Namanya memang upacara pemakaman. Namun, masyarakat Tana Toraja mengemas upacara tersebut menjadi sebuah festival akbar yang mewah, melibatkan ribuan orang, dan menarik wisatawan. Freddy H. Istanto menjadi saksi digelarnya upacara Rambu Solo di Makale, Sulawesi Selatan, awal bulan lalu.
Pukul 12.00 Wita ratusan orang berkumpul di ujung jalan desa, dekat jalur utama menuju Kota Makale. Anak-anak kecil berjajar membawa tiang bambu berhias. Puluhan kerbau besar tenang menunggu bersama pengawalnya.
Mereka menyambut datangnya jenazah bangsawan Puang Jusuf Massora. Ibu-ibu berbusana hitam-hitam dengan ramah menyapa para tamu, bahkan yang bukan keluarga. Teman saya yang tidak sengaja berbaju hitam pun disapa dan diminta masuk ke formasi penyambutan.
Pertigaan itu menjadi titik perpindahan jenazah yang dibawa kendaraan untuk berganti diusung oleh para pemuda. Tepat pukul 13.00 Wita rombongan jenazah memulai prosesi arak-arakan menuju lokasi upacara. Jarak sekitar 1 kilometer ditempuh lebih dari sejam. Perangkat berbentuk tongkonan dengan jenazah di dalamnya terlihat sangat berat.
Diiringi sorak penyemangat, prosesi melewati jalan desa yang indah berhias hijaunya sawah-sawah subur Tana Toraja. Memasuki gerbang kompleks upacara pemakaman, serombongan penari dengan peralatan perkusi modern menyambut meriah. Dua ekor kuda menari seiring dengan irama musik, dikendalikan gadis berbusana adat dipunggungnya.
Kekaguman melihat arak-arakan panjang itu belum berhenti. Melewati gerbang, puluhan tongkonan kecil berisi sekitar 25 keluarga dan tamu memagari kompleks upacara itu. Di tengah-tengah lapangan berukuran hampir sebesar lapangan sepak bola itu berdiri megah bangunan tinggi persemayaman jenazah.
Tongkonan terbuat dari kayu dan bambu. Tingginya dihitung sampai ujung atap yang menjulang mencapai 15 meter. Lantai 1 untuk keperluan servis. Lantai 2 untuk meletakkan patung mendiang. Lantai 3 merupakan persemayaman jenazah. Bangunan dihias dengan mewah, beberapa keris menjadi bagian dari dekorasi itu.
Saat-saat paling dramatis adalah ketika jenazah dinaikkan ke anjungan di lantai 3. Sebelumnya, yang dinaikkan adalah tempat tidur jenazah. Ada kejadian menegangkan saat tempat tidur dinaikkan. Perabot tersebut terlalu tinggi sehingga tidak bisa masuk ke anjungan. Dengan kemiringan setinggi itu plus bobotnya yang berat, semua orang deg-degan menahan napas. Takut tempat tidurnya merosot jatuh.
Beberapa orang dengan sigap mengambil parang untuk menebas beberapa dekorasi di anjungan. Setelah itu, proses menaikkan jenazah relatif lebih lancar. Ribuan orang menyaksikan peristiwa itu, termasuk wisatawan mancanegara serta media dalam dan luar negeri.
Pada hari kedua, acara dilanjutkan dengan upacara penyambutan tamu keluarga dan kerabat. Namanya, Rambu Solo. Mereka mengenakan busana adat yang menarik. Prosesi penerimaan dan penyambutan tamu diawali dengan barisan kerbau atau babi yang merupakan tanda kasih para tamu. Dua ekor kuda menari mengikuti irama musik nanrancak mengantar rombongan.
Acara itu juga diiikuti penyembelihan kerbau dan babi. Kabarnya, untuk acara ini ada sekitar 80 ekor kerbau dan 400 babi yang dikurbankan. Tidak hanya bikin ngeri, tapi bau anyirnya juga membuat sedikit mual. “Wah, abis ini gua bisa nggak doyan makan rawon, nih,” celetuk salah seorang teman saya.
Meski agak ngeri-ngeri sedap, acara Rambu Solo memang luar biasa. Arsitektur tongkonan yang pernah saya pelajari semasa kuliah dulu tampak semakin indah dan agung karena dilihat di lokasi aslinya. Namun, rumah tradisional yang megah tersebut mencapai puncak tampilannya karena sedang menjadi sebuah wadah peristiwa besar budaya setempat.
Arsitektur Nusantara, seperti juga tongkonan, tidak hanya bercerita tentang fungsi fisik untuk melayani aktivitas manusia. Tetapi, itu juga mengekspresikan makna-makna budaya, menjadi adiluhung ketika mampu berinteraksi puncak di peristiwa agung seperti Rambu Solo.
Rambu Solo merupakan acara yang megah dan adiluhung. Disiapkan berbulan-bulan sebelumnya dengan biaya yang sangat besar. Ratusan keluarga, warga, dan tamu terlibat dalam pergelaran akbar tersebut. Puluhan tongkonan dalam berbagai ukuran seperempat lapangan bola lengkap dengan tribun untuk penonton disiapkan.
Rambu Solo juga menyiapkan model-model busana adat yang membuktikan kekayaan busana orang Toraja. Disana juga ada suguhan kuliner, atraksi tarian dan musik, serta ritual kerohanian yang khas. Meski titelnya dalah upacara pemakaman, rangkaian acara lebih seperti festival. Semua orang berpesta, juga mengirim doa.
Sumber : Jawa Pos. 15 Juli 2017. Hal. 16.