Yuliati Umrah. Memuliakan Bintang Jalanan. Kontan. 28 Mei 2021. Hal.16

Di jalanan, reformasi menggelinding bersama dengan lalu lalang beragam kejahatan. Namun, di sini juga ada rambu atau petunjuk untuk menyelamatkan bintang kehidupan yang Du sedang meredup alias anak-anak jalanan.

Jalanan ibarat rumah kedua bagi Yuliati Umrah (45). Memang, ibu dua anak ini tidak lahir dan hidup di jalanan. Namun, kehidupan jalanan membawanya turut dalam gelombang aksi reformasi untuk menumbangkan Orde Baru (1997-1998). Ketika itu, Yuliati hampir menyentuh garis finis studi di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur.

Karena sering ke jalanan, Yuliati kerap melihat kehidupan yang “keras”, terutama bagi anak-anak kurang beruntung. Hatinya tersentuh untuk membantu kehidupan bocah-bocah telantar itu. Tekadnya untuk kemanusiaan kian bulat setelah “ditampar”. omongan anak-anak jalanan penjual koran.

Suatu hari pada 1998, saat masih giat demonstrasi reformasi, Yuliati tersengat oleh cibiran. “Mbak, sampeyan iku berjuang apa? Demo-demo malah gawe daganganku gak payu (Mbak, apa yang kalian perjuangkan? Banyak aksi demonstrasi malah bikin koran saya tidak ada yang beli),” katanya menirukan kalimat sindiran 23 tahun lalu.

“Peristiwa itu yang kemudian mendorong saya semakin dalam masuk ke kegiatan membantu anak-anak jalanan,” kata Yuliati saat ditemui di Surabaya, Jumat (21/5/2021). Ia baru kembali dari Tetirah Gayatri yang didirikannya bersama Yayasan Alit Indonesia bagi Palangsari, Pasuruan, satu di antara puluhan desa dampingannya dalam program perlindungan dan pemberdayaan anak-anak.

Yuliati semakin tertarik untuk mengamati bahkan mengikuti kegiatan kehidupan anak-anak jalanan yang dikenalnya itu. Dia sempat menepis permintaan keluarga untuk melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Jalanan lebih menarik dan seolah mampu memberikan “ilmu-ilmu” kehidupan yang tidak akan ditemui di lembaga pendidikan formal mana pun.

Pada suatu waktu tahun 1998, Yuliati dan anak-anak jalanan menemukan rumah tak berpenghuni yang tidak terawat. Mereka menjadikan bangunan itu tempat berteduh. Saat malam, mereka menyalakan lilin untuk menumpas gelap sekaligus menerangi hati dalam obrolan yang hangat, intim, dan terbuka. Kedekatan dengan anak-anak jalanan memantapkan hati Yuliati bersama sejumlah teman, termasuk yang kemudian menjadi suami, Gunardi Aswantoro, mendirikan Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia, 22 April 1999.

Dalam bahasa Jawa suroboyoan, arek berarti ‘anak’, sedangkan lintang berarti ‘bintang’. Alit yang merupakan akronim dari Arek Lintang berarti ‘kecil’ atau ‘cilik’. Nama yang sederhana, tetapi berfilosofi dalam dan amat pas untuk menggambarkan visi misi, yakni membantu kehidupan anak-anak jalanan. Caranya sederhana, mendekati bocah-bocah untuk bermain, belajar, dan berlatih. Anak-anak coba dijauhkan dari keinginan untuk mencari nafkah yang bisa memicu mereka terjebak atau dijerumuskan dalam kejahatan.

Dunia anak bukan bekerja, apalagi mengambil alih tanggung jawab orangtua. Dengan bermain, belajar, dan berlatih, anak-anak coba dijauhkan dari rayuan kejahatan. Yuliati merasa amat teriris dan pedih ketika mengetahui anak-anak jadi korban kejahatan.

Ragam

Dari rumah di sudut Jalan Keintang Madya dan Jalan Ketintang Selatan, Surabaya, yang menjadi sekretariat Yayasan Alit Indonesia, digemakan berbagai program perlindungan dan pemberdayaan anak-anak. Bangunan itu juga menjadi semacam laboratorium sosial untuk tani kota, audiovisual, rancang busana, kriya seni, dan olahraga.

Dalam masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020, sekretariat itu juga menjadi tempat anak-anak dari keluarga miskin tepi rel kereta api mengikuti pembelajaran dalam jaringan (daring). Mereka datang karena tidak memiliki laptop, telepon seluler, ataupun paket data internet.

Seusai sekolah daring, anak-anak diajak bermain, belajar, dan berlatih dalam berbagai kegiatan penunjang keterampilan hidup. Mengolah makanan minuman hasil budidaya, memproduksi lagu dan video, olahraga terutama atletik, dan berbagai kerajinan. Produk dipasarkan lewat jejaring yayasan hingga ke mancanegara untuk pengembangan program perlindungan dan pemberdayaan anak-anak.

Dari Surabaya, pendampingan diperluas ke sejumlah kabupaten/kota di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Yayasan Alit Indonesia memiliki sembilan desa dampingan mandiri dan lebih dari 20 desa dampingan bersama lembaga swadaya masyarakat lainnya di wilayah tersebut. Di setiap desa, anak-anak terutama dari keluarga tidak mampu didampingi dan diberdayakan dengan berbagai pelatihan keterampilan sebagai bekal ketika dewasa dapat hidup dengan lebih baik.

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Alit Indonesia ini, lembaga ini juga membuka pengaduan kejahatan terhadap anak dan remaja. Misalnya, memantau dan mendampingi siswa-siswi SMK yang harus praktik magang. Kerap terjadi, pelajar praktik sebagai pramusaji dan pramuniaga di lokasi-lokasi hiburan dewasa sehingga rentan diseret dalam prostitusi dan kejahatan seksual. Kasus lain, pelajar praktik magang, tetapi energinya dieksploitasi tanpa diberi apresiasi yang sesuai sehingga seperti diperbudak.

“Di jalur politik, kami menekan eksekutif dan legislatif untuk terlibat menghadirkan dan menegakkan peraturan perlindungan dan pemberdayaan anak-anak,” ujar Yuliati, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair itu.

Secara sederhana, Alit berharap bisa “mengumrahkan” atau memuliakan kehidupan anak-anak jalanan agar berdaya secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketika dewasa, anak-anak yang pernah didampingi akhirnya bisa hidup dan berkembang dari hasil pelatihan dan pendampingan. Hidup berkecukupan dari berdagang, mengelola salon, berusaha kerajinan, menjadi peneliti akademik, dan disela waktu hidup memberi sumbangsih bagi adik-adik mereka yang masih dalam pendampingan.

 

Sumber: Kontan. 28 Mei 2021. Hal.16

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *