Sahita Songsong Gerhana dengan Budaya Jelata

Sahita Songsong Gerhana dengan Budaya Jelata. Kompas. 5 Maret 2016. Hal 16

Kelompk teater tari Sahita memosisikan diri sebagai semacam punakawan. Mereka mengingatkan orang dengan cara menghibur. Dengan gaya kerakyatan, Sahita leluasa masuk ke pasar, kantong kesenian, sampai hotel berbintang, Sahita akan tampil si Bentara Budaya Jakarta, selasa (8/3) dalam “uran-uran Mapag Grahanam”, dendang ria songsong gerhana.

OLEH FRANS SARTONO

“ono tangis kelayung-layung Tangise wong kang wedi mati Gendongono, kuncenono Yen wis mati mongso wurungo ..”

Terjemahan bebas dari tembang jawa tersebut kira-kira seperti ini : ada tangis meratap, merintih, tangisan orang takut akan kematian. Dikafani atau disimpan serapat apa pun, kematian tetap akan datang menjemput.

Tembang itu dilantunkan Sahita dalam pentas “Srimpi Ketawang Lima Ganep”/ salah satu karya Sahita yang kerap dipentaskan sejak awal tahun 2000-an. Tembang tersebut merupakan sikap hidup mbah kawit, tokoh dalam lakon “Tuk” karya Bambang Widoyo SP (alm) dari Teater Gapit, solo, yang diangkat Sahita dalam srimpi tersebut.

Bagi mbah Kawit, hidup akan berujung pada kematian, dan oleh karena itu tidak harus diratapi. Seperti itu pula tampaknya sikap berkesenian Sahita, kelompok teater tari yang dibentuk tahun 2001 di Solo, jawa Tengah, Sahita yang artinya kebersamaan terdiri dari Wahyu Widayati (Inok), Sri Setyoasih, Atik Sulistyaning Kenconosari, dan Sri Lestari (Cempuk).

“kami numpang konsep hidup Mbah Kawit yang sederhana. Sama-sama menunggu waktu, kenapa tidak gayub rumpung. Menyanyi, menari, berbuat kebaikan. Berbagi apa yang kita punya, pikiran, tenaga, kesetiaan…” kata Wahyu Widayati.

 

“ngene wae” – Begini saja

Diranah seni pertunjukan Sahita mengambil konsep semacam punakawan, rakyat jelata yang polos, yang ikut urun rembuk dengan bahasa rakyat. “ dalam wayang sekotak itu kan ada punakawan. Sahita itu di situ, kami manusia biasa sebagai pelengkap,” ujar awak Sahita.

Sebagai orang biasa, Sahita tampil dengan segala kejelataanya. Dalam “srimpi Srimpet”, misalnya, mereka menafsir dan men-“transformasi” kan bagian keplok Alok ke dalam bentuk yang lebih Verbal. Dalam tarian srimpi pakem, bagian keplok Alok berupa perang dengan cundrik (keris kecil) atau pistol. Perang dibaqakan dengan subtil, halus. Akam tetapi, Sahita mengalihbentukan secara verbal, teatrikal. Ada raungan binatang seperti gagak, serigala, dan binatang liar lain.

Pengalihan bentuk tersebut ada alasan kontekstualnya, yaitu situasi sosial politik saat karya tersebut dipentaskan. Ada rivalitas diranah politik. “waktu itu sedang ramai dinegeri ini. Yang menjadi panutan malah banyak omong dan saling “mengigit”, ujar Sri Lestari.

Secara fisik Sahita pun mengambil posisi seperti Mbah Kawit. Di panggung mereka tampak seperti nenek-nenek. Gerak tari mereka didistorsikan mendekati gerakan perempuan usia 70-an tahun. Begitu pula dalam tata gerak.

“Dari sisi estetika jelek sekali karena memang tidak ada srimpi yang mekongkong, haha…” kata Wahyu Widayati. Mekongkong adalah posisi kaki yang terbuka lebar. Dalam estetika tari jawa, gerak atau posisi semacam itu “labu”. Tapi begitulah Sahita yang secara sadar memilih jalur kerakyatan.

Pilihan itu merupakan “warisan” dari kelompok teater yang mereka ikuti, yaitu Teater Gapit yang dibentuk Bambang Widoyo SP. Sepeninggal Bambang pada tahun 1997. Sahita seperti “kehilangan” panggung yang selama ini sudah sangat dekat dengan kehidupan mereka.

Momentum untuk berkarya datang ketika pada tahun 2001 di Solo digelar pasamuan dalam forum tersebut dengan karya “srimpi Srimpet” pada 22 juni 2001.

Kami memanfaatkan dan memaksimalkan keminimalan kami menyanyi, menari. Biasanya Cuma sedikit – sedikit. Itu yang kami kumpulkan dan jadi kelebihan kami, haha…,” kata Wahyu Widayati.

Mereka sebenarnya mempunyai basis tari yang kuat. Kecuali Sri Lestari, awak Sahita lainnya adalah lulusan Jurusan Tari Institusi Seni Indonesia(ISI) Surakarta. Sri Setyoasih bahkan pernah menjadi penari bedaya dikeratin Surakarta. Ada kaidah tari yang masih mereka pegang, misalnya struktur garapan srimpi. Akan tetapi, ada hal-hal teknis tari yang mereka “langgar” dan mungkin tidak sesuai dengan ketentuan baku. Mereka menyebutnya sebagai gaya “ngene wae” atau begini saja-hampir setara dengan semau gue.

Penampilan Sahita dengan gaya ngene wae itu kerap mendatangkan komentar bernada protes. Ada yang menganggap mereka merusak pakem, tidak taat “konbensi” yang berlaku di ranah tari. “ tapi di satu sisi banyak penonton yang mendukung.”

Gerhana Matahari

Nyatanya Sahita bisa tampil di segala medan. Mereka tampil di pasar-pasar tradisional, kantong-kantong kesenian seperti di Bentara budaya, sampai hotel berbintang. Mereka tampil di acara makan malam, acara ulang tahun, dan acara kumpul karyawan perusahaan. Mereka bahkan menjadi pemecah tawa dibagian intermezo pentas drama tari Matah Ati di Singapura, Kuala Lumpur, Jakarta, dan solo.

Saat menerima “hujatan” itu, Sahita sempat keder dan mecari penguatan pada tokoh-tokoh kesenian. Dari seniman panggung, skenografer Rudjito atau Mbah Djito (alm), mereka mendapat “restu” . Dikatakan Mbah Djito, memang ada srimpi keraton, yaitu srimpinya kawula yang dipersembahkan kepada raja. “tapi kami bukan orang keraton. ‘itu srimpinya rakyat pada yang diatas,’” kata Sahita mengutip ucapan Mbah Djito.

Begitu juga dari musisi wayan sadra(alm), Sahita mendapat masukan tentang musik mereka yang kadang kurang taat dalam hitungan gerak. “itu sudah menjadi musikmu,” kata sadra seperti dikutip Sahita.

Dengan gaya jelatanya itu, Sahita akan tampil di Bentara Budaya Jakarta, jalan Palmerah Selatan 17, pada selasa, 8 maret 2016. Mereka akan tampil dalam perheltan “uran-uran Maoag Grahanan” yang kira-kira artinya dendang ria menyongsong gerhana matahari. Acara tersebut merupakan bagian dari cara menyambut datangnya gerhana matahari total yang juga digelar Bentara Budaya di Yogyakarta, Solo.

Sebuah respon kerakyatan dengan bahasa kesenian terhadap fenomena alam yang terjadi setiap tahun. Sahita menyambut gerhana dengan sukacita dan tari, nyanyi, canda kerakyatan. Pada gerhana matahari total1983, awak gerhana menjadi “korban” dari cara pemberian pemahaman yang keliru tentang fenomena alam tersebut. “kami tidak boleh keluar rumah. Kami bersembunyi di bawah tempat tidur.” Kata Sri Lestari.

Sahita melihat peristiwa gerhana sebagai anugerah. Masih dengan cara merakyat, mereka menggunakan tembang, tetabuhan lesung yang mengungkapkan rasa sukacita, bukan rasa takut yang pernah mereka alami di masa lalu.

Dalam kehidupan di kampung-kampung dan pedesaan dijawa, dulu gerhana disambut dengan tetabuhan lesung. Semangat optimisme dan sukacita menyongsong menyatunya Matahari, Bulan, dan Bumi dalam satu titik itu dimaknai Sahita sebagai momentum optimisme, menyongsong terang kehidupan.

Sumber : Kompas, sabtu, 5 maret 2016

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *