Raynanda Gunawan.Digitalisasi Kegiatan Belajar dan Mengajar.Kompas.14 April 2021.Hal.16

Berawal dari proyek tugas akhir sekolah, Raynanda Gunawan (28) menciptakan aplikasi Qualitiva.id. Aplikasi ini memudahkan sekolah dalam menjalankan kegiatan belajar dan mengajar tanpa harus bertatap muka. Di masa pandemi Covid-19, aplikasi ini telah digunakan ratusan sekolah bahkan merambah hingga ke ujung timur Indonesia.

Pada tahun 2016, Raynanda yang mengambil Jurusan Sistem Informatika di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Palcomtech Palembang harus membuat tugas akhir sebagai syarat kelulusan. Dia mempunyai ide membuat sebuah aplikasi untuk memudahkan siswa dalam mengikuti ujian.

Raynanda terinspirasi dari sejumlah situs serupa yang lebih dulu ada di beberapa negara di dunia. Dengan bekal pengetahuan yang ia dapat selama berkuliah, dalam waktu sekitar tiga bulan, Raynanda mampu membuat situs tersebut dan diberi nama Adaquiz.com. “Di negara lain ada aplikasi untuk ujian daring mengapa di Indonesia tidak,” kata Raynanda yang ditemui pada Rabu (7/4/2021) di Palembang, Sumatera Selatan.

Aplikasi itu mempermudah siswa dalam menjalani ujian secara daring Tempat pertama yang ia gunakan sebagai lokasi percobaan tidak lain adalah kampusnya sendiri. Penemuannya itu ternyata bermanfaat dan dapat digunakan untuk internal kampus. Tertarik dengan penemuannya tersebut, pihak kampus meminta Raynanda untuk mengembangkan aplikasinya tersebut.

Dibantu oleh sejumlah rekannya, dosen pembimbing dan dukungan dana dari sejumlah pihak, termasuk Palcomtech, Raynanda mengembangkan aplikasi tersebut tidak hanya untuk ujian, tetapi bisa digunakan sebagai wadah pengelolaan sekolah daring. Tidak hanya terkait materi pembelajaran, di aplikasi ini juga ada fitur untuk pengelolaan sekolah secara umum dan terperinci,” ujar Raynanda.

Masukan dari berbagai pihak, termasuk pengeloa sekolah, dijadikan bahan untuk pengembangan sistem sekolah daring tersebut. Sampai akhirnya di tahun 2018, program Qualitiva.id pun rampung.

Aplikasi ini memiliki beragam fitur, seperti kelola sekolah, kelola siswa, kelola guru, kelola pengawasan, kelola kontributor, kelola kelas, kelola mata pelajaran, hingga kelola orangtua. Dengan fitur tersebut, baik pihak sekolah, guru, siswa, maupun orangtua dapat saling memantau dan melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar tanpa harus bertatap muka secara langsung. “Semua aktivitas dijalankan melalui sistem digital,” kata Raynanda.

Program ini juga dirancang untuk persiapan ujian secara daring, absensi siswa, bahkan bisa mengukur tingkat kesulitan soal dari setiap materi yang diberikan kepada siswa. “Dengan begitu, guru dapat menilai apakah materi yang diajarkan di mengerti oleh siswa atau tidak,” katanya.

Selain itu, kepala sekolah juga dapat melihat seberapa efektif kegiatan belajar-mengajar di sekolahnya. Ini tentu akan mempermudah kepala sekolah dalam mengambil kebijakan karena setiap data sudah terukur.

Di dalam aplikasi ini juga tersedia bank soal yang berisi 100.000 butir. Soal dari berbagai  mata pelajaran dan tingkatan. Soal tersebut dibuat oleh tim yang berisi para ahli di bidangnya masing-masing.

Yakin dengan temuannya ini, Raynanda sempat memperlihatkan aplikasi ini kepada masyarakat melalui sejumlah pameran teknologi. “Lucunya, ketika diperlihatkan mereka kira kami sedang berjualan laptop,” katanya.

Qualitiva.id ini juga pernah Raynanda tawarkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi agar aplikasi ini dapat digunakan untuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Namun, tawaran tersebut ditolak.

Banyak peminat

Meskipun begitu, Raynanda tidak patah arang. Dia mencoba lagi ke pangsa pasar yang lain. Incaran berikutnya adalah sekolah dasar hingga universitas. Hasilnya, banyak sekolah yang tertarik untuk menggunakannya. Sebelum pandemi, tidak banyak sekolah yang mau bermitra. “Terhitung hanya 25 sekolah yang mau menggunakan fasilitas ini,” ujarnya.

Namun, ketika pandemi Covid-19 merebak pada awal tahun 2020, kata Raynanda, jumlah sekolah yang bermitra terus bertambah bahkan kini sudah mencapai 600 sekolah dengan pengguna sekitar 160.000 individu. “Lonjakan itu mulai terjadi ketika pemerintah mulai menerapkan pembelajaran jarak jauh,” ujarnya.

Bahkan, mitranya kini tidak hanya di Sumatera Selatan, tetapi juga sudah merambah sampai ke DKI Jakarta, Lampung, Medan, Pekanbaru, Samarinda, beberapa daerah di Jawa Barat, sampai Papua.

Bukan hal mudah untuk memperkenalkan aplikasi ini kepada masyarakat. Beragam kendala ditemukan di lapangan, mulai dari sulitnya pihak sekolah beradaptasi dengan aplikasi baru atau ada daerah yang terkendala sinyal. Hal yang paling berisiko adalah ketika proses ujian dilakukan secara bersa maan. “Karena itu, butuh kemantapan server sehingga ketika digunakan secara serentak tidak ada lagi kendala,” ujarnya. Selain itu, ujar Raynanda, pihaknya juga terus membenahi program ini sesuai dengan masukan dari sekolah. Apalagi, tidak semua guru bisa menerima karena butuh pelatihan terlebih dulu. “Banyak guru yang masih mengandalkan Whatsapp untuk mengajar karena dianggap lebih mudah. Dilihat dari sisi kelengkapan, aplikasi kami jauh lebih lengkap,” kata Raynanda.

Belum lagi untuk mendapat fitur yang lengkap, aplikasi ini menawarkan program berbayar dengan dana pada kisaran Rp 300.000 sampai Rp 1,5 juta. Tergantung dari jumlah siswa dari sekolah tersebut. “Setiap siswa hanya dibebankan Rp 1.000 per bulan,” katanya. Nàmun, untuk sekolah yang hanya memiliki siswa di bawah 100 orang masih diberikan layanan secara gratis.

“Ini untuk membantu sekolah yang memiliki keterbatasan anggaran,” ujarnya. Raynanda menuturkan, dari 600 sekolah yang sudah bermitra, sekitar 25 persen di antaranya masih menggunakan layanan secara gratis.

Noverika Kriswanto, Chief Operating Officer (COO) Qualitiva.id, menuturkan, sulit untuk menggratiskan semua mitra karena dalam pengelolaan server butuh biaya besar.. Apalagi, untuk sistem pengamanan, aplikasi ini menggunakan Amazon Web Services, sebuah platform cloud paling komprehensif di dunia dengan tingkat pengamanan yang tidak diragukan.

“Ini bertujuan agar semua sistem sekolah yang bermitra tetap aman,” ujarnya.

Namun, Noverika optimistis aplikasi ini akan membantu pihak sekolah untuk mengelola lembaga pendidikannya agar lebih efisien. Sebenarnya tidak hanya untuk sekolah, program ini bisa digunakan oleh dinas pendidikan di sejumlah wilayah untuk memantau perkembangan belajar-mengajar di wilayah nya.

“Dari program ini juga bisa dipantau bagaimana prestasi setiap siswa yang belajar dari hasil penilaian setiap ujian yang siswa jalani,” ujar Noverika.

Raynanda berharap aplikasi ini bisa tetap berjalan untuk mendukung proses pendidikan, terutama di masa pandemi. “Jangan sampai pandemi menghambat siswa dalam menggali ilmu,” katanya.

 

Sumber: Kompas.14 April 2021.Hal.16

Kebangsaan dan Epistemi Intelektual. Kompas. 20 Mei 2021. Hal.6

Di Sela-sela seminar “ State and Transnationalization” di Penang, Malaysia, pertengahan 1980-an. Saya nercakap-cakap dengan antropolog Negara jiran itu, Sayyid Husin Ali.

“Saya,”ujarnya,”adalah orang yang ditinggal oleh keduanya adalah Indonesia dan Malaysia. Ketika saya bertanya alasannya, Sayyid yang menulis disertasi tentang peranan bomoh (dukun) dalam masyarakat jiran itu di Universitas Oxford, Inggris, menjawab, “Karena saya membuat program penyatuan Indonesia dan Malaysia.” Lalu saya dan tokoh yang ikut “tergetar” dalam pergolakan etnik di Malaysia pada 1969 itu tertawa lepas.

Sepintas lalu, dorongan hati menyelenggarakan program yang kini terasa aneh dan menimbulkan tawa spontan ini saya anggap hanya refleksi kedekatan psikologis antarmasyarakat Melayu. Namun, belakangan saya ketahui hasrat itu tegak atas dasar, seperti akan kita lihat, kesadaran intelektual dan epistemik. Dalam telaah lanjutan, saya menemukan konsep Indonesians as a sense pre-Malay, seperti dikembangkan antropolog Perancis, ET Hamy pada 1877. Melalui Justus vander Kroef dalam tulisannya “The Term Indonesia; Its Origin and Usage” (1951), Hamy menggunakan kata “Indonesia” itu untuk mengidentifikasikan ras Polinesia di Indonesia Timur dan beberapa etnik minoritas kepulauan Melayu, seperti Dayak di Kalimantan dan Batak di Sumatera. Menurut Hamy, etnik-etnik ini lebih memperlihatkan karakter Kaukasus daripada etnik Melayu lain yang lebih berciri Mongoloid.

Jadi, betapapun terasa aneh dan menimbulkan tawa, melalui konsep Indonesians as a sense pre-Malay Hamy. gagasan dan program Sayyid menyatukan Indonesia-Malaysia pada 1960-an itu ada preseden intelektual dan akademiknya. Dalam perspektif preseden intelektual dan akademik inilah saya memahami apa yang disebut dengan “kebangkitan nasional” di Indonesia melalui “gerakan” dr Wahidin mendirikan Budi Utomo pada 1908 hanya merupakan salah satu respons kecendekiaan dari kerangka pergerakan “global” tadi.

Alasannya, “gerakan” yang dimulai pada 1907 melalui pertemuan dr Wahidin, R Soetomo, dan R Soeradji itu hanya mencapai puncaknya pada 20 Mei 1908, dengan berdirinya Budi Utomo (BU) di Jakarta. Selanjutnya, sebagaimana dinyatakan Drs Sudijo dalam Perhimpunan Indonesia Sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (1989), melalui kongres pertamanya di Yogyakarta 3-5 Oktober 1908, kepemimpinan BU jatuh ke tangan “orang-orang tergolong tua”.

Mereka, tulis Sudijo, “sebagian besar terdiri dari pejabat Regent dan Bupati. Sementara para pelajar STOVIA yang telah berhasil mendirikan perkumpulan BU tak ada yang duduk di pengurus besar itu”. Jika kita mendefinisikan kebangkitan nasional sebagai peristiwa besar yang melahirkan dampak kesadaran berkelanjutan, semangat perubahan yang dilahirkan peristiwa 20 Mei 1908. itu tak cukup kuat jadi landasan. Beberapa bulan kemudian kalangan muda “setengah revolusioner” itu tercampak dari panggung BU di kongres Yogya.

Maka, jika ingin tahu mengapa proses kebangkitan nasional mampu melahirkan big bang (dentuman besar) berkelanjutan, jawabannya harus dicari di tempat lain, yakni lapisan-lapisan se- jarah pergulatan akademik-epistemik dan politik dalam menemukan konsep tujuan identitas kolektif sebuah bangsa pada tingkat global.

Dasar akademik-epistemik Di sini, kita bisa memulai dengan penjelasan “sepintas lalu” Klaas Stutje tentang tindakan Mohammad Hatta setelah, dengan Soekarno, memproklamsikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Yaitu, seperti tertera dalam buku Stutje, Campaigning in the Europe for A Free Indonesia Indonesian Nationalists and the Worldwide Anti Colonial Movement 1917-1931 (2019), imbauan Hatta ke spirit of unity of Brussels (menghidupkan kembali semangat kesatuan Brussel).

Hatta, sebagai pemimpin Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, bersama empat tokoh muda lain, diundang menghadiri “Congress Against Colonial Oppression and Imperialism” di Brussel, 10-15 Februari 1927. Di Kongres Brussel ini, Hatta tidak hanya berkesempatan menguraikan sepak terjang penjajahan Belanda, tapi juga memproklamasikan diri sebagai wakil bangsa Indonesia.

Peristiwa ini punya pengaruh signifikan dalam konteks epistemik global. Sebab, bukan saja dihadiri 174 partisipan yang mewakili 137 organisasi dari 34 negara, melainkan “ditongkrongi” peraih Hadiah Nobel Albert Einstein, Romain Rolland dari Jerman, Jawaharlal Nehru dari Partai Kongres India, Liao Hu anxing dari Chinese Guomindang Party (GMD), dan Messali Hadj dari toil nord-africaine Aljazair. Tokoh-tokoh terakhir itu, menurut Stutje, “pentolan” gerakan antikolonial tingkat global.

Tentu, itu bukanlah debut global Hatta yang pertama. Agustus 1926, seperti ditulis Ketua Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus 1945, Drs Sudijo, Hatta telah mewakili bangsa Indonesia di Bierville, sebuah kota kecil dekat Paris, Perancis, dalam Congress Democratique Internationale Pour la Paix Bernada heroisme, Drs Sudijo melukiskan peristiwa Bierville ini melalui tekanan-bahwa Hatta “dengan terang-terangan menggunakan nama Indonesia dalam pidatonya itu, dan tidak lagi menyebut “Hindia Belanda.”

“Dengan demikian, pengertian Indonesia,” lanjut Sudijo, “tidak lagi dalam arti kata etnologi dan antropologi, melainkan sudah mempunyai pengertian politik. Segenap cita-cita tentang kemerdekaan nasional dilambangkan dalam nama Indonesia’ itu.” “Dengan demikian, PI-lah yang pertama kali memberi arti politik dan ketatanegaraan, tentang nama Indonesia tersebut.”

Kendatipun demikian, Kongres Brussel punya arti lebih spesifik. Stutje melukiskan, pascakongres ini Hatta dkk. meluapkan kegembiraan. Mereka bukan saja berhasil membuat tujuan perjuangannya didengar di atas panggung internasional, melainkan juga memperoleh posisi dalam panitia kerja organisasi pergerakan internasional itu.

Di atas semua itu, tulis Stutje, Hatta dan kawan-kawan layak gembira. Sebab, posisi PI yang hanya beranggotakan 150 mahasiswa dan tak berpengalaman secara politik diposisikan sejajar dengan Partai Kongres India dan GMD yang beranggotakan jutaan orang. Kehadiran ilmuwan dunia Einstein di forum itu untuk jadi saksi kehadiran wakil bangsa Indonesia dalam situasi yang sangat muskil itu pastilah juga bermakna besar dalam konteks epistemik global. Bukankah apa yang dimaksud “Indonesia” oleh Hatta dkk itu secara resmi belum ada? Dalam konteks inilah segera setelah memproklamasikan kemerdekaan, untuk mengonsolidasikan kekuatan epistemik itu, Hatta mengimbau “kawan-kawan” lamanya melanjutkan “semangat persatuan Brussel.

Dan kata “Indonesia”, yang digunakan Hatta dkk sebagai sebuah identitas politik alternatif memang lahir dari dinamika akademis abad ke-19. Dan karena itu, tentu hanya bisa dipahami oleh segelintir kaum terdidik Indonesia pula. Ini berkaitan dengan George Winsor Earl (1813-1865), asal Inggris. “Pengamatan mendalam”-nya atas fakta etnologi dan geografi wilayah Asia Tenggara dan Australia mendorong Earl berkembang menjadi, seperti dinyatakan Russell Jones dalam George Windsor Earl and Indonesia (1975), a gifted scholar.

Hasil pengamatan ini dituangkan dalam serial karya ilmiah di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia di bawah asuhan James Richardson Logan (1819-1869). Dalam sebuah nomor jumal itu, Earl, pada Februari 1850, menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Melayu-Polynesian Nations”. Pada catatan kaki yang panjang, Earl menulis “By adopting the Greek word for islands as a terminal, for wich we have a precedent in term ‘Polynesia, the inhabitants of the Indian archipelago’ or ‘Malayan archipelago would become respectively Indu-nesians or Melayunesians”.

Kata “Indu-nesia” atau kemudian “Indonesia”, dengan demikian, telah lahir lebih dari 70 tahun sebelum Hatta dkk mendeklarasikannya di depan publik global Eropa pada 1926-1927. Namun, hal penting dicatat adalah pengawetan kata “Indonesia” itu terjadi dikalangan akademisi abad ke-19 itu. Sebab, setelah Earl, dalam sebuah buku yang terbit 1869, Logan melanjutkan penggunaan kata “Indonesia” itu. Melalui karya Logan inilah, ET Hamy mengawetkan lebih lanjut kata “Indonesia dalam Les Al- fourous de Gilolo yang terbit pada 1877.

Dokter kapal-cum-etnolog Jerman, Adolf Bastian (1826-1905), bahkan menggunakan kata ini sebagai judul karyanya yang terbit pada 1884: Indonesien ode die Inseln des Malayischen Archipel. Seperti dinyatakan Russell Jones, Bastian, dalam catatan kaki, menyebut kata “Indonesia” itu mengacu ke karya Logan, yang terbit 15 tahun sebelumnya.

Di sini, kita dientakkan oleh sebuah kesadaran berbeda. Bahwa bagaimanapun juga kata “Indonesia” lahir oleh sebuah proses akademik-epistemik. Karena itu, tidaklah melebih-lebihkan jika kita menyatakan kelahiran kata “Indonesia adalah scientific-based conception (konsepsi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan). Dalam arti kata lain, baik penciptaan maupun pengawetannya telah berlangsung di lingkaran kaum akademisi yang mengabdikan hidup demi ilmu pengetahuan. Itu sebabnya, hanya segelintir kaum terpelajar yang mampu menghormati karya monumental ini. Dilihat dari perspektif ini, kebangkitan nasional, dengan demikian, punya dasar konseptual yang kokoh.

Berdasar keterpelajaran

Dalam tulisannya di Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, di bawah judul “Nusantara: History of a Concept” (2016), sosiolog Jerman Hans-Dieter Evers memperkenalkan frasa the power of words (kekuatan kata). “Kata-kata, konsep, dan slogan,” tulisnya, “can be a powerful movers of history” (dapat jadi penggerak sejarah berdaya kuat). Melalui frasa inilah konsep “Indonesia” yang selama ini terawetkan di lingkaran kaum akadernisi abad ke-19, di tangan kaum terpelajar Indonesia di Eropa, tertransformasikan menjadi kekuatan perlawanan dahsyat.

Dalam arti kata lain, “peluncuran” kata “Indonesia dalam cakrawala politik global Eropa kala itu telah bersifat eruditeness-based political expression (ungkapan politik berdasarkan keterpelajaran). Di sini, kaum terpelajar itu telah menjadi kaum epistemik yang ke beranian dan sikap kalkulatif terhadap konsekuensi mereka terbimbing oleh pengetahuan yang memadai.

Ini terlihat pada perubahan nama Perkumpulan Hindia Belanda Undische Vereeninging) yang didirikan mahasiswa Indonesia di Belanda pada 1908 menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1925 di bawah kepemimpinan Sukiman Wir josandjojo. Bahkan, seperti ditulis Sudijo dalam PI, nama terbitan berkalanya pun berubah jadi lebih “provokatif: Indonesia Merdeka, dari sebelumnya Hindia Putera. Penggunaan kata “Indonesia” baik untuk nama perkumpulan maupun terbitan berkala ini, dengan demikian, sebuah watershed (pemisah pamungkas) dalam struktur kesadaran mereka. Maka, kata “Hindia Belanda” bukan saja dianggap terbelakang, melainkan mencerminkan ketundukan. Sebaliknya, kata “Indonesia” menyimbolkan perlawanan, pembebasan, dan tekad merdeka.

Dasar eruditeness penggunaan kata “Indonesia” ini sudah tentu terlihat dalam struktur kokoh logika yang dikembangkan para penulis atau penyumbang terbitan Indonesia Merdeka PI dalam bahasa Belanda. Ini juga terjadi dalam percaturan organisasi mahasiswa antar bangsa di Belanda. Seperti dilukiskan Drs R Nalenan dalam Arnold Monotutu Potret Seorang Patriot (1981), sebagai anggota PI, Ahmad Subardjo, AA Maramis, dan Moh Nazif menulis surat dalam bahasa Perancis ke setiap perwakilan negara anggota Academic du troit international de la Haye, organisasi mahasiswa antarbangsa sebuah akademi di Den Haag yang dipimpin seorang dip lomat Polandia dengan sekjen asal Belanda. Isi surat adalah protes atas penempatan Monotutu, mahasiswa asal Indonesia di akademi itu pada 1920-an itu, sebagai wakil dari Belanda.

Karena itu, mereka menuntut menempatkan Monotutu sebagai wakil bangsa Indonesia. Walau dalam realitasnya Monotutu berasal dari wilayah jajahan Belanda, melalui keterpelajaran mereka, usul anggota PI itu bisa diterima. Dengan demikian, tanpa preseden dan di tengah sorotan kecurigaan Pemerintah Belanda, “Indonesia secara resmi tercantum sebagai salah satu bangsa di organisasi antar mahasiswa, di Belanda, negara induk Hindia Belanda.

Peristiwa terakhir ini memberi contoh bahwa pada esensinya “kebangkitan nasional” tak terperangkap wilayah geografis, melainkan produk dari jaringan eruditeness yang melampauinya. Dalam konteks PI, Hatta dkk memberi bukti konkret bahwa “kebangkitan nasional” justru bisa lahir dari the belly of the beast (perut otoritas pusat sang penjajah) itu sendiri. Dan gerakan itu bukan saja mampu menyebarkan epistemologi ke bangsaan di tingkat global secara meyakinkan, melainkan, seperti Stutje tulis dalam Campaigning in Europe, menjadi golongan yang pertama menyadari bahwa perpecahan etnik dan agama adalah penghambat utama pembentukan ke kuatan politik penekan yang efektif terhadap penguasa kolonial. Dan memang merekalah yang turut menggenapkan bara api nasionalisme di Tanah Air ketika kembali ke Indonesia.

 

sumber: Kompas. 20 Mei 2021. Hal.6

Harta ini Harus Diwariskan ke Generasi Muda. Jawa Pos. 19 Mei 2021. Hal.13

Fisik Oei Hiem Hwie memang sudah renta. Tapi, semangatnya dalam merawat ribuan buku sejarah miliknya tetap menggebu-gebu. Hanya satu keinginannya, buku-buku itu harus diwariskan kepada yang muda. Agar tidak buta sejarah.

TIGA surat kabar, termasuk koran Jawa Pos, tertumpuk di atas meja. Tangan yang sudah ringkih itu meraihnya satu per satu. Lembar demi lembar dibuka dan dibaca dengan teliti. Selesai satu, diambilnya koran lain. Dibuka dan “dilahap” lagi. Hingga tiga koran itu tuntas dibacanya.

“Kebiasaan dari dulu. Saya selalu membaca koran tiap hari,” kata pria yang kini berusia 85 tahun itu. Dia adalah Oei Hiem Hwie. Orang-orang menyapanya dengan panggilan Pak Wi. Di kalangan akademisi, mahasiswa, dan para penggiat buku, namanya sudah tidak asing.

Sebab, dia adalah pendiri perpustakaan yang cukup terkenak Perpustakaan Medayu Agung Sejak didirikan pada 2001 hingga sekarang, perpustakaan itu masih berada di Jalan Medaya Selatan IV/42-44, kompleks Perumahan Kosaga, Kecamatan Runglast Tak jauh dari kampus UPN Veteran

Sebagai penggila buku, kegemaran Pak Wuntuk membaca tak mungkin hilang, Sampai sekarang. Meski dalam keterbatasan fisik. Saat ini pria yang lahir pada 23 November 1985 sersebut hanya mengandalkan mata kanan untuk membaca Sudah setahun ini mata kirinya tidak berfungsi normal karena katarak. “Jack, cumamata kama ini yang bisa,” ujar Pak Wisambil memicing-misingkan mata kirinya berkali-kali.

Karena sudah sepuh, suara Pak Wi juga tidak begitu jelas. Beberapa kali dia harus mengulang ucapannya. Sebab, penulis tidak begitu jelas menangkap penjelasannya.

Usia dan tubuh Oei Hiem wie boleh saja menua Tapi, tidak dengan semangatnya huterat dari Perpustakaan Medayu Agung yang terus dirawatnya hingga sekarang Sudah dua dekade dia memelihara ribuan buku di perpustakaan itu. Dia merawat buku-buku kuno tersebut seperti anak sendiri. Dia bertekad untuk terus merawat hingga akhir hayat kelak. “Harta (buku, Red) ini harus diwariskan ke generasi mada” ucapnya sambil berusaha menegakkan kepala

Perpustakaan Medaya Agung menempati bangunan dua lantai. Ukurannya 12×22 meter Itu tanah dua kavling yang digabungkan menjadi satu. Memasuki bangunan tersebut, kita seperti berada di museum buku-buku kuno nan langka. Deretan buku lawas berjejer dalam rak-rak buku. Selain buku, ada koran dan majalah-majalah tempo dulu. Banyak yang terbitan abad ke-19 dan abad ke-20. Ketika bangsa ini masih dalam cengkeraman penjajah kolonial.

Diruangan lantai 1, misalnya, tersimpan ratusan buku kuno. Sebagian besar berisi sejarah bangsa dalam bahasa Belanda. Buku-buku yang berkisah tentang Bung Karno, presiden pertama Indonesia, cukup mendominasi. Bahkan, Pak Wi juga mengoleksi lima jilid buku tebal berisi koleksi foto dan lukisan Bung Karno. Buku itu pernah mau dibeli Rp 1 milia. Namun, pria yang pernah mendekam di Pulau Buru bersama sastrawan Pramoedya Ananta Toer tersebut sama sekali tidak tergiur “Tujuan saya bukan mencari uang. Melainkan menyelamatkan ilmu,” tuturnya.

Di sebuah lemari kaca juga masih tersimpan naskah asli tulisan Pram. Nah, itu ditulis dengan kertas semen di Pulau Buru. Pak Wi pun menyimpan naskah tersebut hingga sekarang. Selain itu, ada alat pengaman naskah Pram saat di Pulau Buru. Benda itu berupa semen cor. Berukuran lebar 20 cm dan panjang 34 cm. Selain untuk merekatkan naskah, benda mirip penutup septic tank tersebut berfungsi untuk menutup naskah jika ada pemeriksaan petugas selama di Pulau Buru.

Sejumlah buku kurio dalam bahasa Belanda juga masih tersimpan. Misalnya, koleksi buku berjudul Oud Batavia, Oud Surabaia, Oud Malang, buku sejarah Raja Madura dalam bahasa Prancis, dan masih banyak lagi.

Sejak berdiri hingga kini, Perpustakaan Medaya Agung terus menjadi sumber referensi para akademisi dan mahasiswa Sejauh ini perpustakaan itu sudah menghasilkan lebih dari 80 karya ilmiah. Baik berupa skripsi, tesis, maupun disertasi.

Dari mana mendapatkan biaya operasional? Menurut Pak Wi, pihaknya sangat terbantu dengan keikhlasan por donatur dan relawan. Meski membaca buku di perpustakaan itu gratis, banyak pengunjung yang menyumbang seikhlasnya. Dari sumbangan sukarela Itulah, pihaknya bisa membiayai operasional perpustakaan.

Pak Wi menceritakan, banyak kampus yang berusaha untuk mengambil alih dengan membeli perpustakaan tersebut. Di antaranya, Universitas Petra, Universitas Airlangga (Unair), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Universitas Surabaya (Ubaya). Namun, kakek satu cucu itu menolak. Dia bilang, dirinya tidak mungkin menjual perpustakaan itu begitu saja. Apalagi, buka-buku tersebut sudah lama menemaninya dalam suka dan duka. “Saya tidak mungkin menjualnya. Dan uang hasil penjualan ini masuk ke kantong saya pribadi tidak bisa dilakukan,” ujarnya.

Di sisa usianya saat ini, Pak Wi berangan-angan memindahkan lokasi perpustakaan ke tengah kota. Sebab, lokasi saat ini terlalu di pinggir. Para pengunjung pun cenderung kesulitan untuk mengakses perpustakaan itu. Meski begitu, dia belum bisa memastikan kapan Perpustakaan Medayu Agungyang didirikannya tersebut bisa dipindah ke tengah kota. Selain belum menemukan lokasi yang cocok, problem terbesar adalah pihak yayasan tidak memiliki anggaran yang cukup Sebab, kalau menyewa bangunan ditempah kota, pasti dibutuhkan biaya yang tidak sedikit “Sekarang belum ada uangnya,” ujarnya. lalu tertawa (“/c7/g)

 

Sumber: Jawa Pos. 19 Mei 2021. Hal. 13

Mempertahankan Tubuh Ideal dan Sehat. Jawa Pos. 1 Mei 2021. Hal.24

SURABAYA, Jawa Pos – Mempertahankan tubuh agar tetap ideal dan sehat pada bulan puasa hingga Idul Fitri nanti bisa dibilang gampang gampang susah. Jika tidak bisa mengontrol makanan yang masuk karena jam makan berubah, bisa-bisa tubuh akan sakit maupun berat badan bertambah atau berkurang. Hal itu dibahas dalam talk show virtual Miracle Body Aesthetic Centre dengan tema Tubuh Ideal dan Sehat di Hari Fitri bersama dr Fanny Imanuddin Kamis (29/4).

Ada tiga poin untuk mempertahankan tubuh tetap sehat dan ideal. Poin pertama adalah pola mengonsumsi makanan. “Yang perlu diperhatikan bukan hanya apa yang dimakan, melainkan juga waktunya,” jelasnya. Saat jam berbuka, Fanny tidak menyarankan untuk langsung makan berat.

Namun, cukup dengan minum air putih atau minuman yang mengandung elektrolit hingga makanan yang berkuah saja. “Karena kondisi kita saat pertama buka ini kekurangan cairan. Atau, mendekati semidehidrasi,” terangnya. Kemudian, baru dilanjutkan dengan aktivitas seperti beribadah hingga istirahat.

Sementara itu, untuk makan berat, baiknya baru dilakukan setelah dua jam berbuka. Setelah soal pola makan, berikutnya adalah pola dalam berolahraga. Untuk menjaga tubuh dan otot tubuh yang sudah terbentuk tetap ideal, olahraga tentu tidak bisa dilalaikan bagi sebagian orang. Fanny menyarankan olahraga bisa dilakukan saat pagi setelah sahur atau sore menjelang berbuka.

“Olahraganya yang intensitas ringan sampai sedang saja. Soalnya, tujuannya untuk maintenance biar otot nggak drop atau yang lain,” lanjutnya. Menurut dia, olahraga seperti kardio sampai home workout merupakan yang paling ideal.

Sementara itu, poin terakhir adalah mengatur waktu istirahat. Karena Ramadan membuat waktu tidur berkurang karena sahur, Fanny menjelaskan bahwa tidur cukup maksimal pukul 22.00 sudah sangat aman. “Saat tidur pukul 22.00 dan bangun sekitar pukul 03.00 itu sudah sangat cukup. Tidur 5 jam masih sangat cukup,” tambahnya. Dengan begitu, tubuh yang ideal dan sehat bisa terus dirasakan hingga Lebaran nanti. (ama/c12/tia)

 

Sumber: Jawa Pos. 1 Mei 2021. Hal.24

Yus Lusi. Bertahan Menenun Harapan. Kompas. 27 Mei 2021. Hal.16

Tiga puluh tahun Yus Lusi bersusah payah mengembangkan Sentra Tenun Ina Ndao di Kota Kupang. Ia berhasil menjadikan Ina Ndao sebagai sentra tenun terbaik di Kupang yang dilengkapi dengan pusat pelatihan dan pendidikan tenun.

Sentra Tenun Ikat Ina Ndao yang dikelola Yus Lusi (59) di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, tampak seperti mal mini. Ribuan kain tenun dan pakaian berbahan tenuh dipajang di sana. Ada yang ditata di dalam lemari kaca, digantung di dinding, atau ruangan yang panggung.

Menurut Yus Lusi, ada sekitar 3.700 lembar kain tenun dan banyak pakaian dari ba han tenun di sentra itu. Produk-produk itu mewakili sekitar 2.500 motif tenun khas dari daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), termasuk motif-motif tenun dari desa terpencil I yang jarang ditemukan. Selain tenun, Ina Ndao juga memajang banyak produk kerajinan kha khas NTT, mulai dari topi ti’i langga, alat musik sasando cincin dari sisik, anyaman dari lontar, kopiah, r bahar, hingga kopi akar gelanga dari beberapa daerah di NTT. Produk dijual mulai puluhan ribu hingga jutaan rupiah.

Jumat (21/5/2021) siang. kami bertemu Yus di teras Ina Ndao di Kelurahan Naikoten, Kota Kupang, Sentra tenun itu dilengkapi aula serba guna, tempat foto pre-wedding, dan kafe yang menyediakan kopi bajawa dan manggarai, serta baneka camilan.

Pandemi Covid-19 yang melanda setahun terakhir membuat pengunjung yang datang ke Ina Ndao menurun drastis. “Belum lagi ditambah serangan badai Seroja. Bencana ini membuat semua usaha termasuk tenun ikat, mati suri,” kata Yus.

Sebelum pandemi, kata Yus Yus, tamu yang datang bisa 100 orang perl hari. Kini, hanya 1-2 orang yang datang. Itu pun belum tentu berbelanja, boto hanya melihat-lihat atau foto-foto. Omzet Ina Ndao pun turun 50 persen dalam setahun. Ketika terjadi badai Seroja, omzet menukik lagi tinggal 30 persen.

Meski situasi sedang susah, Yus berusaha keras tidak mengurangi karyawan yang saat ini berjumlah 30 orang, termasuk 15 perajin tenun. Agar usahanya bisa bertahan, ia menghemat listrik, mengurangi pemakaian penyejuk ruangan, dan tidak merekrut karyawan baru.

“Awal pandemi kami sempat kewalahan membayar upah mereka, tetapi setelah itu kami panggil lagi (mereka untuk bekerja),” ujar Yus.

Berdayakan perempuan

Pandemi dan badai Seroja hanyalah dua dari sekian banyak rintangan yang harus dilalui Yus sejak ia mendirikan Ina Ndao di Kupang pada 1991. Saat itu, ia menenun kain dengan motif tenun dari Pulau Ndao dan Rote.

Rote dan Ndao memiliki motif yang relatif sama karena mereka berasal dari satu nenek moyang. Namun, motif Ndao lebih variatif, sementara motif tenun Rote didominasi bentuk burung.

Melihat mayoritas perempuan di Ndao suka menenun, Yus mulai mengumpulkan Yus mereka untuk memproduksi kain tenun. Hasilnya dibeli Yus dan dibawa ke Kupang untuk dipasarkan.

Pada 2008, ia membawa 10 perempuan Ndao untuk memenun  di Ina Ndao. Seiring perkembangan usaha, Ina Ndao tidak hanya memproduksi tenung Ndao dan Rote, tetapi juga tenun dengan motif Sumba, Flores, Timor, dan Alor. Tahun itu juga, Yus mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan (diklat) tenun di Sentra Tenun Ina Ndao untuk melatih kaum ibu. Awalnya hanya untuk ibu-ibu dari Ndao. Belakangan, peserta pelatihan juga mencakup ibu-ibu dari Kupang, pelajar, dan mahasiswa. Yus membi ayai kegiatan itu. Bahkan, para pelajar dan mahasiswa yang ikut menenun, biaya pendi dikannya ditanggung Ina Ndao

Seiring waktu, peserta pelatihan datang juga dari Papua mulai Jayapura, Keerom, Timika, Merauke; dan Papua Barat, yakni Sorong, Fakfak, Maybrat, dan Manokwari. Setidaknya ada 500-an perempuan dari Papua dan Papua Barat yang pernah berlatih menenun di Ina Ndao.

Sejak 2009-2021, secara total ada 4.700-an kelompok perempuan yang telah dilatih di Ina Ndao. Setiap kelompok beranggotakan 5-20 orang. “Kalau dari Papua dan Papua Barat, dan beberapa kabupaten di NTT, kami kerja sama dengan pemda. Khusus kelompok pelajar dan ibu-ibu di Kota Kupang mereka mengikuti pelatihan gratis,” ujar Yus yang belajar menenun sejak usia enam tahun.

Yus mengatakan, mereka yang pernah berlatih tenun di Pulau Ndao sebagian membentuk kelompok penenun di sejumlah kelurahan. Sebagian lagi menjadi penenun perorangan. Mereka menenun dengan bahan dari Yus. Hasilnya akan dinilai dan dibeli Yus untuk dijual di Ina Ndao. Agar kualitasnya terjaga, Yus memberi arahan terkait motif, panjang dan lebar kain, serta cara menenun yang baik.

Keberadaan Sentra Tenun Ina Ndao yang dikembangkan Yus mendapat pengakuan banyak pihak. Salah satunya, Ina Ndao ditetapkan sebagai juara satu nasional kategori pusat belanja khas daerah pada ajang Anugerah Pesona Indonesia (API), 20 Mei 2020, di Labuan Bajo. Sentra ini juga dijadikan sebagai tempat studi banding mahasiswa Jurusan Tenun Ikat Undana Kupang.

Sebagai sentra tenun pertama di Kota Kupang, Ina Ndao sering diajak pemda mengikuti sejumlah pameran di dalam dan luar NTT. Namun, sejak 2020, kegiatan itu di hentikan sama sekali lantaran terjadi pandemi. Bahkan, pameran di Kota Kupang dan kabupaten lain di NTT pun tidak digelar untuk sementara. Dampaknya, hampir semua usaha tenun ikat di NTT jalan di tempat.

“Kebanyakan pengusaha kini hanya berusaha menjaga warisan leluhur ini tetap bertahan dalam keterbatasan. Mereka masih aktif menenun agar tidak lupa atau kalau ada pesanan khusus dari konsumen,” tutur Yus.

Pemilik satu-satunya lembaga diklat tenun ikat NTT ini menegaskan, ia terus berkreasi dan berkarya di tengah pandemi ini dengan memadukan motif-motif sesuai selera konsumen masa kini.

“Kami tidak menyerah. Semoga pandemi segera berlalu dan mudah-mudahan dengan meraih juara satu nasional API 2020 bidang belanja (produk kerajinan) tradisional, Ina Ndao makin dikenal, bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, dan tenun NTT tetap eksis,” kata Yus.

 

Sumber: Kompas. 27 Mei 2021. Hal.16

Yuliati Umrah. Memuliakan Bintang Jalanan. Kontan. 28 Mei 2021. Hal.16

Di jalanan, reformasi menggelinding bersama dengan lalu lalang beragam kejahatan. Namun, di sini juga ada rambu atau petunjuk untuk menyelamatkan bintang kehidupan yang Du sedang meredup alias anak-anak jalanan.

Jalanan ibarat rumah kedua bagi Yuliati Umrah (45). Memang, ibu dua anak ini tidak lahir dan hidup di jalanan. Namun, kehidupan jalanan membawanya turut dalam gelombang aksi reformasi untuk menumbangkan Orde Baru (1997-1998). Ketika itu, Yuliati hampir menyentuh garis finis studi di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.

Karena sering ke jalanan, Yuliati kerap melihat kehidupan yang “keras”, terutama bagi anak-anak kurang beruntung. Hatinya tersentuh untuk membantu kehidupan bocah-bocah telantar itu. Tekadnya untuk kemanusiaan kian bulat setelah “ditampar”. omongan anak-anak jalanan penjual koran.

Suatu hari pada 1998, saat masih giat demonstrasi reformasi, Yuliati tersengat oleh cibiran. “Mbak, sampeyan iku berjuang apa? Demo-demo malah gawe daganganku gak payu (Mbak, apa yang kalian perjuangkan? Banyak aksi demonstrasi malah bikin koran saya tidak ada yang beli),” katanya menirukan kalimat sindiran 23 tahun lalu.

“Peristiwa itu yang kemudian mendorong saya semakin dalam masuk ke kegiatan membantu anak-anak jalanan,” kata Yuliati saat ditemui di Surabaya, Jumat (21/5/2021). Ia baru kembali dari Tetirah Gayatri yang didirikannya bersama Yayasan Alit Indonesia bagi Palangsari, Pasuruan, satu di antara puluhan desa dampingannya dalam program perlindungan dan pemberdayaan anak-anak.

Yuliati semakin tertarik untuk mengamati bahkan mengikuti kegiatan kehidupan anak-anak jalanan yang dikenalnya itu. Dia sempat menepis permintaan keluarga untuk melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Jalanan lebih menarik dan seolah mampu memberikan “ilmu-ilmu” kehidupan yang tidak akan ditemui di lembaga pendidikan formal mana pun.

Pada suatu waktu tahun 1998, Yuliati dan anak-anak jalanan menemukan rumah tak berpenghuni yang tidak terawat. Mereka menjadikan bangunan itu tempat berteduh. Saat malam, mereka menyalakan lilin untuk menumpas gelap sekaligus menerangi hati dalam obrolan yang hangat, intim, dan terbuka. Kedekatan dengan anak-anak jalanan memantapkan hati Yuliati bersama sejumlah teman, termasuk yang kemudian menjadi suami, Gunardi Aswantoro, mendirikan Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia, 22 April 1999.

Dalam bahasa Jawa suroboyoan, arek berarti ‘anak’, sedangkan lintang berarti ‘bintang’. Alit yang merupakan akronim dari Arek Lintang berarti ‘kecil’ atau ‘cilik’. Nama yang sederhana, tetapi berfilosofi dalam dan amat pas untuk menggambarkan visi misi, yakni membantu kehidupan anak-anak jalanan. Caranya sederhana, mendekati bocah-bocah untuk bermain, belajar, dan berlatih. Anak-anak coba dijauhkan dari keinginan untuk mencari nafkah yang bisa memicu mereka terjebak atau dijerumuskan dalam kejahatan.

Dunia anak bukan bekerja, apalagi mengambil alih tanggung jawab orangtua. Dengan bermain, belajar, dan berlatih, anak-anak coba dijauhkan dari rayuan kejahatan. Yuliati merasa amat teriris dan pedih ketika mengetahui anak-anak jadi korban kejahatan.

Ragam

Dari rumah di sudut Jalan Keintang Madya dan Jalan Ketintang Selatan, Surabaya, yang menjadi sekretariat Yayasan Alit Indonesia, digemakan berbagai program perlindungan dan pemberdayaan anak-anak. Bangunan itu juga menjadi semacam laboratorium sosial untuk tani kota, audiovisual, rancang busana, kriya seni, dan olahraga.

Dalam masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, sekretariat itu juga menjadi tempat anak-anak dari keluarga miskin tepi rel kereta api mengikuti pembelajaran dalam jaringan (daring). Mereka datang karena tidak memiliki laptop, telepon seluler, ataupun paket data internet.

Seusai sekolah daring, anak-anak diajak bermain, belajar, dan berlatih dalam berbagai kegiatan penunjang keterampilan hidup. Mengolah makanan minuman hasil budidaya, memproduksi lagu dan video, olahraga terutama atletik, dan berbagai kerajinan. Produk dipasarkan lewat jejaring yayasan hingga ke mancanegara untuk pengembangan program perlindungan dan pemberdayaan anak-anak.

Dari Surabaya, pendampingan diperluas ke sejumlah kabupaten/kota di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Yayasan Alit Indonesia memiliki sembilan desa dampingan mandiri dan lebih dari 20 desa dampingan bersama lembaga swadaya masyarakat lainnya di wilayah tersebut. Di setiap desa, anak-anak terutama dari keluarga tidak mampu didampingi dan diberdayakan dengan berbagai pelatihan keterampilan sebagai bekal ketika dewasa dapat hidup dengan lebih baik.

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Alit Indonesia ini, lembaga ini juga membuka pengaduan kejahatan terhadap anak dan remaja. Misalnya, memantau dan mendampingi siswa-siswi SMK yang harus praktik magang. Kerap terjadi, pelajar praktik sebagai pramusaji dan pramuniaga di lokasi-lokasi hiburan dewasa sehingga rentan diseret dalam prostitusi dan kejahatan seksual. Kasus lain, pelajar praktik magang, tetapi energinya dieksploitasi tanpa diberi apresiasi yang sesuai sehingga seperti diperbudak.

“Di jalur politik, kami menekan eksekutif dan legislatif untuk terlibat menghadirkan dan menegakkan peraturan perlindungan dan pemberdayaan anak-anak,” ujar Yuliati, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair itu.

Secara sederhana, Alit berharap bisa “mengumrahkan” atau memuliakan kehidupan anak-anak jalanan agar berdaya secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketika dewasa, anak-anak yang pernah didampingi akhirnya bisa hidup dan berkembang dari hasil pelatihan dan pendampingan. Hidup berkecukupan dari berdagang, mengelola salon, berusaha kerajinan, menjadi peneliti akademik, dan disela waktu hidup memberi sumbangsih bagi adik-adik mereka yang masih dalam pendampingan.

 

Sumber: Kontan. 28 Mei 2021. Hal.16

Yani Risnawati. Bukan Remah-remah Rengginang. Kompas. 24 Mei 2021. Hal.16

Yani Risnawati (51) sempat merasa hidupnya berakhir ketika terserang stroke. Namun, rengginang membantu semangat dia untuk bangkit dari kerapuhan fisiknya. Tak mau sukses sendirian, dia pun mengajak teman-temannya mempromosikan usahanya.

Siang itu, Rabu (19/5/2021), Yani sibuk menjalani pengambilan video untuk profil usahanya. Beberapa kali rekaman dihentikan karena terinterupsi suara knalpot motor yang melintas di depan rumahnya di Jalan Kapten Samadikun I, Kota Cirebon, Jawa Barat.

Pemilik unit usaha Rengginang Kidal ini cukup lancar memperkenalkan produknya, mulai dari rasa terasi, kencur, hingga daun jeruk. Di belakangnya, tampak banner berisi potret pesohor dengan rengginangnya. Ada Ferdy Hasan, Jeremy Teti, hingga Dewi Persik. Di kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Cirebon, ia kerap diminta ikut pameran, termasuk ketika Gubernur Jabar Ridwan Kamil hadir di Cirebon, akhir April lalu.

Sewindu lalu, berbagai pencapaian itu hanya sebatas mimpi. Ibu dua anak ini terserang stroke pada 2013. Saat itu, ia dalam perjalanan dari Jakarta ke Cirebon menggunakan kereta api. “Saya mau ke belakang (toilet), tetapi kenapa kaki saya enggak bisa digerakkan? Tangan kanan juga begitu. Akhirnya, saya pakai kursi roda,” kenangnya.

Konsultan kosmetik yang kerap ke luar kota itu harus terkurung di kamar ukuran 4 meter x 4 meter hampir setahun. Jangankan mengendarai mobil, berjalan pun tak sanggup. “Saya enggak bisa apa-apa. Tidur, makan, dan buang air di kamar. Enggak ada gairah hidup lagi,” ujarnya.

Berbagai cara sudah ia coba, mulai pengobatan medis, tradisional, hingga pijat. Suaminya sampai mengundurkan diri dari pekerjaan demi menemaninya. Namun, semuanya belum membuahkan hasil. Malah, uang tabungannya terkuras. Ibarat kata orang Cirebon, entok bebek entok ayam sekandang-kandange (habis semuanya).

Hingga suatu hari pada 2015, cucu satu-satunya bertanya. “Omah, enggak bisa jalan, ya?” katanya menirukan ungkapan si cucu. Ia pun sadar, masih memiliki cucu, anak, dan keluarga. Bergantung pada orang lain justru membuatnya kehilangan kemandirian. Perlahan, ia belajar berjalan meski kerap jatuh.

Awal 2018, ia diundang reuni SD Kebon Baru 4 Kota Cirebon. Sebagian temannya menyumbang jutaan rupiah untuk acara itu. Yani yang kehabisan duit untuk pengobatan bertekad menyediakan oleh-oleh khas Cirebon. “Di dapur adanya beras ketan. Saya buat rengginang saja,” ucapnya.

Tidak punya pengalaman, ia gagal dua kali membikin rengginang. Hingga percobaan berikutnya, Yani berhasil mengubah 5 kilogram beras ketan jadi rengginang hanya dengan tangan kirinya. Itu sebabnya, produknya bernama Rengginang Kidal.

Tak dinyana, teman-teman reuni memintanya membuka usaha. Semangat hidupnya pun mekar. Ia mulai mengurus aneka syarat UMKM, termasuk bergabung dengan Rumah Badan Usaha Milik Negara yang mendampingi UMKM.

Semangat

“Kadang saya minder saat pelatihan. Yang lain nulis, saya cuma bisa mendengarkan,” katanya. Belum lagi, tatapan orang-orang yang seolah membicarakan caranya berjalan yang tidak biasa. Makannya dengan tangan kiri hingga mulutnya yang mencong.

“Lama-lama, saya terbiasa. Kalau ada yang lihatin, saya lihatin juga. Mungkin percaya diri saya sudah overdosis,” ucapnya diiringi tawa. Pengobatan fisioterapi tiga kali sepekan juga turut menebalkan mentalnya.

Ia tidak pernah ingin konsumen membeli produknya hanya karena kasihan. Oleh karena itu, Yani memastikan kualitas yang utama. Misalnya, ia menggunakan bawang putih kating, beras ketan super, hingga kemasan plastik tebal. Cara menggorengnya pun satu per satu tanpa memakai minyak curah.

Hak atas kekayaan intelektual hingga label halal tercantum dalam produknya. Itu sebabnya, ia berani mematok harga Rp 35.000 per kemasan ukuran 250 gram. Bisa jadi harganya lebih tinggi ketimbang produk serupa. Namun, dia memastikan semua sepadan dengan kerenyahan rengginang di mulut konsumen.

Keuletan Yani membangun jaringan kepada siapa saja turut membawa produknya ke mana-mana melalui penjualan daring. Mulai dari toko oleh-oleh, hotel, sejumlah artis, pejabat di Jabar dan Sumatera Utara, hingga Supermarket Expo di Kairo, Mesir, pertengahan April lalu.

Yani yang baru saja menjadi orangtua tunggal tidak hanya membantu perekonomian keluarga, tetapi juga mempekerjakan tiga tetangganya. Dalam sehari, mereka bisa membuat rengginang dari 10 kilogram beras ketan. Ini belum termasuk pesanan instansi atau perusahaan.

Berbagai capaian itu membuatnya lebih mensyukuri hidup. Tidak jarang ia berbagi rezeki dengan anak-anak kurang mampu di sekitar rumahnya. Ia juga diminta memotivasi pasien stroke lainnya di tempat fisioterapi hingga hadir di acara seminar.

“Meskipun tak dibayar, saya merasa senang. Tak semua harus dilihat dengan uang. Saya belajar ungkapan, sembuhkan sakitmu dengan sedekahmu,” katanya.

Kini, Yani berharap bisa terus berkarya sembari menginspirasi lebih lama. Mengutip puisi Chairil Anwar, dia mengatakan ingin hidup seribu tahun lagi. Kalaupun tidak bisa, ia berharap anak cucunya meneruskan Rengginang Kidal dan memandang hidup bukan “remah-remah” rengginang yang rapuh.

 

Sumber: Kompas. 24 Mei 2021. Hal.16

Unai Emery. Penguasa Liga Eropa. Kompas. 31 Mei 2021. Hal.16

Siang itu, jalan-jalan di kota Villarreal, Spanyol, berubah warna. Warna kuning, ciri khas klub sepak bola kebanggaan kota itu, menjamur di jalan. Ribuan warga berkumpul menyambut kedatangan para pahlawan Villarreal.

Dari kejauhan datang bus bertuliskan “Som Campions” (Kami Juara) dan “Es Nues Tro Momento” (Ini Momen Kami). Juga, Uke tampak jelas trofi Liga Europa yang dipajang di bagian depan bus. Para penggemar menggila ketika bus yang membawa tim Villarreal itu lewat. Mereka bersorak dan bernyanyi tanpa henti.

Begitulah riuh pesta kota kecil deberpenduduk sekitar 50.000 jiwa ini, Jumat (28/5/2021). Pesta penyambutan itu digelar sehari setelah Villarreal menjuarai Liga Europa, mengalahkan tim raksasa Manchester United, di final dalam drama adu penalti, 11-10.

Warga begitu bahagia karena ini merupakan gelar Eropa pertama klub setelah penantian hampir seabad. Apalagi yang dikalahkan adalah tim sebesar dan sekaya MU. Perbedaan keduanya sangat timpang. MU punya stadion berkapasitas 74.140 kursi, lebih banyak dari penduduk kota Villarreal. Dari sisi prestasi, Villarreal baru saja menjalani final kompetisi Eropa pertama, sementara MU sudah merajai Eropa sejak 54 tahun lalu.

Namun, di bawah asuhan pelatih kawakan Unai Emery, ketimpangan kualitas dan sejarah itu berbalik. Kisah David versus Goliath kembali terulang. “Si Lemah”, Villarreal, justru bisa berpesta di atas tangisan skuad MU.

Gelandang Villarreal, Etienne Capoue, bercerita, pengalaman final ini sangatlah sensasional. Mereka tidak punya ketakutan sama sekali menghadapi tim “Setan Merah”. Tubuh mereka justru dipenuhi energi. Semua itu karena Emery. “Dia pelatih hebat. Semua hasil yang terjadi hari ini karena dia,” kata Capoue.

Banyak yang menganggap pahlawan kemenangan ini adalah kiper Villarreal, Geronimo Rulli. Dia adalah penendang sekaligus penyelamat dalam adu penalti. Namun, kenyataannya, Rulli tidak akan ada di lapangan tanpa keputusan Emery.

Sang pelatih berjudi memilih kiper kedua tim itu dibandingkan penjaga gawang inti Sergio Asenjo. Kepercayaan itulah yang dibayar Rulli. Keberanian Emery tidak dimiliki Manajer MU Ole Gunnar Solskjaer yang tetap memainkan David De Gea dan mencadangkan kiper kedua, Dean Henderson.

Kehebatan Emery juga ditunjukkan dalam strategi. Menyadari kalah kualitas, Emery merancang permainan pragmatis. Strategi ini mungkin kurang menghibur, tetapi dia memastikan trofi itu jatuh ke tangan Villarreal.

Malam itu, Emery. menjadi bintang paling bersinar. Saat Villarreal meraih gelar pertama Liga Europa, dia meraih trofi itu untuk keempat kalinya. Emery menjadi pelatih terbanyak peraih gelar Liga Europa atau Piala UEFA, nama sebelumnya, melewati rekor pelatih legendaris Giovanni Trapattoni (3 kali).

Seusai final, Emery ditanya oleh seorang wartawan tentang rahasia kesuksesannya di Liga Europa. Dia merendah. “Saya hanyalah pria yang beruntung” ucapnya.

Mengikuti takdir

Pelatih berusia 49 tahun ini sebelumnya meraih tiga gelar Liga Europa ketika menangani Sevilla. Prestasi itu dihadirkan tiga musim 2013-2016, salah satunya juga menaklukkan tim besar Liverpool di partai final.

Faktanya, semua gelar ini diraih Emery bersama tim medioker Eropa. Dia gagal juara ketika membawa salah satu tim top “Benua Biru”, Arsenal, ke final Liga Europa pada 2018-2019. Bahkan, kekalahan memalukan Arsenal dari Chelsea itu, 1-4, diikuti dengan konflik dalam tim. Pelatih berambut klimis itu dipecat tidak lama setelahnya.

Nasib serupa dia alami ketika melatih klub besar Perancis, Paris Saint Germain. Para pemain, dipimpin oleh kapten Thiago Silva, memprotes strategi sang pelatih.

Emery tampak tidak bisa mengatasi tim yang punya pemain bintang. Sebaliknya, dia bisa membakar pemain dari tim-tim medioker. Hal ini mungkin tidak lepas dari gaya bermain. Pemain. bintang ingin bermain indah, sementara pemain tim semenjana bermain pragmatis

Gaya pragmatis Emery tidak bisa disalahkan. Dia dibentuk oleh masa lalunya. Ia tidak pernah menjadi pesepak bola top ketika masih bermain. Bekas bek tengah ini lebih banyak menghabiskan kariernya di liga divisi dua Spanyol. Ia harus pensiun pada 32 tahun karena cedera serius.

Kondisi itu yang menjadikan Emery selalu ingin menang ketika memulai karier kepelatihan. Dia ingin membalas masa lalunya. Itulah awal dari prinsip pragmatisnya.

Ia pernah menulis buku Winning Mentality, saat belum meraih gelar satu pun. “Bagi saya, kemenangan itu adalah tentang mempersiapkan mentalitas untuk bersaing agar bisa menang. Fakta bahwa Anda selalu ingin menang adalah mentalitas yang dibutuhkan,” katanya kepada ESPN.

Selain itu, Emery juga tidak dianugerahi pengalaman untuk bermain indah. Dia tidak seperti pelatih top Josep “Pep” Guardiola yang dididik oleh Johan Cryuff, pencipta strategi menyerang terbaik abad lalu, total football. Ia belajar hanya dari pelatih kelas bawah, juga pengamatannya sendiri.

Karena itu, kerja keras adalah segalanya. Dia dikenal sebagai pelatih yang bisa menghabiskan 12 jam untuk menonton video sebelum laga. “Dia sangat terobsesi dengan sepak bola…. Emery memberi kami sangat banyak video, sampai saya kehabisan popcorn ketika datang menonton,” sebut Joaquin.

Emery menyadari, Liga Europa bukanlah trofi sekelas Liga Cham pions Eropa. Namun, dia sangat puas dengan prestasi dalam kompetisi kasta kedua tersebut. Sebab, kompetisi itu sekarang semakin bergengsi, terbukti dengan keseriusan klub seperti MU untuk bertarung di final.

Emery mungkin tidak seperti Guardiola, yang bisa bersaing di perebutan gelar kompetisi kasta tertinggi Eropa setiap musim. Namun, dia akan selalu dikenang karena keajaiban di Liga Europa. Dia telah memberikan kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah dirasakan tim papan tengah dari kota kecil:

Sebuah kebahagiaan yang mungkin belum pernah diberikan Guardiola. (AP/REUTERS)

Sumber: Kompas. 31 Mei 2021. Hal.16

Tejo Pramono dan Uji Saiptu.Sekolah Kopi untuk Keluarga Petani.Kompas.18 Mei 2021.Hal.16

Suara semilir angin ditemani aliran Sungai Ciapus terdengar di Rumah Kopi Ranin, Desa Cikarawang, Bogor, Jawa Barat. Dimulai dari kedai kopi sederhana itu, Tejo Pramono (48) dan Uji Sapitu (49) membuat sekolah kopi nonformal guna membuka cakrawala keluarga petani di seluruh Nusantara.

Secara turun-temurun, petani Indonesia menjual kopi kepada perusahaan besar tanpa memperhatikan kualitas karena harganya telah ditetapkan. Peluang petani menjual kopi ke pasar premium akhirnya terbuka seiring dengan kebangkitan kedai kopi belakangan ini. Namun, tak semua petani mampu menyasar pasar fine coffee lantaran minim pengetahuan tentang rasa dan kualitas.

Duo sahabat semasa kuliah, Tejo dan Uji, awalnya mendirikan Rumah Kopi Ranin atau Rakyat Tani Indonesia untuk memasarkan kopi petani kecil. Seiring dengan berjalannya waktu, kedai kopi ini berkembang menjadi sekolah kopi nonformal bagi keluarga petani, pelanggan, dan mahasiswa.

“Petani kopi itu secara ekonomi belum menggembirakan, sementara hiruk-pikuk kopi ada di kota-kota besar. Padahal, cita rasa kopi itu sebenarnya lahir di kebun,” kata Uji di Desa Cikarawang, Bogor, Selasa (4/) 5/2021).

Lewat program sekolah kopi, Tejo dan Uji berbagi pengetahuan kepada petani kecil tentang cara membuat biji kopi berkualitas di proses hulu. Namun, sebelumnya, petani diajak menjalani coffee cupping atau uji cita rasa kopi terlebih dulu. Ini agar mereka memiliki konsep tentang nilai cita rasa kopi dan mutu biji kopi berkualitas

Kegiatan cupping itu menggali kemampuan sensorik petani dalam memaknai kopi dari segi aroma, rasa, dan cita rasa. Petani perlu mengidentifikasi kopi dengan rasa yang baik dan buruk dalam beberapa gelas berbeda serta bagaimana rupa jenis biji kopi tersebut. Alhasil, mereka jadi lebih obyektif ketika menilai kopi produksi sendiri dan menyasar kualitas kopi yang diinginkan.

Setelah itu, kegiatan pendampingan berlanjut. Petani dibantu cara menjemur. menyimpan, dan mengayak kopi. Lama pelatihan dasar ini umumnya sekitar empat hari. Proses pendampingan ini kemudian berlanjut hingga pengiriman sampel kopi petani pasca-pelatihan ke Rumah Kopi Ranin untuk diolah, dicicipi, dan diberi masukan.

Tejo dan Uji, dibantu karyawan lain nya, telah mendampingi sekitar 150 petani di lebih dari 10 lokasi di seluruh Indonesia. Mereka adalah keluarga petani yang rata-rata menggunakan lahan milik Perhutani. Kisaran usia petani yang didampingi sekitar 17-60 tahun.

Petani-petani itu berasal dari, antara lain, Bogor dan Garut Jawa Barat), Lampung Barat (Lampung), Humbang Hasundutan (Sumatera Utara), Muara Enim (Sumatera Selatan), Enrekang (Sulawesi Selatan), Alor (Nusa Tenggara Timur), dan Mamasa (Sulawesi Barat). Ada juga sekolah kopi yang tengah diinisiasi, tetapi terdampak pandemi, yakni di Bandung (Jawa Barat) dan Jambi.

Awalnya harga biji kopi asalan sekitar Rp 25.000 per kilogram untuk jenis robusta dan Rp 45.000 per kg untuk arabika. Berkat sekolah kopi itu, kopi petani bisa terjual Rp 40.000-Rp 50.000 per kg untuk robusta dan Rp 90000 per kg untuk arabika ke kafe-kafe, bahkan untuk diekspor. “Petani jadi memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai tambah sehingga bisa menentukan harga yang pantas,” kata Tejo.

Kedua sahabat ini juga berkolaborasi dengan IPB University dalam membuat sekolah kopi bagi mahasiswa sejak 2018 Mahasiswa yang terseleksi akan mendapatkan teori dan praktik tentang coffee cupping serta aneka kreasi penyeduhan kopi.

Berawal dari gerobak

Rumah Kopi Ranin sebagai bisnis wirausaha sosial lahir pada 2012. Kedai kopi ini berawal dari sebuah gerobak di IPB dan kemudian beberapa kali pindah lokasi. Sesuai dengan namanya, Rumah Kopi Ranin menjadi tempat pertemuan bagi petani kecil dan penikmat kopi. Namun, bisnis ini awalnya mengundang banyak pertanyaan pelanggan karena harganya lebih mahal dari kopi sasetan.

Tejo dan Uji menyadari perlu mengenalkan kopi lewat kegiatan public coffee cupping setiap pekan. Jika dihitung-hitung Rumah Kopi Ranin telah menggelar sekitar 190 kelas sejak 2013. Satu sesi biasanya diikuti 15-20 pelanggan. “Cupping ini membongkar rasa-rasa kopi yang sudah menjadi pakem karena selama ini pengalaman ini seolah menjadi milik industri,” ujar Uji

Kegiatan itu memperluas pasar fine coffee sekaligus menambah pamor Rumah Kopi Ranin. Pada 2014, IPB memiliki program konservasi hutan di kawasan Puncak. IPB menyarankan petani kopi di Kampung Cibulao berkonsultasi dengan Rumah Kopi Ranin terkait produksi kopi berkualitas sebab biji kopi mereka banyak berlubang, berjamur, dan kotor.

Setelah dipilih dan diolah di Rumah Kopi Ranin, petani kaget karena kopi mereka terasa enak. Petani selanjutnya diberi pendampingan berkala. Hasilnya, Kopi Cibulao meraih peringkat pertama tingkat nasional kopi robusta pada Kontes Kopi Spesialti Indonesia (KKSI) pada 2016.

Tejo dan Uji juga menjadi percaya diri dengan metode pengajaran mereka. Sejak 2017 sampai sekarang, Rumah Kopi Ranin menggelar sekolah kopi di beberapa lokasi di Indonesia. Sekolah kopi yang digelar itu biasanya merupakan kolaborasi dengan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pemerintah daerah, kampus, atau lembaga swadaya masyarakat. Ada juga pendampingan yang dibuat atas inisiatif pribadi Rumah Kopi Ranin.

Selain mendongkrak harga kopi petani, Rumah Kopi Ranin juga turut menjadi pasar bagi kopi dan hasil bumi lainnya dari petani yang didampingi. Dalam setahun, kedai kopi ini bisa memesan 5 ton kopi dari sekitar 10 petani yang menjadi mitra, seperti dari Cibulao, Garut, dan Enrekang. Tak lupa, nama dan asal petani tertera pada bungkusan kopi yang dijual kepada pelanggan.

“Harapan kami adalah petani kopi bisa berbahagia dan sejahtera. Semoga pendampingan ini bisa membuat petani mengubah kopi dari sekadar komoditas menjadi makanan dengan cita rasa bermutu sehingga nilainya bisa naik tiga hingga empat kali lipat,” ucap Tejo.

 

Sumber: Kompas.18 Mei 2021.Hal.16

Sumarsih.23 Tahun Perjuangkan Keadilan.Kompas.12 Mei 2021.Hal.16

Saat bertemu dengan Maria Katarina Sumarsih (69), jejak luka batin karena kehilangan putra hsulungnya yang diterjang peluru pada peristiwa Semanggi I, 13 November 1998, seolah tak tampak. Ia tampak tegar dan kuat. Semangatnya untuk memperjuangkan keadilan juga tetap menyala.

“Kepergian Wawan telah mengubah hidup saya. Namun, kalau mengingat kembali perjuangan Wawan dan kawan-kawan, soal enam agenda reformasi, termasuk supremasi hukum, saya kembali disadarkan untuk kembali berjuang. Melawan lelah,” ujar Sumarsih. Jaldi rumahnya, Rabu (5/5/2021).

Putra sulungnya, Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan, tewas karena ditembak aparat saat Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Saat itu, Wawan eduduk di Semester V Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta. Sepeninggal anaknya, hampir 23 tahun Sumarsih tak pernah berhenti berjuang. Dia seolah tidak pernah kehilangan api semangat meski tantangan yang dihadapi amat berliku.

Sejak tahun 2007, bersama Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Sumarsih dan Suciwati, istri almarhum pejuang HAM Munir, menjadi inisiator aksi Kamisan di depan Istana Merdeka. Kini, aksi yang digelar setiap hari Kamis itu sudah dilakukan lebih dari 600 kali.

Sumarsih seolah menjadi simbol keberanian dan konsistensi mencari keadilan dari seorang ibu. Besarnya rasa cinta kasih kepada anaknya memberi kekuatan untuk terus melawan rasa takut, lelah, demi tegaknya keadilan. Lebih jauh, dia juga memimpikan Indonesia menjadi negara hukum yang demokratis, sesuai amanat UUD 1945, yang menghargai HAM.

“Cinta kasih dalam keluarga bisa menumbuhkan semangat dan harapan. Ketika kami mengasihi Wawan, dukacita keluarga ini bisa bertransformasi pada cinta kasih kepada sesama, hingga kami bisa berjuang bersama mencari keadilan. Ini yang menyemangati kami sekeluarga,” katanya.

Isu HAM

Perjalanan Sumarsih untuk memahami isu HAM dan demokrasi juga tidak serta-merta. Meski bekerja selama 24 tahun sebagai aparatur sipil negara (ASN) di Sekretariat Jenderal DPR, awalnya ia tidak segera paham soal isu itu.

Saat berjuang mencari keadilan atas kematian putranya itulah ia belajar secara otodidak soal isu HAM. Ia terlibat di berbagai advokasi HAM bersama masyarakat sipil pejuang HAM dan demokrasi. Pelan-pelan, pemahamannya akan isu hukum, HAM, dan demokrasi semakin berkembang.

Ia juga didukung oleh suaminya, Arief Priyadi, yang menjadi peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Di rak buku yang berada di ruang tamu rumahnya terlihat deretan buku bertema HAM dan demokrasi.

“Saat mendiang Wawan masih hidup, di meja makan pun dia membicarakan soal enam agenda reformasi. Dia selalu menceritakan dinamika perjuangannya bersama teman-teman aktivis mahasiswa. Karena teringat itu, saya ingin memperjuangkan terus agenda reformasi ketiga, yaitu supremasi hukum,” kata Sumarsih.

Sumarsih mengatakan, saat mengirimkan surat rutin kepada presiden pada hari Kamis, dia selalu menyampaikan bahwa penuntasan kasus penembakan mahasiswa 1998 akan menjadi barometer penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Apalagi, agenda itu juga masuk dalam janji kampanye dan program kerja Presiden Joko Widodo pada 2014 yang dikenal dengan Nawacita. Dalam Nawacita, presiden berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat untuk menghapuskan impunitas.

Perjuangan menghapuskan impunitas ini lazim dilakukan di negara-negara yang sedang mencari bentuk demokrasi mapan. Contohnya di Argentina dengan gerakan “The Mothers of The Plaza de Mayo”. Para ibu berkerumun dan berjalan memakai popok di kepala bertuliskan nama anak-anak mereka yang hilang dan diduga di bunuh rezim otoriter 1976-1983.

Setelah 29 tahun berjuang, tujuan mereka akhirnya tercapai seiring perubahan Argentina menjadi lebih demokratis dan menjunjung tinggi HAM. Sejumlah perwira militer diadili dan Pemerintah Argentina membentuk komisi nasional untuk orang hilang.

“Kelak saya juga akan meninggal. Namun, saya berharap proses hukum terhadap kasus penembakan mahasiswa ini dijadikan jaminan ke depan agar kasus pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi. Agar tak ada kelompok atau orang yang kebal hukum,” kata Sumarsih.

Sumarsih mengaku mendapat banyak dukungan moril dan materiil dari masyarakat sipil pejuang HAM dan demokrasi. Mereka selalu berada di belakang Sumarsih setiap dia menemui rintangan. Mi salnya, ketika ia menggugat per nyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja di DPR yang menyebut bahwa tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat.

Bersama Ho Kim Ngo, ibu dari almarhum Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi korban Semanggi II, dia menggugat pernyataan Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Di tingkat pertama, gugatannya dikabulkan. Jaksa Agung dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Namun, di tingkat banding, gugatannya kalah. Kini, dia sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Jika mengingat pernyataan Jaksa Agung itu, hati Sumarsih masih sakit. Sebab, Kejaksaan Agung adalah aktor kunci dalam penuntasan kasus HAM berat secara hukum. Namun, pernyataan Jaksa Agung dalam rapat kerja DPR justru bertentangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM.

Seolah, Jaksa Agung justru berhadapan melawan keluarga korban pelanggaran HAM berat. Padahal, Presiden Jokowi selalu meminta Jaksa Agung segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dalam beberapa kesempatan, Presi den Jokowi selalu mengungkapkan komitmennya itu

“Jaksa Agung seharusnya malu melawan rakyat kecil yang sudah tua, yang rambutnya sudah putih,” watatujar Sumarsih.

Kini, Sumarsih juga kerap hadir dalam advokasi kasus pelanggaran HAM berat seperti di Talangsari, Lampung. Dia kerap diundang sebagai narasumber untuk membagi pengalamannya.

Di media sosial, Sumarsih juga termasuk sosok yang berpengaruh. Akun Twitternya, @Sumarsihll, diikuti oleh 8.502 pengikut. Ia kerap membagikan informasi, membagikan ulang, dan membalas pertanyaan seputar isu HAM. Di masa pandemi Covid-19, di mana aksi Kamisan sementara dilakukan di rumah saja, akun media sosial menjadi media efektif untuk diseminasi informasi.

Sumarsih berharap kelak masyarakat lebih paham pada isu HAM sehingga kebutuhan penghargaan atas HAM tidak lagi menjadi isu yang berjarak di tengah masyarakat. Bagaimanapun, HAM merupakan fondasi dasar negara demokratis. Sebuah cita-cita yang dulu diperjuangkan anaknya dan kini terus disuarakan Sumarsih untuk generasi mendatang.

 

Sumber: Kompas.12 Mei 2021.Hal.16