‘Kekebalan Super’ dan Akhir Pandemi. Kompas. 26 Januari 2022. Hal. 6

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Tedros Adhanom baru-baru ini menarasikan prediksi optimistik; pandemi bisa berakhir tahun ini. Alasannya, saat ini telah terdapat beragam penatalaksanaan efektif pandemi. Salah satunya, yaitu vaksin, bahkan telah diberikan kepada lebih dari setengah penduduk Bumi.

Target selanjutnya adalah memberikan paling tidak satu dosis vaksin penguat kepada 70 persen populasi Bumi pertengahan tahun ini. Bila target ini tercapai, prospek akhir pandemi Covid-19 makin nyata di depan mata. Ini narasi WHO.

Sebagian ahli setuju pandangan ini. Sebagian lainnya pesimistis. Alasannya, di tengah badai varian Omicron saat ini, terlalu prematur memprediksi pandemi dapat selesai. Apalagi, meski vaksinasi telah diberikan kepada sebagian besar penduduk, masih terdapat ketimpangan global akses dan distribusi vaksin. Asimetritas cakupan vaksin masih besar. Ini menjadi kendala berakhirnya pandemi.

Omicron: berkah tersembunyi?

Sejumlah ahli sependapat dengan Dirjen WHO bahwa pandemi akan berakhir tahun ini. Alasannya, cakupan vaksin yang luas saat ini jelas meminimalkan magnitudo pandemi. Program vaksinasi memang sangat masif. Per 18 Januari, hampir 10 miliar dosis vaksin telah diberikan di 180 negara. Sekitar 60 persen penduduk Bumi telah ter-cover vaksin.

Walau masih terdapat asimetritas cakupan antara satu negara dengan negara lain, cakupan global saat ini dianggap telah mendekati kekebalan komunitas (herd immunity). Dengan level ini, secara langsung maupun tidak, transmisi dan kefatalan Covid-19 tereduksi. Bila reduksi ini terus terjadi, pandemi secara gradual akan menghilang.

Alasan lain, kemunculan varian Omicron. Sebagian ahli menganggap varian ini sebagai blessing in disguise. Sesuatu yang tidak diharapkan namun membawa keuntungan. Beragam argumennya.

Pertama, berbagai studi awal (preliminary study) secara konsisten melaporkan bahwa varian ini bertransmisi sangat cepat, namun kefatalannya lebih rendah dibanding varian-varian sebelumnya. Keluhan klinisnya umumnya ringan dan proporsi pasien yang dirawat di rumah sakit dan meninggal tidak sebesar varian Delta. Bila varian ini terus meluas dan mendominasi, terjadilah fenomena penyebaran kasus yang luas tapi ringan (widespread but mild).

Kemunculan varian ‘ringan’ di tengah pandemi dianggap transisi yang landai sebelum pandemi mereda. Selain itu, fenomena widespread but mild ini dinilai menguntungkan karena dapat mengambil alih dominasi varian Delta yang lebih fatal. Bila fenomena widespread but mild ini terus berlanjut, Covid-19 akhirnya akan menyerupai flu biasa. Menyebar tetapi tidak terlalu mematikan.

Baca juga : Mencegat Gelombang Ketiga

Kedua, akhir-akhir ini berkembang sebuah konsep baru yang disebut super-immunity atau kekebalan super. Beberapa kajian awal (preliminary study) melaporkan bahwa orang yang telah mendapat vaksinasi lengkap dan terinfeksi Covid-19 lagi, maka dalam tubuhnya terbangun antibodi yang sangat kuat (super-immunity).

Fenomena kekebalan super ini juga dianggap terjadi pada orang yang terinfeksi varian Omicron. Dengan kekebalan super ini, orang menjadi kebal dan resisten terdapat infeksi Covid-19 dari varian apapun. Mereka tidak akan terinfeksi lagi untuk periode yang lama. Semakin banyak orang yang sudah divaksin dan terinfeksi lagi, semakin besar prevalensi kekebalan super di populasi.

Bila pada akhirnya mayoritas manusia telah memiliki kekebalan ini, transmisi Covid-19 akan sangat terhambat dan pandemi akhirnya menghilang. Banyak berharap hipotesis ini benar. Jika benar, fenomena kekebalan super ini akan menjadi pintu keluar dari pandemi.

Menariknya, terlepas dari hubungannya dengan hipotesis di atas, berbagai negara saat ini melonggarkan aturan karantina dan isolasinya. Padahal dunia sementara tengah diterpa badai Omicron. Di Amerika dan Inggris, masa isolasi penderita dikurangi dari 10 hari menjadi masing-masing lima dan tujuh hari. Di Jepang, masa karantina direduksi dari 14 hari menjadi 10 hari.

Relaksasi ini merupakan respons terhadap bukti ilmiah bahwa masa infeksi Omicron lebih rendah dibanding varian sebelumnya, yakni berkisar 3-5 hari saja. Bahkan di Inggris, relaksasi lebih longgar mulai dilakukan. Di mata sebagian ahli dan masyarakat, pelonggaran ini menjadi sinyal meredanya pandemi.

Morbiditas vs mortalitas

Evaluasi perkembangan pandemi menggunakan berbagai parameter, di antaranya adalah tren morbiditas (tingkat kesakitan) dan mortalitas (tingkat kematian). Terkait morbiditas, banyak parameter yang dapat digunakan; di antaranya adalah tingkat kasus (case rate) dan tingkat terkonfirmasi positif (positive rate). Pada aspek mortalitas, parameter yang umum digunakan adalah tingkat kematian (death rate) dan tingkat kefatalan penyakit (case fatality rate).

Hingga kini, tingkat kasus pada tingkat global masih terus berfluktuasi. Belum ada tren penurunan; bahkan terjadi peningkatan tajam akhir-akhir ini. Pada Januari 2021, tingkat kasus global adalah 94 per satu juta penduduk; saat ini menjadi 250 per satu juta penduduk. Tren fluktuasi ini mengisyaratkan bahwa perkembangan kasus baru masih sangat sulit diprediksikan. Jumlah kasus dapat naik atau turun setiap saat.

India dan Jepang adalah contoh negara yang sempat mengontrol kasus mereka pada titik rendah selama beberapa bulan. Namun beberapa waktu lalu, kasus Covid-19 mereka melonjak kembali. Banyak alasan terkait ini; salah satunya adalah kemunculan varian. Varian memiliki potensi meningkatkan kasus dan menjadi game changer. Pesan yang ditoreh jelas: sepanjang varian masih bermunculan, jangan euforia dengan jumlah kasus yang tampak rendah.

Bukan hanya tingkat kasus, tingkat terkonfirmasi positif juga masih sulit diprediksi hingga kini. Vietnam dan Singapura adalah contoh negara yang berhasil menekan tingkat terkonfirmasi positif di bawah 5 persen selama lebih dari setahun. Namun baru-baru, tingkat terkonfirmasi positif negara-negara ini kem -bali meroket, bahkan jauh di atas angka terkonfirmasi positif sebelumnya.

Berbeda dengan morbiditas yang polanya masih sulit diprediksikan, profil mortalitas mengalami tren penurunan signifikan dalam dua tahun pandemi. Setelah mencapai puncak tahun lalu dengan tingkat kematian (death rate) 1,8 per satu juta penduduk, tingkat kematian terus menurun dan saat ini berada di level 0,8 per satu juta penduduk.

Pada saat yang sama, tingkat kefatalan penyakit juga menurun dari puncak 7,3 persen menjadi 0,3 persen. Bahkan beberapa negara telah mencapai level di bawah 0,1 persen. Ini penurunan yang sangat signifikan. Ini mengisyaratkan bahwa dari hari ke hari tingkat kefatalan penyakit atau letalitas Covid-19 menjadi semakin berkurang.

Profil-profil di atas mengindikasikan bahwa meski tingkat kasus dan angka terkonfirmasi positif masih fluktuatif dan belum bisa diprediksi trennya, angka kematian dan tingkat kefatalan penyakit mengalami perbaikan signifikan. Artinya, transmisi infeksi masih terus bermunculan tapi kefatalannya berkurang.

Multimodalitas penanganan

Saat awal pandemi, strategi penanganan pandemi masih terbatas. Yang tersedia hanya pembatasan pergerakan orang dan barang, protokol kesehatan 3M serta 3T. Strategi konvensional ini diimplementasikan secara luas di berbagai negara dengan kualitas dan intensitas berbeda. Sebagian dilaksanakan dengan baik dan sebagian lagi seadanya.

Menariknya, meski dengan segala keterbatasannya, penatalaksanaan ini ternyata memberi efek kondusif signifikan. Dalam satu tahun penatalaksanaan, tigkat kefatalan penyakit global menurun dari 7,2 persen menjadi 2,2 persen pada akhir Desember 2020. Artinya, meski tanpa vaksinasi, penatalaksanaan konvensional ini bisa menurunkan tingkat kefatalan penyakit berkali-kali lipat.

Berbagai hal dihubungkan dengan penurunan ini; di antaranya, luasnya implementasi program dan partisipasi masyarakat serta meningkatnya cakupan tes dan penelusuran. Juga digunakannya beberapa obat meski dengan keterbatasan kemanjuran, seperti dexamethasone, tocilizumab dan sarilumab.

Vaksin Covid-19 pertama kali digunakan akhir Desember 2020. Dalam setahun, berbagai jenis vaksin Covid-19 telah disuntikkan kepada 4,7 miliar penduduk. Kombinasi penatalaksanaan konvensional dan program vaksinasi membuat tingkat kefatalan penyakit dan angka kematian menurun lebih jauh lagi. Dalam satu tahun program vaksinasi, tingkat kefatalan penyakit menurun dari 2,2 persen menjadi 0,3 persen saat ini.

Angka kematian juga menurun dari 1,3 per satu juta penduduk menjadi 0,8 per satu juta penduduk. Sebagian ahli memprediksi bahwa pada 2022, tingkat kefatalan penyakit dapat ditekan menjadi paling tidak 0,1 persen. Artinya, dari 1.000 orang yang terkonfirmasi positif, hanya satu orang yang meninggal.

Saat ini pula, telah bermunculan berbagai obat yang dapat digunakan untuk kasus Covid-19. Selain dexamethasone dan monoclonal antibody, baru-baru ini WHO menyetujui lagi dua obat, yaitu baricitinib dan sotrovimab. Studi klinis menunjukkan obat ini bermanfaat.

Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) Amerika akhir tahun lalu juga menyetujui molnupiravir sebagai obat Covid-19. Obat ini dapat menurunkan 30 persen perawatan rumah sakit dan kematian. Tersedianya beragam modalitas memberi pesan bahwa manusia telah memiliki beragam senjata efektif untuk melawan Covid-19.

Metamorfosis pandemi

Dengan beragam modalitas efektif, wajar bila muncul harapan bahwa pandemi akan segera berakhir. Gabungan penatalaksanaan 3M, 3T, pembatasan pergerakan, obat dan vaksin memang telah menurunkan angka kematian dan tingkat kefatalan penyakit. Sayangnya, belum ada indikasi bahwa penatalaksanaan-penatalaksanaan ini mampu mengontrol kemunculan kasus-kasus baru. Intinya, multi-modalitas dapat menekan tingkat kefatalan tetapi belum dapat menekan tingkat kejadian kasus baru.

Sebagian berharap kemunculan Omicron akan menjadi end game pandemi. Dengan tingkat kefatalan yang rendah, varian ini diasumsikan dapat mengambil alih dominasi varian Delta yang lebih fatal dan menjadi varian transmisi sebelum berakhirnya pandemi.

Omicron juga dihipotesakan dapat menginduksi kekebalan super dan memberi proteksi kuat dan lama. Sayangnya, harapan-harapan ini masih didasarkan pada hipotesis tanpa pembuktian ilmiah yang adekuat dan komprehensif. Ia diwacanakan saat informasi dan bukti-bukti terkait belum solid dan komprehensif. Ia muncul di tengah ketidaksempurnaan pengetahuan dan sains terkait Covid-19 dan variannya.

Dengan pra-kondisi demikian, kecil kemungkinan pandemi dapat berakhir di tahun ini. Kemungkinan potensial adalah penyebaran dan kasus Covid-19 masih tetap fluktuatif namun tingkat kefatalannya sangat rendah. Bahkan bisa jadi mendekati tingkat kefatalan flu biasa, yaitu di bawah 0,1 persen.

Bila ini benar terjadi, maka akan terjadi metamorfosis pandemi; pengalihan magnitudo dari pandemi menjadi endemi. Covid-19 akan menjadi sebuah kejadian endemi (endemic event); virus terus ada, menyebar (scattered), hilang-timbul di berbagai daerah dengan tingkat kefatalan yang rendah. Kira-kira mirip flu musiman.

Iqbal Mochtar Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan. Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah.

 

Sumber: Kompas. 26 Januari 2022. Hal. 6

Batuk Kering Gejala Umum Omicron. Kompas. 25 Januari 2022. Hal. 8

Mayoritas pasien Covid-19 varian Omicron mengalami gejala batuk kering dan nyeri tenggorokan. Meski begitu, ini tidak boleh dianggap remeh karena bagi sebagian orang gejalanya bisa lebih buruk.

JAKARTA, KOMPAS – Gejala yang muncul pada kasus Covid-19 varian Omicron tidak jauh berbeda dengan varian-varian sebelumnya. Meski begitu, sebagian besar pasien bergejala mengeluhkan adanya batuk kering dan nyeri tenggorokan. Jika mengalami hal ini, segera periksakan diri agar bisa ditangani sejak dini.

“Infeksi virus SARS COV-2 varian Omicron tidak terlalu banyak ditemukan di jaringan paru, tetapi di saluran napas. Oleh karena itu, gejala yang muncul lebih banyak berupa batuk kering dan nyeri tenggorokan,” kata dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (SUP) Persahabatan Erlina Burhan, di Jakarta, Senin (24/1/2022).

Berdasarkan data pasien ka sus positif varian Omicron di RSUP Persahabatan, dari total 17 pasien yang dirawat, 11 pasien mengeluhkan adanya gejala ringan. Dari pasien yang bergejala tersebut, 63 persen mengalami batuk kering, 54 persen mengalami nyeri tenggorokan, 27 persen mengalami pilek, 36 persen mengeluhkan sakit kepala, dan 18 persen mengeluhkan adanya demam.

Erlina menyampaikan, meski gejala yang muncul terbilang ringan, berbagai data melapor kan adanya perburukan pada pasien sehingga perlu perawatan lebih lanjut. Ini terutama terjadi pada kelompok rentan, seperti masyarakat lanjut usia, mereka dengan penyakit penyerta, dan anak-anak. Kelompok masyarakat ini perlu waspada jika tertular Covid-19.

Apabila gejala mulai muncul, pemeriksaan di fasilitas pelayanan kesehatan harus segera dilakukan. Jika positif Covid-19, maka isolasi mandiri di rumah bisa dilakukan apabila memungkinkan atau ke tempat isolasi terpusat. Protokol kesehatan juga harus disiplin di jalankan. Vitamin bisa dikonsumsi disertai dengan pemenuhan gizi seimbang dan is tirahat cukup.

Ketua Umum Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menambah kan, gejala ringan yang lebih banyak ditemukan pada kasus varian Omicron tidak boleh di sepelekan. Varian Omicron memiliki daya tular yang lebih cepat. Perburukan pada pasien tetap berisiko terjadi, terutama pada kelompok rentan.

Oleh sebab itu, pembatasan mobilitas masyarakat yang sudah diatur harus betul-betul di laksanakan. Bahkan, dengan kondisi penularan yang terus meningkat, pembatasan perlu diperketat. Aturan karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri juga diharapkan tetap diberlakukan secara ketat. Selain itu, vaksinasi Covid-19 juga perlu dipercepat dan diperluas. Vaksinasi dinilai menjadi salah satu upaya untuk mening katkan imunitas atau daya ta han tubuh dari penularan Covid-19.

Pasien Covid-19 varian Omi cron yang meninggal di Indo nesia diketahui belum menda patkan vaksinasi dan memiliki penyakit penyerta.

Kelompok rentan

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tar mizi, kasus pertama varian Omicron berusia 64 tahun yang terpapar dari transmisi lokal, memiliki penyakit penyerta, dan belum mendapatkan vaksinasi lengkap. Sementara kasus meninggal kedua merupakan pelaku perjalanan luar negeri yang sudah divaksin, tetapi dengan komorbid yang tidak terkontrol.

Hal tersebut menunjukkan bahwa vaksinasi dan perlindungan pada kelompok rentan amat dibutuhkan.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, total warga yang sudah mendapatkan vaksin dosis primer lengkap sebanyak 124,3 juta orang atau 59,7 persen dari seluruh sasaran vaksinasi. Sementara jumlah penduduk lanjut usia yang sudah mendapatkan vaksin dosis lengkap sebanyak 10 juta orang atau 46,5 persen dari total sasaran warga lansia.

Erlina menyampaikan, vaksinasi memang tidak bisa sepenuhnya mencegah penularan Covid-19. Namun, melalui vaksinasi, perburukan akibat penyakit tersebut bisa dicegah. Dari laporan yang didapatkan, sebagian besar pasien yang terpapar Covid-19 varian Omicron tanpa gejala sudah mendapatkan vaksinasi lengkap.

“Pencegahan primer juga perlu diperkuat, yakni dengan protokol kesehatan. Upaya pelacakan dan pemeriksaan juga perlu diperluas agar kasus penularan di masyarakat bisa segera terdeteksi sehingga tidak semakin meluas,” kata Agus.

Cegah kolaps

Seiring terus meningkatnya kasus Covid-19 dan meluasnya penularan varian Omicron, upaya pencegahan harus diperkuat. Tidak hanya untuk memutus rantai penyebaran, tetapi juga untuk mencegah kolapsnya fasilitas kesehatan menangani pasien Covid-19 yang melonjak.

Berdasarkan data kasus harian yang dilaporkan satgas penanganan Covid-19, pada 24 Januari 2022 terdapat 2,927 kasus baru Covid-19. Adapun jumlah kasus varian Omicron di Indonesia secara kumulatif hingga 23 Januari sebanyak 1.629 kasus yang terkonfirmasi. “Masyarakat harus waspada karena risiko kematian akibat Covid-19 masih bisa terjadi, apa pun variannya. Upaya pencegahan harus dilakukan, mulai dari pencegahan primer, sekunder, hingga pencegahan tersier,” ujar Agus.

Erlina menambahkan, kewaspadaan akan varian Omicron perlu ditingkatkan. Kasus terkonfirmasi varian tersebut dari transmisi lokal semakin banyak. Lebih dari 20 persen ka sus varian Omicron di Indonesia berasal dari transmisi lokal. Artinya, penularan tidak hanya terjadi dari pelaku perjalanan luar negeri, tetapi juga terjadi di tengah masyarakat.

Tingkat keparahan penularan varian Omicron belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, tingkat penularannya bisa lebih tinggi daripada varian sebelumnya. Hal ini perlu menjadi perhatian karena penularan yang tinggi bisa berisiko puta menyerang kelompok rontan yang akhirnya membutuhkan perawatan yang lebih serius.

“Pemerintah dan masyarakat harus maksimal melakukan upaya-upaya penanganan Covid-19, terutama mencegah penularan. Jika kasus terus meningkat dan tidak terkendali, ada kemungkinan sistem ke sehatan Indonesia akan kewa lahan,” tuturnya.

Nadia menyebutkan, berba gai upaya tengah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi meluasnya kasus Omicron di Indonesia. Upaya tersebut, antara lain, mengoptimalisasi upaya pelacakan, pemeriksaan, dan isolasi, meningkatkan rasio pelacakan kasus, menjamin ke tersediaan ruang isolasi terpusat, menggencarkan akses telemedik, dan meningkatkan ketersediaan tempat tidur Covid-19 di rumah sakit.

“Penanganan pasien konfirmasi Omicron dilakukan sesuai dengan penanganan Covid-19, di mana untuk kasus sedang sampai berat dirawat di rumah sakit, sementara pasien tanpa gejala hingga ringan difokuskan untuk isolasi mandiri dan isolasi terpusat,” kata Nadia. (TAN)

 

Sumber: Kompas. 25 Januari 2022. Hal. 8

Ajarkan Bahaya Stunting sejak SD. Jawa Pos. 26 Januari 2022. Hal 13 & 19

Usulan Dewan Terkait Penanganan Gizi Buruk di Surabaya

SURABAYA-Tren angka stunting di Surabaya memang turun pada triwulan terakhir tahun lalu. Pada triwulan sebelumnya, angka kasus stunting mencapai 5.727, kemudian pada triwulan terakhir turun menjadi 1.785 kasus.

Meski merosot 300 persen, stuntingmasih menjadi PR besar bagi Pemkot Surabaya. Wakil Ketua Komisi D Ajeng Wirawati meminta agar target penurunan kasus stunting tidak hanya dibuat untuk jangka pendek. Dia mengatakan, kurikulum kesehatan keluarga sejak dini juga perlu digalakkan.

Menurut Ajeng, tidak hanya sebagai pengetahuan saat mau menikah, tetapi sejak SD dan SMP sudah diajarkan materi mengenai stunting. Dengan demikian, gizi untuk generasi emas bisa tercapai dan investasi untuk tetap zero stunting.

Ajeng menambahkan, selain permasalahan kemiskinan, stun- ingjuga disebabkan pola keluarga dalam mengambil keputusan 41 Yakni, terlalu muda saat menikah, terlalu tua saat hamil, terlalu dekat jarakkehamilan, dan terlalu banyak anak. “Dan, erat kaitannya juga dengan pola asuh dalam pemenuhan gizi,” terangnya.

Politikus Partai Gerindraitumeng- ungkapkan, Surabaya memiliki anggaran dan kesiapan fasilitas untuk penanganan kuratif dan rehabilitatif stunting. Namun, lanjut dia, peran preventif dan promotif dalam memerangi stunting akan lebih bermanfaat jika dilakukan sejak dini. Tidak hanya sebelum persiapan pernikahan.

Terpisah, anggota Komisi B dr Zuhrotul Marahmengungkapkan, pemkot perlu memetakan kasus stunting berdasar kelas ekonomi masyarakat. Menurut dia, stunting tidak mengenal kondisi ekonomi seseorang Bisa menyerang siapa saja. Untukmasyarakat dengan ekonomi ke bawah, dia menyarankan agarpemkot memberdayakan orangtua bayi sturting “Pemberdayaan bertujuan mengangkattarafekonomi orang tua bayi stranting” ujamya

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mendorong pemkot untuk memberikan pelatihan hingga permodalan bagi orang tua bayi stunting. Setelah bisa menghasilkan produk, pemkot tidak boleh melepaskan begitu saja. Fasilitasi produk tersebut untuk sampai ke pasar. “Kemudian, kader kesehatan juga jangan lupa tetap terus bekerja,” imbuhnya.

Di lain sisi, puskesmas pun proaktif menjaring warga yang anaknya masih mengalami stunting. Mereka diberi edukasi pengolahan makanan dan diimbau untuk rutin konsultasi gizi.

Di Puskesmas Wonokromo misalnya Petugas gizidi puskesmas tersebut berfokus untuk menjaring wargayangmemiliki anak dengan masalah gizi. Septi Dwi Winami, salah seorangahligizi Puskesmas Wonokroma, menuturkan bahwa salah satu faktor penyebab sainting yang banyak ditemui adalah kesalahan pola asuh orang tua

“Kadang orang tua enggak ngerti, jadinya dibiarkan saja. Yang penting, anak bisa bergerak dan beraktivitas,” tuturnya kepada Jawa Pos, Selasa (25/1). (sam/deb/c6/git)

 

Sumber: Jawa Pos. 26 Januari 2022. Hal 13 & 19

Teknik Baru Atasi Tumor Tulang Jinak. Bisnis Indonesia. 22 Januari 2022. Hal. 7

Keberadaan tulang sangat penting untuk tubuh. Memiliki fungsi utama menopang dan menggerakkan tubuh, organ ini juga mampu melindungi organ dalam dari kerusakan, menyimpan nutrisi penting seperti kalsium dan fosfor, serta membentuk sel darah.

Kendati demikian, tulang bisa diserang sejumlah penyakit, salah satunya giant cell tumor (GCT). Penyakit ini adalah tumor jinak primer pada tulang yang memiliki kecenderungan lokal agresif. Tumor ini biasanya terjadi pada rentang usia 20-40 tahun.

Spesialis Ortopedi dan Trauma tologi Rumah Sakit Universitas Indonesia Muhammad Rizqi Adhi Primaputra mengatakan GCT sering terjadi pada bagian terbawah tulang paha, bagian teratas tulang kering, tulang di pergelangan tangan, dan bagian teratas tulang panjang di lengan atas. Gejala awal yang sering dirasakan adalah nyeri lokal pada daerah yang terkena dan bersifat progresif, terutama pada malam hari. Nyeri disusul oleh timbulnya benjolan pada daerah yang terserang.

Pada kondisi sudah lanjut, benjolan dapat menyebabkan ganggu an fungsi dari sendi.

Menurut National Institute of Health, cacat genetik atau faktor keturunan, cedera pada tulang, dampak pengobatan anti kanker pada anak anak, radiasi, hingga kanker yang menyebar ke tulang merupakan risiko pemicu tumor tulang jinak.

Dalam penanganannya, Rizqi menjelaskan pasien dapat dilakukan tindakan operasi limb salvage surgery, yaitu tindakan yang akan dilakukan sebisa mungkin dengan penyelamatan tulang yang terlibat. Tindakan sederhana yang dilakukan dapat berupa kuretase dari tumornya hingga pengangkatan sebagian tulang yang terkena dan dilakukan rekonstruksi sebagai pengganti tulang yang diangkat.

“Salah satu teknik kuretase dapat dikombinasikan dengan metode cryotherapy, yaitu salah satu metode untuk membunuh sel sisa tumor dengan cara pembekuan menggunakan nitrogen cair,” katanya. Penelitian dari luar negeri juga menemukan bahwa tindakan limb salvage surgery yang mengombinasikan teknik kuretase dengan metode cryotherapy pada kasus GCT, memiliki angka kekambuhan jauh lebih kecil dibandingkan hanya dengan kuretase biasa.

“Kalau dikombinasikan dengan cryotherapy kemampuan membunuh sisa sel tumor lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa dikombinasi dengan cryotherapy sehingga ini yang membuat angka kekambuhan lebih kecil,” katanya.

Sebagai informasi, pada 29 Desember 2021, Rumah Sakit Universitas Indonesia, menurut nya, berhasil melakukan operasi kasus GCT di bagian teratas tulang kering dengan tindakan penyelamatan ekstremitas berupa extended curettage, menggunakan cement dan cryotherapy, diikuti internal fiksasi menggunakan plate dan screw.

Operasi dilakukan pada pasien laki-laki berusia 45 tahun, dan berlangsung sekitar 2 jam.

Rizqi berharap keberhasilan operasi GCT dengan teknik limb Salvage Surgery ini, menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan pelayanan dalam bidang ortopedi dan traumatologi menggunakan teknologi mutakhir.

 

Sumber: Bisnis Indonesia. 22 Januari 2022. Hal. 7

Pasien Omicron Boleh Isoman. Harian Disway. 22 Januari 2022. Hal. 14

MULAI saat ini, pasien probable maupun konfirmasi Covid-19 Omicron tidak perlu diisolasi di rumah sakit. Cukup isolasi mandiri (isoman). Ketentuan itu tercantum dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor HK.02.01/MENKES/18/2022.

Kementerian Kesehatan menetapkan dua syarat bagi pasien Omicron yang bisa isoman. Yakni, syarat klinis dan rumah. Syarat klinis menyangkut beberapa poin. Yaitu, pasien tanpa gejala atau bergejala ringan yang dapat melakukan isoman.

“Tapi, usia pasien harus di bawah 45 tahun,” kata Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Wiweko kemarin (21/1). Selain itu, tak punya komorbid. Pasien juga menjalani masa isolasi secara maksimal. Artinya, tidak boleh keluar ruangan sebelum diizinkan.

Syarat rumah juga harus mendukung. Pasien wajib ditempatkan di ruang terpisah. Lebih baik lagi jika di lantai yang terpisah. Begitu juga dengan kamar mandi untuk pasien, tidak boleh campur aduk dengan yang lain. Terpenting, pasien disediakan akses pulse oximeter.

Apabila tak bisa memenuhi dua macam syarat itu, pasien tidak boleh isoman. Mereka wajib isolasi di tempat isolasi terpusat. Agar bisa diawasi secara dekat oleh tenaga kesehatan.

Nadia memaparkan, kebijakan tersebut mengacu pada penelitian terkait varian Omicron. Berdasar beberapa studi di beberapa negara seperti Denmark, Afrika Selatan, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat.

Hasilnya menunjukkan bahwa risiko perawatan pasien Omicron di rumah sakit lebih rendah. Itu jika dibandingkan dengan varian Delta. “Namun, penelitian masih terus berlanjut,” tandasnyi.

Hingga kini, tercatat 644 kasus varian Omicron di Indonesia. Dari jumlah itu, 529 kasus merupakan pelaku perjalanan dari luar negeri. Sisanya, 115 kasus, merupakan transmisi lokal.

Sementara itu, masih belum ada tambahan kasus Omicron di Jawa Timur. Tercatat total ada 8 kasus. Perinciannya, 3 pasien sudah dinyatakan sembuh dan 5 pasien masih menjalani isoman.

Epidemiolog Windhu Purnomo menegaskan bahwa varian Omicron memang sama dengan varian lainnya. Meskipun dianggap punya daya tular yang lebih cepat, hakikatnya masih sama. Masih tergolong Covid-19.

Artinya, penanganan pasien yang terpapar Omicron pun relatif sama dengan yang sebelumnya. Tidak ada perlakuan khusus. Kecuali bagi pasien lansia dan komorbid. “Pada dasarnya sama. Tapi, intinya kita harus tetap waspada untuk mencegah penularan,” ujarnya. (Noor Arief Prasetyo Mohamad Nur Khotib)

 

Sumber: Harian Disway. 22 Januari 2022. Hal. 14

Omicron Mulai Mengambil Nyawa. Kompas. 24 Januari 2022. Hal. 6

Galur Omicron yang sedang beredar disebut hanya menimbulkan gejala ringan. Namun, kini korban meninggal mulai berjatuhan.

Penelitian awal di Inggris dan Afrika Selatan menunjukkan, orang yang tertular Omicron hanya sedikit yang perlu perawatan di rumah sakit. Sejauh ini, sebagian besar kasus Omicron bergejala ringan, terutama pada mereka yang telah divaksinasi lengkap dan menerima suntikan penguat (booster).

Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan, sejak Desember 2021 hingga Sabtu (22/1/2022), tercatat 1.161 kasus konfirmasi Omicron. Belakangan, ada dua kematian akibat Omicron. Satu laki-laki berusia 64 tahun, belum divaksinasi, tertular lewat transmisi lokal. Satu lagi, perempuan usia 54 tahun, sudah divaksinasi lengkap yang merupakan pelaku perjalanan luar negeri. Keduanya memiliki penyakit penyerta.

Kementerian Kesehatan Singapura menyatakan, kematian pertama tercatat pada Kamis lalu. Seorang perempuan berusia 92 tahun, belum divaksinasi, meninggal setelah 10 hari dirawat. Ia tertular virus dari anggota keluarga.

Di India, kematian akibat Omicron tercatat akhir tahun lalu, pada laki-laki usia 74 tahun yang telah divaksinasi lengkap. Pasien itu memiliki diabetes dan penyakit penyerta lain.

Kematian pertama akibat Omicron di AS terjadi pada laki-laki berusia 50 tahunan dengan penyakit penyerta dan belum divaksinasi. Permodelan yang dibuat para ahli memproyeksikan, 1,5 juta warga AS akan dirawat di rumah sakit dan 191.000 orang akan meninggal dari pertengahan Desember hingga pertengahan Maret. Mempertimbangkan ketidakpastian dalam model, kematian diperkirakan berkisar 58.000-305.000 orang.

Kematian akibat Omicron juga dilaporkan di Inggris, Israel, Australia, Jepang, Thailand, serta negara lain. Korban umumnya belum divaksinasi atau memiliki penyakit penyerta.

Meski secara umum menimbulkan gejala ringan, Omicron sangat menular. Tren di sejumlah negara, tingkat infeksi Omicron sekitar 400 per 100.000 orang. Tren di sejumlah negara, tingkat infeksi Omicron sekitar 400 per 100.000 orang.

Mutasi Omicron memungkinkan galur virus itu lolos dari kekebalan yang diberikan dua dosis vaksin meski mampu mengurangi risiko rawat inap dan kematian. Karena itu, diperlukan suntikan penguat.

Bagi Indonesia, dari 208 juta penduduk yang menjadi sasaran vaksinasi, hingga Rabu (19/1/2022), ada sekitar 30 juta penduduk belum divaksinasi dan 86,7 juta penduduk belum mendapatkan dosis kedua. Bahkan, cakupan vaksinasi dosis pertama di Maluku, Papua Barat, dan Papua di bawah 70 persen, (Kompas, 20/1/2022).

Di sisi lain, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, hingga Desember 2021 ada 1,12 juta dosis vaksin Covid-19 kedaluwarsa. Vaksin kedaluwarsa itu tersebar di sejumlah provinsi, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, dan Sulawesi Selatan.

Komitmen pusat untuk pengendalian Covid-19 seyogianya sampai di semua daerah. Agar warga bersedia divaksinasi, komunikasi mengenai pentingnya vaksinasi di daerah perlu ditingkatkan. Pada pelaksanaan, jika perlu lebih banyak vaksinator, bantuan tenaga perlu diatur.

Berbagai rencana dan upaya dilakukan pemerintah untuk mengendalikan penyebaran Omicron di Indonesia hanya tinggal rencana jika tidak terwujud di lapangan. Jika Covid-19 tetap merajalela, semua aspek kehidupan akan terus terhambat.

Sumber: Kompas. 24 Januari 2022. Hal. 6

Mengendalikan Penularan Omicron. Kompas. 22 Januari 2022. Hal. 6

Kasus Omicron terus berkembang luas, di dunia dan di negara kita. Setelah laporan kasus pertama varian Omicron Indonesia pada 16 Desember 2021, sebulan kemudian, sesuai penjelasan Kementerian Kesehatan pada 12 Januari 2022, jumlah kasus telah menjadi 572 kasus dan per 19 Januari 2022 menjadi 11.392 kasus.

Sementara, data dari GISAID 17 Januari 2022 menunjukkan ada 660 genomik sekuen dari Indonesia. Jumlah kasus di Indonesia diperkirakan bisa terus meningkat, dengan puncaknya, mengutip keterangan pers Menteri Kesehatan pada 17 Januari, diprediksi “terjadi dalam 35-65 hari ke depan”. Puncak gelombang kenaikan kasus Omicron di Indonesia diperkirakan terjadi pada pertengahan Februari hingga awal Maret, dan ini dampak dari kenaikan kasus Omicron yang terjadi di seluruh dunia.

Data global dari GISAID menunjukkan sampai 17 Januari 2022 sudah 118 negara yang secara total memasukkan 374.295 genom Omicron. Sejauh ini, jumlah negara yang melaporkan kasus Omicron sudah lebih dari 120 negara, bahkan pada 13 Januari 2022 varian Omicron sudah ditemukan di semua negara anggota Uni Eropa.

Memang sebagian besar kasus di dunia dan di Indonesia kondisinya ringan dan sebagian bahkan tanpa gejala. Tetapi kita tak dapat menganggap semua kasus Omicron adalah ringan. Sudah jelas setidaknya ada puluhan orang yang meninggal di dunia karena Omicron.

Inggris melaporkan 75 kasus meninggal akibat Omicron sampai 31 Desember 2021, belum lagi negara lain seperti AS, Israel, India, Australia dan lain-lain. Jadi, varian Omicron dapat membuat pasiennya sakit parah sampai meninggal, walaupun persentasenya memang jauh lebih kecil daripada varian Delta.

Kita tahu, kalau ada yang meninggal, satu nyawa pun amat berharga dan tak bisa tergantikan dengan apapun, apalagi kalau menimpa kerabat kita. Lonjakan kasus yang membuat sebagian kecil penderita harus masuk rumah sakit—terutama jika ini menimpa para lansia atau mereka yang memiliki penyakit penyerta— tentu akan memberi beban juga pada fasilitas pelayanan kesehatan kita.

Luar Negeri

Untuk mengendalikan kemungkinan kenaikan kasus, kita perlu mengenal pola penularan yang ada dan melakukan program pengendalian yang spesifik untuk masing-masing pola. Sejauh ini, setidaknya ada tiga pola penularan dan tiga kelompok yang menyebabkan naiknya kasus Covid-19 varian Omicron di negara kita, yaitu mereka yang datang dari luar negeri, mereka yang tertular dari orang yang datang dari luar negeri, dan sudah adanya transmisi lokal.

Untuk mereka yang datang dari luar negeri —sejauh ini masih merupakan kelompok terbanyak— maka setidaknya ada lima hal yang sudah dan perlu dilakukan. Pertama, kepada semua peserta perjalanan luar negeri, harus dilakukan pemeriksaan PCR begitu sampai di Tanah Air, dan akan baik kalau PCR itu dapat mendeteksi fenomena “SGTF — S gene target failure” yang dapat mengarahkan ke kemungkinan infeksi akibat varian Omicron. Mereka yang masuk ke negara kita perlu mengisi data kesehatan secara lengkap, sebagaimana tercantum dalam kartu kewaspadaan kesehatan (health alert card).

Kedua, semua harus menjalani karantina tanpa kecuali, di tempat yang benar-benar terjamin dan sesuai waktu yang ditentukan. Jika hasil tes PCR-nya positif, maka mereka harus dirawat di rumah sakit. Ketiga, pemeriksaan PCR harus negatif sebelum mereka dapat keluar dari karantina, sehingga tidak terjadi penularan di masyarakat.

Keempat, walaupun sudah selesai karantina —kebijakan saat ini adalah sela -ma tujuh hari— akan baik kalau mereka yang baru masuk dari luar negeri ini bisa tetap dipantau, sambil mereka beraktivitas di masyarakat. Ini yang disebut pengawasan pasca-karantina. Salah satu pemantauan yang bisa dilaksanakan ada -lah dengan memberikan informasinya ke puskesmas tempat pasien tinggal. Petugas puskesmas bisa menghubungi mereka dan memantau secara berkala.

Kelima, kalau ada yang baru datang dari luar negeri dan ternyata positif Omicron, maka akan baik jika diterap -kan mekanisme International Health Regulation (IHR). Dalam hal ini, IHR focal point Indonesia bisa menghubungi IHR focal point negara asal dan mengin -formasikan kasus yang ada agar mereka bisa melakukan testing dan telusur terhadap kemungkinan sumber penular di negara itu.

Tentang kasus dari luar negeri ini, memang sudah ada imbauan agar kita tak keluar negeri dulu sekarang ini, tetapi kalau toh ada WNI yang memutuskan pergi dengan berbagai pertimbangannya, maka setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan. Pertama, perlu diberikan penjelasan yang baik, jelas dan berdasarkan data akurat tentang risiko bahaya tertular penyakit. Selain itu, perlu terus dijelaskan ke publik situasi Omicron di dunia, hari per hari, terma -suk perkembangan di kota-kota negara -negara lain, seperti yang selalu diberikan oleh Center on Diseases Control and Prevention (CDC) AS kepada warganya, dengan berbagai level kewaspadaan dan persiapan yang perlu dilakukan.

Kedua, semua WNI yang terpaksa harus ke luar negeri, harus selalu dalam pengawasan Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal (KBRI/KJRI) setempat. Kewajiban melapor ke KBRI harus lebih ditegakkan lagi, demi kepentingan WNI itu sendiri. Ketiga, jika ada WNI yang sakit ketika berada di luar negeri maka bukan hanya harus ditangani di sana, tetapi juga diinformasikan ke Indonesia untuk antisipasi selanjutnya.

Didalam Negeri

Kasus Omicron juga dapat terjadi di Tanah Air. Kita ingat bahwa Tn N, kasus Omicron pertama Indonesia, adalah petugas kebersihan di Wisma Atlet. Belakangan juga dilaporkan ada petugas laboratorium di bandara yang tertular saat sedang menangani warga yang baru turun dari pesawat, dan petugas laboratorium ini kemudian menulari pula beberapa orang di tempat kos-nya.

Untuk mengendalikan ini, program pengendalian infeksi (PPI) harus lebih diperketat, baik di bandara maupun di Wisma Atlet atau wisma lain yang menampung warga yang baru datang, dan juga di hotel-hotel yang ditunjuk. Pengetatan PPI amat penting karena Omicron jauh lebih mudah menular daripada Delta. Walaupun kita sudah punya pengalaman panjang menangani varian Delta, upaya pencegahan penularan harus lebih ketat lagi di berbagai fasilitas yang ada. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tepat sesuai aturan harus benar-benar diterapkan, termasuk standar operasional prosedur (SOP) bagaimana melepaskan dan membuang APD sesudah dipakai.

Kita melihat kenyataan, sudah cukup banyak kasus transmisi lokal terjadi di Indonesia. Mereka tak punya riwayat perjalanan keluar negeri dalam beberapa bulan sebelumnya dan tak ada riwayat kontak dengan orang yang baru datang dari luar negeri. Artinya, mereka tertular dari sumber penular di dalam negeri.

Untuk transmisi lokal ini ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, penelusuran kepada siapa saja virus ditularkan. Di beberapa tempat, mikro lock down sudah dilakukan dalam lingkup RT atau RW karena banyak yang tertular. Ini hal baik, tetapi selain itu harus dilakukan hal kedua, yaitu dicari juga dari mana kasus transmisi lokal tertular.

Jadi selain “telusur ke depan” siapa saja yang sudah tertular, harus juga dilakukan “telusur ke belakang” untuk menemukan siapa yang menulari. Jika sudah diketahui sumber awalnya maka bisa dicek ke mana saja ia sudah menularkan, lalu dilakukan telusur lagi dan bila diperlukan dilakukan isolasi, demikian seterusnya.

Tes dan Vaksinasi

Selain upaya-upaya di atas, jumlah tes harus ditingkatkan. Ini terutama karena banyak kasus Omicron yang tanpa gejala (OTG) dan hanya ditemukan waktu dilakukan tes. Dari tes yang dilakukan, jika ditemukan ada OTG yang positif Omicron, mereka harus diisolasi supaya tak menularkan ke sekitarnya. Dengan demikian, tak terjadi penularan berkepanjangan di masyarakat (continued community transmission) dan jumlah kasus bisa dikendalikan.

Tentu saja vaksinasi harus terus ditingkatkan. Data sampai 17 Januari 2022 menunjukkan, masih lebih dari 42 persen populasi kita dan lebih dari 55 persen lansia belum divaksin dua kali, artinya belum mendapat perlindungan memadai. Angka ini harus dikejar dengan lebih cepat lagi, sejalan dengan pemberian vaksin penguat yang sudah dimulai beberapa waktu yang lalu.

Pemberian booster memang bermanfaat untuk pengendalian Omicron, tetapi vaksinasi primer yang dua kali merupakan hal yang utama dan pelaksanaannya jangan sampai terganggu oleh program pemberian vaksin penguat.

Dalam dinamika pengendalian varian Omicron ini, bisa saja ada perubahan kebijakan dari waktu ke waktu. Tentu akan baik kalau perubahan aturan disampaikan secara transparan ke masyarakat, disertai bukti-bukti ilmiah yang mendasarinya, sehingga lebih mudah dipahami masyarakat luas.

Tjandra Yoga Aditama Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara dan Mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes

 

Sumber: Kompas. 22 Januari 2022. Hal. 6

Hati-Hati Gangguan Leher Selama WFH. Bisnis Indonesia. 22 Januari 2022. Hal. 7

Pada konferensi pers akhir pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengimbau agar perkantoran kembali menerapkan WFH. Setidaknya kapasitas maksimal di kantor 75% selama 2 minggu ke depan mengingat angka kasus Omicron terus bertambah. Satgas Covid-19 hingga Kamis (20/1) melaporkan kasus positif varian Omicron di Indonesia mencapai 817 kasus.

Lepas dari persoalan itu, Spesialis Bedah Ortopedi Konsultan Tulang Belakang Didik Librianto menyebut adanya peningkatan kasus gangguan pada leher sejak kebijakan bekerja dari rumah diterapkan pada 2020 lalu.

Dia menjelaskan struktur tulang belakang terdiri atas daerah leher, torakal atau punggung tengah, dan lumbar atau punggung bawah alias pinggang Nah, selama WFH, daerah servikal dan lumbar paling banyak mendapat tekanan akibat terlalu lama duduk mengikuti kegiatan rapat, webinar, atau mengerjakan pekerjaan di depan layar komputer. Tekanan ini bertambah ketika posisi duduk kurang tepat.

“Kasus servikal meningkat tajam, begitu pula Lumbar. Terjadi problem di daerah leher dan pinggang selama pandemi,” ujarnya dalam diskusi virtual, Kamis (20/12).

Didik mengatakan, penye bab tulang leher mudah sakit karena bagian ini memiliki ukuran lebih kecil dan sangat fleksibel. Namun, sangat rentan akan stres berulang dan cedera ringan. Cedera ringan yang berulang lama-lama menyebab kan bantalan antar ruas tulang leher yang volumenya kecil mudah sekali cedera. Kebiasa an tidur di satu sisi juga bisa memicu cedera.

Dia mengingatkan gangguan leher ini bisa menyebabkan sejumlah masalah, di antara nya gangguan postur tubuh, penuaan, kelainan bawaan seperti tulang leher mudah cedera, infeksi, hingga tumor. Walaupun tidak menimbulkan kematian, gangguan ini bisa menyebabkan disabilitas, yaitu ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari.

Adapun, gangguan ringannya meliputi keluhan kesemutan atau kebas pada wajah, leher, bahu, tangan, atau kaki. Kemudian adanya gangguan motorik halus sebagai contoh tidak bisa memegang bolpoin, mengetik, maupun mengancingkan baju. “Itu gejala awal dari gangguan leher yang mengakibatkan otot kita menjadi lemah,” tuturnya.

Keluhan lainnya berupa leher pegal, leher kaku, sakit leher yang menjalar kebagian tubuh lainnya, leher bungkuk, hingga gangguan keseimbangan. “Sedangkan gangguan berat misalnya tidak mampu berjalan, jalan sempoyongan, mudah limbung, buang air kecil terganggu, dan tidak mampu mengangkat tangan,” tambah Didik.

Lantas bagaimana jika keluhan tidak ditangani dengan baik? Didik mengatakan, keluhan akan bertambah berat sehingga otot menjadi lebih kecil. Alhasil penderita akan kesulitan menggenggam atau angkat sesuatu. “Bakal terjadi kelemahan di kaki karena ma salah di leher.”

Untuk pengobatan gangguan pada leher, Didik mengatakan bisa dengan tindakan injeksi di rongga saraf dan akar saraf. Pasien sangat disarankan untuk melakukan senam tulang belakang.

Selain itu bisa dilakukan ope rasi untuk membebaskan saraf terjepit akibat tonjolan bantalan sendi. Endoskopi juga menjadi opsi untuk membebaskan saraf terjepit di leher. Didik menyebut masa pemulihan dan ra watnya terbilang cepat. “Angka keberhasilan 90%-95%.”

Guna mencegah gangguan leher ini selama WFH, Didik menyarankan agar duduk pada posisi ergonomi. Dia menuturkan ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia guna merancang suatu sistem kerja.

Dengan demikian, mereka dapat hidup dan bekerja dengan efektif, nyaman, aman, dan efisien.

Lantas bagaimana posisi duduk ergonomi? Pada saat menggunakan kursi dan meja kerja, Didik menyarankan agar saat duduk pandangan mata sejajar dengan layar komputer atau laptop. Letakkan tangan di sandaran, tepat di bawah tinggi siku, sementara lengan berada di samping badan. Usahakan paha sejajar dengan lantai dan kaki berpijak dengan nyaman di lantai atau sandaran kaki.

“Sebelum melakukan kerja kita harus mengatur kursi di posisi yang baik. Sandaran punggung harus pas dengan lekukan bawah punggung. Postur tulang belakang leher bergantung pada tulang belakang pinggang. Kaki berpijak sehingga tidak terjadi beban di lutut,” terangnya.

Secara terperinci, pada saat menggunakan keyboard, pastikan lengan di samping badan tidak terangkat atau membuka. Usahakan tangan lurus dengan lengan bawah, netral atau lurus dengan postur pergelangan tangan. Kemudian tangan berada di depan pusat tubuh.

Keyboard, menurut Didik harus memiliki penyangga lengan atau pergelangan tangan yang tingginya sama dengan space bar. Sementara itu, pertahankan sudut lengan atau siku sekitar 90 derajat.

Ketika menggunakan mouse, letakkan pengarah komputer itu di samping keyboard. Pastikan benda itu mudah dijangkau, dengan lengan ditekuk sekitar 90 derajat selama penggunaan. Sejajarkan tinggi mouse dengan keyboard dan jaga lengan tetap lurus saat menggunakannya.

Untuk monitor, Didik meng imbau agar posisi monitor sejauh panjang lengan dan tidak kurang dari 50 cm dari pandangan mata. Layar harus tegak lurus dengan jendela atau sumber cahaya untuk mengurangi silau. Kemudian atur layar setinggi mata atau letakkan monitor lebih rendah untuk pengguna lensa bifokal.

Apabila tidak ada meja kerja atau kursi yang bisa diatur, Didik menyebut ada alternatif menggunakan meja lainnya di rumah, seperti meja makan. Untuk memastikan posisi layar monitor sejajar dengan pandangan masa, bisa mengganjalnya dengan tumpukan buku. Kendati demikian, Didik mengingatkan agar memberi jeda waktu saat bekerja guna melakukan peregangan untuk merelaksasi otot mata maupun leher.

Setidaknya waktu yang diperkenankan untuk menatap layar monitor 45 menit hingga 1 setengah jam, tetapi semua tergantung pada tubuh tiap-tiap orang. “Bila rajin olahraga, 1 jam kuat. Peregangan 3-5 menit sangat membantu,” katanya.

Perlu diingat, menatap layar ponsel genggam juga bisa menyebabkan gangguan leher, karena saat menggunakan ponsel, kepala kita secara tidak disadari akan menunduk sehingga menjadi beban pada daerah leher. Untuk itulah, kita pun perlu melakukan peregangan.

STRES BERLEBIHAN

Terpisah, Spesialis Penyakit Dalam di RSU Bunda Margon da Depok Resha Murti Wibowo mengatakan stres yang berlebihan juga membuat kekakuan pada bagian tulang leher belakang dan menimbulkan rasa tidak nyaman dan radikal bebas akan jauh lebih banyak. Dengan demikian saat beristirahat, tubuh akan merasa sangat lelah.

Kemudian, adanya gangguan tulang leher seperti saraf ter jepit. Kondisi ini terjadi akibat posisi yang salah di mana tulang leher yang harusnya melengkung justru menyempit.

Latihan beban juga bisa menyebabkan gangguan pada leher, terutama jika berlebihan dan tidak diikuti pemanasan serta pendinginan. Selain itu, bahu terlalu menopang benda berat, seperti menggendong tas yang isinya sangat berat.

Nah, untuk memperbaiki kondisi ini, selain memperbaiki posisi saat bekerja atau menggunakan gadget, Resha menyarankan agar memperbaiki posisi tidur, terutama dalam penggunaan bantal. Sebisa mungkin agar berada di atas dari posisi tubuh.

Dia juga menyarankan untuk melakukan relaksasi. Olahraga juga tidak boleh ditinggalkan untuk menjaga tubuh tetap bugar dan melemaskan otot. “Berikutnya fisioterapi, minum air putih cukup, makan buah-buahan dan sayuran yang memberi nutrisi pada otot tubuh. Terakhir buat diri nyaman dan berpikir positif,” katanya.

 

 

Sumber: Bisnis Indonesia. 22 Januari 2022. Hal. 7

Cara Menjaga Kesehatan Mata Saat Kuliah Online

Semenjak pandemi COVID-19 tahun 2020 lalu, proses belajar tatap muka di sekolah dialihkan menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring. Metode pembelajaran daring ini menuntut kamu menatap layar HP atau laptop terus-menerus setiap harinya. Bukan tidak mungkin, kesehatan mata menjadi terganggu karena hal tersebut. Mata jadi sering kelelahan atau kering selama belajar online di rumah. Berikut beberapa tips yang harus diikuti agar mata kamu tetap sehat dan bisa terjaga dengan baik.

  1. Pastikan Cahaya di Ruangan Cukup

Pencahayaan lampu di ruangan sangat penting agar kamu bisa melihat secara jelas. Hanya saja, saat belajar online di rumah, kamu perlu mengatur tingkat pencahayaan tersebut. Hindari pencahayaan yang terlalu terang karena membuat silau. Jangan pula membiarkan pencahayaan terlalu redup karena membuat penglihatan buram. Atur pencahayaan yang cukup sesuai kondisi mata kamu saat ini.

Selain dapat merawat kesehatan mata, ternyata pencahayaan ruangan juga berpengaruh terhadap produktivitas belajar, lho. Belajar dalam ruangan terang cenderung dapat meningkatkan konsentrasi, produktivitas, dan semangat belajar ketimbang dalam ruangan remang-remang.

  1. Konsumsi Makanan Bergizi

Cara menjaga kesehatan mata berikutnya yaitu mengonsumsi makanan bergizi. Makanan seperti sayuran hijau, ikan segar, serta buah-buahan mengandung banyak nutrisi yang baik untuk memelihara kesehatan tubuh dan meningkatkan kinerja mata. Mengonsumsi wortel secara rutin juga membantu menjaga kesehatan mata kamu. Hal ini karena wortel sarat akan beta karoten, suatu antioksidan yang dapat mengurangi risiko degenerasi makula pada mata.

  1. Sering Mengedipkan Mata

Selama pembelajaran daring, sebaiknya kamu rutin mengedipkan mata. Normalnya, manusia berkedip sebanyak 15-20 kali dalam satu menit. Namun, frekuensi mengedipkan mata tersebut bisa menurun saat kamu membaca buku, menonton televisi, bahkan menatap layar laptop atau HP terlalu lama. Kalau kamu membiasakan berkedip sebanyak 15-20 kali saat belajar online, kamu akan terhindar dari mata kering dan kelelahan.

  1. Atur Pencahayaan dan Jarak HP atau Laptop

Untuk menurunkan risiko mata tidak sehat karena belajar online, pastikan mengatur pencahayaan layar. Usahakan pencahayaan tidak terlalu terang atau gelap agar mata tidak cepat lelah dan kamu lebih mudah melihat materi pelajaran di layar tersebut. Jika perlu, gunakan filter blue light pada layar untuk melindungi mata dari paparan sinar biru laptop maupun HP. Selain itu, kamu perlu memberi jarak setidaknya 60-65 cm antara layar dengan wajah. Pastikan posisi layar tepat di depan mata sehingga kamu tidak perlu menunduk maupun mendongak. Jadi, tubuh kamu tetap dalam kondisi nyaman dan kinerja mata tetap prima selama belajar online di rumah.

  1. Menjaga Kesehatan Mata dengan Metode 20-20-20

Metode 20-20-20 ini terbukti ampuh merawat kesehatan mata. Khususnya bagi kamu yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptop, HP, dan komputer. Metode ini berarti, setiap 20 menit sekali saat belajar online, usahakan melihat objek lain sejauh 20 kaki atau sekitar 6 meter, selama 20 detik. Cara ini bermanfaat mengurangi ketegangan mata karena menatap layar terlalu lama. Itu dia beberapa cara menjaga kesehatan mata yang bisa kamu ikuti selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Yuk, mulai membiasakan diri menjalankan kelima cara tersebut! Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati.

  1. Pilih Posisi yang Pewe (Paling Wenak)

Agar kamu tetap nyaman dalam melihat laptop atau komputer, bisa nih dicoba untuk set tempat kamu duduk, jarak kamu dalam melihat laptop, atau posisikan laptop mu agar sejajar dengan pandangan mata mu. Ingat untuk atur jarak 30cm antar mata dengan layar laptop. Dengan posisi duduk yang baik, kamu bisa terhindar dari mata lelah dan low back pain loh.

Nah itu tadi merupakan tips untuk menghindari penyakit mata maupun cara menjaga kesehatan mata pada saat pembelajaran daring. Tips ini juga bisa diterapkan siapa saja, dimana saja. Semoga bermanfaat!

Kenali Lemak Perut dan Cara Mengatasinya. Surya. 1 Januari 2022. Hal. 6

Bagi banyak orang, lemak perut adalah yang paling dirisaukan. Tidak hanya menyebabkan kenaikan berat badan, lemak perut juga membuat perut tampak lebih maju sehingga mengganggu penampilan.

BANYAK dari kita yang mungkin belum mengetahui beberapa jenis lemak perut yang disebabkan berbagai faktor. Berbeda jenis lemak tentu saja berbeda cara mengatasinya.

  1. Beer belly

Seseorang yang mengonsumsi terlalu banyak bir selama bertahun-tahun akan mengalami perubahan bentuk perut menjadi lebih besar. Bir mengandung sekitar 180-500 kalori per takaran, tergantung jenis alkohoinya.

Cara mengatasinya: Kurangi minum bir setiap harinya hingga setiap minggunya akan membantu memangkas kalori dan berat badan. Jika hal itu pun terasa sulit, cobalah pilih bir yang lebih rendah kalori. Sebagai perbandingan, segelas anggur merah baik untuk pencernaan dan bisa membantu menurunkan berat badan. Meski begitu, perubahan pola hidup seperti memerbanyak olahraga serta memangkas asupan kalori dan makanan berlemak juga bisa membantu.

  1. Setelah kehamilan

Kehamilan bisa memberi dampak yang sangat drama tis terhadap tubuh seorang. perempuan, termasuk salah satunya pada area perut yang membesar. Meskipun berhasil menurunkan berat badan pascapersalinan, kebanyakan perempuan mengalami kenaikan berat badan selama hamil.

Pemisahan perut juga dapat terjadi selama atau setelah kehamilan, yaitu ketika rahim yang tumbuh menyebabkan dua otot sebuah studi menemukan, panjang yang bekerja paralel di perut menjadi terpisah satu sama lain.

Cara mengatasinya: Menurunkan berat badan setelah kehamilan cukup memakan waktu. Tubuh membutuhkan waktu pemulihan sebelum menjalani pola makan atau rutinitas olahraga baru. Biasanya dokter merekomendasikan menunggu hingga pemeriksaan pascapersalinan. sekitar 6-8 minggu.

Mulailah dengan makan makanan sehat dan minum minimal delapan gelas sehari untuk menjaga tubuh tetap terhidrasi. Hindari makanan tinggi gula dan prioritaskan makanan tinggi serat.

  1. Stres

Stres juga bisa menyebabkan masalah pencernaan, yang berujung pada area perut yang membesar, Stres memicu peningkatan tingkat kortisol atau hormon stres sehingga berdampak pada penyimpanan lemak. Masalah penyimpanan lemak biasanya terjadi pada area perut karena merupakan lemak yang paling sulit dihilangkan. Stres juga bisa memicu peningkatan oksidasi lemak, proses yang memungkinkan lemak untuk dibakar menjadi energi.

Cara mengatasinya: Melakukan manajemen stres terlebih dahulu, misalnya dengan mengatur pernafasan, jalan kaki ringan, hingga meluangkan waktu untuk beristirahat. Beberapa suplemen herbal juga diketahui mampu membantu menurunkan kadar kolesterol. Ahli gizi merekomendasikan konsumsi kacang-kacangan jika kamu merasa perutmu membesar karena stres karena kacang tinggi akan magnesium yang bisa menurunkan kadar kortisol. Brokoli yang kaya asam folat juga baik untuk membantu menurunkan tingkat stres.

  1. Faktor hormon

Salah satu efek samping menopause adalah kenaikan berat badan karena hormon yang fluktuatif. Fakta baru menemukan bahwa penurunan kadar estrogen dapat mendorong kita untuk makan lebih banyak dan berolahraga lebih sedikit, menurunkan tingkat metabolisme dan mening- katkan resistensi insulin. Kondisi ini membuat tubuh lebih sulit untuk berurusan dengan gula dan pati. Hor- Sensasi kembung bisa mon juga berdampak pada distribusi lemak. Pertambahan berat badan perimenopause sering dikaitkan dengan penumpukan lemak di sekitar perut dan organ dalam, yang bertentangan dengan pinggul dan paha.

Cara mengatasinya: Cobalah menerapkan pola makan rendah kalori selama dan setelah menopause. karena jumlah kalori yang dibakar pada usia tersebut konsumsilah banyak protein untuk menjaga kita tetap kenyang, meningkatkan tingkat metabolisme dan mengurangi kehilangan otot. Selain itu, kualitas tidur juga menjadi kunci menjaga berat badan yang sehat.

  1. Perut kembung

Kembung adalah pera saan adanya tekanan yang membuat perut membesar dan lebih dari 70 persen orang mengalami ini. Kondisi ini bisa disebabkan sejumlah hal, seperti sindrom iritasi usus, flatulence, penyakit celiac, peradangan usus besar, dan endometriosis.

Sensasi kembung bisa menyebabkan area perut seperti lebih membesar. Pada kasus langka, kembung juga bisa menjadi gejala masalah serius, seperti kanker ovarium, maka ada baiknya jika berkonsultasi dengan dokter

Cara mengatasinya: Terapis nutrisi yang bekerja bersama Bio-Kult, Natalie Lamb mengatakan, pada umumnya mengonsumsi sari cuka sebelum makan bisa membantu memperlancar fungsi pen cernaan. Selain itu, usaha kan untuk mengurangi gula dan karbohidrat sederhana serta mengonsumsi lebih banyak serat.

  1. Kelebihan berat badan

Berat badan berlebih biasanya disebabkan karena konsumsi kalori lebih besar daripada kalori yang dibakar melalui fungsi-fungsi tubuh dan aktivitas fisik. Banyak orang mengalami perut membesar karena kelebihan berat badan atau menerapkan pola makan tinggi lemak dan sering makan manis.

Cara mengatasinya: Meningkatkan aktivitas fisik adalah salah satu cara utama untuk menurunkan berat badan. Kamu tak perlu menghabiskan waktu berjam-jam di gym atau untuk lari hanya untuk menjaga kesehatan. Cukup lakukan olahraga ringan selama 15 menit setiap harinya dan lakukan secara rutin untuk mendapatkan hasil. Pada intinya, memangkas konsumsi kalori adalah kunci menurunkan lemak perut. (kompascom)

 

Sumber: Surya. 1 Januari 2022. Hal. 6