Sumarsih.23 Tahun Perjuangkan Keadilan.Kompas.12 Mei 2021.Hal.16

Saat bertemu dengan Maria Katarina Sumarsih (69), jejak luka batin karena kehilangan putra hsulungnya yang diterjang peluru pada peristiwa Semanggi I, 13 November 1998, seolah tak tampak. Ia tampak tegar dan kuat. Semangatnya untuk memperjuangkan keadilan juga tetap menyala.

“Kepergian Wawan telah mengubah hidup saya. Namun, kalau mengingat kembali perjuangan Wawan dan kawan-kawan, soal enam agenda reformasi, termasuk supremasi hukum, saya kembali disadarkan untuk kembali berjuang. Melawan lelah,” ujar Sumarsih. Jaldi rumahnya, Rabu (5/5/2021).

Putra sulungnya, Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, tewas karena ditembak aparat saat Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu, Wawan eduduk di Semester V Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Sepeninggal anaknya, hampir 23 tahun Sumarsih tak pernah berhenti berjuang. Dia seolah tidak pernah kehilangan api semangat meski tantangan yang dihadapi amat berliku.

Sejak tahun 2007, bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Sumarsih dan Suciwati, istri almarhum pejuang HAM Munir, menjadi inisiator aksi Kamisan di depan Istana Merdeka. Kini, aksi yang digelar setiap hari Kamis itu sudah dilakukan lebih dari 600 kali.

Sumarsih seolah menjadi simbol keberanian dan konsistensi mencari keadilan dari seorang ibu. Besarnya rasa cinta kasih kepada anaknya memberi kekuatan untuk terus melawan rasa takut, lelah, demi tegaknya keadilan. Lebih jauh, dia juga memimpikan Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis, sesuai amanat UUD 1945, yang menghargai HAM.

“Cinta kasih dalam keluarga bisa menumbuhkan semangat dan harapan. Ketika kami mengasihi Wawan, dukacita keluarga ini bisa bertransformasi pada cinta kasih kepada sesama, hingga kami bisa berjuang bersama mencari keadilan. Ini yang menyemangati kami sekeluarga,” katanya.

Isu HAM

Perjalanan Sumarsih untuk memahami isu HAM dan demokrasi juga tidak serta-merta. Meski bekerja selama 24 tahun sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Sekretariat Jenderal DPR, awalnya ia tidak segera paham soal isu itu.

Saat berjuang mencari keadilan atas kematian putranya itulah ia belajar secara otodidak soal isu HAM. Ia terlibat di berbagai advokasi HAM bersama masyarakat sipil pejuang HAM dan demokrasi. Pelan-pelan, pemahamannya akan isu hukum, HAM, dan demokrasi semakin berkembang.

Ia juga didukung oleh suaminya, Arief Priyadi, yang menjadi peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Di rak buku yang berada di ruang tamu rumahnya terlihat deretan buku bertema HAM dan demokrasi.

“Saat mendiang Wawan masih hidup, di meja makan pun dia membicarakan soal enam agenda reformasi. Dia selalu menceritakan dinamika perjuangannya bersama teman-teman aktivis mahasiswa. Karena teringat itu, saya ingin memperjuangkan terus agenda reformasi ketiga, yaitu supremasi hukum,” kata Sumarsih.

Sumarsih mengatakan, saat mengirimkan surat rutin kepada presiden pada hari Kamis, dia selalu menyampaikan bahwa penuntasan kasus penembakan mahasiswa 1998 akan menjadi barometer penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Apalagi, agenda itu juga masuk dalam janji kampanye dan program kerja Presiden Joko Widodo pada 2014 yang dikenal dengan Nawacita. Dalam Nawacita, presiden berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat untuk menghapuskan impunitas.

Perjuangan menghapuskan impunitas ini lazim dilakukan di negara-negara yang sedang mencari bentuk demokrasi mapan. Contohnya di Argentina dengan gerakan “The Mothers of The Plaza de Mayo”. Para ibu berkerumun dan berjalan memakai popok di kepala bertuliskan nama anak-anak mereka yang hilang dan diduga di bunuh rezim otoriter 1976-1983.

Setelah 29 tahun berjuang, tujuan mereka akhirnya tercapai seiring perubahan Argentina menjadi lebih demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Sejumlah perwira militer diadili dan Pemerintah Argentina membentuk komisi nasional untuk orang hilang.

“Kelak saya juga akan meninggal. Namun, saya berharap proses hukum terhadap kasus penembakan mahasiswa ini dijadikan jaminan ke depan agar kasus pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi. Agar tak ada kelompok atau orang yang kebal hukum,” kata Sumarsih.

Sumarsih mengaku mendapat banyak dukungan moril dan materiil dari masyarakat sipil pejuang HAM dan demokrasi. Mereka selalu berada di belakang Sumarsih setiap dia menemui rintangan. Mi salnya, ketika ia menggugat per nyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja di DPR yang menyebut bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat.

Bersama Ho Kim Ngo, ibu dari almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi korban Semanggi II, dia menggugat pernyataan Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di tingkat pertama, gugatannya dikabulkan. Jaksa Agung dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, di tingkat banding, gugatannya kalah. Kini, dia sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Jika mengingat pernyataan Jaksa Agung itu, hati Sumarsih masih sakit. Sebab, Kejaksaan Agung adalah aktor kunci dalam penuntasan kasus HAM berat secara hukum. Namun, pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja DPR justru bertentangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Seolah, Jaksa Agung justru berhadapan melawan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Padahal, Presiden Jokowi selalu meminta Jaksa Agung segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kesempatan, Presi den Jokowi selalu mengungkapkan komitmennya itu

“Jaksa Agung seharusnya malu melawan rakyat kecil yang sudah tua, yang rambutnya sudah putih,” watatujar Sumarsih.

Kini, Sumarsih juga kerap hadir dalam advokasi kasus pelanggaran HAM berat seperti di Talangsari, Lampung. Dia kerap diundang sebagai narasumber untuk membagi pengalamannya.

Di media sosial, Sumarsih juga termasuk sosok yang berpengaruh. Akun Twitternya, @Sumarsihll, diikuti oleh 8.502 pengikut. Ia kerap membagikan informasi, membagikan ulang, dan membalas pertanyaan seputar isu HAM. Di masa pandemi Covid-19, di mana aksi Kamisan sementara dilakukan di rumah saja, akun media sosial menjadi media efektif untuk diseminasi informasi.

Sumarsih berharap kelak masyarakat lebih paham pada isu HAM sehingga kebutuhan penghargaan atas HAM tidak lagi menjadi isu yang berjarak di tengah masyarakat. Bagaimanapun, HAM merupakan fondasi dasar negara demokratis. Sebuah cita-cita yang dulu diperjuangkan anaknya dan kini terus disuarakan Sumarsih untuk generasi mendatang.

 

Sumber: Kompas.12 Mei 2021.Hal.16

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *