonomi lemah (the bottom of pyramid/BOP) dan perempuan.

McKinsey memberi catatan, ekonomi inklusif bukan hanya soal kesejahteraan bersama sebagai hasil, melainkan juga soal inklusivitas proses, yakni bagaimana masyarakat BOP itu sendiri ikut terlibat memperjuang kan hasil. Acemoglu dan Robinson (2011) juga meli- hat pentingnya keterlibatan masyarakat di segala lapisan dalam mendukung suksesnya pembangunan suatu bangsa.

Dalam konteks itu penulis mencermati ada fenomena menarik, yakni bagaimana masyarakat BOP menggeliatkan ekonomi menggunakan platform media sosial dan marketplace. Ini bukan tentang para pembuat platform yang mendapatkan suntikan investasi jutaan dolar. Juga bukan tentang youtuber, influencer atau endorser yang pendapatan pribadinya bisa mencapai miliaran rupiah per bulan.

Ini adalah tentang pelaku ekonomi skala mikro dan kecil di sektor tradisional, seperti pertanian, peternakan, perikanan, atau industri rumah tangga. Mereka tetap tinggal di pedesaan tetapi berusaha naik kelas menggunakan teknologi digital yang tersedia.

Hampir tak ada platform yang diabaikan oleh para pelaku bisnis mikro dan kecil ini. Youtube, Facebook, Instagram, Tiktok, atau Whatsapp, misalnya, semuanya dimanfaatkan dengan baik. Apalagi platform yang jelas terkait bisnis seperti marketplace, jasa logistik, atau jasa keuangan. Semuanya dimanfaatkan untuk memudahkan mereka dalam berbisnis.

Mari kita lihat apa yang mereka lakukan. Pertama, mereka menggunakan media sosial sebagai sarana idea si. Di Youtube, Facebook, atau Instagram banyak yang membagikan ide pengalaman bisnisnya dan di sisi lain memang ada yang ‘membeli’ gagasan itu. Banyak ide dan pengalaman yang sebenarnya sederhana semisal menanam porang, membotolkan jus lemon, atau membekukan alpukat. Namun bagi yang membutuhkan, hal itu sungguh ide terobosan.

Kedua, media sosial juga menawarkan sumberdaya untuk upskilling. Di media sosial konten yang cukup laris adalah panduan, termasuk yang terkait dengan bisnis mikro dan kecil, mulai dari yang bersifat core business sampai dengan bisnis pendukung. Kembali lagi, banyak konten yang terasa terlalu sepele bagi pebisnis modern tetapi bagi pebisnis mikro panduan bisa bernilai eureka.

Ketiga, media sosial adalah sarana untuk membangun jejaring. Di Facebook kita bisa menemukan grup atau komunitas apapun, mulai dari komunitas petani lokal, pedagang pasar induk, sampai komunitas truk pengangkut sayuran. Youtube tidak dimaksudkan sebagai kanal jejaring sosial tetapi dalam kenyataannya menjadi seperti itu. Tidak sulit membayangkan bagaimana mereka memanfaatkan jejaring seperti itu untuk tujuan bisnis.

Keempat, media sosial dan digitalisasi juga berhasil membuka akses pasar langsung yang lebih luas dan memperpendek rantai pasokan yang berpotensi mengakselerasi pertumbuhan usaha. Berkat platform pemasaran seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Alibaba, para pelaku bisnis mikro mampu memperluas pasar, bahkan hingga tingkat internasional.

Data dari Alibaba.com menunjukkan sudah ribuan pebisnis asal Indonesia yang menggunakan platform itu, termasuk pebisnis mikro perorangan, semisal penjual bubuk rempah dalam unit minimal ratusan gram, gula aren dalam unit satu kilogram sampai dengan ubi ungu yang melayani pemesanan 5 kg.

Dalam perspektif makro, kita cenderung melihat fenomena ini sambil lalu, karena skalanya kecil. Terhadap persoalan masyarakat BOP kita cenderung mencari ‘solusi mudah’ dengan bantuan langsung tunai (BLT). Tentu saja kita tidak anti ada konsep BLT. Namun perlu diingat, BLT bukan solusi yang sustainable. Di sisi lain masyarakat BOP memerlukan lebih dari uang, yaitu kemandirian yang berkelanjutan. Ada banyak target kemanusiaan yang akan berat untuk diselesaikan dengan BLT saja.

Yang menarik adalah, ada indikasi kuat kelompok BOP sudah memiliki geliatnya sendiri. Dengan caranya sendiri mereka sudah merespons digitalisasi secara positif. Ada indikasi kuat mereka bisa mengangkat perekonomian tradisional ke level berikutnya, bahkan berhasil mengangkat citra dan daya pikat ekonomi tradisional.

Ada beberapa pesan dari fenomena ini. Pertama, sajian fakta ini bukan untuk mengatakan bahwa pertum buhan kita sudah berkualitas, karena problem BOP masih jauh dari selesai. Sajian ini lebih untuk mengingatkan bahwa di sini ada peluang yang bisa dieskalasi pada skala yang lebih luas dan lebih masif, dengan metode copy-cat sekalipun, untuk menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Kedua, pengembangan infrastruktur digital dan koordinasi kebijakan ekonomi antar otoritas sudah sangat mendukung, sehingga tantangannya lebih banyak berada di lapangan. Minimal ada dua pihak yang berpelu ang menyambut dan meng optimalkan umpan tersebut, yakni pemerintah daerah bersama SKPD-nya, dan kalangan penggiat social enterprise. Kedua kekuatan ini bahkan bisa berkolaborasi, misalnya melalui BUMD atau BUMDes.

 

Sumber: Bisnis Indonesia. 22 Juni 2021. Hal.2

The Unconventionals. Kompas. 12 Juni 2021. Hal.7

BISNIS mulai berkembang dan saatnya bagi perusahaan untuk mempersiapkan kekuatan sumber daya manusianya agar dapat mengimbangi geliat baru yang terasa semakin positif ini.

Banyak organisasi mulai mencari tambahan anggota untuk timnya agar dapat meningkatkan kapasitas produksi. Semua berharap agar orang baru ini dapat cepat beradaptasi dengan tim sambil berbagi pengalaman untuk memperkaya pekerjaan tim. Organisasi sibuk menghubungi beadhunter sambil juga mempersiapkan talent pool. Namun, ternyata, calon yang diidam- idamkan sepertinya begitu sulit untuk didapat.

Dalam perkembangan teknologi yang demikian pesat dan terjadinya disrupsi di sana sini, penilaian tingkat keahlian pasti berbanding lurus dengan lamanya pengalaman menjadi sesuatu yang terasa kuno. Memang, keterampilan seorang operator pabrik yang baru bekerja 1 tahun akan berbeda dengan yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun. Namun, tingkat keahlian tidak hanya dapat dinilai secara kuantitatif. Seseorang yang belum lama berpraktik sekalipun, bisa saja ahli dalam hal tertentu, karena mendapatkan latihan yang sulit ditambah dengan semangatnya dalam melakukan penggalian data sambil mengembangkan imajinasi dan mempraktikkannya dalam pengalamannya tersebut.

Berpaling dan lebih berfokus pada keahlian akan membuka kesempatan kita untuk merekrut tenaga-tenaga yang lebih muda, kreatif, dan berpikir lebih out of the box. Melihat pasar kita saat ini berisi teman-teman milenial, bahkan Gen Z yang lebih muda lagi, mungkin sudah saatnya bagi kita untuk memerhatikan beberapa ciri kepribadian baru yang sebelumnya tidak menjadi fokus.

The Unconventionals #1: Para Solopreneur

Pada kalangan generasi milenial, bekerja di kantor merupakan pilihan yang tidak terlalu populer lagi. Mereka lebih senang menjadi freelancers, consultants, atau small- business owners. Padahal, kita juga melihat tidak banyak solopreneur yang berhasil. Meskipun jalur ini terlihat menggoda bagi para milenial, bisa jadi mereka sudah lelah dan mulai mencari kemapanan juga. Lelah berjuang sendirian mencari produk baru yang bisa mengalahkan kompetitornya, lelah mengurus tagihan dan hal-hal administratif lain yang penting bagi keberlangsungan usahanya. Di sinilah saatnya kita bisa mengajak mereka bergabung dengan organisasi kita.

Banyak asumsi yang mengatakan, mereka tidak tahan terhadap organisasi yang terlalu terstruktur. Namun, bukankah kita juga tidak tahan dengan organisasi yang mengambil sikap secara kaku? Para solopreneur ini bisa menjadi penguat dalam tim kita karena mereka biasanya lebih mandiri dan memang senang untuk self starting, tidak menunggu perintah. Karena memiliki passion untuk berwirausaha, biasanya mereka lebih mampu melihat big picture dari bisnis perusahaan, di samping empati ke pelanggan dan kompetisi yang juga lebih tajam.

The Unconventionals #2: Industry Shifters

Dalam inovasi, kita mengenal konsep medici effect, yaitu inovasi terjadi dari perbenturan berbagai bidang ilmu yang berbeda, menggu nakan prinsip-prinsip beragam bidang ilmu sehingga bisa menciptakan suatu ide berbeda dari yang yang biasanya. Hal serupa juga bisa terjadi pada mereka yang memiliki latar belakang ilmu berbeda dari bidang yang ditekuninya. Seorang spesialis periklanan yang memiliki latar belakang ilmu komputer dengan minat di data analytics bisa menjadi aset yang sangat berharga karena sebenarnya dalam dunia periklanan kita memang membutuhkan seorang ahli data untuk memahami profil dari target market sebelum kita merancang iklan yang tepat untuk mereka. Ia tinggal sedikit belajar mengenai teknik-teknik periklanan untuk menyesuaikan diri.

Dengan demikian, kandidat unconventional yang memulai kariernya di bidang tertentu, tetapi tiba-tiba berminat berganti haluan sebenarnya bisa menjadi kandidat yang potensial. Bahkan, bila mereka datang dari perusahaan yang memiliki tipologi pelanggan yang mirip, logikanya mengenai pelanggan dapat bermanfaat sebagai nilai tambah.

Kita sering berasumsi, kandidat seperti ini sudah terbentuk pola pikirnya. Ini memang bisa saja terjadi bila yang bersangkutan tidak memiliki sikap belajar. Jadi, yang perlu ditelaah dalam tahap wawancara adalah apakah ia memiliki sikap seorang pembelajar. Bila ya, dijamin ia akan menjadi anggota tim yang andal yang melengkapi keahlian tim.

The Unconventionals  #3: Workforce Re-Entrants

Kita sering terlupa pada karyawan lama yang sempat memiliki kontribusi positif pada organisasi namun berhenti bekerja karena alasan tertentu, seperti melahirkan anak yang dilanjutkan dengan tuntutan mengelola rumah tangga, ataupun yang mengambil cuti terlalu panjang karena ingin melakukan suatu kegiatan berbeda sesuai minatnya. Mereka dapat menjadi kandidat potensial yang dapat kita pertimbangkan untuk diminta bergabung kembali dengan organisasi. Melalui istirahat panjang yang diambil, individu-individu ini juga bisa membangun perspektif berbeda yang berguna bagi organisasi. Mereka bisa jadi juga lebih tahan banting dan lebih bermotivasi untuk bekerja sehingga dapat menjadi contoh bagi anggota tim lainnya.

The Unconventionals  #4: Overqualified Candidates

Manusia bisa berubah. Seorang eksekutif yang pernah bekerja di perusahaan multinasional terbaik di negeri ini sering kita golongkan sebagai orang yang over qualified dengan paket remunerasi yang tidak terjangkau oleh perusahaan Anda. Namun, tidak tertutup kemungkinan, ia juga berganti value dan sekarang ini ingin mendedikasan waktu dan tenaganya ke perusahaan yang memiliki visi yang sama dengan visi hidupnya meskipun skala perusahaan itu lebih kecil dari tempatnya berada sekarang ini. Bisa saja itu adalah perusahaan Anda.

Jadi, kita perlu berhati-hati dalam menelaah pengalaman. “Tidak semua pengalaman diciptakan sama” dan sudah waktunya kita menelaah suatu keahlian secara lebih mendalam, ketimbangan sebuah pengalaman.

 

Sumber: Kompas. 12 Juni 2021. Hal.7