Rumah Tenunkoe Membantu Perajin Memperluas Pasar

Social Entrepreneur

Untuk membantu meningkatkan perekonomian para penenun, Rumah Tenunkoe memberikan pelatihan soal kualitas, penawaran hingga leadership. Selain itu, juga membantu untuk memasarkan produk tenun supaya mendapatkan harga yang lebih baik dan hasil tenun yang lebih konsisten.

                KEHIDUPAN yang layak serta berkecukupan secara sisi ekonomi, pendidikan, dan lainnya belum dapat dirasakan secara merata oleh semua warga Indonesia. Misalnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tak semua penduduknya memiliki tingkat ekonomi yang baik.

Meski, banyak perempuan menjadi penenun, namun hasilnya tidak bisa menambal kehidupan sehari-hari. Pasalnya, artshop setempat membeli kain dengan harga yang rendah.

Prihatin melihat kehidupan para penenun ini, Indrasti Maria Agustina mendirikan Rumah Tenunkoe pada 2015 lalu. Bersama relawan, Tenunkoe rutin memberi pelatihan, mulai peningkatan kualitas, pewarnaan sampai kepemimpinan. Semua itu dilakukan utnuk mengangkat kesejahteraan para penenun. “Saya ingin mereka ikut terlibat dalam kegiatan desa, karena selama ini partisipasi mereka dalam masyarakat sangat rendah atau tidak ada,” kata Indrasti.

Tak hanya itu, Rumah Tenunkoe juga membentuk koperasi untuk membantu perajin memasarkan produk. Indrasti memasarkan produk tenun ini lewat bekerjasama dengan sejumlah marketplace di tanah air, Amerika Serikat serta Australia.

Selain dibagikan untuk penenun, hasil penjualan juga dimasukkan ke koperasi. Nantinya, dana yang terkumpul tersebut bakal digunakan untuk meberikan pelatihan.

Lantaran masih dibuat secara tradisional dan hanya menjadi pekerjaan sambilan, tak ada jumlah stok pasti dari para perajin. Untuk memenuhi permintaan, Indrasti menerapkan sistem setor bergilir per kelompok. Ada tujuh kelompok tenun yang beranggotakan 110 penenun dan 30 penjahit.

“Setiap bulan digilir kelompok mana yang harus menyetor kain produksinya,” jelasnya. Setiap kelompok memiliki ciri khas masing-masing yang tergambar dari motif dan warna yang digunakan. Seperti kelompok Desa Hetutu, Kecamatan Takari yang memproduksi tenun bermotif timur dengan nuansa warna cerah.

Salah satu kendala yang dihadapi Indrasti adalah belum adanya standar produk yang tetap dari para penenun. Alhasil, kualitas kain menjadi berubah-ubah.

Pasalnya, penenun itu belum berpikir untuk membuat kain dengan hasil yang sempurna. Seperti, ukuran kain tidak sama atau tingkat kerapatan benang kurang pas. Ini membuat produknya bakal susah dijual kepasaran.

Ke depan, Ana berharap dapat meneruskan aksi pelatihan bersama para relawan yang bergabung. Sebab, kini, gerakan Tenunkoe sudah tidak lagi mendapatkan sokongan dana dari pihak luar. Selain itu, para relawan dan masyarakat juga dapat meberikan ide kreatif desainnya untuk diseleksi yang akhirnya diteruskan kepada para penenun. Tujuannya, jenis produksi dan nilai tenun bertambah.

 

Sumber: Kontan.15-Maret-2018.Hal_.19

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *