Di awal tahun ini kita disuguhi berita duka: Kapal Zahro Express terbakar saat berlayar dari Pelabuhan Muara Angke menuju Pulau Tidung. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal tercatat 23 jiwa. BNBP kesulitan mengidentifikasi jumlah penumpang karena jumlah yang tertera dalam surat jalan tidak sesuai dengan jumlah penumpang riil. Besaran kapasitas yang seharusnya hanya 100 orang. Kenyataanya melebihi kapasitas hingga dua kali lipatnya, yakni 200 orang.
Tragedi ini seakan melengkapi kabar pilot Citilink yang di sinyalir mabuk saat akan menerbangkan pesawat dengan rute Surabaya Jakarta pada Rabu, 28 Desember 2016 lalu. Pihak maskapai sigap untuk mengatasi hal ini dengan mengganti pilot untuk memastikan penerbangan lancar. Meskipun demikian, CEO dan Direktur Operasional Citilink mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungan jawab.
Kedua peristiwa di atas memberikan isyarat keras tentang eksisnya pengabaian sistem keamanan (safety system) dalam pelayanan transportasi publik yang ditunjukkan dengan terpantiknya pertanyaan bernada skeptis dari publik: Apakah vendor kapal tidak mengetahui bahwa jumlah penumpang yang diangkut melebihi jumlah seharusnya? Bagaimna mungkin pilot yang mabuk dapat lolos dari pengamatan maskapai? Apakah tidak ada prosedur monitoring mengenai pelaksanaan standar prosedur pada kedua kasus tersebut?
Secara konseptual, kecelakaan dalam konteks transportasi memang dapat terjadi karena faktor personal, situasional dan faktor pemesinan. Dari ketiga faktor tersebut, faktor situasional merupakan faktor di luar kontrol manusia. Namun demikian dua faktor lainnya dapat diminimalisir dengan penanganan yang tepat. Faktor pemesinan merupakan tanggung jawab teknisi mesin. Eror dalam faktor ini dapat diminimalisir dengan peningkatan kapasistas dan keahlian staf serta sistem manajemen kontrol yang ketat.
Tulisan ini akan lebih berfokus kepada faktor ketiga, yakni faktor personal khususnya tentang fenomena psikologis perangai abai. Penelitian tentang kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh Treat di Amerika Serikat dengan mengambil sampel di Washington menyatakan bahwa kesalahan pengendara (human error) mengambil peran hingga 70% dari total kasus yang terdaftar di Departemen Transportasi Amerika. Data ini di pertegas dengan laporan Direktorat lalu lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya yang menyatakan pelanggaran lalu lintas periode Januari – September 2016 meningkat 36,58% dari tahun sebelumnya.
Irasionalitas Pasar
Perangai abai adalah stase dimana individu cenderung gagal memanajemen potensi risiko dalam melakukan aktivitasnya. Pengabaian rambu, prosedur dan larangan-larangan terjadi karena adanya kegagalan mengidentifikasi urgensi untuk memproteksi diri demi gratifikasi instan. Sebagai contoh, bus kota yang tetap memasukan penumpang melebihi kapasitas demi pemasukan keuangan yang lebih banyak atau pengendara motor yang melanggar lampu merah demi waktu tempuh yang lebih cepat.
Perangai abai merupakan salah satu bentuk irasionalitas pasar. Pemilihan gratifikasi instan dengan mengorbankan aspek keselamatan merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan dengan logika ekonomi versi ekonomi non-klasik seperti Adam Smith atau Jeremy Bentham yang mempercayai individu adalah makhluk rasional yang berupaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan perngorbanan seminimal mungkin. Namun sebagaimana klaim para ilmuwan ekonomi keperilakuan, pasar tidak melulu bertindak dengan logika rasionalitas.
Irasionalitas manusia ini misalnya ditunjukkan dengan ilustrasi tentang pemberian hadiah uang dalam perbedaan rentang waktu. Jika seseorang menawarkan kita hadiah uang dan meminta kita hadiah uang dan meminta kita memilih Rp.1.000.000 yang diberikan pada hari ini atau Rp.1.100.000,- yang diberikan besok, maka kita cenderung memilih Rp. 1.100.000 yang diberikan besok , maka kita cenderung memilih Rp.1.000.000. namun uniknya, jika kita diminta memilih Rp.1.000.000 pada tanggal 1 bulan depan atau Rp. 1.100.000 pada tanggal 2 bulan depan, maka kita akan cenderung memilih Rp. 1.100.000.
Ilustrasi atas sering digunakan oleh para ekonomi keperilakuan untuk menjelaskan bahwa manusia tidak selalu bergerak dengan logika rasionalitas. Meskipun sama-sama memiliki perbedaan Rp. 100.000 pada dua kategori diatas, namun eksistensi elemen waktu membuat pola pengambilan keputusan dapat berubah drastis. Fenomena ini tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori ekonomi klasik seperti The Efficient Market Hypothesis.
Fenomena mengenai pilihan hadiah uang diatas disebut hyperbolic discounting. Secara definitif konsep itu menerangkan kecenderungan seseorang untuk memilih imbalan yang lebih kecil namun diterima lebih cepat daripada imbalan yang besar namun lebih lama didapatkan. Konsep ini menjelaskan mengapa seseorang berprilaku implusif dalam pengambilan keputusan jangka pendek tetapi menunjukkan perilaku yang sabar dan kalkulatif dalam pengambilan keputusan jangka panjang.
Dalam konteks perilaku berkendara yang aman, hyperbolic discounting menjelaskan mengapa seorang individu cenderung melanggar prosedur-prosedur keamanan meskipun secara rasional ia tahu yang ia lakukan sangat berbahaya. Pengambilan keputusan jangka pendek seringkali bukanlah bertujuan untuk pemecahan masalah, melainkan hanya memenuhu hasrat dan gratifikasi instan.
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya kita dapat belajar dua hal. Pertama, mewaspadai moral semu (pseudomoral) dalam konteks keselamatan kerja atau berkendara. Gerrit Antonides, professor psikologi ekonomi dari Universitas Wageningen mendefinisikan moral semua sebagai moral yang seolah-olah baik, namun sebenarnya tidak esensial. Misalnya “cepat”, Cepat merupakan value yang baik. Namun apakah berkendara dengan cepat adalah hal yang selalu baik? Melanggar lalu lintas demi efisiensi waktu menunjukkan eksisnya pseudomaral.
Kedua, waspadai kesalahan berpikir perilaku publik secara umum (Bandwagon Fallacy). Kesalahan berpikir yang terjadi ketika kita menganggap sebuah hal benar hanya karena banyak orang melakukannya. Sering perilaku abai terhadap keselamatan kerja dan berkendara terjadi karena pengabaian ini juga dilakukan banyak orang. Mengapa seorang pengendara motor melanggar marka? Salah satu jawaban paling umum karena banyak pengendara lain juga melakukannya.
Semoga di tahun baru ini, kita menjadi individu yang menjunjung tinggi keamanan dan keselamatan, baik dalam kerja maupun berkendara. Damai di bumi.
Sumber : Kontan.14 Januari 2017.Hal.19
Di awal tahun ini kita disuguhi berita duka: Kapal Zahro Express terbakar saat berlayar dari Pelabuhan Muara Angke menuju Pulau Tidung. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal tercatat 23 jiwa. BNBP kesulitan mengidentifikasi jumlah penumpang karena jumlah yang tertera dalam surat jalan tidak sesuai dengan jumlah penumpang riil. Besaran kapasitas yang seharusnya hanya 100 orang. Kenyataanya melebihi kapasitas hingga dua kali lipatnya, yakni 200 orang.
Tragedi ini seakan melengkapi kabar pilot Citilink yang di sinyalir mabuk saat akan menerbangkan pesawat dengan rute Surabaya Jakarta pada Rabu, 28 Desember 2016 lalu. Pihak maskapai sigap untuk mengatasi hal ini dengan mengganti pilot untuk memastikan penerbangan lancar. Meskipun demikian, CEO dan Direktur Operasional Citilink mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungan jawab.
Kedua peristiwa di atas memberikan isyarat keras tentang eksisnya pengabaian sistem keamanan (safety system) dalam pelayanan transportasi publik yang ditunjukkan dengan terpantiknya pertanyaan bernada skeptis dari publik: Apakah vendor kapal tidak mengetahui bahwa jumlah penumpang yang diangkut melebihi jumlah seharusnya? Bagaimna mungkin pilot yang mabuk dapat lolos dari pengamatan maskapai? Apakah tidak ada prosedur monitoring mengenai pelaksanaan standar prosedur pada kedua kasus tersebut?
Secara konseptual, kecelakaan dalam konteks transportasi memang dapat terjadi karena faktor personal, situasional dan faktor pemesinan. Dari ketiga faktor tersebut, faktor situasional merupakan faktor di luar kontrol manusia. Namun demikian dua faktor lainnya dapat diminimalisir dengan penanganan yang tepat. Faktor pemesinan merupakan tanggung jawab teknisi mesin. Eror dalam faktor ini dapat diminimalisir dengan peningkatan kapasistas dan keahlian staf serta sistem manajemen kontrol yang ketat.
Tulisan ini akan lebih berfokus kepada faktor ketiga, yakni faktor personal khususnya tentang fenomena psikologis perangai abai. Penelitian tentang kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh Treat di Amerika Serikat dengan mengambil sampel di Washington menyatakan bahwa kesalahan pengendara (human error) mengambil peran hingga 70% dari total kasus yang terdaftar di Departemen Transportasi Amerika. Data ini di pertegas dengan laporan Direktorat lalu lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya yang menyatakan pelanggaran lalu lintas periode Januari – September 2016 meningkat 36,58% dari tahun sebelumnya.
Irasionalitas Pasar
Perangai abai adalah stase dimana individu cenderung gagal memanajemen potensi risiko dalam melakukan aktivitasnya. Pengabaian rambu, prosedur dan larangan-larangan terjadi karena adanya kegagalan mengidentifikasi urgensi untuk memproteksi diri demi gratifikasi instan. Sebagai contoh, bus kota yang tetap memasukan penumpang melebihi kapasitas demi pemasukan keuangan yang lebih banyak atau pengendara motor yang melanggar lampu merah demi waktu tempuh yang lebih cepat.
Perangai abai merupakan salah satu bentuk irasionalitas pasar. Pemilihan gratifikasi instan dengan mengorbankan aspek keselamatan merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan dengan logika ekonomi versi ekonomi non-klasik seperti Adam Smith atau Jeremy Bentham yang mempercayai individu adalah makhluk rasional yang berupaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan perngorbanan seminimal mungkin. Namun sebagaimana klaim para ilmuwan ekonomi keperilakuan, pasar tidak melulu bertindak dengan logika rasionalitas.
Irasionalitas manusia ini misalnya ditunjukkan dengan ilustrasi tentang pemberian hadiah uang dalam perbedaan rentang waktu. Jika seseorang menawarkan kita hadiah uang dan meminta kita hadiah uang dan meminta kita memilih Rp.1.000.000 yang diberikan pada hari ini atau Rp.1.100.000,- yang diberikan besok, maka kita cenderung memilih Rp. 1.100.000 yang diberikan besok , maka kita cenderung memilih Rp.1.000.000. namun uniknya, jika kita diminta memilih Rp.1.000.000 pada tanggal 1 bulan depan atau Rp. 1.100.000 pada tanggal 2 bulan depan, maka kita akan cenderung memilih Rp. 1.100.000.
Ilustrasi atas sering digunakan oleh para ekonomi keperilakuan untuk menjelaskan bahwa manusia tidak selalu bergerak dengan logika rasionalitas. Meskipun sama-sama memiliki perbedaan Rp. 100.000 pada dua kategori diatas, namun eksistensi elemen waktu membuat pola pengambilan keputusan dapat berubah drastis. Fenomena ini tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori ekonomi klasik seperti The Efficient Market Hypothesis.
Fenomena mengenai pilihan hadiah uang diatas disebut hyperbolic discounting. Secara definitif konsep itu menerangkan kecenderungan seseorang untuk memilih imbalan yang lebih kecil namun diterima lebih cepat daripada imbalan yang besar namun lebih lama didapatkan. Konsep ini menjelaskan mengapa seseorang berprilaku implusif dalam pengambilan keputusan jangka pendek tetapi menunjukkan perilaku yang sabar dan kalkulatif dalam pengambilan keputusan jangka panjang.
Dalam konteks perilaku berkendara yang aman, hyperbolic discounting menjelaskan mengapa seorang individu cenderung melanggar prosedur-prosedur keamanan meskipun secara rasional ia tahu yang ia lakukan sangat berbahaya. Pengambilan keputusan jangka pendek seringkali bukanlah bertujuan untuk pemecahan masalah, melainkan hanya memenuhu hasrat dan gratifikasi instan.
Berdasarkan uraian di atas, setidaknya kita dapat belajar dua hal. Pertama, mewaspadai moral semu (pseudomoral) dalam konteks keselamatan kerja atau berkendara. Gerrit Antonides, professor psikologi ekonomi dari Universitas Wageningen mendefinisikan moral semua sebagai moral yang seolah-olah baik, namun sebenarnya tidak esensial. Misalnya “cepat”, Cepat merupakan value yang baik. Namun apakah berkendara dengan cepat adalah hal yang selalu baik? Melanggar lalu lintas demi efisiensi waktu menunjukkan eksisnya pseudomaral.
Kedua, waspadai kesalahan berpikir perilaku publik secara umum (Bandwagon Fallacy). Kesalahan berpikir yang terjadi ketika kita menganggap sebuah hal benar hanya karena banyak orang melakukannya. Sering perilaku abai terhadap keselamatan kerja dan berkendara terjadi karena pengabaian ini juga dilakukan banyak orang. Mengapa seorang pengendara motor melanggar marka? Salah satu jawaban paling umum karena banyak pengendara lain juga melakukannya.
Semoga di tahun baru ini, kita menjadi individu yang menjunjung tinggi keamanan dan keselamatan, baik dalam kerja maupun berkendara. Damai di bumi.
Sumber : Kontan.14 Januari 2017.Hal.19