Belajar dari Perjalanan Yahoo.Kontan.16 Maret 2018.Hal.15

Jauh sebelum Google menjadi raksasa yang menggurita dunia maya, Yahoo! Pernah merajai dunia internet. Bagaimana kabar Yahoo! sekarang? Masih adakah harapan baginya untuk kembali merajai internet?

Terhitung 16 Juni 2017, Altaba Inc, yang berbasis di New York City, telah mengakuisisi Yahoo!. Ticker YHOO di bursa saham kini tidak ada lagi dan telah tergantikan oleh ticker Altaba yaitu AABA.

Bagaimana metamorfosis Yahoo! dari awal pendirian hingga hari ini? Pendiri Yahoo! adalah dua pmuda bernama David Filo dan Jerry Yang. Awalnya, mereka hanya membangun situs sederhana berisi link situs-situs pada masa itu yang masih belum terorganisasi dengan baik. Nama situs mereka cukup unik dan lugu, yakni David and Jerry’s Guide to the Internet.

Ternyata situs sederhana tersebut meledak dengan 50.000 pengunjung per hari. Jadilah situs tersebut berganti dengan domain yang mudah diingat. Yahoo adalah singkatan dari “Yet Another Hierarchical Officious Oracle.”

Pada tahun 1995, pengunjung Yahoo mencapai satu juta klik per hari. Alhasil infrastruktur hosting Stanford University tidak lagi memadai. Dengan suntikan dana dari Sequoia Capital, Mike Moritz dan Tim Koogle bergabung sebagai CEO dan chairman.

Yahoo! 2.0 yang dikelola secara profesional itu menjadi “tempat pemasangan iklan” karena tingginya pengunjung per hari. Reuters mulai menerbitkan artikel disana dengan biaya US$ 20.000 per bulan.

Pada tahun 1998, revenue melampaui US$ 200 juta dan jumlah klik mencapai 6 juta per hari. IPO pun digelar pada tahun 1996 dengan nilai kapitalisasi US$ 848 juta. Lalu pada tahun 1999, market value Yahoo! mencapai US$ 23 miliar.

Sayangnya, revenue model Yahoo! itu-itu saja, alias menjadi tempat pemasangan iklan. Tanpa inovasi berarti, tujuan Yahoo! semata-mata hanya demi mengejar revenue dari iklan.

Pada tahun 1999, startup Drugstore.com mengucurkan dana US$ 25 juta per tahun untuk beriklan di Yahoo!. Hal itu lantas meningkatkan nilai IPO mereka.

Yahoo! sebagai tempat pemasangan iklan startup, kemudian “kena batunya” karena tidak semua startup punya reputasi bagus. Akibatnya, pengguna pun berangsur-angsur meninggalkan Yahoo!.

Selain itu, ada kesalahan-kesalahan Yahoo! lain yang dapat kita jadikan bahan pembelajaran. Satu, kesalahan terbesar Yahoo! adalah tidak menerima tawaran Larry Page yang menyodorkan Google hanya seharga US$ 1 juta. Beberapa tahun kemudian, Yahoo! menyesal dan melamar Google dengan tawaran US$ 60 miliar di 2002. Namun, Google menolak.

                Dua, 400 jenis produk yang ditawarkan Yahoo! terlalu membingunkan konsumen. Tidak ada satu unique value proporsition (UVP) Yahoo! yang jelas. Ada Yahoo! Finance, Media, listing iklan, dan 397 jenis produk lain yang kurang popular.

Kalau Google dikenal sebagi search engine dan eBay adalah tempat pelanggan, Yahoo! apa ya? Tempat listing iklan? Tempat membaca berita? Atau apa?

                Tiga, terlalu banyak eksekutif yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Alhasil tidak ada satu individu yang bertanggung jawab. Beberapa kali manajemen berganti, tanpa hasil nyata kontribusi mereka.

                Empat, fokus baru ke mobile internet atas saran CEO terbaru Marrisa Mayer. Dengan pengalaman user experiences interface design (UI) di Google, ia mengutamakan bagaimana Yahoo! dapat menjadi the best app for mobile. Sayangnya, Yahoo! terlambat masuk.

                Lima, Yahoo! Media sebenarnya cukup berhasil dengan revenue US$ 5 miliar per tahun. Namun, di bawah kepemimpinan Mayer, divisi media tidak berkembang karena pengalaman Mayer yang minim.

Misalnya, Gwyneth Paltrow yang sangat berhasil dengan buku masakan best-selling­­-nya pernah ditolak Mayer sebagai editor, dengan alasan Paltrow tidak pernah duduk di bangku perguruan tinggi. Dalam konteks bisnis media, Mayer termasuk buruk track record-nya.

                Enam, Yahoo! Mail versi baru telah dirilis meskipun belum siap. Akibatnya banyak masalah saat penggunaannya. Para pengguna email Yahoo! banyak yang meninggalkan emailnya.

                Tujuh, aplikasi Yahoo! tidak menarik cukup trafik. Yahoo! gagal masuk ke pasar mobile internet yang telah lama dikuasai oleh Apple iOS dan Android. Kedua platform itu sudah punya pengguna evangelis yang fanatik.

Perjalanan bisnis Yahoo! yang fantastis di era Web 1.0 kini tela bermetamorfosis menjadi situs tua yang masih eksis tapi kurang greget. Berbagai masalah manajemen, product development, dan revenue model menjadi pengahambat perkembangan di era Web 2.0 dan Web 3.0. Sungguh, ini menjadi pelajaran yang berharga.

 

 

Sumber: Kontan.16 Maret 2018.Hal 15

Rumah Tenunkoe Membantu Perajin Memperluas Pasar

Social Entrepreneur

Untuk membantu meningkatkan perekonomian para penenun, Rumah Tenunkoe memberikan pelatihan soal kualitas, penawaran hingga leadership. Selain itu, juga membantu untuk memasarkan produk tenun supaya mendapatkan harga yang lebih baik dan hasil tenun yang lebih konsisten.

                KEHIDUPAN yang layak serta berkecukupan secara sisi ekonomi, pendidikan, dan lainnya belum dapat dirasakan secara merata oleh semua warga Indonesia. Misalnya di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), tak semua penduduknya memiliki tingkat ekonomi yang baik.

Meski, banyak perempuan menjadi penenun, namun hasilnya tidak bisa menambal kehidupan sehari-hari. Pasalnya, artshop setempat membeli kain dengan harga yang rendah.

Prihatin melihat kehidupan para penenun ini, Indrasti Maria Agustina mendirikan Rumah Tenunkoe pada 2015 lalu. Bersama relawan, Tenunkoe rutin memberi pelatihan, mulai peningkatan kualitas, pewarnaan sampai kepemimpinan. Semua itu dilakukan utnuk mengangkat kesejahteraan para penenun. “Saya ingin mereka ikut terlibat dalam kegiatan desa, karena selama ini partisipasi mereka dalam masyarakat sangat rendah atau tidak ada,” kata Indrasti.

Tak hanya itu, Rumah Tenunkoe juga membentuk koperasi untuk membantu perajin memasarkan produk. Indrasti memasarkan produk tenun ini lewat bekerjasama dengan sejumlah marketplace di tanah air, Amerika Serikat serta Australia.

Selain dibagikan untuk penenun, hasil penjualan juga dimasukkan ke koperasi. Nantinya, dana yang terkumpul tersebut bakal digunakan untuk meberikan pelatihan.

Lantaran masih dibuat secara tradisional dan hanya menjadi pekerjaan sambilan, tak ada jumlah stok pasti dari para perajin. Untuk memenuhi permintaan, Indrasti menerapkan sistem setor bergilir per kelompok. Ada tujuh kelompok tenun yang beranggotakan 110 penenun dan 30 penjahit.

“Setiap bulan digilir kelompok mana yang harus menyetor kain produksinya,” jelasnya. Setiap kelompok memiliki ciri khas masing-masing yang tergambar dari motif dan warna yang digunakan. Seperti kelompok Desa Hetutu, Kecamatan Takari yang memproduksi tenun bermotif timur dengan nuansa warna cerah.

Salah satu kendala yang dihadapi Indrasti adalah belum adanya standar produk yang tetap dari para penenun. Alhasil, kualitas kain menjadi berubah-ubah.

Pasalnya, penenun itu belum berpikir untuk membuat kain dengan hasil yang sempurna. Seperti, ukuran kain tidak sama atau tingkat kerapatan benang kurang pas. Ini membuat produknya bakal susah dijual kepasaran.

Ke depan, Ana berharap dapat meneruskan aksi pelatihan bersama para relawan yang bergabung. Sebab, kini, gerakan Tenunkoe sudah tidak lagi mendapatkan sokongan dana dari pihak luar. Selain itu, para relawan dan masyarakat juga dapat meberikan ide kreatif desainnya untuk diseleksi yang akhirnya diteruskan kepada para penenun. Tujuannya, jenis produksi dan nilai tenun bertambah.

 

Sumber: Kontan.15-Maret-2018.Hal_.19

Sasar Segmen Keluarga dan Bisnis

Surabaya-Potensi bisnis hotel kian terbuka seiring dengan gaya hidup masyarakat. Ceruk pasar untuk liburan alternatif keluarga dan bisnis menjadi potensial untuk dikembangakan. Termasuk pada segmen hotel bujet.

General Manager Choice City Hotel Wahjuno Seobhagio mengatakan, konsep hotel yang dikembangkan adalah family and business hotel. Sebagai hotel yang lokasinya menyatu dengan pusat perbelanjaan BG Junction, Choice City Hotel hadir untuk memfasilitasi para pengunjung yang datang ke pusat perbelanjaan di kawasan Surabaya Pusat itu.

Wahju melanjutkan, tidak sedikit para konsumen pada tenat-tenant di BG Junction yang berasal dari luar Pulau Jawa. Mereka pun mencari hotel untuk menginap. “Kalau ke Surabaya, mereka menginap di hotel lain, padahal transaksi dan lihat barang disini (BG Junction, Red),” ujarnya dalam soft launching Choice City Hotel kemarin (26/3). Lokasi strategis yang tidak jauh dari pusat kota membuatnya optimistis mampu menyasar pasar.

Menurut Wahju, sebagian masyarakat juga menyukai menginap di hotel yang tersinergi dengan mal atau pusat perbelanjaan. Namun, pilihan hotel dengan konsep tersebut umumnya memiliki rate harga yang cukup tinggi.

Karena itu, kehadiran Choice City Hotel diharapkan bisa menjadi alternatif bagi masyarakat. Termasuk para pebisnis dari luar Surabaya. (puj/c25/fal)

 

 

Sumber: JawaPos.24 April 2018.

Eyeglasses Frames Made of Cow Bone

Not easy to decompose, cow bones remains from meatball production-pile up in refuse heaps. Having to deal with such nasty piles, getting higher all the time, the residents of Rancaekek, Bandung regency, West Java got together and and figured out how to recycle these bones, making Keris Sarong, cigarette pipes and statues.

One of these talented artisans is Taufik Muharram. However, unlike other craftsmen, this man makes eyeglass frame from old bones, because he wants to be original, and make things differently.

When he started out he had no idea as how to make frames for eyeglasses, so he took a plastic one and copied it on a cow’s bone. Last September 2016  he launched his first product, under “Bilal Craft” brand.

In contrast to craftsmen who directly target overseas markets, Taufik decided to sell his curious products to local consumers first. He also displayed them through the “artisans community” from district to provincial levels.

From there, Taufik participated in various exhibitions. Unexpectedly, his original bony glasses attracted consumer’s attention.

To expand the market, he also offers them through online sales. As a result, now sales have reached major cities in Indonesia.

The eyeglass frames are sold for Rp. 600.000-Rp. 1.5 million per pair. He imposed a pre-order system to keep stocks steady for a long time. Currently, he has not yet felt any significant competition because he has not heard of any competitor, from inside or outside of the country.

The frames are created relying completely on manual skills, so it takes about four days to create one pair of glasses-and this makes them so special. Production is handled by taufik only, assisted by his father. As a result, in a month he can only produce about eight to ten pairs of glasses. It is thus a limited-edition product.

This lack of resources makes it difficult to increase production. He admits that it quite difficult to get craftsmen because not many people today are diligent, patient, and painstaking enough just to make one item. In addition, the number of bone craftsmen in the region is decreasing.

To attract the attention of young people to go back to pursue this bone craftsmenship, he opens sree training sessions at his workshop located in Rancaekek, Bandung regency, West Java. There are already a number of students from Unpad or ITB who are studying how to create new eyewear models.

In the future, he wants to continue launching new bone craft products. Bone watches are ready to be marketed in the near future. (IO-3)

 

 

Sumber: 16-22-Maret-2018.Hal_.9

Simple Cutting Elements of Customized Couture

Jakarta – Starting har career as a makeup artist , Meike Rompas today is known as an expert fashion designer, with diverse lines of distinctive clothing favorited by fashion enthusiasts.

Meike Rompas started her own clothing line, called “Kabuki-Sewing House” back in 2011. Before decisively entering the fashion design industry, Mieke completed her journey as a makeup artist and fashion stylist maestro. “Everything started from my career as a makeup artist; then I pursued a career as a fashion stylist consultant. I often found myself in a difficult situation, as certain clients had no idea of what was a suitable [outfit] for them. Sometimes, I sensed there was a lack of ready-to-wear garments available in the market; therefore, the idea of crafting my own occured to me; surprisingly, my customers always accepted my proposed design concept. Later, this costume spread among friends and colleagues, thus consistently keeping up with the market,” Meike told Independent Observer in Plaza Indonesia, Central Jakarta.

Starting the business

Spotting wide market oppurtunities ahead, Meike decided to quit her current job as a makeup artist and merely focus on fashion designer industries. “I managed to teach myself skills of clothing styles and expertise as it had always been my pure passion. All the sewing is carried out by my employees. As for makeup mastery, I learned it from Martha Tilaar,” Meike remarked.

It all started in a rented house when she opened her store seven years ago, a home-based workshop center in Kemayoran, Central Jakarta. Today, within a three-year span, she no longer needs to pay rent following the purchase of a decent workshop spot within Senen Perimeter, Central Jakarta. Prior to the first stage of the operational run, she could not recallwhat her initial expenses had been. But after running for two years, her revenue stream from successful sales allowed an investments of Rp. 55 milion for sewing machine supplies to provide wider variety of product development.

“At the start, I only provided rough sketches; afterwards they would be tailored by private merchant partners. When I found out that one of my friends wanted to sell some sewing machine, I took a chance and purchased them; right now I have my own employees to translate my sketches into costumes,” she added. Various products are available in Kabuki Sewinghouse-shirts, blazers, dresses, and kaftans. Initially consumers were merely friends or colleagues. But right now, she has connected to a wider market, because of her social media presence, particulary Instagaram. “Potential costumers often catch a glimpse of my design in Instagram, then ask for price and are willing to order,” she smiled. “I also mingle on occasion, online or offline, because that’s where potential customers are often lurking.”

Meike claims that at first she made only ready-to-wear products available for purchase. As a matter of ongoing demand, right now she is only focusing on customized products. “Initially, I always managed to produce cutomized clothes for specific customers, as well as putting them in stores at the same time; but I think it was ineffective and I was overwhelmed. Just so you know, ready-to-wear fashion styles must be updated on a weekly basis; I could not make things happen because of circumstances. I felt overwhelmed, then I decided to stop. Thus, after that I only fulfilled customized demands.’

Kabuki Sewinghouse has been able to produce 60-70 pieces to date, with prices ranging from Rp. 300 thousand – Rp. 6 million. “For only 300 thousand rupiahs you can get a simple batik dress,” she stated.

Unique Value of the Product

In securing the public’s attention, Meike always aimed to develop high-quality products for her store. ‘Well-tailored products are the best promotional tools. I always pushed myself to originate flawless work. When customers are satisfied, they will brandish the product at its best. For instance, when their circle finds out that the outfit is good, it is common for them to ask where it was sold. Sutomers often post a pose wearing the outfits and mention our brand in the caption, hence it will be seen by their peers. In that case, a number of new followers will be coming in,” she said.

Undoubtedly, the competitiveness of the industry is tight. Jowever, Kabuki Sewinghouse can be proud of having its own market pool. “My characteristic products have developed well along the way, resulting in a unique and distinctive style among others, our very own signature. My outfits possess simplicity, elegant looks, firm linrs, are finely sewn, and more obviously made from the best textiles available.’

Meike is even able to manufacture clothes within a short period of time.

“That is the advantage of appointing employees. For instance, if customer places and order today, in just one or two following days it would be ready to pick up. Customers can rest assured that they are going to get a good deal.”

With her business appearing promising, meike keeps upgrading through particular fashion design courses. “I have a plan to take a special [fashion] course in away of advancing my professional abilities in this industry, so I could create and cut patterns on my own. Because in some cases, my employees are often confused about sketched patterns. It is indeed frustrating,” said Meike, showing her dimples.

 

 

Sumber: Independent-Observer.9-15-Maret-2018.Hal_.9

Tak Gentar Hadapi Pesaing

Berawal dari kegemarannya berkeliling Indonesia, Arnis Wigati akhirnya ‘jatuh cinta’ dengan beragam kain nusantara, khususnya tenun yang dihasilkan oleh tangan-tangan cekatan sang penenun.

Ide pun terbetik seketika. “Setelah ketemu penenun, saya terpikir untuk membantu mereka. Caranya dengan membeli hasil tenunan dan mengelolahnya menjadi pakaian jadi,” kenang Arnis.

Namun, dia sadar berkompetisi di bisnis pakaian jadi berbahan dasar kain nusantara kala itu tidaklah mudah. Sudah muncul puluhan bahkan mungkin ratusan pemain di bisnis serupa, baik pengusaha rintisan maupun yang sudah memiliki nama besar.

Tak hilang akal, Arnis pun bersiasat. Produk pakaian jadi yang akan dihasilkan akan fokus menyasar para perempuan muda, dengan desain yang cenderung kasual alias jauh dari kesan formal. Tujuannya jelas agar anak muda pede menggunakan kain nusantara.

Di bawah brand Sabuya Room, Arnis pun memulai bisnis ini secara resmi pada Januari 2015. “Sebetulnya sudah mulai pada 2014, tetapi belum begitu diseriusi,” tutur Arnis.

Bulan-bulan pertama menekuni bisnis ini bukanlah masa yang mudah bagi Arnis. Ada begitu banyak hambatan yang ditemui, mulai dari modal hingga kompetisi dengan bisnis serupa yang tumbuh marak di pasaran.

Kondisi ini menuntut Sabuya Room harus mencari pembeda. Sebagai pembeda, selain tampil lebih kasual, produk Sabuya Room juga selalu dikombinasikan dengan kain dari daerah lain seperti lurik, ulos, dan batik.

Arnis juga berkomitmen tak merusak makna yang terkandung dalam selembar kain. Oleh karena itu, dalam proses desain, gambar kain tenun yang umumnya ‘bercerita’ tetap dijaga sedemikian rupa.

“Contohnya untuk kain Sumba. Saya tidak mau merusak arti dari kain itu. Sebisa mungkin pola kain tetap tergambar, tetapi ceritanya tetap ada. Jadi enggak asal motong. Saya tidak merusak motif asli dari kain.”

Berbagai kekhasan ini membuat produk Sabuya Room digemari para pecinta kain nusantara. Saban bulan, pembelinya mengalir terus baik melalui pemasaran online, seperti Instagram dan  marketplace Qlapa.com maupun yang datang berkunjung langsung ke workshop Sabuya Room.

Dengan harga di kisaran Rp. 245.000 hingga Rp. 1 juta, pembeli datang dari berbagai segmen. Dalam sebulan, minimal 30 potong pakaian terjual ke pembeli.

Diakui Arnis, sebagian besar pembeli produk Sabuya Room adalah konsumen setia yang rutin berbelanja.

Pembeli ini bahkan sangat melek dengan model-model yang dikeluarkan oleh Sabuya Room. “Ini terbukti, begitu ada model baru, pembelian langsung meningkat,” ujar perempuan yang kini dibantu 12 orang karyawan di bagian produksi dan pemasaran tersebut.

AKSESORI ETNIK

Sukses di bisnis pakaian jadi, Arnis juga berekspansi ke bisnis lain, yakni aksesori etnik. Namun, berbeda dengan aksesori kebanyakan, produk yang dihasilkannya berasal dari limbah tulang sapi.

Bisnis aksesori ini sebetulnya merupakan karya kolaborasi antara Arnis dan perajin aksesori di Bali, dan dijual dalam partai besar.

Selain dipasarkan di dalam negeri, produk aksesori ini juga telah diekspor ke beberapa negara, seperti Jerman, Meksiko, Italia, dan Belanda.

Melihat animo masyarakat domestik yang cukup besar, tahun ini dia berencana membuka gerai di Balikpapan.

Unruk aksesori, Arnis mengusung konsep ‘menjual story’. “Misalnya kalung dari iga sapi. Ketika dipakai konsumen, dia bisa menceritakan ke temn-temannya… ini loh iga yang gue makan di restoran. Ternyata bisa jadi aksesori cantik seperti ini,” tuturnya.

Kini, 3 tahun sudah dia menekuni bisnis ini. Ada sederet rencana yang tengah disiapkannya.

Untuk lini pakaian jadi, Arnis bertekad mengembangkan pakaian pria dan anak-anak. “Permintaan dari segmen ini banyak. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa terealisasi.”

Selain itu, Arnis juga berencana menjajal bisnis baru, yakni produk home and decor di bawah nama merek Sabuya Home.

“Pasar di segmen ini juga besar. Saya ingin produk tenun bisa mempercantik rumah,” kata karyawan pemasaran di salah satu perusahaan media ternama tersebut.

 

 

Sumber: Bisnis-Indonesia-Weekend.11-Maret-2018.Hal_.5

Rezeki dari Diet Mayo

“Awalnya saya masak makanan diet untuk diri saya sendiri, karena saya menyadari gaya hidup yang mulai tidak sehat. Makanan yang saya masak itu saya posting di IG dan ternyata banyak yang tanya,” begitu cerita awal Anjarsari Resmaningrum pemilik katering sehat @gomayo_bpp kepada Bisnis.

Anjar setelah kuliah sempat bekerja di beberapa perusahaan besar di Kalimantan Timur, namun akhirnya memilih untuk meninggalkan karier sebagai profesional dan menekuni bisnis yang sesuai dengan minatnya.

Pada 4 Mei 2015 dengan tujuh orang pelanggan pertamanya, Anjar memulai bisnis katering sehat tersebut. Awalnya, paket yang ditawarkan adalah paket diet mayo selama 13 hari. Menurut Anjar, paket itu dipilih lantaran cukup mudah dibuat dan dijalankan oleh para pelanggan yang ingin menurunkan berat badan.

“Diet mayo relatif mudah karena tanpa air es,” ujar Anjarm

Bagi Anjar, bisnis ini merupakan usaha yang dicita-citakannya. Sebagai lulusan sarjana ilmu komunikasi dibidang komunikasi pemasaran, Anjar ingin mengembangkan usaha yang jarang ingin digarap oleh kompetitor. Menurutnya, tidak terlalu banyak orang yang tertarik untuk mengembangkan bisnis makanan sehat.

“Memang, tidak semua orang minat diet, tapi itu bikin tidak banyak kompetitornya juga. Meskipun peminat katering sehat itu sedikit dibandingkan dengan orang yang ingin makan enak, mungkin 30 berbanding 70 tetapi saya lebih milih buat mengakomodir yang 30 itu,” paparnya.

Seiring dengan makin banyaknya informasi yang diperoleh dari media sosial, pemain bisnis makanan sehat di Balikpapan pun diakui Anjar makin menjamur. Pasalnya, dalam beberapa tahun belakangan ini pertumbuhan jumlah katering sehat di daerahnya cukup signifikan.

Masing-masing katering memiliki posisi sendiri seperti smoothies, yaitu makanan dengan konsep eat clean, hingga katering untuk menu diet.

Untuk mengakomodasikan keinginan para pelanggannya, Anjar melalui @gomayo_bpp memberikan beberapa opsi paket yang dapat dipilih. Harga yang dipatok pun beragam sesuai dengan paket dan jumlah hari yang dipilih. Untuk paket diet mayo selama 13 hari, Anjar mematok harga Rp. 950.000 yang terdiri dari makanan siang dan malam.

Ada juga paket dengan konsep eat clean yang disebut sebagai paket healthy lunch dan healthy bowl. Menu dalam paket itu merupakan menu sehat yang mengurangi garam dan tidak menggunakan MSG. Dua paket tersebut masing-masing dibanderol dengan harga Rp. 225.000 dan Rp. 125.000 untuk menu selama lima hari.

“Untuk yang paket eat clean tujuan awalnya untuk mengakomodir orang yang takut ngambil diet karena takut tidak berasa, menu di paket itu masih berasa hanya memang less salt dan no MSG. Beras yang digunakan pun beras juga beras merah atau beras coklat,” ujar Anjar.

Kini dalam sebulan Anjar bisa menerima hingga 40 pelanggan baru untuk paket diet mayo. Sedangkan untuk paket eat clean healthy lunch, rata-rata dalam sehari bisa mencapai 15 paket.

Salah satu kendala yang dihadapi Anjar dalam menjalankan katering sehat ini adalah minimnya ketersediaan bahan-bahan makanan sehat berkualitas premium. Hal ini awalnya membuat Anjar harus pintar-pintar mengombinasikan menu yang ditawarkan.

“Keterbatasan bahan misalnya seperti chia sedd. Dimana-mana sudah banyak yang pakai, tetapi di Balikpapan awal-awal itu masih susah banget dicari,” paparnya.

Ke depannya, Anjar dan @gomayo_bpp berencana untuk menambah jenis paket dan variasi menu yang ditawarkan. Menurutnya, ini penting dilakukan untuk menjaring kembali para pelanggan yang sebelumnya pernah menjadi konsumen di katering sehatnya.

Anjar juga terus melakukan konsultasi dengan ahli gizi agar menu yang dibuatnya sesuai dengan kebutuhan kalori pelanggan. Bahkan, Anjar juga mencatat apakah masing-masing pelanggan memiliki kesulitan untuk memakan jenis makanan tertentu. Hal ini untuk memudahkannya dalam menyusun menu harian yang tepat dan seusai kebutuhan.

“Tambah paket dan variasi menu itu penting. Supaya konsumen tidak bosan dan yang sudah pernah ikut bisa tertarik lagi karena menu yang ditawarkan berbeda,” ujarnya.

 

 

Sumber: Bisnis-Indonesia-Weekend.18-Maret-2018.Hal_.5

Menjadi Jembatan Pemasaran

Astrid Juanita Stephanie yang merupakan lulusan food technology Universitas Gajah Mada dan Johannes Kristanto yang lulusan agriculture industry di universitas yang sama, berbagi mimpi untuk membuat bisnis dengan dampak sosial.

Setelah lulus menempuh pendidikan, Astrid sempat bekerja sebagai national sales manager di suatu hotel dan restoran. Demikian pula halnya dengan Johannes.

Berbekal latar belakang ilmu dan pengalaman bekerja di perusahaan produk makanan. Keduanya, mantap mendirikan PanenID pada Januari 2017 sebagai penghubung atau direct & fair trading agriculture product dengan konsumen akhir hotel dan restoran.

PanenID merupakan platform teknologi yang memiliki model bisnis untuk memotong rantai pasar, sehingga petani dapat langsung menjual hasil pertaniannya ke konsumen akhir, khususnya hotel dan restoran.

Adapun Astrid bertindak sebagai CEO dan Johannes menjadi chief technology officer atau CTO.

Astrid memaparkan, dengan modal sekitar Rp. 100 juta dari hasil jual kendaraan mobil miliknya PanenID mencoba peruntungan di Bali. Bukan tanpa alasan, Bali dipilih karena potensi segmen market yang dibidik sangat besar.

“Kami mulai di Bali dengan alasan memiliki lebih dari 5.000 hotel dan 200 diantarnya adalah bintang 5,” ujarnya kepada Bisnis.

Dia mengatakan awalnya PanenID membina petani lalu hasilnya langsung dibawa ke pelanggan akhir (end customer). Namun, ada sedikit pembaruan saat ini PanenID mengambil posisi bekerja sama dengan para petani yang memiliki lahan dan melakuakan bagi hasil sebesar 70% dan 30%.

“Keunggulannya rantai kami pendek dan kualitas unggulan,” katanya.

Dia mengatakan PanenID masuk melalui dinas pertanian setempat untuk dipertemukan dengan petani-petani pilihan. Pihaknya kemudian membuat prototipe di satu lahan yang akhirnya berkembang.

Kini sudah ada 300 petani yang tersebar di delapan area yaitu untuk kawasan Bali ada di Auman, Pancasari, Belok atau Sidah, Ubud, Sanur untuk yang organik. Kemudian, kawasan Bogor ada dua lokasi. Selain itu, ada satu lagi di Getasan Jawa Tengah.

Saat ini, PanenID memiliki sekitar 300 komoditas pertanian dengan lebih dari 1.000 ton produk yang berhasil dikirimkan. Beberapa komoditas tersebut diantaranya, tomat, brokoli, dan cabai rawit.

Dari sisi pertumbuhan bisnis dan omzet, PanenID juga terus mengalami pertumbuhan signifikan.

“Januari 2017 vs Januari 2018, kami naik lebih dari 1.000%. [Untuk] Februari 2018 [dibanding Februari 2017] kami naik lebih dari 2.000%,” katanya.

Dia mengatakan dari sisi omzet, untuk dua bulan pertama yaitu Januari dan Februari 2018, juga melampaui omzet enam bulan pada 2017.

“Sekarang omzetnya per bulan di kisaran Rp. 500 juta. Targetnya [bisa] US$ 1 juta [untuk sepanjang] tahun ini [2018],” katanya.

Setelah dari Bali, PanenID juga mulai masuk ke Jakarta. Namun, beberapa tantangan dihadapi seperti persaingan.

Namun, pihaknya tetap optimis karena memiliki keunggulan dari sisi variasi produk yang mencapai 300 komoditas.

Selain itu PanenID juga telah memegang customer chain atau rantai pelanggan besar dari hotel dan restoran seperti Ayana, Padma, Four Season, dan Harris Group.

“Targetnya tahun ini ada di lima kota, bali, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung,” kata Astrid.

Baginya, untuk terjun ke bisnis di sektor ini, perlu dilakukan sesuai dengan passion atau minat karena langkah di awal akan berat sehingga jika tidak sesuai dengan minat akan mudah menyerah.

Dari sisi modal, dia juga mengatakan memang memerlukan tahanan modal yang besar bergantung dari perkembangan yang ingin dicapai. Hal tersebut karena dalam bisnis dengan target segmen market hotel dan restoran ini memiliki ketentuan pembayaran satu bulan.

PanenID juga terus melakukan inovasi dari sisi teknologi dengan mengembangkan sistem baru di lahan pertanian yang ada.

 

 

Sumber: Bisnis-Indonesia-Weekend.25-Maret-2018.Hal_.5

Memupuk Semangat Wirausaha

Terkena pemutusan hubungan kerja tidak lantas membuat Bibit Ariyani [49] patah semangat. Sebaliknya, pengalaman itu membuat ia meneguhkan tekad untuk berhenti menjadi karyawan, kemudian memulai langkah baru sebagai wirausaha. Kini, semangat menggeluti telah mewujud dalam usaha tas berbahan ranting bambu.

Merintis usaha pada tahun 2008, Bibit ketika itu bermodal uang senilai Rp. 2 juta. Ia bersama dengan 10 karyawannya kini memproduksi sedikitnya 100 tas per bulan. Tas ini merupakan tas wanita dengan berbagai bentuk dan ukuran, mulai dari tas jinjing hingga ransel. Harga tas dari ranting bambu ini bervariasi dari Rp. 50.000 hingga Rp. 100.000.

Produk tas ini telah terdistribusi ke berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Batam, Makasar, dan kota-kota di Kalimantan. Tas produksi Bibit ini pun juga memikat warga asing dan laku terjual ke Amsterdam, Turki, dan Abu Dhabi.

“Beberapa warga asing itu ada yang datang langsung ke rumah saya, ada pula yang lalu menindaklanjuti dengan meminta tambahan tas untuk dikirim langsung ke negara asal mereka,” ujarnya.

Sejumlah pelanggan, termasuk yang berasal dari luar negeri, tertarik karena tas ini memiliki karakter unik, jarang ditemui atau diproduksi di daerah lain.

Usaha Bibit ini berawal dari cerita pahit ketika dia dan suaminya menjadi korban PHK, setelah lebih dari 20 tahun bekerja di sebuah pabrik mesin fotokopi. Sempat merasa limbung dan bingung, tahun 2007, keduanya pun merasa tidak ada pilihan lain, kecuali pulang ke kampung halaman mereka di temanggung, Jawa Tengah.

Sejalan dengan pilihan kembali ke kampunng, Bibit pun bertekad tidak akan melamar pekerjaan dan menjadi karyawan lagi. Sebaliknya, dia bercita-cita mebuka lapangan kerja di desa.

Demi mewujudkan tekad itu, Bibit mulai mengeksplorasi potensi desanya. Ia mencari tahu usaha apa yang bisa dikembangkan dari skala mikro atau kecil. Akhirnya ia pun mulai dengan usaha membuat keripik pisang, menggunakan modal senilai Rp. 500.000.

Sekalipun produknya diminati, usaha keripik pisang yang sempay dijalankannya selam satu tahun itu perlahan mulai ditinggalkan. Dia tidak ingin meneruskan, karena pada industri makanan itu ada resiko kedaluwarsa dan terbuang sia-sia.

Setelah itu, dia pun mulai melirik peluang usaha membuat kerajinan. Di tahap awalm dia mencoba membuat tas berbahan tempurung kelapa dna tas berbahan ranting bambu. Ketika itu, semua dilakukan sendiri, hanya dengan mengandalkan kemampuan menjahit, dan kreativitasnya sendiri. “Saya hanya membayangkan, mencoba-coba, bagaiman tas ini kelihatan bagus dikenakan perempuan seperti saya,” ujarnya,

Lakuakan perbaikan

Sebagai upaya melakukan uji coba, dia mulai membuat 1-2 tas yang kemudian dijual dan ditawarkan ke tetangga, warga sekitar rumahnya. Hal itu dilakukannya berulang kali selama sekitar setahun. Dari upaya itulah, Bibit mendapat banyak kritikan, yang kemudian dipakainya sebagai bahan pertimbangan untuk terus memperbaiki produk.

Salah satu hal yang dikeluhkan oleh salah seorang tetangga, misalnya, adalah bagian ranting dan kulit kelapa yang mudah ditumbuhi jamur saat disimpan. Dari situ, Bibit kemudian belajar memakai obat atau bahan kimia pencegah jamur.

Seiring dengan upaya-upaya perbaikan itulah, dia mulai mendapatkan pesanan tas dari tetangga-tetangga sekitar. Tidak hanya mendapatkan pesanan, sebagian warga sekitar pun tertarik utnuk ikut membuat tas tersebut. Mereka tertarik untuk dilatih membuat tas. Akhirnya sebagian juga direkrut Bibit sebagai karyawan atau tenaga lepas dalam proses produksi tas.

Respons positif dan peningkatan permintaan dari lingkungan sekitarnya, mendorong Bibit mengembangkan pemasaran dengan memperkenalkan produknya ke Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Temanggung. Dari situlah, ia kemudian mulai diajakn untuk mengikuti pameran-pameran. Pada pameran pertama yang diikutinya tahun 2010, produk tas dari ranting bambu yang diproduksi Bibit mendapatkan respons tak terduga.

“Waktu itu, saya mendapatkan pesanan 102 tas dari Denpasar, Bali,” ujarnya. Permintaan tersebut dipenuhinya dengan memberdayakan ibu-ibu rumah tangga sekitarnya.

Dengan makin seringnya mengikuti pameran, Bibit pun mendapatkan semakin banyak pesanan dari berbagai kota di Indonesia. Hal ini mendorong Bibit terus berkreasi mengembangkan produknya. Bahan ranting bambu, misalnya, dipadupadankan dengan bahan-bahan lain, seperti tali kur dan biji genitri.

Selain memproduksi, Bibit pun giat berbagi ilmu dan keterampilan pembuatan tas. “Sejak tahun 2010 hingga sekarang, saya mengajar, berbagi ilmu tentang cara membuat tas di lebih dari 20 sekolah,” ujarnya.

Ia tidak keberatan jikan karyawan atau orang yang oernah ia latih nantinya jadi pesaing usahanya.

“Saya ingin agar pada kondisi paling sulit, orang bisa mencari uang dengan bekal keterampilan sendiri. Saya ingin mengajarkan semangat berwirausaha, karena saya sendiri pernah mengalami masa susah, pernah di-PHK, dan merasakan krisis keuangan,” ujarnya.

 

 

Sumber: Kompas.10-Maret-2018.Hal_.19

Kembang Bawa Berkah

Niat untuk fokus mengurus keluarga membuat septi Dwi Mirantika pun mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai staf di salah satu media televisi nasional pada 2 tahun lalu.

Kondisi itu pula yang mendorongnya untuk memberanikan diri merintis usaha baru di bidang dekorasi, yaitu bunga kertas atau yang populer disebut paper flower.

Ketertarikan Septi terhadap paper flower bermula ketika dia menghadiri pesta pernikahan temannya yang menggunakan dekorasi bunga kertas tersebut. Penampilan dekorasi yang cantik membuatnya lebih serius mempelajari secara otodidak pembuatan paper flower melalui kanal video Youtube.

“Modal awalnya hanya Rp. 300.00-an, belajar sendiri dari Youtube, lalu iseng posting [hasilnya] di Instagram,” ujarnya.

Tak disangka, dalam bulan pertama dia pun langsung mendapatkan dua pesanan untuk paper flower melalui media sosial tersebut. Meskipun terbilang baru, namun mayoritas konsumennya tak kesulitan menemukan produk jualnya melalui tagar di Instagram.

Melihat potensi tersebut, Septi pun mulai menekuni bisnis Queenapaper, yang diambil dari nama anaknya, secara lebih serius.

Kini, Septi tak hanya mengandalkan Instagram sebagai alat pemasaran. Dia pun mulai merambah situs penjualan online lainnya seperti Bukalapak, Shopee, dan Tokopedia. Alhasil, bisnisnya yang dikerjakan dari rumahnya di Bekasi ini mulai dipesan oleh konsumen luar kota, sebut saja Jepara, hingga Jambi.

Untuk membuat paper flower yang awet dan berkualitas, dia menggunakan kertas berbahan jasmine yang cukup tebal dan memiliki kilau yang menarik. Paket yang ditawarkan pun beragam, mulai dari paket termurah Rp. 100.000 yang berisi enam paper flower beragam ukuran, hingga paket paling mahal seharga Rp. 350.000 yang menawarkan 25 paperflower beraneka macam warna dan ukuran.

“Kami gunakan kertas jasmine yang biasa buat undangan pernikahan. Lalu ukiran daunnya kita bedakan bentuknya dengan toko semacam biar dikenal dan menjadi ciri khas Queenapaper,” jelasnya.

Belum genap setahun dirintis sejak Oktober 2017, bisnis Queenapaper mulai menunjukkan peningkatan. Modal awal Rp. 300.000 pun hanya membutuhkan waktu dua bulan untuk kembali dan berputar.

Hingga kini, setiap bulan Septi mengatakan dapat menerima 30 hingga 40 pesanan paket paper flower. Dari setiap paket yang terjual, dia mengaku dapat memetik untuk hingga 40%.

“Biasanya dipesan mayoritas untuk [dekorasi] tunangan, wedding, buat aqiah, tujuh bulanan dan acara ulang tahun juga bisa,” jelasnya.

Hingga saat ini, dia masih mengelola bisnisnya seorang diri. Septi biasanya meluangkan waktu di malam hari setelah anaknya tertidur untuk membuat paper flower pesanan pelanggannya.

Untuk membuat satu paket paper floweri, dia membutuhkan waktu rata-rata dua hingga tiga jam dalam sehari. Guna menjaga kualitas bunga kertasnya agar tidak penyok, dia pun menggunakan kardus yang dibungkus plastik untuk mengantisipasi sewaktu-waktu terjadi hujan saat pengiriman.

Dia menjelaskan, salah satu tantangan menjalankan bisnis tersebut adalah memastikan ketersedian stok bahan baku kertas jasmine yang warnanya sesuai pesanan pelanggan. Sejumlah warnah seperti merah jambu, marun dan emas merupakan warna yang paling laris dipesan.

“Pernah sih [kesulitan menemukan bahan baku], kayak sekarang ini sudah hampir dua bulan warna pink agak susah. Jadinya kita tawarin warna lain,” ujarnya.

Saat ini dia mengatakan fokus untuk menjalankan bisnisnya. Dalam jangka panjang, Septi tak memungkiri niat untuk mengembangkan bisnis dekorasinya ke ranah lain seperti penyewaan backdrop, mengingat orang tuanya juga memiliki bisnis penyewaan alat pesta.

Namun, dia mengatakan cukup senang bahwa bisnis paper flower berhasil membawa rezeki untuknya, sekaligus membuatnya tetap dekat dengan keluarga.

 

 

Sumber: Bisnis-Indonesia-Weekend.18-Maret-2018.Hal_.6