Pinot, Dodo, dan Iwan. Generasi Baru Panji Koming. Kompas. 26 Juni 2021. Hal.16

Setelah sang kreator, Dwi Koendoro, meninggal pada 22 Agustus 2019, komik strip Panji Koming berhenti terbit di harian Kompas selama nyaris dua tahun. Komik yang mengkritik kekuasaan di Indonesia selama 40 tahun itu kini dilahirkan kembali oleh ketiga putra Dwi Koen, yakni Pinot, Dono, dan Iwan. Karya mereka akan muncul di Kompas setiap Minggu mulai 27 Juni 2021.

“Kami bertiga sepakat bahwa Panji Koming itu peninggalan Bapak yang secara moral mesti kami lanjutkan,” ujar Waluyo Ichwandiardono alias Dono (49), putra kedua Dwi Koen, Senin (21/6/2021) malam, di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Sebelumnya, Kompas mewawancarai dua putra Dwi Koen lainnya, yakni Wahyu Ichwandardi alias Pinot (51) dan Alfi Ichwanditio (47) alias Iwan yang masing-masing tinggal di New York, Amerika Serikat, dan Ontario, Kanada, melalui aplikasi pertemuan virtual, Mei lalu.

Seri kartun Panji Koming terbit di Kompas Minggu pertama kali pada 14 Oktober 1979 dan terakhir kali pada 18 Agustus 2019. Tokoh- tokohnya, seperti Panji Koming, Pailul, Dyah Gembili, Ni Woro Ciblon, dan Kirik, merupakan representasi wong cilik yang lugu tetapi cerdik. Selain itu, ada tokoh elite, seperti Denmas Ariakendor dan Mbah Randubantal.

Lewat tokoh-tokoh rekaan ini, Dwi Koen, yang menimba ilmu di SSRI/ASRI Yogyakarta, menyentil dan mengkritik perilaku penguasa dan masyarakat dengan cara halus dan jenaka.

Dono mengakui, menghidupkan kembali Panji Koming bukan perkara mudah. Ada beban sekaligus tantangan yang harus mereka jawab. Bagaimanapun era ketika Dwi Koen membuat Panji Koming dulu berbeda dengan era sekarang. “Konteks sosial politiknya berbeda, cara mengkritiknya juga bisa berbeda. Bahkan, setelah Orde Baru tumbang, Bapak sempat bingung mencari cara untuk mengkritik rezim baru,” ujar Dono.

Beruntung, Dwi Koen sejak awal merancang Panji Koming dalam semesta imajiner yang merentang panjang mulai zaman Kerajaan Majapahit sampai zaman kontem porer. “Bapak menyebutnya dunia Panji Koming sebagai Semesta Hwarakadah dimana di dalamnya ada konsep lorong waktu. Tokoh tokohnya bisa keluar masuk konteks wa yang berbeda,” kata Pinot.

Gagasan tentang lorong waktu inilah yang dipakai oleh tiga putra Dwi Koen sebagai pijakan untuk melahirkan kembali Panji Koming. Tokoh-tokoh rekaan yang melintasi ruang dan waktu itu mengalami geger budaya. Sama seperti masyarakat di dunia nyata yang tergagap-gagap hidup dalam ruang dan waktu yang dipadatkan dan dilipat-lipat oleh teknologi digital.

Namun, dalam teknis produksi Panji Koming generasi baru ini, ketiga putra Dwi Koen sedikit banyak diuntungkan oleh pemadatan ruang dan waktu oleh teknologi digital. Betapa tidak, Dono bekerja dari Tangerang Selatan, Pinot bekerja dari New York, sedangkan Iwan dari Ontario. “Kami bertemu di dunia maya. Jadwal kerja kami bergantung internet dan perbedaan waktu. Di sana malam, di sini pagi,” kata Dono.

Keuntungan lainnya, tiga kreator Panji Koming yang tinggal di tiga negara berbeda bisa menghasilkan tiga sudut pandang yang berbeda pula dalam melihat Indonesia. “Saya cenderung mengikuti pakem Bapak. Pinot dan Iwan punya pandangan berbeda. Kami tinggal diskusikan. Yang jelas tujuan kami sama, yakni membuat Panji Koming relevan dengan zaman tanpa kehilangan roh lamanya,” ujar Dono.

Iwan memandang, tokoh-tokoh Panji Koming dalam Semesta Hwarakadah merupakan hasil evolusi. Mereka tidak diciptakan Dwi Koen sekali jadi, tetapi bertahap dan berproses. “Karena itu, pada Panji Koming yang baru, ada beberapa tokoh yang dulu jarang ditampilkan Bapak tetapi kini ditonjolkan. Tokoh-tokoh ini dipilih karena cocok dihadirkan di era sekarang sebagai simbol generasi baru yang terus bergerak,” kata Iwan.

Medium yang digunakan Panji Koming generasi baru ini juga disesuaikan dengan zaman. Dia tidak hanya muncul sebagai komik strip di harian Kompas, tetapi juga animasi dan bentuk-bentuk interaktif lainnya di Kompas.id dan media sosial.

Tim keluarga

Keterlibatan ketiga putra Dwi Koen menggarap Panji Koming sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum Dwi Koen sakit dan meninggal pada 22 Agustus 2019, ia telah melibatkan istrinya, Cik Dewasih, dan ketiga anaknya. Mereka ditugaskan memberi ide, menggambar tokoh tambahan, sampai mengirim gambar Panji Koming ke Redaksi Kompas.

“Saya diminta membantu memikirkan ide lalu membuat ekstras (tambahan) komik. Setelah saya capek, Dwi Koen mulai melibatkan anak-anak sejak mereka kecil untuk bikin ekstras ramai-ramai. Jadi, Bapak itu maunya kerja tim. Karena enggak ada SDM lain, ya keluarga yang dilibatkan,” ujar Cik Dewasih yang pernah kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB).

Pinot menggambarkan ayahnya sebagai sosok yang selalu gelisah memikirkan ide untuk dituangkan dalam Panji Koming. “Kami dari kecil sudah terbiasa dikejar-kejar Bapak untuk memberi ide lalu diajak diskusi,” ujarnya. Dono mengaku paling sering “ditodong” Dwi Koen untuk menyum bang ide lantaran ia tidak merantau seperti Pinot dan Iwan saat kuliah. “Kami harus rajin baca koran dan nonton berita supaya bisa kasih ide. Tetapi kalau sudah bosan ditodong ide, saya enggak pulang dan tidur di kampus. Ternyata Bapak telepon juga ke kampus hanya untuk tanya ide, ha-ha-ha,” ujar Dono.

Salah satu ide Dono yang dipakai ayahnya adalah tokoh Kirik. Saat itu, Dwi Koen pusing memilih sim bol yang tepat untuk menggam barkan rakyat, terutama mahasis wa, yang mulai militan melawan represi rezim Orde Baru pada 1995. “Bapak mau simbol yang di mata elite penguasa yang mapan, sesuatu yang nyebelin, ngeyel, berisik, mengganggu. Saya bilang gambar kirik (anjing) aja Pak Dari situ Bapak dapat tokoh kirik yang terus mengikuti dan menggigit bokong penguasa yang biasanya nyaman duduk di kursi kekuasaan,” ujar Dono.

Karena sering dilibatkan dalam kerja Panji Koming sejak kecil, tak heran jika Pinot, Dono, dan Iwan pada akhirnya mengikuti jejak orangtuanya berkecimpung di dunia visual. Pinot dan Iwan selepas SMA meneruskan pendidikan di FSRD ITB. Sementara itu, Dono memilih kuliah di Jurusan Editing Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.

Pinot meniti karier di bidang desain grafis di RCTI, lantas pindah ke stasiun televisi Al-Watan di Kuwait. Sejak 2013, ia hijrah ke New York dan bekerja di sebuah agensi digital. Dono memilih karier sebagai editor profesional untuk proyek klip video musik, iklan, dan film layar lebar. Sementara itu, Iwan meniti karier di bidang desain grafis. Ia pernah bekerja sebagai desainer grafis di Divisi Majalah Grame dia sebelum hijrah ke Kanada dan bekerja di Kenilworth Media Inc.

Dari tiga negara yang berbeda, mereka coba meneruskan mimpi ayahnya untuk membuat Panji Koming sebagai medium untuk meng kritik yang bisa melintasi zaman.

 

Sumber: Kompas. 26 Juni 2021. Hal.16

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *