Langkah-langkah Kecil dari Pangkalan Bun

Langkah-langkah Kecil dari Pangkalan Bun. Kompas. 5 Januari 2015.Hal.12

Langkah kecil ternyata bisa mendorong perubahan besar. Itulah yang terjadi dalam Perpustakaan Umum Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat di pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Dari bangunan yang dulu sunyi dan membosankan, kini pusat buku di daerah itu tampil memikat, bahkan menjelma sebagai arena kegiatan belajar yang menyenangkan.

Oleh Ester Lince Napitupulu

Perpustakaan Umum Kabupaten Kota Waringin Barat (Kobar) di pangkalan Bun sekarang ini mudah menarik perhatian. Dari tampilan luarnya saja, gedung itu sudah memikat dengan kombinasu warna biru tua, biru muda, putih, dan orange. Siapapun yang berkebetulan melintas di kawasan itu bakal mudah tergoda untuk sekedar menengok atau bahkan berhenti sejenak demi mengamati bangunan segar itu.

Begitu masuk ke dalam gedung perpustakaan, kesegaran juga terasa dari meja penyambut tamu yang lagi-lagi di cat warna-warni. Petugas yang berdiri di beakang meja penyambut hangat. Layanan chec in dilakukan sendiri oleh pengunjung.

Dari layar komputer di sisi kanan dan kiri, kita dapat mengetahui rincian jumlah pengunjung. Mereka dikategorikan dalam kelompok umum, siswa SD – SMA, mahasiswa, honor, pegawai negeri sipil, dan tamu.

Sebagaimana perpustakaan lain, ruang di dalam bangunan ini juga diisi rak-rak yang dipenuhi buku. Ada juga meja kayu yang berjajar rapi. Bedanya, semua perabot itu dipoles dengan warna-warna menyala-seperti : hujai, kuning, merah.

Kesegaran ini menumbuhkan keriangan tesendiri. Ditambah tak ada larangan makan dan minum di ruang itu, maka kegiatan membaca pun bia terasa seasyik di rumah. Para pengunjung bisa lebih leluasa dan santai dalam memenuhi hasrat mencari buku referensi.

Suasana ini sangat berbeda dengan tahun 2008 ketika gedung perpustakaan umum itu didirkan di bawah Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumrntasi Kabupaten Kobar. Tak banyak yang tahu keberadaan gedung di area perkantoran pemerintah daerah itu. Tampilan luar dan dalamnya biasa saja, sebagaimana perpustakaan umum di daerah-daerah lain yang cenderung suram. Tempat ini juga sepi pengunjung.

Kini, setelah dipoles dengan kemasan baru, tempat tersebut sarat dengan beragam kegiatan. Perpustakaan itu juga menjadi salah satu mitra program Perpuseru Coca cola Foundation Indonesia (CCFI). Sebagaimana nama program “seru”, bisa dibilang tempat ini memang terasa seru dengan beragam kegiatan belajar para pelajar, mahasiswa, dan masyarakat dari semua lapisan.

Sarat kegiatan

Keseruan perpustakaan semakin terasa dengan adanya sudut khusus anak. Oengunjung anak-anak dapat membaca sambil lesehan atau tidur-tiduran diatas karpet yang bersih. Beragam permainan mendidik juga bisa dipilih untuk menambah variasi kegiatan belajar. Ada juga kegiatan mendongeng.

“Saya suka baca komik,” tutur Fifi, siswa kelas III SD, kepada Kompas yang mengunjungi perpustakaan itu pada pertengahan Desember lalu. Bocah perempuan itu mengaku rutin ke perpustakaan seusai sekolah.

Para ibu yang mengantar anak-anak mereka ke perpustakaan juga punya pilihan kegiatan. Mereka bisa embaca tabloid dan majalah perempuan. Ada juga komunitas craft lover (penggemar keterampilan) yang berkembang dari mewujudkan ide-ide buku keterampilan yang disukai para ibu. Karya mereka dipajang disudut kreasi sekaligus untuk ajang promosi.

Tinuk (35), ibu rumah tangga yang hobi membaca, mengaku senang karena perpustakaan umum itu tak sepi pengunjung. Dia setia mampir kesini jauh sebelum tempat itu populer. “Boleh masuk di rumah, saya cari variasi menu di koleksi perpustakaan. Apalagi, didaerah, kan, belum ada toko buku yang lengkap. Bahkan, dari buku-buku saja jadi keal dan bisa berkreasi dengan kerajinan tangan dari kain flanel, “ katanya.

Kerajinan itu lantas dia ajarkan kepada anak-anak di lingkungan rumah. Dia juga memperoleh banyak pesanan suvenir. Tinuk mengatakan omzet kerajinannya kini mencapai sekitar Rp 2 juta per bulan.

Masih di ruangan yang sama, layanan komputer yang dilengkapi akses internet juga menjadi favorit anak-anak. Dengan menelusuri dunia maya, mereka belajar menggenggam dunia leat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Jika tak sabar menunggu diliran berselancara di delapan komputer di meja berwarna-warni, pengunjung dapat memanfaatkan wi-fi untuk mengakses internet. Pelajar bukan hanya mengakses media sosial, melainkan juga menyelesaikan pekerjaan rumah dengan memperkaya bahan dari internet.

Para ibu tak mau ketinggalan. Bergabung dalam komunitas craft lover, mereka belajar menjadi wirausaha dan memasarkan karyanya secara online. Para guru dan pegawai negeri sipil disitu terpancing melek internet agar tak ketinggalan zaman. Melalui Kelas Berbagi yang melibatkan kerelaan masyarakat untuk saling belajar keterampilan, melek internet un mulai mewabah di perpustakaan ini. Komunitas teknologi informasi dan komunikasi menjadi tempat belajar komputer dan internet gratis bagi semua pengunjung. Kelas fotografi mengajarkan teknik pemotretan dan hasil karyanya dipajang memenuhi dinding perppustakaan. Ada pula kpmunitas usaha mikro, kecil, dan menengah untuk belajar menjadi wirausaha yang terampil. Mereka bisa memanfaatkan pemasaran secara online.

“Perpustakaan harus jadi tempat yang seru, pusat belajar, serta aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaaat dengan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Inilah wajah perpustakaan masa depan, mesti selalu up to date dalam melayani masyarakat,” kata Triyono, Project Manager & Advocasy Perpuseru Coca Cola Foundation Indonesia dalam acara Jelajah Perpuseru di Pangkalan Bun.

Triyono mengatakan, Perpuseru diharapkan dapat dikembangkan di semua perpustakaan umum di negeri ini. Saat ini, program itu bermitra dengan 34 perpustakaan umum kabupaten/kota di 16 provinsi di Indonesia.

Kegiatan semacam ini juga sejalan dengan semangat UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Perpustakaan  hendaknya dikembangkan demi meningkatkan kegemaran membaca, wahana belajar, dan mengembangkan potensi masyarakat.

Langkah-langkah kecil telah mendorong perpustakaan umum di Pangkalan Bun untuk bergerak menggapai tujuan besar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sumber : Kompas, 5 Jnauari 2015, Hlmn 12

Budinuryanta Yohannes, Dosen yang 17 Tahun Serbahitam Simbol Penghormatan terhadap Mahasiswa

Simbol Penghormatan Terhadap Mahasiswa. Jawa Pos.20 Januari 2015.Hal.29,39

Sejak dua mahasiswanya tertabrak kereta api (KA) sekitar akhir 1990-an, hidup dosen Universitas Negeri Surabaya Budinuryanta Yohannes berubah. Sejak itu, dia mengenakan pakaian serbahitam sebagai tanda penghormatan.

Farid S. Maulana

Tiap mengingt headline surat kabar yang berjudul Gara-gara Mau Ikut Kuliah Logika Bahasa, Dua Mahasiswa Tewas Tertabrak Kereta, tiap itu pula dada Budinuryanta Yohannes berdenyut. Dua mahasiswa tersebut ditulis tengah memburu waktu untuk ikut kuliahnya dan sangat mungkin melanggar palang pintu lintasan KA.

Budi memang menerapkan disiplin ketat di ruang kelasnya. Maksimal, mahasiswa hanya mendapat 15 menit toleransi keterlambatan. Lewat tenggat itu, mahasiswa tidak boleh masuk. Sebuah aturan yang sebenarnya wajar-wajar saja. Tapi, insiden kecelakaan itu mengubah hidupnya. “Saya memakai pakaian hitam bukan karena saya bersalah, tapi untuk mengenang dua mahasiswa saya,” tegasnya.

Yang membuatnya terkenang adalah Arif, nama salah seorang mahasiswa yang tewas tertabrak KA tersebut. Budi mengaku tidak tahu nama lengkapnya. Tapi, dia hanya mengenang sifat mahasiswa itu sama dengan namanya. Yakni, Arif. “Dia koordinator di kelas saya,” ucapnya.

Menurut Budi, sebenarnya rute Arif ke kampus tidak melewati rel KA tersebut. Tapi dia harus menjemput temannya. “Saya dengar cerita dari mahasiswa saya, temannya si Arif ini tengah banyak masalah. Bahkan, sudah memutuskan berhenti kuliah,” terangnya.

Namun, Arif tidak ingin temannya menyerah. Bahkan, dia mau mengalah untuk menjemput temannya tersebut. Hingga, pada hari nahas itu, Arif bersama temannya yang bermasalah itu. Buah pengorbanannya itu membuat hidupnya berakhir. “Menurut saya, itu kematian yang mulia. Saya sangat hormat dengannya,” terangnya.

Tak Ingin Hidup Berdasar Persepsi Orang

Lantas, Budi yang, tampaknya, masih emosional dengan judul headline tersebut berceletuk. “Coba kalau tahu ceritanya, pasti nulisnya tidak seperti itu. Kenaa malah nyalahin saya,” tambahnya dengan nada tinggi.

Sejak kejadian tersebut, pria yang tinggal di daerah Karah itu memakai semua hal yang berwarna hitam. Sebagai rasa kehilangan dan kesedihan, bukan penyesalan. Budi tidak ingin pakaian hitam yang dikenakan itu membuat orang mengingat kejadian yang justru sangat ingin dia hapus dari lembaran hdupnya tersebut.

Tapi, tetap saja banyak orang yang mengaitkan kematian dua mahasiswanya itu dengan dirinya. Terutama opini koran yang dianggapnya sangat menyesatkan tersebut. Bahwa dua mahasiswa itu meninggal karena kedisiplinannya menerapkan aturan perkuliahan. Dua hal yang sebenarnya tidak berkaitan.

Budi sendiri mengaku tidak ingit dan tidak mau mengingat kejadian nahas tesebut. Dia tak ingin mengingat luka yang sangat membekas dan rasa marah terhadap surat kabar yang sekan-akan memojokkan dirinya.

Menurut Budi, hitam yang selalu dia kenakan hanyalah sebuah simbol. Dirinya tidak peduli dengan apa yang orang pikirkan mengenai pakaian serba hitam tersebut. Menurut dia, penafsiran setiap orang mengenai sebuah simbol berbeda-beda. “Terserah orang mau melukiskan saya seperti apa. Tapi, yang pasti hitam yang saya pakai adalah sebuah cerita pribadi milik saya, pertanggungjawaban saya dengan Tuhan,” ungkapnya.

“Saya tidak suka, ketika mahasiswa saya sudah mendengar kebar semacam ini, mereka justru melihat saya sebagai orang yang depresi. Saya tekankan lagi, saya tetap Budi yang tegas dan disiplin seperti dulu,” jelasnya.

Pria yang memang dikenal sebagai simbol pemberontakan di kalangan dosen Unesa tersebut berharap mahasiswanya bisa mencontoh mereka yang sukses berkat didikan kerasnya. Pendidikan dan kedisiplinan, menurut Budi, adalah sebuah kewajiban yang harus dimiliki mereka yang berjiwa pengajar.” Pendidikan itu memaksa kita untuk maju, tentu dnegan garis kasih yang benar,” ujarnya.

Budi menganggap pakaian serbahitam tersebut juga menjadi tanda bahwa dirinya sebenarnya manginginkan dua mahasiswa itu mengenakan pakaian hitam berupa toga. “Dosen itu ikut bahagia melihat mahasiswa yang diajarnya bisa memakai toga. Itu suatu kebanggan bagi kami,” pesan Budi untuk para mahasiswa yang selalu berpikir bahwa soden selalu menjadi penghalang mereka untuk menjadi sarjana.

Soal persepsi orang, Budi mengaku tidak ada masalah. Dia mengatakan tidak hidup untuk menuruti keinginan orang-orang. “Saya menikmati apa yang orang pikir tentang saya. Itu terserah mereka. Untuk kenangan yang itu, cukup saya dan Tuhan yang mengetahuinya,” terang Budi.

Sumber :Jawa Pos, 20 Januari 2015, hlmn 2015

Priscilla “Gogo” Sitienei Jadi Murid SD di Usia 90 Tahun Pergi ke Sekolah Bersama Enam Piutnya, Duduk Selalu Terdepan

Priscilla Gogo Sitienei Jadi Murid SD di Usia 90 Tahun. Jawa Pos. 24 Januari 2015.Hal.10

Lima tahun lalu Priscilla Sitinei ditolak saat mendaftar jadi murid sekolah dasar. Alasannya, dia terlalu tua. Namun, sekolah kemudian luluh ketika Sitinei yang kini berusia 90 tahun bisa meyakinkan bahwa dirinya serius. Kini semangatnya menjadi inspirasi bagi generasi muda Kenya.

Wajah Sitinei tampak serius saat mendengarkan guru yang sedang mengajar di depan kelas. Beberapa kali dia menuliskan nama-nama binatang dalam bahasa Inggris di buku catatannya. Sudah lima tahun ini dia mengenyam pendidikan dasar di Leaders Vision Preparatory School di Desa Rift Valley, Ndalat, Kenya. Saat ini Sitinei masih duduk di kelas empat. Dia mengikuti seluruh pelajaran seperti siswa lainnya. Mulai matematika, bahasa Inggris, seni tari, olahraga, hingga seni suara.

Seperti biasa, saat belajar di sekolah, dia selalu duduk di bangku deretan terdepan. Usia yang sudah tua membuat penglihatan dan pendengaran Sitienei menurun. Karena itulah, dia harus duduk di depan. Layaknya siswa pada umumnya, Sitienei juga menggunakan seragam sekolah lengkap dengan dasi.

Enam orang piutnya (cucu dari cucunya) bersekolah di tempat yang sama. Mereka biasanya berangkat bersama-sama. Sitienei tidak merasa malu sama sekali bersekolah bersama mereka. Teman-temannya yang lain berusia 10-14 tahun. Beberapa di antaranya pernah di bantu saat lahir dulu. Sebab, selama 65 tahun belakangan Sitienei berprofesi sebagai bidan desa.

“Saya ingin mengatakan kepada anak-anak di dunia, terutama anak perempuan, bahwa pedidikan akan menjadi harta kekayaanmu,” ujar perempuan yang akrab disapa Gogo itu. Dalam bahasa Kalenjin, gogo berarti nenek/ “Dengan pendidikan, kalian bisa menjadi apa pun yang kalian inginkan. Menjadi dokter, pengacara, ataupun pilot,” tambahnya.

Sitienei menjelaskan bahwa bukan tanpa alasan dirinya pergi ke sekolah pada usia senja. Dia ingin sekali membaca Alkitab dan menuliskan resep-resep ramuan herbal yang dipelajari selama 65 tahun enjadi bidan desa. Sayangnya, saat kecil, dia tidak bisa mengenyam pendidikan sehingga buta huruf. Saat ini Sitienei sangat bersyukur karena akhirnya keinginannya tercapai. Dia sudah bisa membaca dan menulis. Lebih dari itu, dia ingin menginspirasi anak-anak di daerahnya agar mau mengenyam pendidikan.

“Terlalu banyak anak usia sekolahh yang tidak ke sekolah. Mereka bahkan memiliki anak,” jelasnya prihatin. Dia pernah menanyai mereka tentang alasan tidak ke sekolah. Anak-anak dan remaja tersebut menjawab bahwa mereka terlalu tua. “Saya katakan kepada mereka, saya pergi ke sekolah. Begitu juga seharusnya kalian. Tidak pernah ada kata terlambat,” tambahnya.

Kepada Leadrs Vision Preparatory School David Kinyanjui menyatakan kebanggaannya terhadap murid spesial itu. “Gogo adalah berkah bagi sekolah ini. Dia telah menjadi motivator bagi seluruh siswa. Sejak kedatangannya, ada perubahan besar di sekolah,” ujarnya.

David menjelaskan bahwa Sitienei dicintai seluruh siswa. Sejak kedatangan Sitienei, suasana ekolah terasa sangat berbeda.Seluruh siswa senang belajar bersama Sitienei. Terlebih dia kerap menceritakan dongeng-dongeng lokal kepada para siswa.

Sitinei diperkirakan menjadi perempuan tertua di dunia yang mengenyam pendidikan sekolah dasar. Guiness Book of Records pernah mencatat Kimani Maruge sebagai perempuan tertua yang mengenyam pendidikan di sekolah dasar. Maruge yang juga merupakan penduduk Kenya mulai sekolah di usia 84 tahun pada 2004. Dia meninggal lima tahun kemudian. Pihak sekolah berencana memberitahu bahwa di sekolah mereka saat ini ada Sitienei yang telah menggugurkan rekor mendiang Maruge.

Sumber : Jawa Pos, 24 Januari 2015, hlmn 10

Program Studi Kesehatan Dibatasi

Program Studi Kesehatan Dibatasi. Kompas. 21 Januari 2015.Hal.1

JAKARTA, KOMPAS – Selama ini, pembukaan program studi dinilai terlalu mengikuti alunan gelombang permintaan pasar. Akibatnya, sejumlah program studi terlalu banyak dan jenuh. Mutu pendidikan pun rawan dikorbankan. Untuk itu, pemerintah melakukan moratorium atau menangguhkan pembentukan program studi tertentu, yakni bidang kesehatan.

Direktur kelembagaan dan kerja sama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Hermawan Kresno Dipojono mengatakan, Selasa (20/1), moratorium itu untuk program studi (prodi) kedokteran gigi dan pendidikan profesi dokter gigi. Penangguhan itu sejak 2011 hingga sekarang.

Prodi lain yang dimoratorium adalah keperawatan, jenjang diploma tiga dan sarjana; program kebidanan jenjang diploma tiga, diploma empat, dan sarjana; bidan pendidik; serta ilmu kesehatan masyarakat jenjang sarjana.

Pemerintah juga menangguhkan perubahan bentuk perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri.

Berdasarkan data Ditjen Dikti, pada jenjang diploma (D-1 hingga D-3) di perguruan tinggi negeri dan swasta, prodi terbanyak di bidang kesehatan. Pada jenjang sarjana, prodi terbanyak ialah bidang pendidikan.

Data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) juga menunjukan, dari 291 prodi yang tidak terakreditasi, sebagian besar ialah prodi kebidanan, kesehatan, dan teknik untuk jenjang diploma tiga. Untuk jenjang sarjana, prodi terbanyak yang tak terakreditasi ialah teknik.

BAN-PT memiliki data lengkap mengenai prodi tidak terakreditasi itu, tetapi memutuskan tidak memublikasikan kepada masyarakat. “sesuai kesepakatan Ditjen Dikti dan BAN-PT, mereka masih mau dibina oleh Ditjen Dikti. Jika kondisinya membaik, prodi bisa mengajukan lagi akreditasi,” kata Ketua BAN-PT Mansyur Ramly.

Dikaji

Hermawan mengatakan, pihaknya tengah menata pembukaan program studi dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pemerintah juga menanti hasil kajian Dewan Pendidikan Tinggi terkait prodi.

Pengamat pendidikan tinggi yang juga Guru Besar Institut Teknologi Bandung Satryo Soemantri Brodjonegoro berpandangan, penyediaan prodi lebih banyak menyesuaikan permintaan masyarakat, terutama untuk program studi tertentu. Akibatnya, terjadi kerawanan mutu lulusan pendidikan di program itu.

Sumber :  Kompas. 21 Januari 2015. Hal 1.

Program Studi Baru Diperketat

Program Studi Baru Diperketat. Kompas.20 Januari 2015.Hal.1,15

JAKARTA, KOMPAS – Ribuan program studi diusulkan dibuka oleh perguruan tinggi negeri dan swasta dalam lima tahun terakhir ini. Pemerintah sudah memperketat pemberian izin program studi baru walaupun tetap saja ada perguruan tinggi yang melanggar. Pengetatan itu dilakukan agar mutu pendidikan tinggi tetap terjamin.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, dalam kurun 2008-2014 ada 8.689 usulan program studi (prodi) baru dari perguruan tinggi negeri dan swasta. Jika diambil rata-rata, ada sekitar 1.200 usulan prodi per tahun. Dari total usulan itu, hanya 3.932 yang direkomendasikan untuk mendapat izin dan menerima mahasiswa.

Minat membuka prodi baru dalam beberapa tahun ini juga tercermin dalam pantauan Kompas di sejumlah perguruan tinggi. Sejak 2013, Universitas Brawijaya (Malang) menambah 19 prodi dan akan mengusulkan 20 prodi baru tahun 2015. Di Universitas Pendidikan Indonesia (Bandung) dibuka 4 prodi baru, di Universitas Mulawarman (Kalimantan Timur) ada 10 prodi baru dalam dua tahun ini. Untuk universitas swasta, Universitas Komputer Indonesia (Bandung) tengah mengurus izin untuk Prodi Manajemen Perhotelan dan Pariwisata, Magister Akuntansi, serta Doktor Ilmu Manajemen.

Peningkatan prodi biasanya di ikuti dengan pertumbuhan jumlah mahasiswa. Jika tidak disertai ketersediaan fasilitas dan tenaga pengajar memadai, mutu pendidikan tinggi di institusi tersebut rawan terganggu.

Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Ditjen Dikti pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Hermawan Kresno Dipojono mengatakan, di Jakarta, Senin (19/1), pemberian izin perguruan tinggi dan prodi sudah diperketat dan selektif. Izin itu berdasarkan evaluasi dokumen dan syarat yang mengacu pada standar nasional pendidikan tinggi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Bahkan, evaluasi yang dikembangkan Ditjen Dikti dibahas bersama dengan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Perguruan tinggi yang mendapat izin akan memperoleh akreditasi minimal (akreditasi C) untuk akreditasi institusi dan prodi yang berlaku lima tahun. Setelah berjalan dua tahun, perguruan tinggi dan prodi bisa mengajukan akreditasi ke BAN-PT untuk peningkatan akreditasi. Akreditasi prodi dan institusi wajib dilakukan secara berkala.

Ada yang melanggar

“Pemberian izin tidak sembarangan. Kami mau perguruan tinggi mengedepankan kualitas,” ujar Hermawan.

Syarat pendirian prodi setingkat S-1, misalnya, minimal harus memiliki 6 dosen tetap dan pendidikan dosen minimal S-2, rasio dosen 1:30 untuk prodi non-eksakta dan 1:20 untuk eksakta, serta harus ada bukti memiliki anggaran minimal Rp 3,5 miliar.

“Dalam perjalanannya, ada saja perguruan tinggi atau prodi yang melanggar. Ada yang tidak dapat memenuhi syarat sehingga akreditasinya tidak memenuhi syarat,” kata Hermawan.

Tak terpenuhinya syarat untuk diakreditasi, lanjut Hermawan, antara lain karena pembelajaran dan fasilitas di prodi atau perguruan tinggi tersebut belum memenuhi syarat. Jika masih bisa dibina, akan diberi kesempatan sekitar satu tahun. “Jika tidak, bisa diajukan untuk ditutup,” ujarnya.

Ketua BAN-PT Mansyur Ramly mengatakan, selama periode 2001-2014 ada 546 prodi yang tidak terakreditasi. Namun, pada tahun ajaran 2013/2014 jumlahnya berkurang menjadi 291 prodi yang tidak terterakreditasi. Namun, pada tahun ajaran 2013/2014 jumlahnya berkurang menjadi 291 prodi yang tidak terakreditasi. Sebagian besar prodi yang tidak terakreditasi itu ada di perguruan tinggi swasta. Seharusnya, prodi yang tidak terakreditasi ditutup.

“Banyak perguruan tinggi yang abal-abal (asal-asalan). “bisa dapat akreditasi karena dulu awalnya bagus, semua standar dipenuhi. Tetapi, 1-2 tahun kemudian standar menurun sehingga tidak terakreditasi. Biasanya karena dosen tetap keluar satu per satu,” ujar Mansyur.

Sebuah institusi atau prodi di anggap asal-asalan apabila dalam waktu tertentu tidak ada proses pembelajaran, tetapi mahasiswa tetap membayar biaya kuliah dan mendapatkan ijazah.

Perguruan tinggi asal-asalan itu kadang mengakali asesor. “ada yang ketika kami datang di bawa ke laboratorium yang semua alatnya masih ditutup plastik. Katanya, mereka memperbarui peralatan enam bulan sekali. Ada juga yang kasih uang atau perhiasan. Yang macam begini, langsung kami beri sanksi tidak terakreditasi,” kata Mansyur.

Saat ini, BAN-PT memantau perguruan tinggi di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di kota-kota itu disinyalir paling banyak beroperasi perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar.

Sumber :  Kompas. 20 Januari 2015. Hal 1, 15.

Prodi Selaras Kebutuhan

Prodi Selaras Kebutuhan. Kompas. 22 Januari 2015.Hal.11

Terlalu banyak Program Studi Tetentu Picu Pengangguran

Jakarta, Kompas – Pertumbuhan program studi idealnya selaras dengan kebutuhan pasar kerja dan pembangunan, tidak hanya mengikuti fenomena tren tertentu. Jika program studi tertentu terlalu berlebihan jumlahnya, di khawatirkan jumlah lulusan tidak seimbang dengan kebutuhan, lalu memicu pengangguran terdidik di Indonesia.

Kepala Subdirektorat Pendidkan Tinggi Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amich Alhumami mengatakan, pengembangan program studi (prodi) di Indonesia mengacu tren pasar tertentu. Prodi kerap dibuka tanpa kajian kebutuhan pengguna lulusan, sepeti dunia usaha (industri) dan kebutuhan pembangunan.

Tak heran jika laporan Bank Dunia menyebutkan terjadi ketaksambungan antara lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan pengguna. “Pembukaan dan penutupan program studi sebenarnya hal biasa. Tetapi, sering pembukaan program studi tak dengan dasar survei kebutuhan, tetapi sekadar megikuti fenomena sehingga asal-asalan,” ejar Amich, Selasa (20/1). Penyelenggaraan prodi pun jadi tak sesuai standar sehingga lulusannya tidak memenuhi standar dan hanya menciptakan pengangguran terdidik.

Pertanian dan maritim

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 oleh Bappenas, peningkatan mutu perguruan tinggi menjadi hal serius. Sehubungan dengan upaya peningkatan relevansi dan daya saing pendidikan tinggi, strategi terkait prodi adalah pengembangan jurusan-jurusan inovatif sesuai kebutuhan pembangunan dan industri.

Amich mengatakan, pengembangan jurusan-jurusan tersebut disertai peningkatan kompetensi lulusan berdasarkan bidang ilmu dan kebutuhan pasar kerja. Peningkatan kompetensi itu terutama dalam bidang pertanian, maritim, pariwisata, industri manufaktur, dan ekonomi kreatif.

Kebanyakan noneksakta

Amich menambahkan, penilaian usulan pembukaan prodi baru di perguruan tinggi negeri dan swasta harus lebih selektif. Perlu diseimbangkan pembukaan prodi untuk disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora, sains, keteknikan, dan kedokteran. Pemerintah juga harus melindungi program-program studi yang mengembangkan disiplin ilmu langka peminat, seperti Sastra Jawa, Arkeologi, Filologi, Filsafat, dan Tafsir Hadis.

Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian  Riset, Teknologi, dan Pendidkan Tinggi Hermawan Kresno Dipojono mengakui, jika usulan prodi lebih banyak noneksakta, terutama yangs edang diminati masyarakat. Namun kini, pembukaan prodi kini diutamakan untuk program vokasi ataupun yang mendukung kebijakan pembangunan, seperti di bidang sains, teknik, dan pertanian.

Dari seleksi masuk perguruan tinggi negeri beberapa tahun terakhir, prodi favorit mahasiswa hampir selalu sama. Pada seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri 2014, ada prodi dengan peminat terbanyak, yaitu manajemen, akuntansi, teknik informatika/ilmu komputer/teknologi informasi/sistem informasi, pendidikan guru SD, hukum, pendidikan dokter, psikologi, ilmu komunikasi, farmasi, dan ilmu kesehatan masyarakat.

Sumber :Kompas, 22 januari 2015, hlmn 11

Perguruan Tinggi Swasta Giat Jaring Mahasiswa

Perguruang Tinggi Swasta Giat Jaring Mahasiswa. Kompas. 21 Januari 2015. Hal. 11

Pendidikan Tinggu Bukan Sekadar Tempat Mendapat Gelar

Ambil contoh, Universitas Pamulang (Unpam) di Kota Tangerang Selatan, banten. Universitas itu memiliki 46.000 mahasiswa. Setiap tahun, 15.000 orang mengikuti ujianmasuk dan 13.000 orang diterima. “Salah satu penyebab diminatinya Unpam adalah iaya pendidikan yang murah,” kata Rektor Unpam Dayat Hidayat, Senin (19/1)

Mahasiswa ekssakta hanya membayar uang kuliah sebesar Rp 1.300.000 per semester. Sementara mahasiswa program studi nonekssakta membayar biaya Rp 1.200.000. Uang kuliah pun bisa dicicil.

Perguruan tinggi lain, yaitu Universitas mercu Buana (UMB) Jakarta, memilih membuka cabang di bekasi untuk menambah jumlah mahasiswa. Total mahasiswa di UMB ada 22.000 orang. “Ada dosen yang dari UMB pusat mengajar di Bekasi beberapa kali dalam sepekan. Ada pula yang menetap di sana,” ujar Kepala Pusat Penjaminan Mutu UMB Desiana Vidayanti, Selasa (20/1)

Di Unpam, program studi terlaris, yaitu Manajemen, memiliki 400 mahasiswa setiap angkatan sehingga harus dipecah menjadi sepuluh kelas. Program studi lain, seperti Teknik Informatika dan Komputer serta Akuntansi, masing-masing tediri atas 60 kelas. Akibatnya, satu dosen bisa mengajar 10 hingga 15 kelas.

Menurut Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Supriadi Rustad, rasio itu tak baik bagi dosen dan efektivitas pembelajaran mahasiswa. Masalah beban dosen dialami UMB awal tahun 2000. Kini, mereka membatasi kelas yang boleh diambil dosen.

Sekitar 60 persen mahasiswa di kedua ergurua tinggi itu adalah karyawan yang melanjutkan pendidikan di tingkat strata satu (S-1) dan strata dua (S-2). “Bagi kebanyakan mahasiswa yang juga bekerja, akreditasi bukan hal utama. Yang penting, mereka bisa memperoleh ijazah sehingga bisa melamar  pekerjaan lebih baik,” kata Dekan Fakultas Sastra Unpam Djasminar Anwar. Oleh karena itu, sistem drop out diberlakukab di kedua perguruan tinggi tersebut guna menjaga standar dan kualitas.

Tak hanya gelar

Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Sastry Soemantri Brodjonegoro, berpendaoat, komdifikasi perguruan tinggi bukan merupakan langkah yang bijak karena berisiko mengorbankan mutu. “Pendidikan tinggi tak sekadar untuk mendapatkan gelar sarjana, tetapi untuk penguasaan keterampilan dan keahlian” ujar Satryo.

Sumber : Kompas Kompas, 21 Januari 2015, hlmn 11

Pembukaan Prodi Tak Terkendali, Tak Didukung Fasilitas dan Pengajar Memadai

Pembukaan Prodi Tak Terkendali. Kompas.19 Januari 2015.Hal.1,15

Tak Didukung Fasilitas dan Pengajar Memadai

Jakarta, Kompas – Pembukaan program studi di sejumlah perguruan tinggi seperti tak terkendali. Perguruan tinggi leluasa membuka program studi meskipun tidak disertai dengan fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai. Di sisi lain, kualitas pendidikan mahasiswa dikorbankan.

Di Universitas Brawijaya (UB), Malang, Jawa Timur, misalnya, terdapat 19 program srudi (prodi) sejak 2013. Universitas itu akan mengusulkan lagi 20 prodi baru, yang saat ini masih berupa minat, pada 2015. “Minat itu dibuat karena permintaan pasar serta perkembangan ilmu pengetahuan,” ujar Ketua Pusat Jaminan Mutu UB Achmad Wicaksono, pekan lalu.

Total, ada 139 prodi di universitas itu dengan 72.000 mahasiswa. Sebanyak 28 prodi belum mengantongi akreditasi karena masih dalam proses di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)

Dengan banyaknya jumlah prodi di UB, jumlah mahasiswa baru berkisar 12.000-18.000 orang setiap tahun. Akibatnya, mahasiswa menumpuk hampir di semua fakultas. Mahasiswa harus rela kuliah bergantuan hingga malam hari. Gedung Widyaloka, gedung pertemuan di UB, pun jadi gedung perkuliahan.

Ika (20), mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional, umpamanya, mengatakan, empat semester pertama harus kuliah di gedung kuliah bersama, bahkan tidak jarag ia harus kuliah malam. “Tetapi sekarang FISIP sudah memiliki gedung baru. Tidak perlu lagi kuliah di gedung kuliah bersama,” ujarnya.

Kondisi itu dibenarkan pihak universitas. Namun, Achmad mengatakan, sejak bertambahnya mahasiswa, UB gencar membangun gedung baru.

Pembukaan Prodi Tak Terkendali

Persoalan lain ialah beratnya beban bagi dosen. Seorang dosen mengaku bisa mengajar 7 kelas dalam seminggu atau sekitar 21 SKS seminggu. “Saya tidak punya waktu mengembangkan diri dan kesulitan mengoreksi tugas mahasiswa. Mutu mahasiswa yang dihasilkan yang dihasilkan jadi tidak maksimal,” ujar seorang dosen UB.

Akhirnya ditutup

Tak semua prodi di UB berjalan mulus. Program S-3 Program Studi Kajian Lingkungan dan Pembangunan (PDKLP), misalnya, sempat belum bisa mengeluarkan ijazah mahasiswa kaena belum mengantongi izin. Akibatnya, kelulusan mahasiswa diundur sekitar setahun hingga akhirnya prodi itu mengantongi izin dan bisa mengeluarkan ijazah pada 2010. Menurut Rektor UB Muhammad Bisri, itu terjadi karena pengelola PDKLP tidak mau dijadikan program “minat” yang menempel di jurusan pertanian.

Muhammad Bisri, yang baru terpilih sebagai rektor, berniat memperbaiki situasi. UB tengah membuat masterplan berbasis daya tampung.

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang dalam beberapa tahun ini membuka empat prodi baru, yakni D-3 Keperawatan, S-1 Ilmu Komunikasi, Ekonomi Keuangan Syariah, dan Desain, juga bermasalah dengan prodi D3 Keperawatan. Prodi itu dibuka tahun 2009 bekerja sama dengan Jepang yang membutuhkan perawat terlahtih untuk merawat warga lansia.

Dekan Fakultas Olahraga dan Keperawatan UPI Yunyun Yuniadi mengatakan, prodi itu seharusnya memiliki 6 perawat pengajar. Saat itu perawatmpengajar hanya 3 orang. Pengajar bergelar S-2 hanya 2 orang, padahal syarat mengharuskan 6 orang. “Akibatnya, kami tak lulus reakreditasi pada tahu 2012,” ujar Yunyun.

Kepala Prodi Keperawatan UPI Iman Imanudin mengungkapkan, sebagai jalan keluar diangkat 4 perawat yang tengah menyelesaikan studi S-2 untuk menjadi pengajar dan diajukan kembali proposal reakreditasi.

Universitas Padjadjaran (Unpad) juga sempat kebablasan menerima mahasiswa. Menurut data administrasi per 3 November 2014, dari 54 prodi S-1, terdapat 22 prodi dengan jumlah mahasiswa dua kali lipas di atas daya tampung, seperti Ilmu Komunikasi, Sastra Indonesia, Ilmu Politik, dan Sejarah.

Itu pun, Wakil Rektor I Unpad Engkus Kuswarno menyatakan, Unpad sebetulnya tengah mengerucutkan jumlah mahasiswa di setiap prodi. Universitas itu sempat berlebihan menerima mahasiswa pada awal 2000-1n.

Pada 2010, setidaknya ada sepuluh prodi D-3 yang kurang peminat, kemudian dibubarkan, seperti D-3 pertanian, perikanan, dn usaha perjalanan wisata, Rektor Unpad Ganjar Kurnia mengatakan, tidak setuju dengan penggunaan D-3 sebagai ekstensi bagi para mahasiswa yang tidak lulus seleksi S-1. “Diploma 3 itu program terminal yang bertujuan agar lulusan terampil bekerja. Jadi, kami bubarkan,” kata ganjar.

Universitas Gadjah Mada kini selektif membuka prodi dan berkonsentrasi pada peningkatan kualitas. Wakil Rektor Bidang Akademik Iwan Dwiprahasto mengatakan, UGM pernah terpaksa menutup satu prodi, yakni D-3 ilmu hukum, karena mendapat akreditasi C. Sementara itu, program S-2 Kesehatan Kerja yang terakreditasi C digabung dengan S-2 Kesehatan masyarakat yang berakreditasi A.

Kepentingan pasar

Pakar pendidikan HAR Tilaar mengatakan, pembukaan perguruan tinggi dan program studi di Indonesia lebih berorientasi kepentingan ekonomi. Tak jelas arahnya dalam mendukung kebijakan dan pembangunan. Tak heran jika perguruan tinggi negeri dan swasta bersaing tidak sehat dan saling mematikan.

Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama, Ditjen Pendidikan Tinggi, Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Hermawan Kresno Dipojono menyatakan, pendirian program studi sebetulnya diperketat. Untuk S-1, misalnya minimal memiliki 6 dosen tetap dan pendidikan dosen minimal S-2. Selain itu, harus ada bukti anggaran minimal Rp 3,5 miliar. Penjaminan Rp 3,5 mutu internal oleh erguruan tinggi maupun eksternal lewat akreditasi BAN-PT juga harus dipenuhi.

Menurut dia, banyak pengguna yang sudah sadar pentingnya akreditasi. Lulusan perguruan tinggi terakreditasi C mulai tidak dilirik pasar sehingga terbatas peluang lulusannya mendapat pekerjaan.

Sember: Kompas, 19 Januari 2015, hlmn 1, 15

Menyampaikan Nilai Positif Melalui Dongeng

Menyampaikan Nilai Positif Melalui dongeng. Kompas. 22 Januari 2015.Hal.11

Nuara (8) menyanyi di atas panggung diaksikan 2.500 murid SD yang datang dari beragam penjuru Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Putri penyanyi Riafinola dari kelompok musik Be3 itu melantunkan lirik. “Aku bisa jadi apa saja. Mengejar impian setinggi langit.”

Teman-teman sebaya yang menyaksikan kebolehan Nuara bertepuk tangan dan sorak-sorai memenuhi Gedung Griya Karya di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta, Rabu (21/1)

Penampilan Naura merupakan bagian dari Festival Nusantara Bertutur (Nubi), sebuah ajang yang mengajarkan masyarakat bahwa pendidikan karakter bisa dicapai melalui metode dongeng. Oleh karena itu, acara tersebut dihadiri komunitas-komunitas mendongeng, seni, dan lembaga pendidikan nonformal untuk anak-anak. Turut hadir Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa yang menyempatkan diri menceritakan legenda terbentuknya Danau Toba.

“Seru banget! Saya jarang didongengin di rumah, kecuali kalau benar-benar meminta ke Papa dan Mama,” kata Yudha (10), siswa kelas III SD Al-Fath, Cirendeu. Murid lainnya, Hanifia (10) dari SDN Mekarjaya 18, Depok, menuturkan, mendengarkan dongeng membuatdia bisa mengkhayal emngkuti petualangan para tokoh cerita. Dia pun menjadi bersemangat.

Konsep baru

“Penelitian kami menemukan, dalam 30 tahun terakhir, orang tua jaang mendongeng kepada anak-anak. Padahal, dongeng, selain mempererat komunikasi, merupakan moda pendidikan karakter,” ujar salah satu penggagas Nubi, Gilarsi Sestijono, di Jakarta, Rabu (21/1).

Masyarakat kerap terjebak konsep bahwadongeng harus berupa legenda pada zaman dahulu kala. Padahal, dongeng bisa berbentu narasi, nyanyian, bahkan permainan. Intinya adalah memberi pengertian kepada anak-anak mengenai nilai-nilai positif di dalam kehidupan.

Salah satu contoh ialah pojok mainan tradisional yang dikelola komunitas hong. Permainan tradisional, umumnya, mengajarkan anak bekeerja sama dan memanfaatkan lingkungan sekitar untuk bermain. Benar saja, anak anak bermain di pojok itu hampir tidak bisa dihentikan bermain gasing dan rorodaan (sejenis gerobak sodor) meskipun waktu acara habis,.

Penggagas Nubi, Arlan Septia, megatakan, perlu konsep baru soal dongeng dengan mengusung nilai-nilai yang relevan dengan kebutuhan bangsa Indonesia kini. Dongeng-dongeng klasik tetap dipertahankan karena bagian dari ientitas bangsa.

Orangtua dan guru pun mesti jeli memilah aspek-aspek positif dari dongeng klasik untuk diajarkan dan diterapkan sehari-hari, “Dongeng yang mengajarkan sifat pantang menyerah, berani bersaing, dan kreatif perlu dibuat. Nilai-nilai itu dibutuhkan untuk membentuk bangsa yang maju,” ujar Arlan.

Festival Nusantara Berrtutur pertama kali diadakan di Indonesia. Ini merupakan acara terakhir dari rangkaian kegiatan yang diadakan Nubi. Sehari sebelumnya, Nubi mengadakan lokakarya mendongeng untuk komunitas dongeng dan para pendidik, terutama pendidik untuk anak-anak usia dini dan SD. (Laraswati Aridne Anwar)

Sumber : Kompas, 22 Januari 2015, hlmn 11

Meninjau Sistem Pengajaran di PT

Meninjau Sistem Pengajaran di PT. Kompas.16 Januari 2015.Hal.7

Meninjau Sistem Pengajaran di PT

Oleh CONRAD WILLIAM WATSON

Dengan masuknya Dikti di Kemenrisrektor di beberapa perguruan tinggi, kita mendapat kesempatan membahas masa depan pendidikan.

Salah satu lulusan yang patut menjadi renungan kita yang bekerja di pendidikan tinggi ialah artikel Sulistyowati Irianto, “Seruan kepada Menristek dan Dikti” (Kompas 6/11/2014). Saya menyokong sepenuhnya seruan itu bahwa PT di Indonesia harus diberi kebebasan mengurus rumah sendiri, lepas dari kementerian yang menaunginya.

Tujuan artikel saya ialah menlanjutkan pembahasan Sulistyowati, yang sudah cukup menguraikan kekurangan sistem pendidikan tinggi dari sisi kelemahan pengelolaan dan birokrasi. Saya akan membatasi pada hal-hal yang bersangkutan dengan sistem pengajaran.

Saya bertolak dari Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Semula saya berpandangan bahwa dokumen ini sangat penting dan perlu dibaca saksama oleh semua pengajar di PT di Indonesia. Dokumen ini menjelaskan secara lengkap dan terperinci dengan pemberian definisi dan perumusan seperlunya, standar pendidikan tinggi, mulai dari ketentuan pembagian kurikulum dari tingkat D-1 ke S3, kualifikasi yang dikehendaki dari dosen, hingga biaya pendidikan.

Namun, kelengkapan dokumen seperti ini mengandung risiko, yaitu menjadi terlalu preskriptif dan bersifat pemerintah. Sebagaimana Sulistyowati berpendapat. “Hindarkan homogenisasi PT. Berikalah ruang kebebasan kepada PT untuk merancang kurikulum sendiri.”

Artinya, PT perlu kebebesan untuk mengatur sendiri asal kegiatannya transparan dapat diperiksa dengn udah oleh khalayak, kinerjanya selalu diawasi oleh pihak berwenang, dan kalau perlu, mengusulkan tutupnya setiap lembaga yang tidak memenuhi standar (akutabel).

Saya mau mencontohkan peraturan yang bersifat preskriptif, satu dari UU Sistdiknas 2003, satu dari Permen. Dua-duanya, berdasarkan pengalaman saya berpuluh tahun berkecimpung di pendidikan di Indonesia, mengongkong kebebasan dan kreativitas PT. Maka, sistem pengajaran di PT di Indonesia seakan dilumpuhkan dan tidak dapat mencapai taraf tinggi.

Mata kuliah wajib

Pertama, UU Sisdiknas 2003 Pasal 37 Ayat 2 yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, kewarganegaraan, dan bahasa (maksudnya barangkali bahasa Indonesia).

Agama dan kewarganegaraan sudah dipelajari sejak SD sehingga sebenarnya tidak perlu di tingkat PT. Sebaiknya mereka sebagai orang dewasa diberi kesempatan untuk mencari dna mempertimbangkan hakikat agama dan makna kewarganegaraan lewat bahan-bahan pilihan mereka. Toh, bekal dari SD – SMA cukup banyak. Tidak ada ruang untuk membenarkan pandangan saya ini, tetapi banyak sekali dosen dan mahasiswa sependapat.

Kedua, sistem kredit semester (SKS) sebagian diterangkan dalam Permen. Sebetulnya usaha standardisasi SKS di Indonesia patut dihargai karena manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya. Tidak masalah kalau semua PT diwajibkan menetapkan pencapaian 144 SKS sebagai syarat lulus sarjana. Sayan, aturan kementerian yang menentukan isi 1 SKS kurang pas.

Pra-anggapan dasar di Permen ialah bahawa setiap minggu mahasiswa sepatutnya belajar 8 jam sehari dan 48 jam seminggu (Pasal 17). Pra-anggapan ini boleh diterima (sebagai bandingan, mahasiswa di Inggris dihitung bekerja 8 jam sehari tetapi cuma 40 jam seminggu karena dua hari libur untuk kegiatan pribadi, seperti olahraga dan hiburan.

Di Indonesia, delapan semester (empat tahun) dikira jangka waktu biasa untuk mencapai 144 SKS, perhitungan kuliah per semester 18 SKS. Namun, bagaimana kita menafsirkan 18 SKS itu? Berapa banyak mata kuliah dibutuhkan untuk 18 SKS?

Pada titik itu timbul tanda tanya atas kebijakan kementerian. Permen (Pasal 16):

  1. 1 Sks pada bentuk pembelajaran kuliah, responsi dan tutorial, mencakup :
  2. Kegiatan belajar dengan tatap muka 50 menit per minggu persemester.
  3. kegiatan belajar dengan tatap muka 50 menit pe minggu per semester.
  4. Kegiatan belajar mandiri 60 menit per minggu per semester.

Kalau penetapan ini diikuti, dapat dihitung bahwa untuk mencapai 1 SKS, mahasiswa harus belajar 160 menit, dan 18 SKS memakan waktu 48 jam. Namun, apa ini berarti seorang mahasiswa harus belajar 18 mata kuliah setiap minggu? Jelas tidak karena mata kuliah terdiri atas beberapa SKS.

Karena di PT setiap mata kuliah dihitung 3 SKS – banyak yang 2 SKS dan 4 SKS, tetapi rata-rata 3 – mahasiswa harus mengambil 6 mata kuliah per semester. Jumlah ini terlalu banyak. Mahasiswa terpaksa membagi perhatian keterlalu banyak topik dalam satu minggu sehingga tidak semoat menguasai satu pun di antaranya. Bandingkan dengan sistem Inggris, mahasiswa hanya mengambil empat mata kuliah, masing-masing 10 jam per mata kuliah.

Untuk menambah jumlah SKS pada mata kuliah agar rata-rata muatan setiap mata kuliah 5 SKS ada ketentuan SKS yang tidak boleh disentuh. Seandainya satu mata kuliah dihitung 5 SKS, tatap muka di kuliah harus sekurang-kurangnya 5 kali 50 menit, yaitu 250 menit kuliah, dan penugasan terstruktur yang sebenarnya tidak jelas maknanya harus demikian pula. Semuanya itu tidak mungkin.

Jadi masalah ini terletak pada ketetapan/peraturan yang mengongkong PT. Ada pra-anggapan bahwa 1 SKS harus terdiri dari 50 menit (sebenarnya dalam kenyataan 1 jam). Semesteinya kementeruan memikirkan lagi rasio antara jam tatap muka dan pelajaran mandiri.

Rasio di Inggris

      Di Inggris bandingannya 2:8, berarti untuk setiap mata kuliah yang terdiri atas 10 jam, mahasiswa harus belajar 8 jam mandiri. Belum tentu rasio ini baik untuk semua mata kuliah sehingga di setiap universiitas di Inggris, para pengelola sistem pendidikan (senat) diberi wewenang mengubah rasio sesuai kebutuhan pelajar.

Demikian berdasarkan uraian di atas ada sekurangnya tiga hal yang dapat diusulkan: 1) kementerian harus membebaskan PT menentukan sistem pengajaran, tanpa diikat pada perhitungan nilai satu SKS; 2) jumlah mata kuliah setiap minggu harus dikurangi dan jam belajar mandiri mendekati 2:8.

Dengan demikian, PT memiliki ruang gerak untuk mengurus sistem pengajaran sesuai kebutuhan mahasiswa, perkembangan teknologi pendidikan, dan teori pedagogi baru.

Kedua, dengan memfokus pada empat mata kuliah, mahasiswa berpeluang belajar secara mendalam dan berkesempatan bersikap kritis terhadap inti mata pelajaran.

Ketiga, kalau mahasiswa di wajibkan lebih banyak waktu belajar sendiri, mereka akan berusaha lebih keras mengasah otak untuk mengerti apa yang mereka baca dan ungkapkan. Mereka akan cepat belajar mandiri, tidak tergantung pada sistem suapan (spoon-feeding) seperti sekarang.

Dengan bentuk sistem pendidikan semacam ini, kemungkinan besar kita dapat menciptakan lulusan PT yang pikirannya tajam, mengerti bagaimana menguraikan masalah, dan mencari pemecahannya.

 

CONRAD WILLIAM WASTON

Profesor School of Business and Management ITB dan Profesor (Emeritus) School of Anthropology University of Kent, UK

Sumber : Kompas, 16 Januari 2015, hal 7