Refleksi Program Deradikalisasi

REFLEKSI PROGRAM DERADIKALISASI

Oleh Dete Aliah

MENURUT catatan terbaru Direktorat Jendral Pemasyarakat, sejak bom Bali 2002 hingga hari ini, ada sekitar 1.300 orang yang terlibat perkara hukum terorisme. Dari jumlah itu, sekitar 900 orang telah bebas, sedikitnya 300 masih menjalani hukuman penjara, dan 100 orang masih menjalani sidang di pengadilan.

Angka-angka itu akan bertambah karena polisi masih menangkapi mereka yang terlibat terorisme. Gerakan ini juga mengalami perubahan sejak tertangkapnya Dian Yulia Novi, perempuan yang dideteksi polisi hendak mengebom Istana Presiden, pada Maret lalu. Kemunculan Dian menunjukkan perempuan dan remaja berperan dalam terorisme.

Ironisnya, sejak bom Hotel Ritz-Carlton pada 2009 hingga bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur, bulan lalu, hampir semua kekejian tersebut melibatkan mantan narapidana terorisme. Yang lebih mengejutkan, teror-teror itu direncanakan oleh mereka yang didakwa melakukan terorisme.

Wajar jika kita bertanya: apa yang salah dengan program deradikalisasi -yang digadang-gadang sebagai terapi ampuh untuk para bekas narapidana terorisme ini?

Secara sederhana, deradikalisasi adlah proses yang dilakukan negara ataupin masyarakat sipil untuk melepaskan seseorang dari pemikiran dan perilaku kekerasan. Definisi ini masih mengundang banyak pertanyaan. Apakah radikal itu sama dengan perilaku kekerasan? Mungkinkah kita mengubah pemikiran seseorang? Jika mungkin, mengubah pemikiran seseorang? Jika mungkin, apakah alat ukurnya? Atau kita cukup puas dengan hanya mengukur dari perubahan perilaku?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang diberi mandat oleh pemerintah untuk menangani program deradikalisasi ini, telah melakukan berbagai pendekatan. BNPT mengundang para ustad, ulama bahkan mantan pendiri Jamaah Islamiyah Mesir untuk berduel ideologi dengan para pelaku tindak pidana terorisme ini. Para narapidana terorisme ataupun mereka yang telah keluar dari penjara diberi pelatihan usaha, bahkan bantuan permodalan.

BNPT tak sendirian dalam melakukan upaya ini. Tidak sedikit masyrakat sipil ikut andil melakukan program deradikalisasi dengan pola pendekatan yang berbeda. Lalu apa yang kurang? Kenapa teror kekerasan masih menghantui negeri ini, bahkan melibatkan para pelaku yang mendapat program “deradikalisasi” sebelumnya?

Memahami point of departure atau titik berangkat seseorang terlibat dalam gerakan kekerasan adalah hal penting dalam program deradikalisasi. Titik ini bisa juga diartikan sebagai “motif awal” yang sangat menentukan bagaimana, mengapa, dan apa yang menjadi pendorong seseorang memilih jalan kekerasan.

Berdasarkan wawancara saya dengan para pelaku kekerasan, point of departure pelaku terorisme berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini muncul karena dipengaruhi latar belakang keluarga, pendidikan, kondisi ekonomi, pengetahuan agam, lingkungan, dan gender. Karena itu, pendekatan deradikalisasi yang efektif tidak bisa dengan menyamaratakan perlakuan terhadap mereka. Misalnya, pendekatan kepada pelaku yang digerakkan oleh nasib umat Islam yang tertindas di Palestina, Irak, Afganistan, dan Moro tidak bisa disamakan dengan pelaku teror yang didorong karena ingin mengubah republik ini menjadi sistem khilafah atau negara Islam. Demikian juga para pelaku kekerasan yang digerakkan dendam kepada aparat di wilayah konflik, seperti Poso dan Ambon tidak sama motifnya dengan pendukung kelompok Negara Islam irak dan Suriah (ISIS) yang hari ini bermunculan karena pengaruh media sosial.

Jadi mendapatkan gambaran yang utuh terhadap point of departure para pelaku teror sangat menentukan langkah atau intervensi apa yang sesungguhnya tepat untuk menderadikalisasi mereka. Lalu kapan dan bagaimana proses deradikalisasi yang efektif?

Setiap pelaku kekerasan ekstrem memiliki pengalaman unik, yang menjadi titik balik perubahan pemahaman dan perubahan jalan hidupnya. Titik balik ini sesuatu yang berjalan alami, yang muncul begitu saja setelah pelaku mengalami peristiwa atau perlakuan yang menyentuh titik kemanusiaannya.

Kepada saya, para mantan narapidana terorisme ini bercerita bahwa banyak hal kecil yang terlihat sederhana oleh orang lain tapi sesungguhnya memiliki makna besar bagi mereka. Hal-hal kecil yang praktis tapi mengena dan berbekas di hati mereka sedikit-banyak bis mengubah cara pandang pelaku terhadap sesuatu yang selama ini mereka anggap thogut, salah, ataupun kafir. Salah satunya adalah pendekatan yang memanusiakan mereka selama penangkapan, penahanan, dan setelah keluar dari penjara.

Misalnya pada saat penangkapan. Nasir Abbas, instruktur pelatihan para kombatan perang Afganistan, Moro dan Poso, mengalami titik balik” saat ia menyaksikan salah seorang polisi yang menangkapnya melakukan salat tepat waktu. Keinginannya untuk mati syahid di tangan polisi yang dibencinya pada saat penangkapan tergoyahkan saat melihat polisi lain berpuasa sunnah Senin-Kamis. Pandangannya terhadap polisi sebagai aparat thogut luluh-lantak dan tergantikan oleh pemahaman baru yang kemudian mengubah jalan hidup dan pandangannya tentang jihad dan thogut.

Pelakuan Kepala Lembangan Permasyarakatan Porong, Jawa Timur, dan para opsirnya terhadap narapidana teroris secara manusiawi membuat para narapidana teroris di sana mengalami titik balik. Pendekatan sebagai teman dan permintaan pendapat kepada mereka untuk keputusan-keputusan penting membuat para narapidana teroris merasa dimanusiakan dan dianggap sebagai mitra, bukan sebagai tahanan. Pendekatan inilah yang mempengaruhi Umar Patek, tokoh penting di balik bom Bali 2002, mengibarkan bendera Merah Putih atas keinginannya sendiri pada hari Kebangkitan Nasional dan menyatakan dirinya menjadi bagian dari Negara Kesatuan RI.

Ali Fauzi, adik kandung Ali Gufron dan Amrozi, pelaku bom Bali 2002, mengaku bahwa titik balik yang membuat dia meninggalkan jalan kekerasan ekstrem adalah saat ini bebas dari penjara dan bertemu dengan para korban bom. Pertemuan inilah yang membuat hatinya terusik. Ia bahkan sempat menangis dan meminta maaf kepada para korban. Sejak saat itu, ia mengubah pandangannya dengan tidak ingin lagi menempuh jalan kekerasan.

Tidak kalah pentingnya adalah peran keluarga. Hubungan dan kasih sayang keluarga narapidana teroris bisa meruntuhkan keinginan kuat para pelaku kekerasan ini untuk kembali ke jalan yang lama.

Contoh “keberhasilan” deradikalisasi beberapa mantan narapidana terorisme tidak lantas membuat kita bisa mengklaim program deradikalisasi telah sukses. Bukankah “dalamnya hati seseorang tidak bisa diukur”?

Setia pelaku kekerasan ekstrem memiliki pengalaman unik, yang menjadi titik balik perubahan pemahaman dan perubahan jalan hidupnya. Titik balik ini sesuatu yang berjalan alami, yang muncul begitu saja setelah pelaku mengalami peristiwa atau perlakuan yang menyentuh titik kemanusiaannya.

Karena itu, BNPT ataupun organisasi masyarakat sipil yang menjalankan berbagai program deradikalisasi ini harus melakukan refleksi Apakah selama ini program tersebut sudah mencapai tujuan untuk mengubah piliran dan tindakan para narapidana terorisme itu (deradikalisasi)? Atap hanya melepaskan mereka dari kekerasan ekstrem (disenguge) dan sama sekali belum bisa menyentuh apalagi mengubah pemikiran mereka?

Sejauh ini, program deradikalisasi masih terkesan sebagai program disengagement, yaitu hanya memisahkan mereka dari tindakan kekerasan ekstrem, tapi belum mengubah pemahaman dan pemikiran radikal mereka. Karena itu, wajar bila kita bertanya: apakah program deradikalisasi selama ini sudah efektif?.

 

*) MANAGING DIRECTOR

YAYASAN PRASASTI PERDAMAIAN

 

Sumber : Tempo, 2 Juli 2017 | Hal 44

Khazar

TIGA agama, sebuah polemik tentang iman, sebuah bangsa yang hilang. Barangkali itu ikhtisar kasar riwayat bangsa Khazar: kaum setengah nomad yang hidup di Rusia Selatan dan kemudian membangun sebuah imperium, Khazaria, yang terbentang luas-tapi kemudian kalah, musnah, tak berjejak, bahkan bahasanya tak berbekas lagi.

Yang tersisa hanya data tercerai-berai yang mungkin bukan data, dongeng yang tersembunyi dalam dongeng-yang dihimpun, atau digubah, Milorad Pavk dalam Hazarski recnik, sebuah novel Serbia berbentuk “kamus” yang terjemahan Inggrisnya, Dictionary of the Khazars, terbit pada 1988. Dalam “novel-leksikon dengan 100.000 kata” ini sejarah dan fiksi pada akhirnya satu narasi yang tak penting, ya, tak penting-kecuali sebagai pesona.

Pesona itu kadang-kadang takjub, kadang-kadang geli, kadang kadang ngeri-mirip dalam novel realisme magis Seratus Tahun Kesendirian Gabriel Garcia Marquez-dan acap merupakan kesan-kesan yang tak bersambung. Tentang kaum pemburu mimpi, tentang Putri Ateh yang sebelum tidur pelupuk matanya dicat dengan huruf aneh oleh pelayan buta (dan siapa yang membacanya akan mati), tentang tahun yang diciptakan Dewa Garam, tentang seseorang yang “menulis di dalam sangkarnya dengan menggunakan gigi untuk mengerat huruf ke cangkang kepiting…”.

Dimulai dengan sebuah mimpi. Pada suatu hari, raja orang Khazardisebut “khagan”-bermimpi: seorang malaikat memberi tahunya bahwa Tuhan senang kepada niat sang raja, tapi tak senang kepada apa yang dilakukannya. Sang Khagan pun mengundang seorang filosof Yunani, seorang padri Kristen, dan seorang theolog Islam. la ingin tahu sistem kehidupan yang mana yang paling masuk akal.

Tak puas dengan jawaban ketiga orang pandai itu, ia pun mengundang seorang rabi Yahudi. “Semula aku tak hendak bertanya kepada orang Yahudi yang mana pun,” katanya, “karena aku sadar akan keadaan mereka yang rudin dan pandangan mereka yangsempit….”

Tapi ternyata rabi itu yangberhasil. Sebagaimana terdapat dalam Kitab al-Khazari yang di tahun 1140 ditulis dalam bahasa Arab oleh penyair Yahudi Judah ha Levi-yang jadi salah satu sumber novel Milorad Pavk-disebutkan bahwa ternyata argumen rabi itulah yang paling meyakinkan sang Khagan. Maka raja dan rakyatnya pun meninggalkan agama tradisional mereka dan memeluk Yudaisme.

Kelak kemudian hari, dengan pilihan ini, mereka menemukan nasib terakhir.

Pada suatu hari, pasukan Rusia datang membinasakan mereka. Seorang komandan militer abad ke-10 “menelan Imperium Khazar seperti menelan sebutir apel, tanpa turun dari kudanya”. Rumah dan bangunan dihabisi, ibu kota dibumihanguskan. Bayangannya, tulis Pavk, “bertahan di latar langit bertahun-tahun, meskipun gedung-gedung itu sendiri sudah hancur”.

Tak ada yang tersisa-atau ada: tiga buku yang disusun setelah mimpi sang Khagan, berupa polemik ketiga agama yang berebut pengaruh di depan Raja Khazar. Tiga buku: tiga ensiklopedia mini yang masing-masing memaparkan isi secara sepihak tentangsatu kejadian, satu perkara, satu tokoh. Tiga jilid: Merah, Kristen; Kuning, Yahudi; Hijau, Islam. Masing-masing disusun secara abjad. Di antara ketiga ensiklopedia itu, tak satu pun entri punya ketera nga n yang cocok.

Edisi asli buku itu hilang. Kamus yang disusun Pavkdinyatakan sebagai rekonst ruksi sebuah kitab yangdikatakan pernah terbit di tahun1691-yangjuga merupakan versi baru dari versi yang hilang delapan abad sebelumnya.

Konon ensiklopedia purba inl sebuah koleksi hasil pengamatan tentang mimpi-“bersama biografi para pemburu yang paling terkemuka dan tangkapannya”. la disusun Putri Ateh dan kekasihnya, Mokaddasa al-Safer, seorang pemburu mimpi yang legendaris….

Apa sebenarnya yang kita dapat dari kamus/kisah/fantasi/mimpi/deretan informasi yang terkadang tak berhubungan itu banyak, atau nihil. Novel Pavić menyerahkan kepada kita bagaimana cara membacanya, apa makna yang kita dapat dari dalamnya, dan mana yang kita pilih untuk kita ketahui atau tak kita ketahui.

Ya, memang begitu adat kamus, apalagi Dictionary of the Khazars: informasi tanpa fokus, novel tanpa alur, sejarah tanpa kronologi. Tiap-tiap pembaca, kata Pavic, akan menyusun sendiri bukunya, “Seperti dalam permainan domino atau kartu, dan, seperti halnya dari cermin, ia akan mendapatkan dari kamus ini sebanyak yang ia masukkan kedalamnya.”

Sama halnya dengan penganut ketiga agama ketika mereka berpolemik di Khazar-ataudi mana saja. Sebab dalam diri mereka, dalam diri kita, selalu ada paradoks pohon-pohon:

             “…lebih tinggi kita tumbuh ke langit, melalui angin dan hujan menuju Tuhan, lebih dalam kita harus terperosok bersama akar kita ke dalam lumpur dan air tanah menuju Neraka.” Goenawan Mohamad

 

Sumber: Tempo. 16 Juli 2017. Hal. 106

MUI : Bubarkan Ormas Anti-Pancasila

JAKARTA, KOMPAS — Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin menyarankan agar umat yang keberatan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak berunjuk rasa. Ma’ruf menilai, ormas anti-Pancasila memang harus dibubarkan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyerahkan mekanisme terbaik pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) kepada pemerintah. Jika pemerintah masih kesulitan menertibkan orm. radikal dengan landasan huktun sebelumnya, itu bisa dilakukan melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

“Ormas anti-Pancasila memang harus dibubarkan, tetapi mekanisme pembubarannya kita seraW(an kepada pemerintah. Jika tidak cukup dengan undang-undang sehingga mengalami kesulitan, kita percayakan pemerintah mencari jalan terbaik,” kata Ma’ruf yang juga Rais Aam Syurtah Pengurus Besar Nandlatul Ulama seusai diskusi terbatas yang diadakan Kantor Staf Presiden di Jakarta, Kamis (27/7). Diskusi juga dihadiri Ke tua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dan Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani.

Menurut Ma’ruf, sejauh ini masih ada kelompok masyarakat yang belum memiliki visi kebangsaan. Dalam perspektif Islam yang diyakininya, Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah kesepakatan.

Berkait rencana aksi menolak Perppu No 2/2017 pada Jumat ini, Ma’ruf meminta massa tidak terprovokasi. “MUI menganggap tidak perlu ada demonstrasi. Serahkan saja pada proses hukum,” katanya.

Jaleswari mengatakan, m.ukan Ma’ruf dan Haedar kontekstual dengan persoalan yang dihadapi negara saat ini. Masukan ini akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.

Sementara itu, pada Kamis sore, Presiden Jokowi didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno bertemu 22 ulama dari Kalimantan Barat yang dipimpin Ketua MUI Kalb. Basri H. Pertemuan dimulai pukul 16.30 dan berakhir selepas shalat Maghrib. Dalam kesempatan itu, para ulama menyampaikan perihal pentingnya sinergi antara ulama dan pemerintah untuk membangun bangsa dan negara

“Inilah sesungguhnya yang kami harapkan, sinergi antara ulama dan umara (pemimpin pemerintah). Karena kalau mau berhasil membangun negara, perlu kerja sama umara dengan ulama,” ujar Basri.

 

Kepentingan bersama

Para ulama dapat memberikan dukungan serta kritik yang membangun. Sementara pemerintah memperhatikan kepentingan bersama ulama dan umat. Seusai pertemuan, Basri kembali menegaskan, pada intinya para ulama menyampaikan keinginan agar selalu ada sinergi antara ulama dan pemerintah. Keduanya harus bahu-membahu dan saling mendukung demi terciptanya negara bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera.

Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Kalbar Hildi Hamid menambahkan, Presiden Jokowi menjelaskan berbagai kebijakan pemerintah. Menurut Hildi, Presiden Jokowi juga menyinggung Perppu No 2/2017. Para ulama memahami bahwa Perppu Orm. berlaku untuk umum, tidak ditujukan kepada satu golongan tertentu. (NTA/NDY)

 

Sumber:  Kompas. 28 Juli 2017. Hal.2

Mantapkan Nilai Pancasila

Yudi Latif : Aspek Pendidikan Sangat Penting

Jakarta, Kompas – Kurangnya pemahaman terhadap nilai – nilai Pancasila disertai menurunnya ketahanan ideologi masih menjadi masalah bangsa saat ini. Untuk itu, upaya memantapkan nilai-nilai Pancasila harus dilakukan semua pihak dan masuk ke sendi-sendi kehidupan, termasuk pendidikan.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memantapkan nilai-nilai Pancasila harus dilakukan semua pihak dan masuk ke sendi – sendi kehidupan, termasuk pendidikan.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memantapkan Pancasila, menurut anggota Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Yudi Latif, adalah silang budaya di antara satuan pendidikan dan peserta didik yang berbeda latar belakang.

Yudi Latif mengatakan hal itu dalam orasi ilmiahnya di kegiatan kuliah inagurasi yang bertema “Pancasila: Antara Identitas dan Realitas” yang diselenggarakan AIPI di Universitas Pancasila, Jakarta, Senin (24/7). Dalam kesempatan itu, AIPI mengukuhkan Yudi Latif sebagai anggota Komisi Kebudayaan.

Ini masalahnya, sebagian masyarakat masih takut kalau nilai-nilai Pancasila melebihi nilai agama. Padahal, ini ada dua hal yang tidak bisa dibuat perbandingan karena itu semuanya sibuk masing – masing sehingga persatuan hanya gagasan,” kata Yudi Latif yang juga menjabat Kelapa Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).

Berdasarkan data Laboratium Pengukuran Ketahanan Nasional (Labkurtannas) dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), terjadi penurunan poin dalam indeks ketahanan nasional dari 2,31 pada tahun 2010 menjadi 2,06 pada tahun 2016. Indeks terseut meliputi variabel toleransi, kederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, dan persatuan bangsa.

Gambaran yang sama juga diperlihatkan oleh hasi; survei nilai – nilai kebangsaan yang dilakukan Badan Pusat Statistik. Berdasarkan survei tersevut, dari 100 orang di Indonesia terdapat 18 orang tidak tahu judul lagu kebangsaan Republik Indonesia, kemudian 24 orang dari 100 orang di Indonesia tidak hafal sila – sila Pancasila. Selain itu, terdapat 53 persen orang Indonesia tidak hafal lirik lagu kebangsaan, 42 persen orang Indonesia terbiasa menggunakan barang bajakan, dan 55 persen orang Indonesia jarang bahkan tidak pernah ikut kerja bakti di lingkungannya.

Yudi menambahkan, aktualisasi Pancasila dihadapkan dengan merebaknya isu ekslusivisme yang menjadi akar gerakan radikalisme agama. Gerakan-gerakan itu muncul sekian lama dan tumbuh dengan pemahaman yang salah terhadap ideologi bangsa.

“Ada defisit pemahaman dan defisit pemeliharaan niali-nilai Pancasila. Defisit itu menciptakan kekisruhan, kesalahapahaman, dan membuat  kelompok itu hanya melihat Indonesia dari kepentingan masing – masing,: kata Yudi orasi ilmiahnya.

Aspek Pendidikan

Menurut Yudi, untuk memantapkan nilai Pancasila, aspek pendidikan menjadi sangat penting. Selain materi ajar Pancasila yang baru, perlu ada pola pendekatan yang baru juga dengan membuat silang budaya agar peserta saling menerima perbedaan.

“Sejak dini, anak-anak harus dibiasakan dan dikenalkan dengan perbedaan. Kalau lingkungannya tertutup hanya bergaul dengan agama yang sama, etnis yang sama, biasanya itu jadi bekal menolak perbedaan dan potensi radikal,” kata Yudi.

Menurut Yudi, peserta didik harus diberikan kesempatan untuk bisa mengembangkan pergaulan yang lebih terbuka. Pembelajaran Pancasila harus bisa mempertemukan peserta didik dengan berbagai keberagaman.

Ha senada juga disampaikan Rektor Universitas Pancasila Wahono Sumaryono. Menuru dia, nilai – nilai Pancasila tidak hanya menjadi mata kuliah dasar umum di kampus – kampus sehingga kerap dipandang sebelah mata, baik oleh peserta didik maupun pendidik.

“Pola penyebaran dan sosilisasi nilai – nilai Pancasila harus melalui seni, budaya, dan kegiatan lainnya sehingga benar – benar tertanam,” kata Sumaryono.

Dalam kesempatan itu, Unibersitas Pancasila melakukan penandatangan kesepakatan dengan Universitas Swiss German dan Universitas Darma Persada tentang Program Penelitan Strategis Nasional Stranas). Program tersebut berhubungan dengan isu strategis yang meliputi integrasi nasional dan harmoni sosial, infrastruktur, transportasi, teknolgi pertahanan, pembangunan manusia dan daya saing bangsa, serta energi baru dan terbarukan.

 

Sumber: Kompas.25-Juli-2017.Hal-12