Tunel of Light. Rumahku. No.129. 2017. Hal.43. Hanson Albert Wijaya_Mahasiswa Semester 4 Prodi INA

Tunnel of lights merupakan konsep penggabungan antara perasaan manusia, nuansa ruang, kenyamanan dan kesehatan dari pengguna ruang itu sendiri. Pada design ini diupayakan agar lingkungan luar memberi pengaruh kepada interior sendiri, tidak hanya cahaya, warna dan pantulan difus yang didapatkan, namun juga dari segi penghawaan yang mengalir diakibatkan adanya cross ventilation system.

Pengaturan zoning pada denah juga menunjukkan pengaturan sirkulasi pengguna dimana, sinar matahari akan menjadi sumber cahaya secara potensial. Disaat pagi hari pada kamar utama telah terancang, pantulan sinar matahari pagi dapat mengenai area tidur. Saat malam hari bukaan yang diletakkan pada tinggi posisi mata saat berbaring ditempat tidur, memungkinkan mengekspose view ke arah langit. Pada lantai 3, perletakan bukaan bellow eye level pada ruangan yang sempit dapat dengan sendirinya membuat ruangan menjadi tampak luas dan tidak menyempit pada ujungnya, dikarenakan cahaya yang masuk mampu secara tidak sadar menuntun pengguna agar melewati lorong tersebut.

Tunnels of light merupakan landed apartment yang berbeda dikarenakan pada umumnya perancang yang sudah ada; selalu memberikan akses langsung antara lantai satu, dimana merupakan area bisnis, dengan lantai 2 dan 3 yang merupakan area tempat tinggal. Pada Tunnels of light, disadari bahwa untuk mengakses living space perlu memiliki akses yang tidak melewati area public, sehingga tangga yang menggabungkan lantai satu dan dua diposisikan pada bagian muka bangunan. Sesuai dengan namanya, konstruksi ini sangat memperhatikan pemasukan cahaya serta penyebarannya dalam ruang,melalui penggunaan light shelf, window wall serta horizontal louvre. Dengan banyaknya bukaan untuk memas ukkan cahaya pada ruang, maka sirkulasi udara juga dimaksimalkan untuk mengurangi penggunaan AC. Pada konsep konstruksi bebas dari bentukan kurva ini, tersirat sebuah design yang sustainable.

Sumber: Rumahku.129.2017.hal.42-43
Teks: Astrid Kusumowidagdo, Pengajar Interior Architecture Universitas Ciputra

Noer, The Modern Eco Village House_ Bring The Nature Inside. Rumahku. No.129. 2017 Hal.42. Majesty Emanuella Otniel_Mahasiswa Semester 4 INA

Proyek ini berupaya membawa peran aktif arsitektur yang simultan dengan pengkondisian interior sebagai media komunikasi manusia dan alamnya. Melihat dan bersimpati terhadap keadaan hunian kini, bagaikan pemisah antara ruang luar dan ruang dalam. Tidak ada lagi komunikasi penghuni dan alam pada kehidupan sehari – hari.

Noer, atau cahaya dalam bahasa Sansekerta adalah sebutan untuk hunian ini, mencerminkan keberadaan hunian iniyang diciptakan dengan desain pencahayaan alami. Cahaya adalah pencipta kehidupan {Frank Stella). Demikian pula cahaya, utamanya cahaya alami dapat berperan sebagai dalam penciptaan suasana total hingga dekoratif.

lmplementasi gagasan ini adalah dengan melibatkan peran aktif passive design seperti penggunaan jendela temporary yang memungkinkan cahaya bermain peran,angin bersirkulasi di dalam hunian. Bukaan tercipta memungkinkan penghuni untuk merasakan rintik hujan dan angin sepoi – sepoi, pendinginan pasif darikolam ikan yang bersanding dengan rumah induk. Peranan vegetasi mela ui area terbuka hijau baik di dalam (mini garden) maupun di lingkungan hunian menjadi hal yang penting dalam konsep ini. Penggunaan elemen alam juga banyak digunakan baik mulai dari fasad, interior rumah, hingga elemen pelengkap di dalam kavling.Sebuah upaya total, melibatkan ruang luar dalam segala aspek kehidupan penghuni.

Sumber: Rumahku.no.129.2017.hal 42.
Teks: Astrid Kusumowidagdo, Pengajar Interior Architecture Universitas Ciputra

Mengendalikan Privasi Melalui Elemen Interior. Rumahku. No.132.2017.Hal.36-37. Liya Dewi Anggraini. INA

Privasi sering terabaikan padahal sangat penting dan mendasar, dan kita butuhkan sehari-hari. Elemen-elemen interior bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan privasi saat berinteraksi dengan orang lain secara dinamis

 

Privasi jarang kita bicarakan karena mungkin dianggap sepele atau kita tidak memahami betapa privasi itu sangat penting dan mendasar. Ketidaknyamanan ketika berbicara dalam jarak dekat adalah salah satu indikasi dibutuhkannya privasi. Membangun pagar rumah yang tinggi, atau selalu menutup pintu kamar, adalah indikasi privasi yang ditunjukan, atau perlindungan

Kita bisa mengukur dan mengatur tingkat privasi diri sendiri; seberapa jauh saat berhadapan dengan orang. Jika jarak fisik tak tercapai, jarak mental dapat diciptakan dapat diciptakan melalui kesopanan dan ketertutupan;tidak menunjukan emosi atau membuka informasi pribadi. Sebaliknya, jarak mental berkurang ketika Bahasa sehari – hari yag akrab digunakan dan emosi ditunjukkan. Pada dasarnya, seseorang akan “menjaga jarak” terhadap orang lain saat berinteraksi, basic secara fisik maupun mental.

FUNGSI LAIN ELEMEN INTERIOR

Dalam rumah tinggal – sebagai pengejawantahan keberadaan diri seseorang. Jarak fisik tersebut dapat dicapai melalui elemen – elemen interior. Pagar rumah adalaha elemen terluar yang melindungi kita dari interaksi interaksi langusng dengan orang luar. Dinding adalah interior paling utama yang sepenuhnya dikendalikan oleh bukaan pintu untuk masuk dan keluar. Jendela merupakan elemen pengendali interaksi yang lebih visual, terhadap apa yang boleh terlihat – atau dilihat – dari luar, dan sebaliknya. Daun pintu atau jendela menjadi elemen mekanisme pengendali yang dinamis, dapat disesuaikan menurut waktu. Pada saat tertutup dapat berfungsi sama seperti dinding. Menghalangi baik fisik maupun visual. Jarak antarpintu dapat dimanfaatkan untuk mengatur hubungan antara ruang luar dan ruang dalam. Perabotan seperti meja, kursi, lemari, atau atau rak dapat diatur untuk menghambat intervensi secara langsung. Gang atau koridor sanggup menciptakan jarak fisik, yang berfungsi sebagai penghalan.demikian pula tangga dan perbedaan ketinggian lantai dapat menunjukan tingkat privasi yang berbeda. Menggunakan bahan penutup lantai yang kontras juga bisa mengkomunikasikan adanya perbedaan fungsi dan tingkat privasi.

TAK HARUS MAHAL

Kemudian, bagaimna mengatur privasi secara akustik tanpa menggunakan material interior yang mahal? Di dalam rumah, kita tetap membutuhkan suara, namun tidak terus menerus dan tidak selalu dalam intensitas tinggi karena kenyamanan akan terganggu. Ada saat – saat kesenyapan dibutuhkan, ada saat keramaian diinginkan. Dalam banyak kasus, kondisi idela membutuhkan usaha dan mahal. Satu – satunya solusi yang dapat mengendalikan efek negative yang ditimbulkan dari suara yang berlebihan adalah memanfaatkan suara yang dihasilkan oleh elemen – elemen interior itu sendiri

Ributnya suara percakapan – bahkan pertengkaran – atau kebisingan lalu lintas, hingga suara buang air kecil atau besar yang menggagu, dapat ditima dengan suara yang lebih menyenangkan. Dari suara alunan musik, suara gemericik air mengalir, gemerisik dedaunan yang tertiup angina, hingga suara serangga atau burung yang bersarang di semak atau pepohonan adalah elemen pengendali yang berfungsi sebagai buffer (pelindung) atau filter (penyaring) untuk mencapai privasi akustik yang dibutuhkan

Sumber: Rumahku.no132.2017.Hal36-37

Penulis: Lya Dewi Anggraini, Pengajar Architecture Universitas Ciputra

Wajah Regulasi Bisnis di Indonesia

Wajah Regulasi Bisnis di Indonesia. Bisnis Indonesia.11 Januari 2017.Hal.2

Bank Dunia telah merilis indeks melakukan Bisnis 2017 (Doing Business Index 2017). Laporan setebal 348 halaman tersebut merupakan laporan tahunan yang berisi kajian tentang regulasi bisnis dari 190 negara di dunia, baik regulasi yang merangsang tumbuh dan berkembangnya bisnis maupun regulasi yang justru menghambatnya lahirnya bisnis baru. Laporan 2017 ini merupakan laporan yang ke-14 sejak pertama kali sistem pengukuran diperkenalkan.

Indeks melakukan bisnis 2017 mengukur 11 indikator, yakni proses pembuatan bisnis baru, pengurusan izin, upaya mendapatkan listrik, upaya pendaftaran properti bisnis, upaya mendapatkan kredit, perlindungan terhadap investor minoritas, pembayaran pajak usaha, , perdagangan antar-negara, isu kontak kerja, pengurusan isu-isu dalam kerja, dan regulasi buruh. Sepuluh indikator pertama menjadi basis pembuatan peringkat dalam rekapitulasi data final.

Secara umum, hasil pengukuran DBI 2017 ini menunjukan adanya disparitas yang besar pada negara-negara maju (developed countries) dan negara-negara berkembang (developing country). Selain itu terdapat pula temuan bahwa perempuan cenderung menghadapi tantangan yang lebih besar dalam memulai sebuah usaha dibandingkan dengan laki-laki. Berdasarkan data dari 155 negara, ditemukan bahwa perempuan memiliki sistem pendukung (supporting system) yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.

Temuan ini semakin menegaskan bahwa kajian mengenai wirausahawan perempuan semakin memiliki posisi yang penting dalalm kajian-kajian entrepreneurship. Selain itu, fokus DBI 2017 yang menyoroti diskrepansi kesempatan pada wirausahawan perempuan di tataran global menunjukan bahwa isu ini merupakan isu yang dialami hampir semua wirausahawan perempuan di berbagai negara.

Prevalensi perempuan di dunia mencvapai 49,6%, dan hanya 40,8% yang bergabung dalam organisasi kerja formal. Dari keseluruhan jumlah bisnis startup, hanya 31% yang memiliki setidaknya satu perempuan sebagai pemilik (World Bank, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa peran serta perempuan dalam percaturan dunia kewirausahawan masih sangat rendah jika dibandingkan dengan laki-laki.

Namun demikian, perempuan tetap memilki peranan yang amat penting. Bahkan menurut riset, jika prevalensi perempuan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan, maka pendapatan per kapita secara global akan menurun hingga 40%! (Cuberes & Teignier, 2014).

DBI 2017 ini memang memberikan ulasan yang cukup komprehensif tentang peranan wirausahawan perempuan karena menyadari bahwa dibeberapa negara, regulasi untuk wirausahawan perempuan dibedakan dengan wirausahawan laki-laki. Contohnya dalam hal registrasi korporas. DBI 2017 menemukan bahwa adanya perbedaan persyaratan registrasi yang harus dipenuhi jika sebuah korporasi dimiliki oleh seorang perempuan. Dibeberapa negara, seorang wirausahawan perempuan diminta untuk menambahkan surat persetujuan dari suami.

Contoh lain tentang perbedaan perlakuan terhadap wirausahawan perempuan adalah akses terhadap kredit. Pihak pemberi kredit memiliki fokus terhadap kepemilikan aset, apakah dimiliki oleh sang perempuan atau milik suami, serta beberapa fakta yang menunjukkan bahwa rasio persetujuan kredit lebih tinggi diberikan kepada wirausahawan laki-laki dibandingkan dengan wirausahawan perempuan. Bahkan dalam beberapa isu tentang negosiasi, juga ditemukan bahwa testimoni yang diberikan oleh wirausahawan perempuan mendapatkan value yang lebih rendah dibandingkan dengan wirausahawan laki-laki.

 

KIPRAH INDONESIA

Indonesia mendapatkan apresiasi besar sebagai 10 besar negara yang paling serius membenahi regulasi kemudahan dalam berbisnis. Selain Indonesia, negara lain yang juga mendapatkan apresiasi ini adalah brunei Darussalam, Kazakhstan, Kenya, Belarus, Serbia, Georgia, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Kesepuluh negara ini ditemukan mengimplementasikan 48 sistem regulasi untuk mempermudah pendirian usaha per juni 2016.

Namun demikian, Indonesia masih harus berjuang keras dalam membenahi sektor ini, karena dalam hal kemudahan mendirikan usaha, Indonesia masih berada di peringkat 91 dari 190 dengan nilai DTF total 61,52. Peringkat ini jauh dibawah negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura (2), Malaysia (23), Brunei Darussalam (72), Vietnam (82), dan lebih baik dibandingkan dengan kamboja (131), Myanmar (170), dan Timor Leste (175). Secara umum, lima besar peringkat teratas didominasi oleh Selandia Baru, Singapura, Denmark, Hong kong, dan Korea Selatan.

Tren positif yang ditunjukkan oleh Indonesia ini salah satunya juga ditunjukkan dengan adanya apresiasi Bank Dunia terhadap dua kota, Jakarta dan Surabaya, yang membuat registrasi properti bisnis digital. Invensi inovatif ini dipandang Bank Dunia sebagai salah satu regulasi yang efektif dalam menstimulasi munculnya bisnis-bisnis baru. Adanya transparansi terhadap properti bisnis merupakan salah satu elemen penting yang dapat menstimulasi lahirnya kepercayaan para wirausahawan baru maupun investor.

Selain itu, apresiasi terhadap Indonesia juga diberikan oleh Bank Dunia terkait dengan sistem registrasi kolateral, sistem pengaduan satu pintu secara nasional, upaya mendapatkan tambahan daya listrik untuk usaha, serta pembayaran pajak maupun  iuran kesehatan yang dapat dilakukan secara daring (online). Kombinasi-kombinasi regulasi ini menunjukan komitmen dari pemerintah Indonesia dalam mempermudah pendirian usaha di Indonesia.

Secara akumulatif, Indonesia memenuhi enam dari 11 indikator DBI 2017, sehingga menempatkan nya sebagai 10 besar negara yang paling serius membenahi tata kelola regulasi bisnis di dunia. Indonesia juga mendapatkan perhatian karena berhasil membenahi sistem kelistrikan nasional, dari 67% di 1990 dan kini mencapai 96% per tahun 2012. Indonesia dianggap mampu menaklukkan tantangan yang besar mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk dan konsumsi listrik yang amat besar.

Ulasan diatas memberikan setidaknya dua refleksi. Pertama, integrasi teknologi informasi sebagai bagian dari inovasi tata kelola regulasi bisnis merupakan langkah yang strategis. Jika dicermati, meningkat pesatnya indeks Indonesia cenderung distimulasi adanya digitalisasi sistem. Transparansi ini rupanya tidak hanya meningkatkan kepercayaan pengguna di Indonesia, tetapi juga memiliki kesan positif di kalangan investor maupun peneliti Internasional. Kepercayaan dan kesan positif ini menjadi preseden baik yang mendongkrak performa Indonesia di kancah global.

Kedua, digitalisasi sistem ini seyogyanya diterapkan di kota-kota lain di Indonesia. Semangat keterbukaan informasi dan kemudahan birokrasi akan jadi penunjang yang efektif bagi para wirausahawan di daerah, termasuk wirausahawan perempuan untuk berani berkiprah. Keterbukaan sistem dan kemudahan birokrasi pada gilirannya akan menambah prevalensi wirausahawan di Indonesia maupun itikad baik investor untuk menanam investasi di Indonesia.

 

Sumber : Bisnis Indonesia, 11 Januari 2016. Hal.2

Teliti Detail Co-Parenting

Prof Jenny Lukito Setiawan, Pakar Psikologi Konseling_Teliti Detail Co-Parenting. Kompas.19 Januari 2017.Hal.27

Karakter entrepreneurial tidak sekedar mengajari anak menjadi pebisnis. Sejak dini, keluarga melatih anak berjiwa entrepreneur agar tangguh menghadapi persoalan. Caranya, menurut prof Dra Jenny Lukito Setiawan MA PhD, melalui co-parenting.

 

Hari ini (19/1) Jenny Lukito Setiawan dikukuhkan menjadi profesor. Dia adalah guru besar pertama yang dikukuhkan di Universitas Ciputra.

Bidang ilmu yang ditekuni adalah ilmu psikologi konseling, minatnya tercurah pada co-parenting. Orang tua kompak dan berkaloborasi dalam pengembangan karakter anak. Termasuk menumbuhkan karakter entrepreneurial anak.

Banyak orang yang mengira, tidak ada hubungannya antara entrepreneur dan ilmu psikologi. Padahal sangat erat terkait. Sebab, ada manusia dibalik suatu karya entrepreneurship.

Mengutip Reuch & Frese (2007), kata Jenny, ada enam karakter psikologis para entrepreneur. Yakni, kebutuhan berprestasi yang tinggi, berani mengambil risiko, inovatif, punya otonomi, memiliki locus of control internal, dan memiliki self-efficacy.

Keluarga, jelas dia, punya andil besar. Ayah dan ibu berperan kuat untuk menanamkan karakter entrepreneurial anak. “harus sinergi, harus sama-sama sepakat untuk menanamkan karakter entrepreneurial. Inilah yang di maksud co parenting,” tuturnya.

Caranya, orangtua harus punya gol terlebih dahulu kepada anak. “anak mau diarahkan bagaimana, ini berkaitan dengan pola asuh,” katanya. Ada empat macam pola asuh pada orangtua. Yakni pola asuh authoritarian, pola asuh indulgent, pola asuh neglecthful dan pola asuh authoritative.

Dalam pola asuh authoritarian, menurut Jenny, ayah dan ibu memberikan batasan serta kontrol yang sangat ketat, tapi tidak disertai upaya memerlukan kebutuhan anak. Akibatnya anak tidak berani berinovasi dan karekter entrepreneurialnya terhambat. Pola asuh indulgent merupakan pola asuh yang memanjakan anak. Orangtua hampir tidak memiliki tuntutan kepada anak. “pola asuh ini bisa membuat kontrol diri anak jadi rendah, ego tinggi dan tidak belajar menghargai orang lain,” terangnya.

Sementara itu, pola asuh negclectful, terang Jenny, adalah pola asuh yang orangtuanya cenderung tidak peduli. Anak kerap diabaikan. Anak yang dapat pola asuh seperti itu, cenderung berbuat ulah. Sebab, tidak ada yang mencuerahkan perhatian.

Keempat, pola asuh authoritative. Dalam pola asuh itu, orangtua seimbang menerapkan tuntutan dengan pemunuhan kebutuhan. “anak pede karena didengerin, tapi ada batasan, ada pengendalian diri,” katanya. Pola asuh tersebut bisa membuat anak percaya diri, berorientasi prestasi, dan tahan banting.

Agar pola asuh authoritantive itu bisa terwujud, perlu ada kesatuan langkah pada orangtua. “ortu harus kompak , kapan say yes, kapan say no pada anak,” katanya.

 

Sumber : Jawa Pos, 19 Januari 2017.Hal.27

 

Adem Bisa Dimakan Pula

Edible Landscaping ala Indawati Kusuma_Bikin Adem, Bisa Dimakan Pula. Jawa Pos.12 Januari 2017.Hal.7

Mendengar gemericik suara kolam ikan dan kicauan burung yang mampir ke taman rumah jadi self-healing bagi indrawati kusuma. Huniannya di CitraLand, Surabaya, dibuat senyaman-nyamannya dengan konsep go green, lengkap dengan edible landscape yang menambah asri.

 

Sekitar 20 tahun lamanya Indawati Kusuma tinggal di Amerika Serikat. Ketika pulang, dia sedikit kaget dengan kondisi di Indonesia. Banyak anak-anak yang mengalami obesitas. Perempuan yang pernah bekerja sebagai chef instructor itu terinspirasi menggalakkan program sayuran organik bernama Organic Farm dan katering organik bernama Farm2Table.

 

Dia menuangkan program tersebut dalam desain interior rumahnya. Rumah seluas 288 meter persegi itu dibeli dalam kondisi sudah jadi. Namun, dia tidak kehabisan akal untuk mengubah nuansa rumahnya jadi lebih fresh. Salah satunya membuat edible landscaping organik di halaman belakang rumah. Edible Landscaping adalah pemanfaatan taman untuk tanaman yang bisa dimakan.

 

Untuk membuatnya, Indawati memilih organic soil yang dikirim langsung dari Gunung Arjuna. Tanah vulkanis dari abu gunung tersebut sangat subur. Dia menambahkan ampas cengkih dan bakaran bambu untuk menambah nutri tanaman. Aroma cengkihnya juga mengurangi hama di dalam tanah.

 

Lebih dari 20 jenis tanaman memenuhi dua edible landscape indawati yang masing-masing berukuran 2 x 1 meter. Ada jenis buah-buahan seperti sawo, anggur, dan markisa liar serta tanaman obat seperti ginseng. Terdapat juga bunga telang, “semua tanaman itu bisa dimakan. Seringkali saya manfaatkan sendiri,” ujar Indawati.

 

Disamping edible landscape terdapat kolam ikan kecil. Pemandangan tersebut bisa dinikmati dari ruang makan yang berpintu dan berjendela kaca, Asri sekali. Apalagi biasanya ada burung-burung yang mampir untuk ikut mencicipi markisa liar. “bikin rileks deh liatnya” ucap indawati, lalu tertawa.

 

Dibelakang kolam ikan , Indawati membuat sebuah ruang berkreasi yang berisi berbagai permainan kreatif. Ruang itu cocok sekali buat Indawati menghabiskan quality time dengan dua buah hatinya, Indi Amelia Kusuma, 14; dan Hana Luna Kusuma 7.

 

Serunya, anak-anak bisa belajar gardening disana. Misalnya, menanam lemon dan tomat mulai dari  bibit atau membudidayakan jamur di dalam botol kaca. Selain jadi sarana pembelajaran, hal itu membuat buah hatinya lebih suka makan. “kalau mereka dilibatkan seperti itu, anak-anak jadi lebih tahu proses dan akhirnya semangat makan,” jelas Indawati.

 

Indawati sering memanfaatkan barang tak terpakai sebagai wadah tanaman. Contohnya, cangkir cantik yang merupakan suvenir pernikahan. Suasana ruangan jadi makin cantik dan tidak menoton.

 

Kalau lantai 1 rumah lebih dimanfaatkan untuk melepas penat dan family time, lantai 2 terdiri atas kamar tidur orangtua dan dua kamar tidur anak. Indawati sengaja menata barang secara minimal di dalam kamarnya . hanya terdapat sebuah kasur, dua meja kayu, dan satu neon lamp berbentuk kubus.

 

Dua meja kayu disudut ruangan bisa dibuka dan dijadikan tempat menyimpan aksesori. Neon lamp juga dapat difungsikan sebagai meja. Indawati tidak menggunakan lemari untuk menyimpan baju, melainkan walking closet tanpa pintu yang terhubung dengan kamarnya. “Beli secukupnya, tidak berlebihan. Rumah itu untuk living space, bukan untuk gudang barang,” ujarnya, lantas tertawa.

 

DAUR ULANG: Hampir seluruh perabot di rumah Indawati adalah hasil recycle dan reuse dari kayu jati lama, termasuk cangkir lucu yang menjadi pot tanaman hiasan meja ini.

 

KAYU JATI BEKAS JADI PERABOT CANTIK

Salah satu hal yang cukup eye catching dari kediaman Indawati Kusuma adalah hampir seluruh perabotannya terbuat dari kayu jati. Mulai frame jendela dan pintu, meja dan kursi makan, kursi anak, kabinet dapur, rak buku, rak penyimpanan mainan, sampai rak walking closet, seluruhnya terbuat dari kayu yang terkenal kukuh dan awet tersebut.

Beberapa perabotan kayu itu dibuat sendiri secara customed oleh Indawati dan suami. Sang suami yang bekerja sebagai motion graphic animator diserahi urusan mendesain barang. “saya yang mengarahkan bagaimana perabotan tersebut harus berfungsi. Misalnya, meja kayu yang bisa dibuka dan menjadi tempat penyimpanan aksesori,” jelas dosen Universitas Ciputra ini.

 

Indawati memegang teguh prinsip reduce, reuse, dan reycle, karena itu, dia memilih kayu jati bekas sebagai bahan utama pembuatan perabotan tersebut. Misalnya, meja makan di rumahnya adalah daur ulang dari meja lama milik ibunya. Meja tua yang ada sejak 1990-an tersebut dibongkar dan didesain ulang menjadi lebih minimalis.

 

Idawati juga tetap memanfaatkan kayu jati bekas bongkaran bangunan yang dibelinya dari pengepul. Pernah suatu ketika dia mendapati tukang kayu yang memanfaatkan kayu jati bekas sandaran kursi untuk dijadikan tusuk sate. ‘katanya, kayunya nggak bisa dijual karena melengkung sayang sekali kan,” jelasnya. Akhirnya dia membeli kayu tersebut.

 

Bersama suami, kayu jati melengkung itu dijadikan rak buku. “bagi saya itu unik. Nggak ada orang lain yang punya,” ujarnya. Indawati tak merasa kesulitan merawat perabot kayu jati. Sebab, kayu jati dari sananya memang awet,  juga di benci rayap karena teksturnya keras. “selain awet, rumah juga jadi cantik dan kesannya natural,” ujarnya.

 

Sumber : Jawa Pos. 12 Januari 2017. Hal.7

Perangai Abai Dunia Transportasi

Perangai Abai Dunia Transportasi. Kontan. 14 Januari 2017.Hal.19

Di awal tahun ini kita disuguhi berita duka: Kapal Zahro Express terbakar saat berlayar dari Pelabuhan Muara Angke menuju Pulau Tidung. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal tercatat 23 jiwa. BNBP kesulitan mengidentifikasi jumlah penumpang karena jumlah yang tertera dalam surat jalan tidak sesuai dengan jumlah penumpang riil. Besaran kapasitas yang seharusnya hanya 100 orang. Kenyataanya melebihi kapasitas hingga dua kali lipatnya, yakni 200 orang.

 

Tragedi ini seakan melengkapi kabar pilot Citilink yang di sinyalir mabuk saat akan menerbangkan pesawat dengan rute Surabaya Jakarta pada Rabu, 28 Desember 2016 lalu. Pihak maskapai sigap untuk mengatasi hal ini dengan mengganti pilot untuk memastikan penerbangan lancar. Meskipun demikian, CEO dan Direktur Operasional Citilink mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungan jawab.

 

Kedua peristiwa di atas memberikan isyarat keras tentang eksisnya pengabaian sistem keamanan (safety system) dalam pelayanan transportasi publik yang ditunjukkan dengan terpantiknya pertanyaan bernada skeptis dari publik: Apakah vendor kapal tidak mengetahui bahwa jumlah penumpang yang diangkut melebihi jumlah seharusnya? Bagaimna mungkin pilot yang mabuk dapat lolos dari pengamatan maskapai? Apakah tidak ada prosedur monitoring mengenai pelaksanaan standar prosedur pada kedua kasus tersebut?

 

Secara konseptual, kecelakaan dalam konteks transportasi memang dapat terjadi karena faktor personal, situasional dan faktor pemesinan. Dari ketiga faktor tersebut, faktor situasional merupakan faktor di luar kontrol manusia. Namun demikian dua faktor lainnya dapat diminimalisir dengan penanganan yang tepat. Faktor pemesinan merupakan tanggung jawab teknisi mesin. Eror dalam faktor ini dapat diminimalisir dengan peningkatan kapasistas dan keahlian staf serta sistem manajemen kontrol yang ketat.

 

Tulisan ini akan lebih berfokus kepada faktor ketiga, yakni faktor personal khususnya tentang  fenomena psikologis perangai abai. Penelitian tentang kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh Treat di Amerika Serikat dengan mengambil sampel di Washington menyatakan bahwa kesalahan pengendara (human error)  mengambil peran hingga 70% dari total kasus yang terdaftar di Departemen Transportasi Amerika. Data ini di pertegas dengan laporan Direktorat lalu lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya yang menyatakan pelanggaran lalu lintas periode Januari – September 2016 meningkat 36,58% dari tahun sebelumnya.

 

Irasionalitas Pasar

 

Perangai abai adalah stase dimana individu cenderung gagal memanajemen potensi risiko dalam melakukan aktivitasnya. Pengabaian rambu, prosedur dan larangan-larangan terjadi karena adanya kegagalan mengidentifikasi urgensi untuk memproteksi diri demi gratifikasi instan. Sebagai contoh, bus kota yang tetap memasukan penumpang melebihi kapasitas demi pemasukan keuangan yang lebih banyak atau pengendara motor yang melanggar lampu merah demi waktu tempuh yang lebih cepat.

 

Perangai abai merupakan salah satu bentuk irasionalitas pasar. Pemilihan gratifikasi instan dengan mengorbankan aspek keselamatan merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan dengan logika ekonomi versi ekonomi non-klasik seperti Adam Smith atau Jeremy Bentham yang mempercayai individu adalah makhluk rasional yang berupaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan perngorbanan seminimal mungkin. Namun sebagaimana klaim para ilmuwan ekonomi keperilakuan, pasar tidak melulu bertindak dengan logika rasionalitas.

 

Irasionalitas manusia ini misalnya ditunjukkan dengan ilustrasi tentang pemberian hadiah uang dalam perbedaan rentang waktu. Jika seseorang menawarkan kita hadiah uang dan meminta kita hadiah uang dan meminta kita memilih Rp.1.000.000 yang diberikan pada hari ini atau Rp.1.100.000,- yang diberikan besok, maka kita cenderung memilih Rp. 1.100.000 yang diberikan besok , maka kita cenderung memilih Rp.1.000.000. namun uniknya, jika kita diminta memilih Rp.1.000.000 pada tanggal 1 bulan depan atau Rp. 1.100.000 pada tanggal 2 bulan depan, maka kita akan cenderung memilih Rp. 1.100.000.

 

Ilustrasi atas sering digunakan oleh para ekonomi keperilakuan untuk menjelaskan bahwa manusia tidak selalu bergerak dengan logika rasionalitas. Meskipun sama-sama memiliki perbedaan Rp. 100.000 pada dua kategori diatas, namun eksistensi elemen waktu membuat pola pengambilan keputusan dapat berubah drastis. Fenomena ini tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori ekonomi klasik seperti The Efficient Market Hypothesis.

 

Fenomena mengenai pilihan hadiah uang diatas disebut hyperbolic discounting. Secara definitif konsep itu menerangkan kecenderungan seseorang untuk memilih imbalan yang lebih kecil namun diterima lebih cepat daripada imbalan yang besar namun lebih lama didapatkan. Konsep ini menjelaskan mengapa seseorang berprilaku implusif dalam pengambilan keputusan jangka pendek tetapi menunjukkan perilaku yang sabar dan kalkulatif dalam pengambilan keputusan jangka panjang.

 

Dalam konteks perilaku berkendara yang aman, hyperbolic discounting menjelaskan mengapa seorang individu cenderung melanggar prosedur-prosedur keamanan meskipun secara rasional ia tahu yang ia lakukan sangat berbahaya. Pengambilan keputusan jangka pendek seringkali bukanlah bertujuan untuk pemecahan masalah, melainkan hanya memenuhu hasrat dan gratifikasi instan.

 

Berdasarkan uraian di atas, setidaknya kita dapat belajar dua hal. Pertama, mewaspadai moral semu (pseudomoral) dalam konteks keselamatan kerja atau berkendara. Gerrit Antonides, professor psikologi  ekonomi dari Universitas Wageningen mendefinisikan moral semua sebagai moral yang seolah-olah baik, namun sebenarnya tidak esensial. Misalnya “cepat”,  Cepat merupakan value yang baik. Namun apakah berkendara dengan cepat adalah hal yang selalu baik? Melanggar lalu lintas demi efisiensi waktu menunjukkan eksisnya pseudomaral.

 

Kedua, waspadai kesalahan berpikir perilaku publik secara umum (Bandwagon Fallacy). Kesalahan berpikir yang terjadi ketika kita menganggap sebuah hal benar hanya karena banyak orang melakukannya. Sering perilaku abai terhadap keselamatan kerja dan berkendara terjadi karena pengabaian ini juga dilakukan banyak orang. Mengapa seorang pengendara motor melanggar marka? Salah satu jawaban paling umum karena banyak pengendara lain juga melakukannya.

Semoga di tahun baru ini, kita menjadi individu yang menjunjung tinggi keamanan dan keselamatan, baik dalam kerja maupun berkendara. Damai di bumi.

 

Sumber : Kontan.14 Januari 2017.Hal.19

Di awal tahun ini kita disuguhi berita duka: Kapal Zahro Express terbakar saat berlayar dari Pelabuhan Muara Angke menuju Pulau Tidung. Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah korban meninggal tercatat 23 jiwa. BNBP kesulitan mengidentifikasi jumlah penumpang karena jumlah yang tertera dalam surat jalan tidak sesuai dengan jumlah penumpang riil. Besaran kapasitas yang seharusnya hanya 100 orang. Kenyataanya melebihi kapasitas hingga dua kali lipatnya, yakni 200 orang.

 

Tragedi ini seakan melengkapi kabar pilot Citilink yang di sinyalir mabuk saat akan menerbangkan pesawat dengan rute Surabaya Jakarta pada Rabu, 28 Desember 2016 lalu. Pihak maskapai sigap untuk mengatasi hal ini dengan mengganti pilot untuk memastikan penerbangan lancar. Meskipun demikian, CEO dan Direktur Operasional Citilink mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungan jawab.

 

Kedua peristiwa di atas memberikan isyarat keras tentang eksisnya pengabaian sistem keamanan (safety system) dalam pelayanan transportasi publik yang ditunjukkan dengan terpantiknya pertanyaan bernada skeptis dari publik: Apakah vendor kapal tidak mengetahui bahwa jumlah penumpang yang diangkut melebihi jumlah seharusnya? Bagaimna mungkin pilot yang mabuk dapat lolos dari pengamatan maskapai? Apakah tidak ada prosedur monitoring mengenai pelaksanaan standar prosedur pada kedua kasus tersebut?

 

Secara konseptual, kecelakaan dalam konteks transportasi memang dapat terjadi karena faktor personal, situasional dan faktor pemesinan. Dari ketiga faktor tersebut, faktor situasional merupakan faktor di luar kontrol manusia. Namun demikian dua faktor lainnya dapat diminimalisir dengan penanganan yang tepat. Faktor pemesinan merupakan tanggung jawab teknisi mesin. Eror dalam faktor ini dapat diminimalisir dengan peningkatan kapasistas dan keahlian staf serta sistem manajemen kontrol yang ketat.

 

Tulisan ini akan lebih berfokus kepada faktor ketiga, yakni faktor personal khususnya tentang  fenomena psikologis perangai abai. Penelitian tentang kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh Treat di Amerika Serikat dengan mengambil sampel di Washington menyatakan bahwa kesalahan pengendara (human error)  mengambil peran hingga 70% dari total kasus yang terdaftar di Departemen Transportasi Amerika. Data ini di pertegas dengan laporan Direktorat lalu lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya yang menyatakan pelanggaran lalu lintas periode Januari – September 2016 meningkat 36,58% dari tahun sebelumnya.

 

Irasionalitas Pasar

 

Perangai abai adalah stase dimana individu cenderung gagal memanajemen potensi risiko dalam melakukan aktivitasnya. Pengabaian rambu, prosedur dan larangan-larangan terjadi karena adanya kegagalan mengidentifikasi urgensi untuk memproteksi diri demi gratifikasi instan. Sebagai contoh, bus kota yang tetap memasukan penumpang melebihi kapasitas demi pemasukan keuangan yang lebih banyak atau pengendara motor yang melanggar lampu merah demi waktu tempuh yang lebih cepat.

 

Perangai abai merupakan salah satu bentuk irasionalitas pasar. Pemilihan gratifikasi instan dengan mengorbankan aspek keselamatan merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan dengan logika ekonomi versi ekonomi non-klasik seperti Adam Smith atau Jeremy Bentham yang mempercayai individu adalah makhluk rasional yang berupaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan perngorbanan seminimal mungkin. Namun sebagaimana klaim para ilmuwan ekonomi keperilakuan, pasar tidak melulu bertindak dengan logika rasionalitas.

 

Irasionalitas manusia ini misalnya ditunjukkan dengan ilustrasi tentang pemberian hadiah uang dalam perbedaan rentang waktu. Jika seseorang menawarkan kita hadiah uang dan meminta kita hadiah uang dan meminta kita memilih Rp.1.000.000 yang diberikan pada hari ini atau Rp.1.100.000,- yang diberikan besok, maka kita cenderung memilih Rp. 1.100.000 yang diberikan besok , maka kita cenderung memilih Rp.1.000.000. namun uniknya, jika kita diminta memilih Rp.1.000.000 pada tanggal 1 bulan depan atau Rp. 1.100.000 pada tanggal 2 bulan depan, maka kita akan cenderung memilih Rp. 1.100.000.

 

Ilustrasi atas sering digunakan oleh para ekonomi keperilakuan untuk menjelaskan bahwa manusia tidak selalu bergerak dengan logika rasionalitas. Meskipun sama-sama memiliki perbedaan Rp. 100.000 pada dua kategori diatas, namun eksistensi elemen waktu membuat pola pengambilan keputusan dapat berubah drastis. Fenomena ini tidak dapat dijelaskan dengan teori-teori ekonomi klasik seperti The Efficient Market Hypothesis.

 

Fenomena mengenai pilihan hadiah uang diatas disebut hyperbolic discounting. Secara definitif konsep itu menerangkan kecenderungan seseorang untuk memilih imbalan yang lebih kecil namun diterima lebih cepat daripada imbalan yang besar namun lebih lama didapatkan. Konsep ini menjelaskan mengapa seseorang berprilaku implusif dalam pengambilan keputusan jangka pendek tetapi menunjukkan perilaku yang sabar dan kalkulatif dalam pengambilan keputusan jangka panjang.

 

Dalam konteks perilaku berkendara yang aman, hyperbolic discounting menjelaskan mengapa seorang individu cenderung melanggar prosedur-prosedur keamanan meskipun secara rasional ia tahu yang ia lakukan sangat berbahaya. Pengambilan keputusan jangka pendek seringkali bukanlah bertujuan untuk pemecahan masalah, melainkan hanya memenuhu hasrat dan gratifikasi instan.

 

Berdasarkan uraian di atas, setidaknya kita dapat belajar dua hal. Pertama, mewaspadai moral semu (pseudomoral) dalam konteks keselamatan kerja atau berkendara. Gerrit Antonides, professor psikologi  ekonomi dari Universitas Wageningen mendefinisikan moral semua sebagai moral yang seolah-olah baik, namun sebenarnya tidak esensial. Misalnya “cepat”,  Cepat merupakan value yang baik. Namun apakah berkendara dengan cepat adalah hal yang selalu baik? Melanggar lalu lintas demi efisiensi waktu menunjukkan eksisnya pseudomaral.

 

Kedua, waspadai kesalahan berpikir perilaku publik secara umum (Bandwagon Fallacy). Kesalahan berpikir yang terjadi ketika kita menganggap sebuah hal benar hanya karena banyak orang melakukannya. Sering perilaku abai terhadap keselamatan kerja dan berkendara terjadi karena pengabaian ini juga dilakukan banyak orang. Mengapa seorang pengendara motor melanggar marka? Salah satu jawaban paling umum karena banyak pengendara lain juga melakukannya.

Semoga di tahun baru ini, kita menjadi individu yang menjunjung tinggi keamanan dan keselamatan, baik dalam kerja maupun berkendara. Damai di bumi.

 

Sumber : Kontan.14 Januari 2017.Hal.19

Perempuan, Aral dan Keadilan Wirausaha

Jony Eko Yulianto_Perempuan, Aral dan Keadilan Wirausahawan. Kontan. 19 Januari 2017.Hal.23

Ada sebuah temuan menarik dari Indeks Melakukan Bisnis 2017 (Doing Business Index 2017) yang baru saja dirilis oleh Bank Dunia. Monograf penelitian setebal 348 halaman yang berisi kajian tentang daftar regulasi bisnis dari 190 negara menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kebijakan-kebijakan dalam wirausaha yang berlaku di 155 negara cenderung merepresentasikan kesenjangan keadilan yang dialami oleh perempuan dalam berwirausaha.

 

Indeks melakukan bisnis 2017 mengukur 11 indikator, yakni pembuatan bisnis baru, kemudahan pengurusan izin, kemudahan mendapatkan fasilitas kelistrikan, kemudahan pendaftaran properti bisnis, kemudahan mendapatkan kredit, perlindungan terhadap investor minoritas, pembayaran pajak usaha, perdagangan antar negara, isu kontrak kerja, pengurusan isu-isu dalam kerja, dan regulasi buruh. Sepuluh indikator pertama di atas menjadi basis pembuatan peringkat dalam rekapitulasi data final.

 

Secara umum, hasil pengukuran Doing Business 2017 menunjukkan adanya disparitas besar pada negara maju dan negara berkembang. Secara khusus, ditemukan pula bahkan perempuan cenderung mengahadapi tantangan lebih besar dalam merintis usaha dibandingkan dengan laki-laki.

 

Contohnya dalam hal registrasi korporasi. Ada perbedaan persyaratan registrasi yang harus dipenuhi jika sebuah korporasi dimiliki oleh seorang wirausahawa perempuan. Di beberapa negara, mereka diminta menambahkan surat persetujuan dari suami.

 

Lainnya, tentang perbedaan perlakuan terhadap wirausaha perempuan dalam akses terhadap kredit. Pihak pemberi kredit cenderung overfokus, perusahaan, dimiliki oleh perempuan tersebut atau suaminya. Beberapa fakta menunjukkan rasio persetujuan kredit lebih tinggi diberikan kepada pengusaha laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Dalam beberapa isu tentang negoisasi, testimoni dari pengusaha perempuan mendapat value yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

 

Temuan ini kini menegaskan kajian mengenai women entrepreneurship makin memiliki posisi penting dalam kajian-kajian entrepreneurship. Selain itu, fokus Doing Business 2017 yang menyoroti diskrepansi kesempatan pada wirausahawan perempuan di tataran global menunjukkan isu ini di alami hampir semua pengusaha perempuan di berbagai negara. Termasuk menegaskan komitment Bank Dunia dalam memberdayakan pemimpin perempuan untuk kesetaraan gender.

 

Prevalensi perempuan di dunia mencapai 49,6% dan hanya 40,8% yang tergabung dalam organisasi kerja formal. Dari keseluruhan jumlah start-up business, hanya 31% yang memiliki setidaknya satu perempuan sebagai pemilik (World Bank 2011). Hal ini menunjukkan peran serta perempuan dalam percaturan dunia wirausaha masih sangat rendah jika dibandingkan dengan laki-laki.

 

Namun demikian, perempuan tetap punya peranan penting. Bahkan menurut riset, jika prevalensi perempuan tak di masukkan dalam perhitungan, pendapatan per kapita secara global akan turun 40%! (Cuberes & Teignier, 2014)

Lalu bagaimana kita dapat menjelaskan aral yang dihadapi perempuan dalam berwirausaha ini?

 

PUNCAK YANG TERHALANG

Istilah glass ceiling phenomenon pertama kali diperkenalkan oleh Michelle Ryan dan Alexander Haslam, dua profesor Psikologi Sosial dari Universitas Exeter Inggris. Istilah ini merujuk pada adanya kecenderungan pesimisme terhadap kemampuan perempuan dalam memegang posisi kepemimpinan.

 

Karier perempuan tidak dapat sampai kepuncak seolah-olah karena terbentur oleh langit-langit kaca. Ryan dan Haslam kemudian juga memperluas istilah ini menjadi glass eliff phenomenon, untuk menjelaskan bahwa perempuan baru akan diminati untuk memegang posisi tertinggi saat perusahaan mengalami masa krisis.

 

Salah satu penelitian eksperimen yang terkenal dalam menjelaskan tentang glass ceiling dan glass cliff adalah eksperimen Ryan dan Haslam tentang Manajer ideal dalam sebuah organisasi. Para responden diberi dua cerita tentang sebuah perusahaan yang performanya sangat buruk. Perusahaan tersebut sama, baik detail atribut dan profilnya. Para responden dalam dua kelompok berbeda diminta untuk menggambarkan manager ideal untuk perusahaan yang tampil baik dan perusahaan yang memiliki performa buruk diatas.

 

Hasil penelitian diatas sangat mencegangkan. Semua responden menyebut bahwa manager yang ideal untuk perusahaan yang tampil baik adalah laki-laki. Sedangkan manager yang ideal untum perusahaan dengan performa buruk adalah perempuan. Dengan kata lain, “think crisis, think women!”. Temuan ini menegaskan fenomena pesimisme terhadap kemapuan perempuan merupakan sesuatu yang melibatkan ketidaksadaran kolektif (collective unconsciousness). Bagaimana mengatasinya?

 

Setidaknya, ada dua hal penting yang dapat diajukan dalam menghindari bias terhadap glass ceiling dan glass cliff ini. Pertama, perlunya membangun budaya kesetaraan gender dalam proses review. Artinya seyogyanya regulasi bisnis untuk pengusaha perempuan didasarkan pada evaluasi terhadap kinerja. Regulasi sebaiknya disusun untuk menstimulasi mereka dalam berkarya. Portofolio kerja akan membuat pengusaha perempuan dinilai berdasarkan kinerja daripada gendernya. Lagipula stereotipe negatif terhadap wanita yang melibatka  alam bawah sadar harus di lawan dengan pembudayaan tentang kesetaraan gender.

 

Kedua, perlunya membangun budaya kepemimpinan sebagai identitas personal. Acap kali, keraguan terhadap kepemimpinan perempuan terjadi karena hasil evaluasi personal terhadap pribadi pemimpin sebagai individu. Namun, kepemimpinan bukanlah semata-mata tentang individu, tetapi pemimpin sebagai bagian dari tim.

Cara pandang identitas sosial akan memungkinkan proses regulasi bisnis menitikberatkan indikator penilaian ada pada kualitas manajemen start-up. Misalnya, pengelolaan sumber daya manusia, keuangan atau pengelolaan kapital daripada apakah pemiliknya laki-laki atau perempuan.

 

Sumber : Kontan. 19 Januari 2017. Hal.23

Membidik dan Memanusiakan Wisatawan Lansia

Dewa Gde S_Tanggapan untuk Suyoto Rais_Membidik dan Memanusiakan Wisatawan Lansia. Jawa Pos.18 Januari 2017.Hal.4

Oleh Dewa Gde Satrya

TULISAN Suyoto Rais di media ini (16/1) menarik untuk dikembangkan. Dalam tulisannya, Rais memaparkan data lansia di Jepang . Negara tetangga Malaysia, Thailand, dan Filipina memang menjadi pilihan utama lansia Jepang untuk berwisata, bahkan menjadi semi permanen. Indonesia saat ini tengah memulai untuk menarik minat warga lansia Jepang datang kesini.

 

Keterkaitan sejarah dengan Jepang dan telah dilewatinya kurun waktu selama hampir 60 tahun persahabatan RI-Jepang seharusnya meningkatkan minat kunjungan wisman Jepang ke Indonesia.

 

Mereka berasal dari dua kalangan dan generasi yang berbeda. Target pertama adalah kategori office ladies, generasi muda Jepang yang biasanya pelesiran pada akhir pekan ke Bali. Target kedua adalah silver tourism, berusia di atas 60 tahun, yang merupakan pensiunan.

 

Membidik potensi wisatawan lansia juga dapat dimaknai sebagai kinerja konkret menindaklanjuti komitmen ASEAN Tourism Forum (ATF) yang dirancang pada 2002. Saat itu, hasil ATF merumuskan lima agenda penting bagi kepariwisatawan. Pertama, penyediaan fasilitas perjalanan dan menghilangkan hambatan-hambatan bagi wisatawan negara-negara anggota ASEAN dan tiga negara mitranya (Tiongkok, Jepang, dan Korsel).

 

Kedua, melakukan program promosi tujuan-tujuan wisata di ASEAN dan tiga mitra negara. Ketiga, menciptakan program untuk bisa mengembangkan sektor pariwisata di negara masing-masing. Keempat, kesepakatan untuk melakukan kerja sama di bidang riset dan pembinaan SDM serta informasi teknologi. Kelima, melakukan kerja sama di bidang promosi investasi usaha di bidang kepariwisataan.

 

Dalam konteks turisme, memang tidak mudah menarik minat kalangan lansia (senior traveler) untuk datang ke suatu negara. Namun kisah sukses Thailand yang menjadi pilihan utama lansia Jepang dapat menjadi pelajaran bagi kita. Peneliti dari National Institute of Development Administration (NIDA) Bangkok mengidentifikasi, di Thailand, senior traveler asal Austria, Jerman, dan Swiss telah mengubah posisi menjadi long stay tourist atau warga permanen, berniat tinggal di Thailand sampai akhir hayat. Mereka tinggal di Chiangmai, Samui, Chonburi, dan Chantaburi (Ashton & Choosri, 2016).

 

Konteks penting yang menjadi tolok ukur keberhasilan turisme sebuah negara adalah kemampuan mengakomodasi kalangan lansia dalam berwisata hingga mereka merasa aman, nyaman, dan mau datang kembali.

 

Wajah indonesia yang ramah dan manusiawi di pentas dunia dapat di presentasikan salah satunya dari sejauh mana kesiapan memanusiakan kaum lansia dan penyandang cacat dalam penyediaan fasilitas publik yang layak dan ramah. Di ranah ini, membidik wisatawan lansia sama halnya dengan perhatian dan penangganan yang serius pada pembangunan fasilitas umum semakin ramah bagi mereka.

 

Di ranah turisme, isu yang sama juga diangkat oleh United NationWorld Tourism Organization (UNWTO). Pada perayaan Hari Pariwisata Sedunia 2016, UNWTO mengangkat isu “Tourism Promoting Universal Accessibility.” Sekjen PBB Ban Ki-moon menegaskan, hak-hak mendasar dalam berwisata di seluruh dunia harus dipastikan terpenuhi dibagi tiga kalangan ini : penyandang disabilitas, kalangan lanjut usia (lansia), dan wisatawan keluarga yang membawa anak kecil. Penegasan itu sekaligus menjadi desakan kepada otoritas di tanah air, khusunya stakeholder industri pariwisata, untuk mengindahkan aspek infrastruktur untuk tiga kalangan wisatawan.

 

Di Indonesia, implementasi fasilitas publik yang ramah bagi semua kalangan, khusunya yang memiliki keterbatasan fisik dan lanjut usia, diatur dalam UU Nomor 25 tahun2009 tentang Pelayanan Publik. Selain itu, secara umum regulasi yang mengatur keselamatan pejalan kaki telah diatur dalam UU nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 45 dan 46, misalnya, mengatur tentang fasilitas pendukung seperti trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, serta fasilitas pendukung bagi penyandang cacat dan lanjut usia. Pasal 106 ayat 2 menyatakan, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kald dan pesepeda. Serta, pasal 131 dan 132 berbicara tentang hak dan kewajiban pejalan kaki dalam berlalu lintas.

 

Di Bandung, ada taman lansia yang digunakan kalangan lanjut usia untuk joging dan berbincang. Di kabupaten/kota lainnya, fasilitas umum untuk lansia juga mendesak untuk diadakan. Aspek detail perlu diperhatikan di tempat-tempat wisata agar benar-benar terasa “at home” bagi kalangan lansia. Misalnya, penyediaan fasilitas seperti golf car, shuttle car yang dikhususkan bagi kalangan lansia, termasuk pula untuk penyandang disabilitas, di area objek wisata. Ketersediaan toilet duduk dengan beberapa penyangga di sekelilingnya untuk menopang tubuh penyandang disabilitas, dan kalangan lansia, juga menjadi keniscayaan di setiap objek wisata. Dengan demikian, membidik wisatawan lansia berarti pula memanusiakan mereka dan wisatawan pada umumnya.

 

Sumber : Jawa Pos. 18 Januari 2017. Hal. 4