Raam Punjabi Bicara tentang Industri Kreatif Berharap Pemerintah Tidak Tutup Mata

12 Januari 2016. Raam Punjabi Bicara tentang Industri Kreatif_Berharap Pemerintah Tidak Menutup Mata. Jawa Pos. 12 Januari 2016.Hal.1,3.

Jika dibandingkan dengan negara lain di zona ASEAN, industry kreatif kita bisa diadu. Apabila ada dukungan nyata dari regulator, bukan tidak mungkin industry kreatif Indonesia menjadi roda baru penggeran ekonomi.

MODAL kreativitas yang dimilik pekerja seni tanah air membuat industry kreatif, khususnya pertelevision dan periklanan, Indonesia bakal berkibar pada masa mendatang.

Proteksi Film Ta Efektif

BERHARAP

            Raam Jethmal Punjabi amat optimistis industry yang dia geluti sejak 1960 itu bisa menggurita dan kian terpandang di zona ASEAN.

Pendiri Multivision, rumah produksi paling produktif  tersebut menyatakan, pelaku industry kreatif Indonesia tinggal membenahi persoalan promosi dan pemasaran. “Dari segi kualitas, kita di atas Malaysia. Meskipun masih kalah oleh Thailand,” kata pria asal Surabaya itu kepada Jawa Pos saat ditemui di ruang kerjanya di MVP Tower, Kuningan, Jakarta.

Raam bercerita, Malaysia memilik fasilitas pendukung sehingga film-film produksi dalam negeri mampu menjangkau pelosok daerah. Vietnam dan Kamboja yang dari sisi kualitas film masih kalah jauh, kata dia, tidak menghadapi kendala peredaran seperti Indonesia.

Di Indonesia, lanjut Raam, film hanya bisa dinikmati orang-orang perktoaan. Maklum saja, jumlah bioskop di Indonesia masih jauh dari ideal. Jumlah bioskop di Indonesia hanya sekitar seribu. Angka yang amat sedikit jika dibandingkan dengan penduduk yang mencapai hampir 250 juta jiwa.

Idealnya, Indonesia punya sekitar 5.000-6.000 gedung bioskop. Pria 72 tahun tersebut mengatakan, pada perhotelan Festival Film Indonesia (FFI) 2014, Presiden Joko Widodo menyatakan sudah mengintruksi langsung menteri untuk menambah jumlah gedung bioskop. “Katanya, kalau dalam setahun tidak ada kemajuan, laporkan. Tapi, sampai sekarang tidak ada hasilnya,” ucap dia.

Raam mengkritik gedung bioskop yang hingga kini masih didominasi kelompok usaha tertentu saja. Itu dinilai Raam menghambat distribusi film-film ke daerah. Akibatnya, perkembangan industry film nasional bisa tersendat.

Munculnya praktek oligopoly tersebut merupakan dampak kebijakan daftar negatif investasi yang diterapkan pemerintah selama ini. Pemerintah menilai produsen dan pengusaha film nasional harus diproteksi dari serbuan asing. Melalui kebijakan itu, pemeritnah melarang pihak asing membangun gedung bioskop dan memproduksi film di Indonesia. Namun, tujuan proteksi tersebut tidak tepat sasaran. Sebab, bioskop ialah dikuasai pemain lama.

Saat ini produser dan pengusaha bioskop lainnya kesulitan bergerak. “Ini sudah ada dari zaman Orba sampai sekarang dan bibitnya sudah kuat. Pemerintah tahu, tapi seolah menutup mata dan telinga,” ungkap anak ketiga di antara tujuh bersaudara itu.

Kebijakan yang awalnya untuk proteksi tersebut malah berakhir sebagai boomerang bagi industry film Indonesia. Di sisi lain, industry film di negara-negara yang tidak menerapkan kebijakan itu malah berkembang pesat. Raam mencontohkan India dan Thailand.

Raam yang terjun ke bisnis jaringan bioskop dengan brand Platinum Cineplax merasakan sendiri bagaimana tidak mudahnya menuju angka ideal jumlah gedung bioskop. Tidak ingin ikut bersaing dengan pemain besar di perkotaan. Raam meneguhkan niatnya untuk memperluas jangkauan film-film hingga ke daerah. “Kami mulai dari kota kecil yang sebelumnya tidak punya bioskop seperti Sidoarjo dan Magelang,” ungkap dia.

Kendati secara jumlah belum terasa kontribusinya terhadap penambahan jumlah bioskop di Indonesia, Raam tidak patah arang. Dia yakin upayana untuk memperluas distribusi film akan membuahkan hasil. Yang terpenting, niat awalnya untuk menjangkau daerah sudah dia lakukan.

Industri pertelevisian pun ternyata tidak lupus dari praktik penguasaan oleh sedikit kelompok usaha. Padahal, lagi-lagi, ada peraturan yang pada mulanya diterbitkan untuk menghindari terjadinya praktik seperti itu. Raam menjelaskan, pemerintah punya aturan bahwa stasiun televisi hanya boleh memproduksi kebutuhan programnya sebanyak 30 persen. Sisanya dikerjakan rumah produksi.

Jika dilihat sepintas, kondisinya memang sudah sesuai peraturan. Namun, saat diperdalam, tetap saja yang terjadi adalah penguasaan oleh satu kelompok usaha tertentu. Stasiun-stasiun televisi berlomba membentuk anak perusahaan berupa rumah produksi yang bertugas membuat program-program untuk stasiun televise itu. Pasar rumah produksi pun semakin sempit. Belum lagi tren beberapa stasiun televise dimiliki satu holding company.” Pemerintah tahu semua itu, tapi seolah tutup mata. Kapan majunya?” cetus kakk satu cucu tersebut.

Melihat kondisi industry yang menjadi passion-nya sejak dulu itu sekarang, Raam tidak bisa diam begitu saja. Bukan sekali dua kali Raam mencoba berkomunikasi dengan pemerintah untuk membantu para pelaku industry film dan televise agar berkembang. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Selain adanya peraturan yang malah mengerdilkan industry itu, pemerintah terkesan mengesampingkan industry tersebut.

Indonesia, tutur Raam, butuh sebuah badan yang mengurus perfilman. Sebuah badan usaha negara (BUMN) yang mengurus tetek bengek industry perfilman dan pertelevisian Indonesia agar lebih tertata dan jelas. Raam mengaku pernah mengajukan usul tersebut kepada Dahlan Iskan saat masih menjadi menteri BUMN. “Dia (Dahlan) bilang oke, akan dibicarakan. Tapi, ternyata semua menteri lain menganggap film bukan hal urgen,” sesal anak pasangan Jethmal Tolaram Punjabi dan Dhanibhai Jethmal Punjabi itu.

Raam pun pernah berbicara dengan Jero Wacik dan Mari Elka Pangestu saat keduanya menjabat menteri pariwisata dan ekonomi kreatif, tapi masih juga tidak berjalan. Dia bahkan mendapatkan jawaban mengejutkan dari Jero saat mengajukan usul tersebut. Jero mengatakan, bagaimana pemerintah mau membentuk BUMN film, negara saja masih perlu beli beras.

Dengan adanya Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Raam melihat ada upaya pemerintah untuk setidaknya memberikan ruang bagi para pelaku industry kreatif termasuk perfilman dan menata diri. Namun, setelah setahun berjalan, badan yang dipimpin Triawan Munaf itu belum memperlihatkan tajinya. Dan wacana BUMN film dianggap Raam masih perlu digulirkan meskipun nanti terbentur DPR.

“Yang penting ada niat dan langkah awal. Saya akan ngotot untuk memperjuangkan ide saya ini sampai terlaksana,” tegas Raam.

Dengan adanya BUMN film itu, nanti para produser bisa patungan dengan pemerintah untuk memproduks film-film berkualitas yang jelas akan mendorong industry tersebut. Pemerintah juga bisa menggunakan media film untuk mengenalkan pahlawan-pahlawan nasioal. Menghidupkan kembali sosok pahlawan nasional ke masyarakat tentu menjadi tanggung jawab pemerintah.

 

 

JAWA POS SELASA 12 JANUARI 2016

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *