Unai Emery. Penguasa Liga Eropa. Kompas. 31 Mei 2021. Hal.16

Siang itu, jalan-jalan di kota Villarreal, Spanyol, berubah warna. Warna kuning, ciri khas klub sepak bola kebanggaan kota itu, menjamur di jalan. Ribuan warga berkumpul menyambut kedatangan para pahlawan Villarreal.

Dari kejauhan datang bus bertuliskan “Som Campions” (Kami Juara) dan “Es Nues Tro Momento” (Ini Momen Kami). Juga, Uke tampak jelas trofi Liga Europa yang dipajang di bagian depan bus. Para penggemar menggila ketika bus yang membawa tim Villarreal itu lewat. Mereka bersorak dan bernyanyi tanpa henti.

Begitulah riuh pesta kota kecil deberpenduduk sekitar 50.000 jiwa ini, Jumat (28/5/2021). Pesta penyambutan itu digelar sehari setelah Villarreal menjuarai Liga Europa, mengalahkan tim raksasa Manchester United, di final dalam drama adu penalti, 11-10.

Warga begitu bahagia karena ini merupakan gelar Eropa pertama klub setelah penantian hampir seabad. Apalagi yang dikalahkan adalah tim sebesar dan sekaya MU. Perbedaan keduanya sangat timpang. MU punya stadion berkapasitas 74.140 kursi, lebih banyak dari penduduk kota Villarreal. Dari sisi prestasi, Villarreal baru saja menjalani final kompetisi Eropa pertama, sementara MU sudah merajai Eropa sejak 54 tahun lalu.

Namun, di bawah asuhan pelatih kawakan Unai Emery, ketimpangan kualitas dan sejarah itu berbalik. Kisah David versus Goliath kembali terulang. “Si Lemah”, Villarreal, justru bisa berpesta di atas tangisan skuad MU.

Gelandang Villarreal, Etienne Capoue, bercerita, pengalaman final ini sangatlah sensasional. Mereka tidak punya ketakutan sama sekali menghadapi tim “Setan Merah”. Tubuh mereka justru dipenuhi energi. Semua itu karena Emery. “Dia pelatih hebat. Semua hasil yang terjadi hari ini karena dia,” kata Capoue.

Banyak yang menganggap pahlawan kemenangan ini adalah kiper Villarreal, Geronimo Rulli. Dia adalah penendang sekaligus penyelamat dalam adu penalti. Namun, kenyataannya, Rulli tidak akan ada di lapangan tanpa keputusan Emery.

Sang pelatih berjudi memilih kiper kedua tim itu dibandingkan penjaga gawang inti Sergio Asenjo. Kepercayaan itulah yang dibayar Rulli. Keberanian Emery tidak dimiliki Manajer MU Ole Gunnar Solskjaer yang tetap memainkan David De Gea dan mencadangkan kiper kedua, Dean Henderson.

Kehebatan Emery juga ditunjukkan dalam strategi. Menyadari kalah kualitas, Emery merancang permainan pragmatis. Strategi ini mungkin kurang menghibur, tetapi dia memastikan trofi itu jatuh ke tangan Villarreal.

Malam itu, Emery. menjadi bintang paling bersinar. Saat Villarreal meraih gelar pertama Liga Europa, dia meraih trofi itu untuk keempat kalinya. Emery menjadi pelatih terbanyak peraih gelar Liga Europa atau Piala UEFA, nama sebelumnya, melewati rekor pelatih legendaris Giovanni Trapattoni (3 kali).

Seusai final, Emery ditanya oleh seorang wartawan tentang rahasia kesuksesannya di Liga Europa. Dia merendah. “Saya hanyalah pria yang beruntung” ucapnya.

Mengikuti takdir

Pelatih berusia 49 tahun ini sebelumnya meraih tiga gelar Liga Europa ketika menangani Sevilla. Prestasi itu dihadirkan tiga musim 2013-2016, salah satunya juga menaklukkan tim besar Liverpool di partai final.

Faktanya, semua gelar ini diraih Emery bersama tim medioker Eropa. Dia gagal juara ketika membawa salah satu tim top “Benua Biru”, Arsenal, ke final Liga Europa pada 2018-2019. Bahkan, kekalahan memalukan Arsenal dari Chelsea itu, 1-4, diikuti dengan konflik dalam tim. Pelatih berambut klimis itu dipecat tidak lama setelahnya.

Nasib serupa dia alami ketika melatih klub besar Perancis, Paris Saint Germain. Para pemain, dipimpin oleh kapten Thiago Silva, memprotes strategi sang pelatih.

Emery tampak tidak bisa mengatasi tim yang punya pemain bintang. Sebaliknya, dia bisa membakar pemain dari tim-tim medioker. Hal ini mungkin tidak lepas dari gaya bermain. Pemain. bintang ingin bermain indah, sementara pemain tim semenjana bermain pragmatis

Gaya pragmatis Emery tidak bisa disalahkan. Dia dibentuk oleh masa lalunya. Ia tidak pernah menjadi pesepak bola top ketika masih bermain. Bekas bek tengah ini lebih banyak menghabiskan kariernya di liga divisi dua Spanyol. Ia harus pensiun pada 32 tahun karena cedera serius.

Kondisi itu yang menjadikan Emery selalu ingin menang ketika memulai karier kepelatihan. Dia ingin membalas masa lalunya. Itulah awal dari prinsip pragmatisnya.

Ia pernah menulis buku Winning Mentality, saat belum meraih gelar satu pun. “Bagi saya, kemenangan itu adalah tentang mempersiapkan mentalitas untuk bersaing agar bisa menang. Fakta bahwa Anda selalu ingin menang adalah mentalitas yang dibutuhkan,” katanya kepada ESPN.

Selain itu, Emery juga tidak dianugerahi pengalaman untuk bermain indah. Dia tidak seperti pelatih top Josep “Pep” Guardiola yang dididik oleh Johan Cryuff, pencipta strategi menyerang terbaik abad lalu, total football. Ia belajar hanya dari pelatih kelas bawah, juga pengamatannya sendiri.

Karena itu, kerja keras adalah segalanya. Dia dikenal sebagai pelatih yang bisa menghabiskan 12 jam untuk menonton video sebelum laga. “Dia sangat terobsesi dengan sepak bola…. Emery memberi kami sangat banyak video, sampai saya kehabisan popcorn ketika datang menonton,” sebut Joaquin.

Emery menyadari, Liga Europa bukanlah trofi sekelas Liga Cham pions Eropa. Namun, dia sangat puas dengan prestasi dalam kompetisi kasta kedua tersebut. Sebab, kompetisi itu sekarang semakin bergengsi, terbukti dengan keseriusan klub seperti MU untuk bertarung di final.

Emery mungkin tidak seperti Guardiola, yang bisa bersaing di perebutan gelar kompetisi kasta tertinggi Eropa setiap musim. Namun, dia akan selalu dikenang karena keajaiban di Liga Europa. Dia telah memberikan kebahagiaan yang sebelumnya tidak pernah dirasakan tim papan tengah dari kota kecil:

Sebuah kebahagiaan yang mungkin belum pernah diberikan Guardiola. (AP/REUTERS)

Sumber: Kompas. 31 Mei 2021. Hal.16

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *