Visi Pembanguan SDM Riset Menua dan Kurang Berkualitas

SDM Riset Menua dan Kurang Berkualitas. Kompas.20 September 2016.Hal. 1,15

Jakarta, kompas – Anggaran riset Indonesia ada di posisi paling rendah di antara negara anggota G-20. Banyak soal mendasar membelit dunia riset Tanah Air, mulai dari rendahnya kualitas periset, peneliti yang menua, tidak menariknya dunia riset, hingga sistem pendidikan yang tidak mendukung. Menambah anggaran hingga 2 persen dari produk domestik brutopun tidak otomatis akan menyelesaikan masalah.

Dari sisi jumlah pegawai, ada ribuan orang bekerja di beberapa lembaga riset. Namun, yang melakukan riset sangat terbatas. Lebih dari separuh pegawai adalah tenaga pendukung. Akibatnya, meskipun ditambah besar-besaran, dana riset tak akan banyak terserap dan mampu menarik banyak peneliti. Di perguruan tinggi, kondisinya relatif sama. Banyak dosen terfokus pada pengajaran atau sibuk menjadi konsultan sejumlah proyek. Meski pemerintah sudah menyediakan dana riset memadai, tetap saja tak termanfaatkan semua.

“Indoneisa kekurangan peneliti,” kata Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi “Masa Kini dan Masa Depan Riset dan teknologi Indonesia” yang diadakan Kompas di Jakarta, Rabu (14/9). Lihat saja posisi Indonesia di antara negara anggota G-20. Jumlah peneliti di Indonesia paling kecil, hanya 89 orang per 1 juta penduduk. Bandingkn dengan Korea Selatan dengan 6.899 peneliti per 1 juta penduduk. Di ASEAN, Indonesia juga jauh tertinggal dibandingkan jawara riset ASEAN, Singapura, yang punya 6.658 peneliti per 1 juta penduduk (UNESCO, 2016).

Selain jumlahnya kecil, kualitasnya pun relatif rendah. Di antara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), hanya BPPT yang 10 persen pegawainya berpendidikan doktor, sedangkan di Lapan hanya 2 persen. Di sejumlah negara maju hanya peneliti berkualitas doktor yang meneliti, lalu dibantu peneliti berpendidikan magister dan sarjana. “Di Indonesia, sarjana sudah meneliti,” kata Kepala BPPT Unggul Priyanto.

Pentingnya peneliti berkualitas doktor juga diungkapkan Kepala Bidang Teknologi Radiofarmaka Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka Batan Rohadi Awaludin. Pendidikan strata tiga merupakan landasan untuk membentuk kemtangan intelektual dan memperluas jejaring dengan ilmuwan dunia. “Periset butuh kematangan intelektual agar mampu menemukan dan menyelesaikan masalah dengan kaidah ilmiah yang benar,” katanya.

Minat menjadi peneliti

            Sejumlah kondisi yang ada saat ini diperintah kualitas sebagian besar pelamar di lembaga riset. Mereka bukan yang berkualitas terunggul. Di BPPT, kata Unggul, sangat sulit mendapatkan pelamar lulusan Institut Teknologi Bandung yang masih dianggaps sebagai perguruan tinggi teknik terbaik di Indonesia. Jika ada, biasanya tak bertahan lama. Banyak lulusan terbaik perguruan tinggi Indonesia memiliki bekerja di sektor industri. Keberadaan mereka sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mendukung riset. Masalahnya, sangat jarang industri Indonesia mau melakukan riset dan lebih memilih membeli membeli teknologi. Sementara itu, banyak pula pelamar di lembaga riset dengan minat meriset rendah. Tak jarang, mereka hanya mencari pekerjaan sebagai PNS. Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain menilai salah satu pemicu rendahnya kualitas peneliti adalah kurang kenalnya siswa dengan dunia riset sehingga minat jadi peneliti rendah. Mahasiswa baru mengenal riset saat skripsi, itu pun untuk memenuhi syarat kelulusan. “Tak ada informasi jelas dan komprehensif tentang dunia penelitian,” katanya.

Menua

Tenaga peneliti di sejumlah lembaga riset juga menua. Sekitar separuh tenaga di LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan berumur lebih dari 45 tahun. Bahkan, di Batan hampir 70 persennya. Moratorium perekrutan pegawai yang juga berlaku di lembaga riset mengancam regenerasi periset sehingga membuat rencana riset tidak berkelnnjutan. Kepala Batan Djarot S Wisnubroto mengatakan, umur rata-rata pegawai Batan saat ini 48 tahun. Bahkan, di Batan Yogyakarta, 44 persen pegawainya berumur lebih dari 56 tahun. Dalam tiga tahuun mendatang, sekitar 600 orang atau 22 persen pegawai Batan akan pensiun. “Usia menua berdampak pada rendahnya inovasi. Itu hukum alam,” katanya. Menyekolahkan pun sulit karena melanjutkan pendidikan ke jenjang strata dua dan strata tiga dibatasi umur. Untuk saat ini, regenerasi peneliti di lembaga riset mendesak, selain membangun budaya, riset bangasa sejak dini.

 

Sumber: Kompas. 20 September 2016

Visi Pembanguan Risert dan Inovasi Tak Terserah

Riset dan Inovasi Tak Terarah. Kompas. 19 September 2016.Hal.1,15

Jakarta, Kompas – Riset dan inovasi merupakan syarat utama meningkatkan produktivitas dan daya asing bangsa. Saat semua negara berlomba meningkatkan anggaran riset, Indonesia justru memangkas anggarannya yang sudah kecil. Keberlanjutan pembangunan ekonomi dan kemandirian bangsa terancam. Di antara negara-negara dengan ekonomi tangguh anggota G-20, hanya Indonesia dan Arab Saudi yang anggaran risetnya kecil, yaitu 0,1 persen dari produk domestik bruto (data UNESCO 2016). Tanpa riset, tak ada inovasi. Tanpa inovasi, bangsa akan sangat bergantung pada produk teknologi bangsa-bangsa lain.

Lihat saja, betapa teknologi negara lain menguasi Indonesia, mulai dari telepon seluler, otomotif, hingga teknologi tinggi. Padahal, peneliti, perekayasa, dan industri Indonesia mampu membuat sebagian besar produk tersebut. “Butuh perubahan sistem yang signifikan dalam pengebangan riset di Indonesia,” kata Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam diskusi “Masa kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Rabu (14/9). Diskusi diadakan dua kali. Diskusi pertama menghadirkan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaludin, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S wisnubroto, dan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Bambang Setiadi.

Diskusi kedua menghadirkan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto, Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) Muhammad Dimyanti, serta Satryo Soemantri Brodjonegoro dari AIPI. Meskipun anggaran riset kecil, 74 persennya masih terkumpul dari pemerintah dan perguruan tinggi. Hanya 26 peren dari sektor binis. Itu berbanding terbalik dengan situasi negara maju, seperti Korea Selatan yang 78 persen anggaran risetnya ditopang industri, “Artinya, riset di negara maju berbasis kebutuhan industri,” kata Satryo.

Indonesia sebenarnya mampu membuat produk-produk teknologi meski pada fase awal kualitasnya belum sepadan produk negara maju. Namun, keberpihakan negara untuk memberdayakan produksi bangsa sendiri diperlukan guna memicu riset dan inovasi baru hingga mampu menghasilkan produk unggul. “Inovasi anak bangsa belum menjadi tuan di negerinya sendiri karena 58 persen sumber teknologi Indonesia dari luar negeri,” kata Dimyati. Bambang mengingatkan, yang di takuti negara lain dari Indonesia bukanlah jumlah publikasi atau doktor. “Mereka takut jika Indonesia berkomitmen menggunakan hasil risetnya,” katanya. Anggaran riset kecil tecermin dari keterbatasan sarana dan prasarana riset di sejumlah lembaga. Keterbatasan itu bukan hanya pada peralatan penelitian yang mahal dan berteknologi tinggi, melainkan juga pada infrastruktur dasar seperti listrik.

Di Pusat Penelitian (Puslit) Biomaterial LIPI, daya listrik yang terpasang hanya 144 kilowatt (kw). Jika ada peneliti yang mengoperasikan alat hot press yang butuh data 30-40 Kw,peralatan riset lain distop operasi. Jika daya listrik dinaikkan, Puslit Biomaterial LIPI tidak akan sanggup membayar tagihan listrik yang saat ini berkisar Rp 25 juta hingga Rp 30 juta perbulan. Padahal, 80 persen proses riset di sana sangat bergantung pada pasokan listrik. “Untuk memberi hasil riset maksimal, pemerintah selayaknya mengupayakan dulu penyempurnaan fasilitas riset, bukan menuntut hasil,” kata peneliti biokomposit Puslit Biomaterial LIPI, Ismadi.

Pemotongan

            Meski anggaran riset sekarang kecil, pemerintah masih memangkas demi keseimbangan anggaran negara. Selama 2016, pemerintah sudah dua kali memotong anggaran lembaga negara, yaitu sebelum APBN Perubahan 2016 ditetapkan dan akhir Agustus. Kini, muncul wacana pemotongan ketiga. Pemotongan membuat lembaga riset memangkas dna riset karena tak mungkin mengurangi anggaran gaji pegawai dan operasional lembaga. Akibatnya, lembaga riset mengubah rencana dan menjadwal ulang agenda riset. Menurut Thomas, anggaran Lapan 2016 setelah dua kali dipangkas susut 15 persen dari Rp 777,5 miliar menjadi Rp 664 miliar. Itu membuat Lapan menunda pembelian citra satelit resolusi tinggi untuk pemetaan kawasan dan perencanaan tata ruang wilayah. Pengembangan roket sonda untuk penelitian juga dihentikan sementara. Sementara anggaran Batan terpangkas 8 persen dari Rp 814,9 miliar jadi Rp 748,7 miliar. “Meski kecil, dampaknya tetap signifikan karena dana riset murni Batan hanya 11 persen dari total anggaran Batan,” ujar Djarot.

Pemotongan dana riset di tengah tahun anggaran, kata Unggul, memperumit pertanggungjawaban anggaran riset. Proyek riset yang sudah dalam tahap belanja bahan dan tak bisa dilanjutkan karena kekurangan dana justru bisa dianggap sebagai pemborosan. “Itu bisa jadi temuan kasus korupsi oleh Badan Pemeriksa Keuangan,” katanya. Pemangkasan anggaran lembaga riset itu menunjukkan kebijakan anggaran riset disamakan dengan anggaran lembaga atau kementerian lain. Itu menunjukkan pemerintah kurang peduli pada riset. Tertundanya sejumlah rencana riset membuat Idonesia masih akan lebih lama mencapai kemandirian teknologi. Tanpa riset, tidak akan ada inovasi dan tanpa inovasi, tidak mungkin daya saing bangsa terbangun. “Padahal peningkatan daya saing dan produktivitas sumber daya manusia merupakan salah satu program Nawacita Presiden Joko Widodo,” ujar Bambang.

Tak terkoordinasi

Selain terkendala anggaran, koordinasi antarlembaga riset di Indonesia hingga kini masih jadi persoalan yang sulit dipecahkan. Egosektoral masih menjadi kendala yang membuat banyak hasil penelitian tidak tersosialisasikan dan termanfaatkan baik. Sebagai contoh, Batan memiliki penelitian binih padi varietas unggul, tetapi tak termanfaatkan karena Kementan lebih memprioritaskan varietas padi unggul hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementan. Karena itu, Iskandar mengusulkan agar balitbang di kementerian teknis dilebur dengan lembaga riset pemerintah. Selain mengurangi egosektoral dan meningkatkan kemanfaatan hasil riset, upaya itu akan membuat pemanfaatan dana riset yang kecil lebih fokus dan efisien sesuai agenda nasional.

Sejumlah persoalan yang mengimpit dunia riset Indonesia itu diakui Dimyati. Namun, pemerintah sudah berusaha membuat sejumlah kebijakan baru untuk memperbaiki iklim riset, seperti pertanggungjawaban anggaran riset yang didanai Kemenristek dan Dikti tak lagi berbasis kegiatan, tetapi hasil atau keluaran mulai tahun 2017. Meski demikian pemerintah belum optimal sehingga suasana riset Indonesia masih terlihat suram dibandingan dengan negara lain. Persoalan riset Indonesia tidak bisa diselesaikan hanya oleh Kemristek dan Dikti karena masalah yang membelit tersebar lintasan kementerian dan lembaga. Saat ini, komunitas riset Indonesia berharap ada visi kuat dan kepemimpinan nyata dari Presiden Joko Widodo untuk pengembangan riset dan inovasi di Indonesia. Hanya dengan keberpiahakan semacam itu, Indonesia bisa meningkatkan daya saingnya dan sejajar dengan bangsa maju.

 

Sumber: Kompas. 19 September 2016

Visi Pembanguan Perbaikan Sistem Riset Mendesak

Perbaikan Sistem Riset Mendesak. Kompas.21 September 2016.Hal.1,15

Jakarta, Kompas – Tidak ada bangsa maju dan berdaya saing tanpa didukung riset dan inovasi. Hanya dengan riset dan inovasi terarah, pembangunan ekonomi Indonesia berkelanjutan dan bernilai tinggi. Untuk itu, perbaikan dan penataan sistem riset beserta sistem pendukungnya mendesak dilakukan. Pengembangan riset melibatkan banyak lembaga, investasi besar, berdimensi jangka panjang, dan butuh kepastian agar berkesinambungan riset dan teknologi guna mendorong inovasi harus menjadi visi setiap pemimpin Indonesia. Pentingnya keberpihakan Presiden terhadap pengembangan riset dan teknologi itu diungkapkan semua komunitas riset yang hadir dalam diskusi “Masa Kini dan Masa Depan Riset dan Teknologi Indonesia” yang diselenggarakan Kompas di Jakarta, Selasa (6/9) dan Rabu (14/9).

“Butuh saling kepercayaan untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berpengaruh signifikan dalam pembangunan dan itu butuh keputusan politik Presiden yang berpihak pada riset,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammadi Dimyati. Secara terpisah, profesor riset bidang kebijakan iptek di Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Erman Aminullah, Selasa (20/9), mengatakan, pengalaman pada era BJ Habibie menunjukkan, visi jelas dan keberpihakan pemerintah mendorong pengarusutamaan iptek dalam pembangunan. Saat itu sejumlah infrastruktur pendukung riset dibangun. Banyak siswa dan peneliti disekolahkan ke luar negeri dengan harapan saat selesai mampu.

Perbaikan Sistem Riset Mendesak

Mengembangkan riset Indonesia. Anggaran riset pun memadai. Meski demikian, Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain mengingatkan, mengembangkan iptek tak bisa lagi bertumpu pada figur tertentu karena tak akan berkelanjutan. Sistem yang mendukung iptek harus dibangun. “Pemahaman pentingya iptek harus dimiliki semua lembaga, termasuk DPR dan Kementerian Keuangan, yang turut menentukan anggaran riset,” katanya. Selain itu, penataan lembaga riset yang tersebar di lembaga riset, kementerian, dan perguruan tinggi harus dilakukan. Penataan memutus ego sektoral, tumpang tindih materi dan optimalisasi anggaran yang kecil.

Untuk menjaga agar riset dan pengembangan teknologi Indonesia terarah dan berdaya ungkit maksimal, pemerintah menyusun Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2015-2045. Peta jalan itu diharap diacu semua lembaga terkait riset. Konsistensi pelaksanaan peta jalan riset itu akan menjadi tantangan. “Agar berkelanjutan, RIRN diharapkan bisa segera ditetapkan dengan peraturan presiden,” kata Dimyati.

Butuh terobosan

Pemerintah sudah berupaya memperbaiki iklim riset, mulai dari mendorong peningkatan anggaran, memperkuat lembaga, mengadvokasi sejumlah kebijakan terkait riset di pemerintah dan DPR, hingga meniru pola negara maju untuk pengembangan iptek. Namun, itu belum optimal. “Ada keterbatasan pemerintah sehingga peningkatan pengembangan riset dan inovasi belum signifikan. Harus ada terobosan,” kata Erman. Beberapa upaya juga tidak berkelanjutan, seperti program ABG (academic, busuness, goverment) untuk mendorong keterlibatan industri dalam riset dan hilirisasi hasil riset. Konsep ABG di Jepang menjadikan Jepang sebagai kekuatan otomotif dunia, di Indonesia, intensitas penerapan program itu tidak stabil. Ketidakonsistenan penerapan program pengembangan iptek juga terlihat dari terbatasanya pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan peralatan dan fasilitas riset. Padahal untuk meriset dan menghasilkan inovasi butuh pembaruan terus-menurus. Banyak peralatan dan fasilitas yang dibangun di era Habibie tak ada revitalisasi. Selain itu, banyak fasilitas yang dibangun belum dimanfaatkan optimal lembaga lain, termasuk perguruan tinggi.

Dengan anggaran dan sumber daya manusia riset yanag terbatas, prioritas riset yang ditetapkan pemerintah harus dijalankan konsisten. Dengan kekayaan hayati melimpah di darat dan laut, ketersediaan peneliti dalam jumlah dan kualitas memadai, maka riset bidang keanekaragaman hayati, baik untuk program ketahanan pangan maupun energi harus, menjadi prioritas. “Namun, pengembangannya harus tetap dalam konteks ABG sehingga antara industri dengan lembaga riset dan perguruan tinggi saling membutuhkan serta menguntungkan,” kata Erman.

 

Sumber: Kompas. 21 September 2016

Sell on May and Go Away

Sell om May and Go Away. Jawa Pos.26 April 2016.Hal.1,11

Oleh ELLEN MAY

 

MENJELANG pertengahan tahun, investor saham akan mulai waspada dengan fenomena ini. Konon, pada Mei biasanya pasar saham cenderung melemah. Benarkah demikian?

Istilah sell on May and go away lahir dari pasar saham negara Barat, terutama di Amerika Serikat (AS). Secara statistic memang terbukti. Apakah hal tersebut juga terjadi di Indonesia?

Sell on May and go away menggambarkan strategi investor yang menjual kepemilikan sahamnya pada Mei dan menginvestasikannya ke instrumen investasi lain.

 

Upaya Investor Minimalkan Risiko

Lalu, kembali ke pasar ekuitas sekitar November. Sebab, secara historis di pasar saham negara Barat seperti di AS, biasanya periode Mei-Oktober nilai investasi mudah menguap.

Kebalikan dari sell on May, Oktober sering disebut dengan indikator Halloween, merupakan sinyal bahwa pasar saham cenderung menguat.

Sell on May dan indikator Halloween tidak bisa dijadikan patokan. Namun, bisa menjadi sinyal bagi kita akan adanya reversal (pembalikan arah) di pasar.

Berdasar penelitian statistic terhadap Dow Jones dan S&P di AS disebutkan, seorang investor akan mendapatkan tingkat imbal hasil yang jauh lebih baik jika berinvestasi pada saham selama enam bulan terbaik saham (dari November hingga April) dan mengalihkan ke obligasi selama enam bulan terburuk saham (dari Mei hingga Oktober).

Sebagai contoh, berdasar hasil penelitian, jika Anda menginvestasikan uang USD 10.000 pada 1950 hingga 2007, dengan strategi di atas, uang Anda akan berkembang menjadi USD 578.413 (naik 5.684 persen). Namun, jika melakukan sebaliknya, dana tersebut akan tersisa USD 341 (turun 96,5 persen).

Jadi, strategi sell on May and go away bukanlah menjual saham pada Mei dan masuk pada bulan-bulan selanjutnya. Namun, merupakan strategi investasi untuk menempatkan dana secara bergantian pada saham dan obligasi.

Di negara Barat seperti AS dan Eropa, liburan musim panas merupakan bagian dari budaya. Momen tepat untuk menikmati hasil kerja atau hasil investasi pada periode setahun sebelumnya. Mereka bisa bepergian ke negara lain, bahkan sampai ke beberapa negara.

Dalam rangka menikmati dan fokus pada liburan itu, para investor tidak ingin terganggu dengan berita perkembangan pasar yang bisa mempengaruhi portofolionya. Maka, salah satu cara terbaik adalah keluar dari pasar saham terlebih dahulu, baik mengambil dana secara tunai maupun mengalihkan seluruh atau sebagiannya ke instrument yang lebih stabil seperti obligasi negara. Investor di Amerika cenderung keluar dari pasar saham saat liburan dan memilih investasi yang lebih rendah risiko.

Terlepas dari riset dan statistik tren pasar modal, diluar teori strategi investasi, bisa jadi munculnya istilah sell on May and go away merupakan upaya investor untuk meminimalkan risiko. Yakni, mengamankan portofolionya karena menjelang musim liburan panas yang  biasanya terjadi akhir Mei sampai Juni, Juli, dan Agustus.

Bagaimana dengan di Indonesia? Masyarakat kita juga mengenal liburan sekolah pada periode setelah Mei. Maka, bagi yang berencana liburan dan menikmati hasil investasinya, sell on May and go away bisa menjadi pilihan.

Namun, yang lebih penting lagi adalah butuh dana untuk memasuki musim tahun pelajaran baru di sekolah di berbagai level, mulai taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi. Maka, kalau merujuk kepada alasan itu, ya boleh saja investor melakukan aksi jual pada periode akhir April sampai Mei. Dengan catatan, kita sudah berada dalam posisi untung alias cuan. Hehehe…

Anggap saja itu sebagai bagian dari manajemen risiko sekaligus untuk kemudian menata ulang portofolio investasi di pasar saham. Apalagi, pada periode April dan Mei kita sudah bisa menilai kinerja masing-masing emiten dan sektor bisnis yang ada di bursa saham Indonesia.

Rata-rata pada Mei itu emiten sudah melaporkan secara penuh kinerja pada kuartal pertama. Dari situ kita bisa menilai, apakah investasi kita di saham tersebut sudah tepat atau belum. Atau jangan-jangan ada saham emiten lain yang ternyata lebih kinclong dan potensial untuk kita miliki.

Di Indonesia, sebenarnya, secara statistik pasar saham Indonesia yang tercermin  dalam kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) pada Mei tidak konsisten, malah lebih banyak return positifnya.

Data Bursa Efek Indonesia (BEI) memperlihatkan secara rata-rata sejak 1984 sampai 2012 kinerja IHSG saat Mei naik 2,44 persen. Pada 1988 sampai 2012 juga naik 2,84 persen dan pada 1989 sampai 2012 naik 2,32 persen.

Di bulan Mei 2015 IHSG naik 2,55 persen dan investor asing mencatatkan penjualan bersih Rp 3,460 triliun. Pada Mei 2014 IHSG juga naik 1,11 persen dan investor asing melakukan pembelian bersih Rp 8,089 triliun.

Investor asing memang dominan melakukan aksi jual, tetapi IHSG mampu menguat. Bisa diartikan bahwa investor local yang merupakan masyarakat Indonesia tidak terlalu meyakini fenomena sell on May and go away itu.

Beberapa kali memang strategi switching pada April dan Oktober tersebut menunjukkan hasil yang bagus. Apa yang akan terjadi saat Mei tahun ini? Mari kita lihat saja apa yang akan terjadi. Tahun lalu pasar saham mulai terperosok tepat pada 1 Juni 2014, dekat dengan Mei.

Meski hal menarik yang saya temui itu tidak bisa dijadikan patokan utama, secara historis terbukti bahwa Mei sampai September merupakan musim kemarau di bursa saham. Investor perlu mewaspadai, terutama saham-saham berkapitalisasi besar yang biasanya cenderung melemah. Mei juga bulan saat fund manager (pengelola asset) sedang melakukan rebalancing portofolio.

Tahun 2016 ini saya melihat beberapa saham yang sudah berada di puncak siklus enam bulanan adalah saham dari sektor perbankan. Itu perlu diwaspadai karena risiko dari NPL yang cukup tinggi dan turunnya margin (NIM) lantaran turunnya tingkat suku bunga.

Namun, jangan khawatir. Selain sektor perbankan, masih ada sektor lain yang menurut saya bisa berkembang, yaitu sektor property yang diuntungkan dari turunnya suku bunga.

Menjelang Mei ini, waspadai IHSG secara teknikal yang sudah berada dekat resistance kuatnya di angka 5.000, ada potensi penguatan terhalang di area itu.(*)

 

Pendiri Ellen May Institute, www.ellen-may.com